Cerpen Asep Fauzi: Senja yang Temaram

05.44 Zian 0 Comments

Kau bisa saja menilainya sendiri, Senja, siapa yang tidak tahu diri, ayahmu inikah atau ibumu itu? Mata kepalamu sendiri yang menjadi saksi kepergiannya. Entah ke mana dia yang telah lenyap saat kita bangun. Dan tentu saja dengan siapa dia pergi? Itu juga pertanyaan yang penting, Nak. Iris saja telinga ayahmu ini, jika dia pergi sendiri di malam hari, mungkin saat kita sudah terlelap, atau saat subuh buta. Karena, setelah tadi malam kami cekcok pukul setengah dua belas, dia masih meringkuk dan terisak di kamar. Tentu saja tidak ada tukang ojek di pengkolan di atas jam dua belas di desa kita ini. Apalagi sebelum subuh.
Suatu saat nanti kau juga akan merasakan, Nak, bagaimana suasana rumah tangga tidak sesepele yang dibayangkan. Bahwa sebuah pernikahan tidak semata-mata bermodalkan kata-kata legit yang bernama cinta, Nak. Akan tetapi lebih dari itu. Adanya ketulusan menerima kekurangan masing-masing. Memahami pribadi pasangan yang merupakan jenis makhluk yang berbeda dan dengan kerumitannya sendiri-sendiri. Dan yang pasti tidak sempurna kau pahami jika belum menjalaninya, Nak. Biarlah, pantas atau tidak aku ungkapkan ini padamu, Senja! Toh, kini kau sudah mulai beranjak dewasa.

Sudah kuduga, Senja. Ibumu itu ada main serong di belakang ayahmu ini. Memang sejak dulu, sejak ayahmu ini menolak untuk meninggalkan pekerjaan sebagai petani sayur-sayuran dan berpindah bekerja di perusahaan kelapa sawit. Ibumu mulai selalu menebar benih pertengkaran dengan ayahmu ini, Senja. Aku juga acap kali mendapati ibumu itu menerima telepon secara diam-diam, Senja. Dan aku yakin, sepertinya itu dari lelaki keparat yang kini lari bersama ibumu. Padahal, ayahmu ini selalu meyakinkannya bahwa kita sebagai manusia harus banyak sabar. Toh, kakek nenekmu dari pihak ayahmu ini sejak dulu adalah seorang petani sejati, dan mewariskan kebun mereka untuk ayahmu ini agar selalu digarap. Mereka tidak pernah kelaparan dibuatnya. Meskipun ayahmu ini hanya lulusan SMK, Senja. Mungkin ibumu malu dengan kehidupan yang kita jalani selama ini, Nak.
Kenapa kau, Senja? Kau jangan menatap ayahmu seperti itu, Nak! Kasih sayang ayah kepadamu tidak pernah pudar meskipun tanpa si Marni, ibumu itu. Ayahmu ini masih sanggup membahagiakanmu, Senja! Kau tak perlu mempercayai desas-desus dari bibimu atau para tetangga yang berbisik-bisik kalau ayahmu ini punya wanita simpanan dan akan segera menikahinya dalam waktu dekat. Ayah tentu tidak semudah itu melupakan ibumu, bagaimana pun ia telah memperlakukanku. Percayalah kepada ayahmu ini, Senja! Tatapanmu itu membuat ayahmu…akh.        

***

Senja, anakku. Bagaimana kabarmu, Sayang? Ibu dengar dari nenek dan bibimu, bahwa sekarang kau banyak diam, Nak? Dengarkan ibumu ini, sayang! Maafkan ibu, Nak, yang tidak pamit sebelum pergi meninggalkanmu dan ayahmu! Tapi kau tidak perlu khawatir, Nak! Ibumu baik-baik saja. Untuk sementara waktu ibu tinggal di rumah temanku, sayang, di Kalimantan Timur.
Ibu juga tidak pernah menginginkan semua ini terjadi, Sayang. Ibu harap, kau tidak berpikir macam-macam tentang ibumu ini! Jika kau memang lebih memilih tinggal bersama nenek atau tetap tinggal bersama ayahmu, ibu tidak akan melarangmu, Nak. Berjanjilah untuk tetap menjadi Senja ibu yang selalu ceria, Nak! Sekolahlah seperti biasanya, Sayang! Dengarkan kata-kata nenek dan Bi Warsiti, bibimu, Senja! Ibu harus tetap di rumah teman ibu hingga tenang, Nak. Entah sampai kapan!
Senja, ibu sudah tidak tahan lagi, Nak, dengan apa yang telah ayahmu lakukan kepadaku. Kau tentu juga sampai bosan mendengar kata-kata kasar yang ayahmu lontarkan. Melihat pertengkaran kami dan betapa ringannya tangan ayahmu melayang ke tubuh ibumu ini, Nak.
Kau tidak perlu menangisi ini, Senja! Sayang, tolong jangan kau diamkan ibumu ini! Jawablah kata-kata ibumu ini, Senja! Apa sebenarnya yang telah ayahmu katakan kepadamu sehingga kau memilih diam? Suara isakanmu itu seperti api bagiku, Nak? Ibumu tak pernah mengajarkan itu kepadamu! Ibu sangat sayang kepadamu, Senja. Baik-baiklah, sayang! Nanti, jika ibu sudah berhasil menata hati, ibu akan segera pulang, Nak. Ibu menyayangimu, Nak! Sungguh, percayalah! O ya, Senja, ayahmu tak perlu tahu aku telah menelponmu!
Senja hanya diam mendengar kata-kata ibunya yang mengalir lewat ponsel bibinya itu. Namun tidak dengan air matanya yang seketika itu juga membentuk aliran sungai di kedua belah pipinya.

***

Setelah beberapa minggu pergi tanpa kabar, akhirnya ibumu menghubungi bibimu ini, Senja. Aku tidak habis pikir, di mana ibumu meletakkan otaknya itu, Senja? Bukan perihal keinginannya untuk bercerai dari si Rusli yang katanya tidak tahan lagi dengan kata-kata kasar dan selalu mencurigai ibumu itu berselingkuh dengan lelaki lain. Tapi yang aku sayangkan ialah kepergiannya itu tanpa dipikirkan matang-matang. Bagaimana mungkin ia tidak pernah berpikir bahwa dengan dia minggat meninggalkan suami sahnya itu membuat si Rusli bebas dengan rumah dan kebun yang selama ini mereka diami dan garap. Harta yang selama ini mereka rintis bersama-sama.
Jika ibumu itu benar tidak pernah bermain api dengan lelaki lain, mengapa harus meninggalkan rumah, ayahmu, dan kau juga, Senja? Sialnya, ibumu tidak pernah meminta pendapatku, kakaknya ini, sebelumnya, Senja. Sehingga jika sudah begini, ibumu tentu malu sendiri jika tiba-tiba pulang lagi ke rumah bertemu ayahmu.
Ya Tuhan, tidakkah sebelumnya ibumu itu mendinginkan tempurung kepalanya sejenak untuk menahan diri dan membicarakannya langsung kepada ayahmu tentang keinginannya untuk bercerai. Agar harta yang meskipun tidak seberapa itu dapat diatur pembagiaannya. Sehingga, setelahnya ibumu dan tentu saja kau, Senja, masih memiliki harta untuk bertahan sebelum ibumu mendapatkan jodoh selanjutnya. Akan tetapi semuanya kini telah terlambat. Sia-sia saja meskipun air mulutku berhamburan menasihatinya. Ibumu keras kepala, Senja. Dalam kondisi kau luntang-lantung seperti ini, dia masih merasa apa yang telah dia lakukan adalah yang tebaik. Coba kau pikir, baik macam apa ini, Senja?

***

Aku dengar kau memutuskan untuk bungkam, Senja? Diam seribu bahasa dalam kesunyian yang kebanyakan orang malah belomba mengutuknya. Ya, mengutuk senyap yang salah satunya disebabkan oleh diam. Meskipun aku tahu, mengapa kau menenggelamkan seluruh hidupmu hanya untuk kata ‘diam’. Menjadi senja yang temaram, Senja.
Tentu saja aku tahu dari ibuku dan teman-teman kita, Senja, perihal sebab musababnya. Aku sedih, karena tidak mendengarnya langsung darimu, Senja. Karena sepatah kata pun kau enggan menjawab sapa dan tanyaku yang begitu banyak telah aku luncurkan kepadamu. Padahal, telah bertahun-tahun lamanya kita tidak bercengkrama seperti masa bocah dulu, Senja. Ya, semenjak ayah ibuku mengirimku ke salah satu pesantren yang ada di Martapura. Saat itu kita baru saja sama-sama lulus Tsanawiyah, Senja. Saat itu pula tawa dan kebersamaan kita terpisah. Namun jiwa ini tak pernah bisa bercerai dari dirimu, Senja. Aku selalu bisa menemuimu setiap hari meskipun telah di Martapura, Senja. Meskipun dengan wujud senja yang berbeda, namun tetap sama-sama memesona.
Masa kecil yang kita habiskan di antara kebun-kebun Desa Gunung Ulin. Desa yang sama-sama kita cintai sebagai salah satu penghasil sayuran dan buah-buahan di kabupaten ini, juga yang paling mashur adalah singkongnya yang terkenal hapuk, Senja. Desa yang sejuk.
Kedua orangtua kita sama-sama sebagai petani yang merupakan pekerjaan yang banyak ditekuni oleh warga di desa kita, Senja.
Dan, hei, Kau tentu tidak akan melupakan ritual yang kita lakukan setiap menyongsong azan maghrib berkumandang, bukan? Iya, yang selalu kita nikmati bersama saat-saat matahari berwarna orange yang luruh di waduk dekat rumah kita. Senja, lukisan alam itu memang melekat sebagai namamu yang telah disematkan oleh orang tuamu. Hingga terkadang aku pernah berpikir konyol bahwa, andai semisal tuhan tidak lagi melukis matahari yang beranjak karena akan menyongsong malam itu, aku pastikan, aku tidak akan bersedih. Ya, karena keindahannya juga ada di dirimu, Senja. Kau tetap akan menggantikan lukisan-Nya itu. Meskipun aku jelas tidak akan mengizinkan banyak mata menikmati keindahanmu. Hanya aku saja yang berhak. Setelah menikmati senja di waduk, biasanya kita akan berlomba lari untuk sampai duluan ke surau tempat kita belajar mengaji dengan Kai Amat saat suara cempreng Kolil memanggil untuk Salat Magrib.
Aku harap kau tidak semudah itu melupakan masa-masa itu, Senja. Kau tahu? Semenjak aku mondok, aku baru sadar bahwa namamu selalu kuselipkan di setiap doa yang kupanjatkan kepada-Nya setelah nama ayah dan ibuku. Ada harapan kepada-Nya bahwa suatu saat nanti kita akan terus bersama menatap senja di waduk desa kita seperti yang dulu pernah kita lakukan bersama. Aku akan mengajakmu bercermin, membuat lukisan-Nya itu cemburu kepadamu, Senja.
Hanya saja, mungkin luka yang kini bersarang di hatimu teramat dalam’kah Senja? Sehingga membuat mulutmu begitu liat untuk kau bimbing melahirkan kembali kata-katamu. Padahal matamu, mata yang tidak mungkin aku keliru membacanya. Melalui matamu, Senja, aku tahu, betapa kau ingin sekali menumpahkan kepedihan melalui kata-kata. Namun yang ada hanya erangan lembut, mengeraskan tubuhmu dan matamu membentuk goresan bening yang tak sanggup aku melihatnya. Yang aku tahu dari ayah, ibu, dan teman-teman kita, bahwa kau seakan telah menggunting pita suaramu semenjak perceraian kedua orang tuamu, Senja.
Ah, andai saja, Senja, kau berikan kepadaku kepercayaan untuk mejadi pendengar yang baik untukmu seperti dulu, pembalut luka yang tulus untukmu. Sahabat lamamu yang memang telah bertahun-tahun tidak menjenguk persahabatan kecil kita di desa ini, karena di Hari Lebaran pun aku tetap di Martapura karena nenekku memang tinggal di sana bersama pamanku. Sehingga ayah dan ibuku tinggal menyusulku setiap lebaran telah tiba. Maafkan tentang hal itu, Senja! Aku merindukanmu yang dulu, Senja. Sungguh! Senja yang selalu bahagia.

***

Senja tetap saja diam. Meskipun orang-orang yang katanya mencintai dan menyayanginya silih berganti datang untuk memintanya, meyakinkan, dan merengkuhnya yang kini semakin terjatuh, termasuk Alief, sahabat masa kecilnya. Sinar Senja kini temaram. Namun kehadiran mereka semenjak kepergian ibunya dari rumah seperti tidak memberi pengaruh apa pun. Kepergian ibunya berbulan-bulan telah diambil kesimpulan oleh para tetangga bahwa ayah ibunya telah bercerai. Itu artinya, ah, tidak pernah sekalipun terbersit di pikirannya bahwa ia akan menjadi seorang anak yang terombang-ambing seperti ini.
Apalagi beberapa bulan setelah ibunya minggat, ayahnya bilang bahwa ia akan menikah dengan seorang janda beranak dua yang saat bertemu wanita yang akan menjadi ibu tirinya itu terlihat jelas bahwa wanita itu gemar sekali berdandan tebal.
Tiga hari setelah mengatakan hal itu, pernikahan ayahnya pun digelar. Petuah-petuah bijak serta janji-janji ayahnya yang dikatakan kepadanya beberapa waktu yang lalu tiba-tiba saja menguap dan seakan membekap hari-harinya yang membuat Senja semakin diam dalam kesendiriannya. Senja memilih tinggal bersama nenek dari pihak ibunya.
Dua bulan setelah ayahnya menikah dan pindah ke kabupaten lain, ada kejutan baru. Ibunya pulang ke rumah neneknya. Namun ibunya hanya gigit jari. Nenek, bibi dan paman Senja pun tidak dapat berbuat banyak dengan penjualan rumah dan kebun yang dilakukan ayahnya Senja. Tidak ada alasan kuat bagi mereka untuk mencegahnya, karena ibunya Senja pergi meninggalkan suaminya itu tanpa kabar berbulan-bulan. Ibunya Senjalah yang paling ditolol-tololkan oleh keluarganya.
Beberapa minggu sejak kepulangannya, ternyata ibunya membawa penyakit. Ibunya sakit keras. Air liurnya berbau lumpur jika diludahkan. Namun menolak diajak ke mantri. Sempat terdengar desas-desus dari tetangga bahwa itu karma karena dulu ia telah meninggalkan suaminya pergi. Namun, tak lama kemudian, desas-desus itu terpecahkan saat ibunya itu diurut oleh Nini Ijak, dukun kampung, bahwa di rahim ibunya tengah bersarang seorang jabang bayi. Tetangga kembali heboh dengan bahan desas-desus baru, menebak-nebak kira-kira siapa lelaki yang menanamkan benih ke tubuh perempuan itu, yang semakin membuat Senja diam. Ya, ia hanya ingin diam. Senja kini semakin temaram.

Kotabaru, 01-02 Mei 2016


Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 15 Mei 2016

0 komentar: