Cerpen Asep Fauzi: Perempuan yang Kelaparan Ketika Matahari Terbenam
Ini adalah Maghrib kedua di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, tokoh perempuan kita makan seperti kesetanan. Yang keluar dari mulutnya hanya kata ‘lapar…makan…haus…minum’ sembari mengunyah dengan rakus makanan dan menenggak minuman yang tanpa henti dikeluarkan oleh Suri, pembantu di rumah ini yang telah mengabdi belasan tahun lamanya. Namun makanan kudapan dan minuman berupa kolak, kurma, cendol, sari india, es kelapa, jus apel, hingga pada makanan berat seperti nasi putih, sate, semur ayam, ikan goreng, capcay, sambal goreng, dan apa saja yang tersedia untuk berbuka puasa, tidak akan bertahan lama di perut perempuan itu. Tetap saja dia akan berkata, “lapar…makan…lapar…aku lapar!”Haji Karni dan istrinya tentu saja kalang kabut melihat kelakuan anaknya yang berbeda seratus delapan puluh derajat itu. Kegiatan berbuka puasa kali ini jelas berbeda. Mereka heran. Anaknya adalah gadis tercantik di Komplek Rumah Sepuluh itu. Dan sebelumnya, tidak pernah berlaku seperti itu. Sangat menjaga penampilan terutama tubuh langsingnya. Namun sejak memasuki sepuluh hari terakhir puasa tingkahnya seperti orang tidak waras. Dan ketika adzan Isya berkumandang, barulah tingkahnya kembali normal. Namun, semuanya tidak langsung berangsur baik. Perempuan itu langsung mendekam berjam-jam di dalam toilet, demi menetralkan pemasukan ke perutnya yang tidak wajar saat dia kalap. Meskipun yang mengherankan juga bahwa, makanan itu tidak juga membuat perubahan terhadap tubuh perempuan itu.
“Coba ingat-ingat! Apa yang telah kau perbuat sebelum atau saat puasa ini, Misna? Ini sepertinya teguran dari Allah, Nak!” Haji Karni mencoba mengajak anak perempuannya itu bermuhasabah setelah rasa laparnya hilang.
“Apaan sih Bapak. Kan sudah Ina bilang, ini tidak normal. Ini aneh. Ayo ajak Ina ke Julak Aran, dukun di Sungai Taib, untuk melihat siapa yang mengguna-guna Ina!”
“Istigfar, Ina. Itu musyrik!”
“Ah, Bapak ini!” perempuan itu malah melongos. Tidak terima, kemudian masuk ke kamarnya dengan membanting pintu. Akhirnya Haji Karnilah yang beristigfar dan mengusap dada. Padahal sudah biasa dengan apa yang diakukan oleh anak perempuannya itu. Sedang istrinya tidak mampu berkata apa-apa.
Setelah kejadian untuk keduakalinya itu mencengangkan acara buka puasa mereka. Demi kebaikan, tidak ada anggota keluarga, termasuk Suri yang boleh membuka mulut perihal ketidakwajaran dari perempuan itu kepada siapa pun, terutama di komplek rumah mereka. Dan tanpa dilarang, sejak kejadian itu, Misna pun tidak pernah lagi berbuka puasa bersama teman-temannya di kafe atau di tempat-tempat dia biasanya nongkrong.
Padahal jika dilihat-lihat, sejak dulu tidak ada yang berbeda dari tingkah perempuan bernama Misna itu. Dia laiknya sebagaimana perempuan muda saat ini. Perempuan yang temasuk dalam status sosial kelas menengah atas, karena ayahnya seorang pengusaha minyak. Begitu pula saat puasa di tahun ini. Yang mungkin berbeda adalah, saat ini tokoh perempuan ini telah menyelesaikan kuliahnya dan berkerudung. Berhijab, apalagi yang menjadikannya ditimpa polah yang aneh itu?
Akhirnya, Surilah yang akan berperan lebih dalam kisah ini. Ia pada akhirnya yang diberi mandat oleh Haji Karni untuk mengawasi dengan diam-diam seluruh aktivitas Misna, terutama di luar rumah. Haji Karni merasa, mungkin selama ini ia terlalu membebaskan anak semata wayangnya itu dan lalai mendiktenya. Terlampau sibuk dengan bisnisnya. Tapi ah, toh, selama ini anaknya memang begitu; sangat manja dan susah diatur. Namun, kenapa kejadian aneh ini malah tergelar di bulan Suci seperti ini? Haji Karni semakin tidak paham saja, saat mengajak istrinya berdiskusi. Sedang Suri, meski ragu dan lebih tepatnya takut, akhirnya mengangguk juga dengan perintah majikannya itu.
***
Sebenarnya, ibunya dan Suri sudah sangat hafal bagaimana Misna memulai harinya, terutama di bulan Ramadhan ini. Sedang Haji Karni sudah pergi ke kantornya di Stagen.
Misna mengawali harinya sejak pukul sepuluh. Karena ia baru siuman dari tidurnya jam itu. Tidak ada shalat Subuh, meskipun Haji Karni dan istrinya selalu menggedor kamar tidurnya. Tapi Misna sangat menjaga puasanya, meskipun ia jarang sekali mau makan sahur. Soal bekerja, Misna memang belum mau. Pikirnya, tokoh harta kekayaan ayahnya tidak akan habis. Apalagi dia anak tunggal.
Dengan cemas, Suri mulai mengintai perempuan itu sesuai dengan arahan Haji Karni. Perempuan itu bangun tidur, tidak langsung bergegas mandi. Dengan earphone di telinganya, ia berteleponan dengan seseorang di sofa ruang tamu. Sesekali berjalan menuju balkon lantai dua sembari melihat pemandangan laut yang tidak jauh dari belakang rumah mereka. Padahal ibunya saat itu baru selesai shalat Dhuha dan membaca Qur’an di mushala keluarga, tempat yang di luar bulan puasa memang jarang sekali digunakan. Sesekali Suri mendengar dari mulut manja Misna kata-kata ‘sayang, cinta, Abi’. Biasanya hingga satu jam atau lebih Misna akan terlihat berteleponan termasuk hari ini.
Satu jam selanjutnya, Misna akan keluarga dari kamarnya dengan tubuh segar. Jika tidak akan keluar rumah, dia akan bersantai hingga siang hari di depan televisi menonton acara seleberiti, membaca majalah, atau hanya sekadar memainkan ponselnya. Namun kali ini, ia sudah rapi menggunakan kerudung dengan gaya dililit-lilitkannya sedemikian rupa dengan wangi parfum yang memabukkan siapa saja yang tersentuh baunya, terutama para pria.
Misna mengendarai motor matic-nya. Dia memang sering malas menggunakan mobil mewahnya di kota kecil ini. Suri mengikutinya dengan menggunakan motor miliknya, yang juga dibelikan oleh Haji Karni beberapa tahun yang lalu setelah ia mahir menungganginya.
Dari rumahnya Misna melalui Jalan Hilir Muara, ternyata Misna menuju ke Limbur Raya, pusat perbelanjaan di kota kecil ini. Setelah meminta petugas memarkirkan motornya, ia lalu masuk dan menaiki lantai tiga. Suri sungguh takut terlihat membuntuti perempuan itu. Meskipun saat ini lebih aman karena lebih banyak orang dan tempat untuk dia bersembunyi.
Misna memasuki toko baju yang terlihat paling mewah. Dia lalu disambut seorang perempuan cantik berambut sebahu. Melihat beberapa koleksi baju sembari bercanda-canda. Suri merasa tidak perlu terlalu rinci melihat kegiatan Misna di dalam. Ia menunggu saja di luar sekitar toko tersebut. Suasana Limbur beberapa terakhir ini memang lebih ramai oleh pengunjung. Orang-orang bersiap menyambut Hari Raya dengan serba baru.
Menjelang matahari tepat di atas kepala, Misna baru keluar dengan empat tas belanjaannya. Dia langsung menuju parkiran dan motornya melaju rumahnya kembali. Sesampainya di rumah, di ruang tamu ibunya telah menunggu dan mengingatkannya untuk shalat Dzuhur. Misna hanya menjawabnya ‘iya’, namun tidak juga keluar kamar menuju musahala keluarga. Padahal ibunya telah menunggunya di sana, untuk memastikan anak perempuannya itu bersujud kepada-Nya. Dan pemandangan selanjutnya yang akan terjadi adalah, ibunya terpaksa mengetuk kamar perempuan itu. Namun sia-sia mengharapkan jawaban dari dalamnya, karena perempuan itu langsung tidur dengan alunan musik yang mengalir melalui earphone-nya.
Sore harinya ia baru kembali keluar kamar saat Ayu dan Tika datang ke rumahnya. Jadwal mereka jalan-jalan setiap sore. Meskipun kini Misna juga membuat alasan kepada mereka bahwa ia tidak bisa lagi berbuka puasa di luar rumah.
Sebelum nongkrong, biasanya mereka akan mengobrol terlebih dahulu di ruang tamu atau taman belakang rumah yang sejuk. Apa saja mereka bicarakan sembari tertawa-tawa, soal pria-pria tampan, gosip artis yang kawin cerai atau yang tersandung kasus pelecehan, tentang baju, tas, atau sepatu mahal dan bermerk.
“Nanti di luar kami shalatnya, Ma!” jawab Misna saat ibunya mengingatkannya untuk shalat Ashar.
“Ya, sudah. Hati-hati, Nak! Jangan telat pulangnya untuk buka puasa di rumah!” tukas ibunya. Ada kekhawatiran di dalam ucapannya. Misna pun menyadarinya. Lalu mereka berangkat dengan mobil mewah Misna, mobil yang setahun dulu dibelikan Haji Karni. Dan mereka tidak sadar bahwa Suri sudah siap dengan motornya untuk membuntuti mereka. Itung-itung ngabuburit pikirnya. Toh selama kejadian aneh yang dialami anak perempuan majikannya itu, makanan cukup hanya dengan memesan.
***
Maghrib ini, sama seperti dua Maghrib sebelumnya. Haji Karni dan istrinya, juga Suri akan saling melempar tatap dengan tanda tanya dan kebingungan yang sama melihat Misna yang tengah kumat. Hari ini Suri memang diminta lebih banyak untuk memesan dan menyiapkan makanan dari hari-hari sebelumnya. Meja makan mereka penuh, mungkin cukup untuk bersantap sepuluh hingga delapan belas perut.
Tetapi lihat! Mulut Misna penuh dengan makanan. Matanya kalap seakan piringnya yang baru saja penuh dengan nasi dan lauk dan telah tandas untuk kedua kalinya itu harus ia isi kembali. Namun semuanya sama dengan dua hari sebelumnya, seakan makanan itu lenyap dari perutnya.
“Lapar…Makan-makan! Lapar! Lapar!” kata Misna. Dan benar, tangannya dengan beringas kembali mengisinya lagi. Meja makan acak-acakan. Ia seakan tidak perduli dengan tiga pasang mata yang sedari tadi melihatnya dan hanya bisa menelan ludah.
Tangan Haji Karni sudah dipegang saja oleh istrinya. Istrinya takut, anak perempuannya akan mengamuk lagi jika dipaksa berhenti makan seperti di hari pertama anak perempuannya itu bertingkah aneh.
Tiba-tiba Haji Karni teringat dengan tugas yang diberikannya kepada Suri. Ia lantas mengajak istrinya dan Suri ke ruang tamu dan meminta Suri menerangkan kepadanya apa yang dilakukan anak semata wayangnya seharian ini.
Kening Haji Karni mengerut saat Suri menyelesaikan hasil pemantauannya selama seharian ini. Baginya, tidak ada yang aneh dari perilaku anaknya, padahal anaknya selalu meninggalkan shalat lima waktu dan perilaku-perilaku akhir zaman lainnya yang luput dari penjelasan Suri dan pemikiran-pemikiran Haji Karni dan istrinya. Ia malah mulai mempertimbangkan ajakan anak perempuannya itu tempo hari untuk ke rumah Julak Aran, dukun yang masyhur dapat melihat sesuatu dari air di dalam mangkuk.
Kotabaru, 26-27 Juni 2016
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu 03 Juli 2016
0 komentar: