Cerpen Asep Fauzi: Wanita Paling Kucinta di Dunia

02.27 Zian 0 Comments

Lihat wanita itu, Kawan! Iya, dia. Wanita yang akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan kerentaan di atas tempat tidurnya yang lusuh. Merebahkan tubuh yang dulu bentuknya jelas sangat ideal, tapi kini kian mengerut digerogoti usia.
Syukurnya dia tidak menyidap sebuah penyakit yang mengkhawatirkan, mungkin berkat semasa mudanya yang penuh gerak. Hanya saja dia sudah sangat tua. Ya, penyakit orang tua tepatnya. Tapi sungguh, dia wanita yang paling kucinta di banua ini, bahkan di dunia ini.
Kecintaanku kepadanya tentu saja bukan karena ia yang telah menghadirkanku ke dunia ini, atau bahkan dia istriku, simpananku apalagi, sama sekali bukan!
Apa katamu? Aku hanya mengagumi dan mencintainya karena dulu ia seorang wanita yang sangat cantik. Ah, aku tak pernah sematrealistis itu, Kawan. Aku selalu ingin mencintainya dengan sederhana, seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu1. Intinya dia mencintaiku, begitupun sebaliknya aku kepadanya.

***


Kukatakan kepadamu, ya. Aku mengenal wanita itu dari ibunya yang juga sangat kucintai. Aku diperkenalkan dengan wanita itu sejak ia masih belia, kira-kira saat itu usianya bertengger di angka yang ke delapan. Di usia itulah, ia mulai belajar mengucapkan kata ‘cinta’ kepadaku.
Ulun2 mau seperti Mama, bisa menari!”
Aku tak dapat melukiskan bagaimana bahagianya aku ketika mendengar kata-kata yang keluar dari mulut mungilnya yang dikatakan kepada ibunya itu. Meskipun aku masih menyangsikan prihal rencana kecintaannya itu kepadaku.
Kau tentu sepakat jika aku meragukan ungkapan cinta seorang kanak-kanak, bukan? Anak-anak jelas belum paham apa itu kata cinta, apa itu makna mencintai, apalagi istilah berkomitmen. Tapi tetap saja ibunya tak pernah bosan mengenalkanku kepadanya.
Setiap ibunya memperlihatkan kecintaannya kepada diriku, ia selalu diajak dan diminta mengikuti bagaimana cara mencintaiku dengan benar. Ibunya dengan sabar membetulkan posisi telapak tangan, pinggang, pijakan kaki, dan anggota tubuh lainnya saat mencintaiku. 
Setiap menjelang tidur ibunya selalu bercerita kepada wanita yang kucinta itu, bahwa aku adalah warisan dari nenek moyangnya. Cerita itu selalu saja ia ulang hingga tertanam rapi di benak wanita itu.
“Sayang. Dulu yang mengajarkan kerawitan di zaman Kerajaan Dipa hingga masa Kerajaan Daha bernama Datu Taruna. Lalu ada pertengkaran di kerajaan itu, sehingga Datu Taruna pergi ke desa kita. Dan akhirnya kita dapat mencintai bawaan Datu Taruna itu hingga saat ini.”
Dan dengan lantang ibunya menumpukkan pengharapan kepada anaknya itu tepat setiap cerita itu akan diakhirinya, semacam penutup kisah, “Mama harap ikam3 benar-benar mencintainya!”
Entah apa yang dipikirkan oleh ibunya saat mengatakan kalimat itu, apakah hal itu dapat menyugestikan perasaan cinta di usianya yang masih belia itu, yang pasti kala itu ia hanya mengangguk.
Tahun ke tahun, meskipun era semakin melesatkan keberingasannya, ibunya tetap mencintaiku dengan cara menunjukkan kecintaannya dan memperkenalkanku kepada setiap pecinta yang ingin belajar mencintaiku, terutama wanita itu yang tak lain adalah anaknya.
Ada juga yang berasal dari setiap sudut kabupaten di Banua ini dan kepada para gadis-gadis yang ada di sekitar kampung Barikin.

***

Aku keliru, Kawan. Wanita itu ternyata memiliki cinta yang besar, seperti cinta yang dimiliki ibunya kepadaku. Hingga ia beranjak remaja, di usianya yang ke delapan belas ia tetap dapat mencintaiku.
Ia tetap setia kepadaku, memahamiku, memperhatikanku, menjagaku, memperkenalkanku dan menunjukkan kecintaannya kepada setiap wajah dengan iringan gamelan Banjar yang menjadi pengiring cinta kami.
Tapi suatu ketika aku sempat kecewa, Kawan. Suatu malam, saat kami baru saja selesai memamerkan cinta kami di sebuah acara hajatan pernikahan salah satu warga Barikin, ia pulang dengan wajah yang murung.
 Awan mendung terlihat jelas menggantung di parasnya yang cantik. Entah, mungkin ini jawaban dari keingintahuanku tentang ia yang akhir-akhir ini selalu melamun setiap setelah menunjukkan cinta kami.
Ulun uyuh4, Ma, mencintainya!”
Kalimat itu tentu saja menjadi petir bagiku. Aku tahu, hal serupa juga menyambar hati ibunya, dadanya sontak bergemuruh.
Ikam kenapa?”
Ulun uyuh, Ma. Tapi rasa lelah mencintainya ini tak pernah sepenuhnya dipandang oleh orang-orang Banua ini, terutama orang-orang seusiaku. Coba Mama lihat mereka! Mereka lebih memuja dan mencintai kebarat-baratan ketimbang kisah cinta kita dengannya.”
“Lalu?” Suara ibunya kini terdengar menggempa. Menlanjutkan kata-katanya kemudian. “Lalu, saat orang-orang urung mencintainya, kau juga ingin berhenti mencintainya, hah?”
Ulun malu. Mama tentu juga tidak tuli, ulun malu selalu disebut-sebut sebagai gadis kampungan, terlalu kolot masih mencintainya. Lagipula apa yang kita dapatkan dari semua ini? Hanya tepuk tangan orang-orang kampung yang alih-alih juga mencintai, padahal tak mampu menikmati tontonan kota. Lembaran rupiah yang kita dapatkan juga tidak seberapa. Lihat kehidupan kita, Ma! Tak pernah berharta berkat mencintainya. Hanya meneruskan warisan cinta dari nenek moyang kita, kah? Hanya itu? Ulun rasa kita tak pernah juga mendapatkan tatapan sempurna dari orang-orang berdasi yang ada di gedung-gedung besar sana, Ma. Pernahkah Mama memikirkan itu selama ini, selama mencintainya? Pernahkah?”
“Cukup…Cukup…Cukup! Mama kira selama ini kau benar-benar mencintainya dengan tulus. Ternyata Mama salah, Mama tak mengenali cinta anak Mama sendiri. Mama jelas tidak tuli dengan semua itu, Mama paham betul apa yang kau katakan. Tapi perlukah itu Mama perdulikan saat kecintaan Mama lebih besar dari segala macam perusak cinta itu? Mama tetap bahagia mencintainya, sampai kapanpun.
“Dan satu hal yang harus kau pahami, Nak, Mama mencintainya untuk menghidupkan cinta…. Kau dengar? Mama mencintainya untuk menghidupkan cinta. Bukan untuk menggerakkan nadi, apalagi menjadikannya sebagai pesugihan diri! Sama sekali bukan!”
Kulihat dari mata keduanya berloncatan air yang beberapa detik sebelumnya mendanau di kedua bola mata mereka.  
“Sejak kau kecil, Mama berharap hingga kelak kau beranak-cucu dapat menjadi juriat yang akan meneruskan kisah cinta ini. Tapi sungguh, perkataanmu tadi telah mengiris-iris kesakralan cintanya, Nak. Kalau memang begitu, kau tak perlu lagi mengeja kata i-b-u di hadapanku jika kau berniat berhenti mencintainya!”
Kau dengar, Kawan? Sejak itu, aku semakin yakin betapa ibunya sangat mencintaiku hingga ia tega mengatakan hal seperti itu kepada anaknya sendiri, demi anak gadisnya itu bisa mencintaiku dengan tulus.
Oh, ternyata jangan terlalu membangga-banggakan rasa cinta yang kaumiliki, Kawan, saat di dalam dirimu belum tumbuh dengan subur pohon ketulusan. Karena itu adalah tingkat asa tertinggi setelah kau dapat mencinta.
Wanita itu berlari menuju ke dalam kamarnya, ia menangis sejadi-jadinya. Begitu juga dengan ibunya. Aku rasa ibunya terlalu berlebihan mengatakan hal tersebut, tapi itulah cinta, Kawan. Mereka saling menangis di kamar masing-masing. Sekitar tiga puluh menit rumah itu dipenuhi isakan.
Saat ibunya masih mengeluarkan sesak yang berdesakkan dari dalam dadanya, tidak menyangka anak semata wayangnya itu dapat merangkai kata yang menampar-nampar kecintaannya selama ini, wanita itu kembali ke ruang tengah rumahnya yang tak terlalu luas itu. Dipandanginya figura kusam yang terpasang di dindingnya. Ditatapnya tiga gambar orang di dalamnya; paras miliknya, ibu dan ayahnya. Aku bisa memahami tatapan wanita itu, ia amat menyesal dengan apa yang ia katakan kepada ibunya tadi.
Ia tahu, ayahnya yang telah mangkat terlebih dahulu, juga sosok lelaki yang pernah mencintaiku dengan tulus, meski tidak secara langsung mencinta, hanya mengiringi kecintaan ibunya dengan gamelan Banjar.
Ia melihat ke arah bagian dari diriku yang juga berada di dekat figura itu, lalu berbisik, “Maafkan, aku! Aku masih mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu. Maafkan atas kegoyahan rasa ini!”
Tentu saja aku hanya diam. Kau tahu? Andai saja aku memiliki airmata seperti wanita itu, jelas wanita itu akan melihat aliran haru di pipiku yang kaku ini.
Setelah itu ia menuju kamar ibunya, mereka mendekap tubuh satu sama lain sembari sama-sama menangis. Kudengar juga wanita itu berucap kepada ibunya, “Maafkan ulun, Ma! Ampuni ulun!”, seketika itu juga pelukan mereka semakin erat.

***

Sejak itu, aku mendapatinya menjadi wanita yang lebih tangguh. Mulai mencintaiku dengan sepenuh hatinya. Aku bisa merasakan betul hal itu. Ini lebih dalam dari kisah cinta tersohor Qays kepada Layla, roman cinta paling populer dan abadi milik Syaikh Nizami. Aku dapat merasakan bagaimana cinta yang sesungguhnya.
Hingga bersuami pun ia tetap mencintaiku. Ia begitu beruntung, karena kau tahu, Kawan? Suaminya ternyata menyukaiku juga, di dalam dirinya mengalir darah seni. Meskipun ia lebih menekuni seni sastra. Tebakkanmu tepat, Kawan! Suaminya seorang penyair, dan sesekali juga menulis cerpen.
Kalau boleh kuungkap sedikit kisah cinta mereka, mereka bertemu saat si wanita itu memamerkan kecintaannya kepadaku, dan si lelaki yang kini menjadi suaminya adalah salah satu penikmat pagelaran yang datang dari Banjarmasin dan terpesona melihat wanita itu pandai mencintaiku dengan gerakkannya yang lemah gemulai, tetapi penuh tenaga. Sejak saat itu, wanita yang kucintai itu juga menjadi gudang inspirasi bagi hidup dan sajak-sajaknya.
Tahun berganti tahun, pernikahan mereka kian bertabur bunga-bunga cinta. Begitu halnya dengan cinta wanita ini kepadaku juga semakin semerbak. Hingga ia disebut-sebut sebagai guru utama di Banua ini bagi mereka yang ingin belajar mendalami kecintaannya kepadaku dengan berbagai karakter; Ranggajiwa, Pamindo, Patih, Pantul, Hambam, Kelana, Penambi, dan Panji Tumenggung.

***

Tubuhnya kian ringkih, di usianya yang telah menginjak angka ke-118 tahun, tapi semangatnya masih mampu kulihat. Kau tahu dari mana semangatnya itu dapat kutangkap? Dari matanya. Sorot matanya masih menyimpan berjuta energi, kekuatan mencintaiku.
Suatu sore, selepas ashar, saat angin begitu nyaman menyentuh ujung-ujung rambut kecil yang tumbuh di tengkuk dan tangan. Ia masih berbaring di ranjangnya. Tiba-tiba ia meminta kepada anak bungsunya untuk memperdengarkan kepadanya lagu yang selalu mengiringinya dalam mencintaiku.
“Nur, Mama ingin mendengar lagu Ayakan Topeng!”
Tanpa diminta dua kali, si bungsu menekan-nekan tombol ponselnya dan terdengarlah lagu itu.
Lalu, kau tahu apa yang ia lakukan, Kawan? Inilah kekuatan cinta. Dia wanita yang paling kucinta di Banua ini, bahkan di dunia ini. Senyumnya menyimpul. Ia bangkitkan jasadnya, dituruninya ranjang yang telah menjadi tempat yang membosankan baginya beberapa bulan terakhir ini, sontak saja anak bungsunya itu terperangah.
Perlahan wanita itu berdiri, padahal sudah lama ia tidak dapat menjejakkan kakinya dan berjalan sendiri. Tapi kali ini ia tunjukkan kepada anaknya, padaku dan akhirnya cerita ini sampai juga kepadamu bahwa semangat mencinta akan mengalahkan segalanya. Dia menggerakkan tangannya, lalu menari mengikuti setiap irama dan ketukkan lagu Ayakan Topeng, sambil sesekali tersenyum kecil karena tak mampu lama menahan beban tubuhnya sendiri.

***

Itu kali terakhir wanita itu menghirup aroma dunia yang kini lebih banyak disesaki oleh kuntum cinta yang anyir. Kini wanita itu, wanita yang paling kucinta di banua ini, bahkan di dunia ini telah pergi ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Kau tahu, Kawan? sekarang bagian dari diriku lebih banyak diam di dalam peti, berbalutkan kain kuning. Berharap suatu saat ada wanita yang memiliki cinta yang besar seperti wanitaku sebelumnya, karena aku hanyalah sebuah topeng yang dijelma dari kayu-kayu pilihan.

Mengenang Almarhumah Astaliah, Maestro Topeng Banjar dari Barikin (Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan)
               
Kotabaru, 25 April – 20 Mei 2015

Keterangan:
1) Kutipan puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono.
2) Aku
3) Kau
4) Lelah

Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 14 Februari 2016

0 komentar: