Cerpen Asep Fauzi: Dialah Puisi: Eko Suryadi WS
Kau mengenal peramu kata itu di sudut Taman Siring Laut. Tepatnya di bawah Pohon Kariwaya besar yang rindang di samping kiri panggung Dewan Kesenian Daerah, agak berjarak dari hingar-bingar pengunjungnya. Suatu ketika, lelaki itu tengah duduk sendiri.Ya, dia memang selalu diam berlama-lama sendirian menghadap ke arah laut. Kadang tatapannya seperti menikmati deburannya, bahkan juga terlihat seperti menertawai lincahnya ombak yang tengah berkejaran itu. Atau juga ada kalanya, kaulihat tatapannya seperti kilatan amarah dan kekecewaan kepada hamparan air asin itu.
Tubuhnya yang gempal dan tinggi. Rambutnya yang lurus dan agak panjang disisir mengarah ke belakang, dengan kacamata yang kautebak adalah kacamata minus. Dia biasa mengenakan baju hem lengan pendek dengan celana jeans.
Setelah kau perhatikan, dia bukan hanya sekadar duduk bersantai menikmati hamparan laut dengan hembusan angin sorenya yang menghanyutkan. Tapi, ada hal yang tengah ia lakukan dengan asyik yang menurutmu tak pernah membuatmu sepenasaran itu kepadanya.
Sebenarnya, baru beberapa minggu ini kau tersedot memperhatikannya yang selalu duduk khusyuk sendiri itu, karena ini memang baru pekan ke tiga kau menemani kedua orang tuamu berjualan bakso di tempat itu. Kau masih asing dengan tempat-tempat di kota kecil ini. Kau dengan kedua orang tuamu baru saja tiba dari Pulau Jawa ke kota ini untuk mengadu nasib.
Kau memberanikan diri perlahan-lahan mendekatinya. Dia belum menyadari kehadiranmu. Rokok yang telah setengah terbakar yang ia letakkan di samping tempatnya duduk, dia ambil dan hisap nikmat, lalu dikepulkannya dan angin laut sore itu membawa asapnya ke arah wajahmu. Kau terbatuk. Ia menengok ke arahmu. Kau dilemparinya senyum. Kautangkap simpulan bibirnya sambil mengibas-kibaskan asap rokok itu dengan tangan kananmu.
“Bapak sedang apa?”
Itu yang akhirnya keluar dari mulutmu. Kau terbatuk sekali lagi.
“Aku…sedang merekam laut!”
“Aku gak ngeliat sampean pegang kamera atau hp!”
Dia tersenyum.
“Dengan ini!” Ia mengangkat pena berwarna hitam dengan buku ukuran kecil yang sejak tadi memang dipegangnya. Lalu ia melanjutkan kata-katanya. “Aku merekamnya dengan kata-kata. Kau tahu puisi?”
Kau ragu, tapi akhirnya mengangguk. Meskipun kini kau hanya membantu kedua orang tuamu berjualan bakso, dulu kau juga pernah sekolah. Nasib tak memiliki biaya, mengantarkan sekolahmu hanya sampai lulus sekolah dasar. Tapi kau masih ingat sedikit tentang yang disebutkan oleh lelaki itu, iya ‘puisi’, kau coba mengejanya.
“Ya, begitulah orang-orang menyebutnya.”
Mulutmu seketika membentuk huruf o.
“Siapa namamu, Nak?” lanjutnya.
Kau sangat senang mendengar dan menyadarinya. Bukan lantaran dia menanyakan namamu, tetapi karena sekian menit berbicara dengannya, kau tidak mendengar bahasa yang hingga detik ini masih terdengar asing di telingamu, apa yang dikatakan ibu dan ayahmu sebagai Bahasa Banjar.
“Lungit, Pak!” sahutmu, buru-buru. “Kalau nama Bapak?”
“Dodo! Panggil saja aku, Dodo!”
Sejak hari itu, seperti biasa, setelah kau selesai membantu kedua orang tuamu menyiapkan dagangan mereka, kau selalu menemuinya, duduk di sebelah lelaki itu yang tentu saja selalu sibuk dengan pena dan buku kecilnya.
Terkadang dia menyapamu sekadar basa-basi, tapi dia juga pernah tak menghiraukanmu, tatapannya tajam, hanya menuju ke arah laut.
Kau tak pernah tahu apa yang tengah dipikirkannya. Mau tak mau, kau juga diam dan ikut bersamanya menatap laut di hadapan kalian itu.
Pernah juga suatu saat, tanpa kau tahu penyebabnya, dia menulis sambil terisak. Seakan-akan ada bongkahan besar yang menyesakkan dadanya. Itu yang membuatmu tak pernah bosan menemuinya, duduk di sampingnya, lalu melihatnya menulis. Goresan penanya mengalir bak sungai.
Begitu setiap sore, hingga senja tiba melukis langit yang menjingga di atas hamparan lautan, ditambah dengan objek perahu-perahu nelayan yang mulai bergerak menuju permukiman.
“Kenapa Pak Dodo suka menulis puisi?”
Kau kembali memberanikan diri membuka pembicaraan dengannya. Ia hentikan goresan penanya, lalu membetulkan posisi kacamatanya dan menoleh ke arahmu.
“Karena dengan menulis puisi, banyak hal yang dapat aku ungkapkan dalam kesendirian, apa pun itu. Melalui puisi aku bisa berdoa; mendoakan orang-orang yang aku kasihi, mendoakan tempat yang aku cintai, aku merasa lebih dekat dengan Tuhan. Dengan puisi, aku bisa saling mengingatkan dengan sesama manusia, puisi bisa kujadikan cermin untuk terus memperbaiki diri. Dengan puisi, aku juga dapat menumpahkan kekecewaan, kesedihan, kepedihan. Apa pun, Nak. Apa pun yang aku resahkan dan rasakan.”
“Apa yang membuatmu menangis saat membuat puisi?” tanyamu lagi.
Ia kembali membetulkan kacamatanya. Kali ini tatapannya kepadamu lebih lama dan lekat. Kau gugup, takut ia tersinggung. Pertanyaan ini sebenarnya yang paling membuatmu penasaran, karena menurutmu itu sungguh sesuatu yang aneh, apalagi bagi seorang lelaki.
“Banyak hal, Nak!” Ia menarik napas dalam-dalam, seperti sesak, lalu melanjutkan kata-katanya. “Aku bisa meneteskan air mata ketika menuliskan dosa-dosaku kepada Tuhan, atau kesalahan dan kedurhakaanku terhadap kedua orangtuaku. Aku juga bisa menangis saat aku harus menuliskan luka-luka yang menimpa pada laut, sungai, dan hutan di tempat tinggalku ini. Membayangkan nasib anak cucuku kelak akibat kerusakan yang disebabkan oleh orang-orang yang kini banyak menjelma makhluk serakah.”
Kau menarik napas mendengarnya. Kau tidak sepenuhnya dapat menangkap maksud dari semua yang dikatakannya itu. Kau malah lebih fokus dengan kesenduan yang tersaji di wajahnya. Ia menjawab pertanyaanmu itu seakan tengah membuka lembaran-lembaran kesedihan.
“Berarti aku juga bisa mengungkapkan keinginanku untuk melanjutkan sekolah dengan menuliskannya menjadi puisi?”
“Tentu saja, Lungit!”
Kau sumringah, puas dengan jawabannya. Sedang ia, kembali melanjutkan merangkai kata demi kata di buku kecilnya itu.
“Aku juga ingin menulis puisi sepertimu, Pak!” katamu.
Tanpa ingin tahu bagaimana puisi-puisi yang dibuatnya, kala itu entah mengapa kau begitu antusias ingin juga menulis puisi seperti lelaki itu.
Keesokan harinya, kaupamerkan puisi pertamamu kepadanya dengan judul Kapankah Aku Kembali Sekolah? Puisi itu kautulis di buku bekas saat sekolah dulu.
“Bagus, Lungit! Kau tuliskan saja apa yang kau rasakan atau yang kau inginkan,” katanya.
Kau tentu saja mengangguk-anggukkan kepalamu dengan semangat. Setidaknya ada hal yang akan selalu kau lakukan bersama lelaki itu setiap sorenya, selain membantu kedua orang tuamu menyiapkan jualan bakso mereka.
Kau seperti les privat dengannya. Kau diajarinya menulis puisi, bahwa katanya, bentuk puisi atau tipografi tidak melulu harus rata kiri dan rata tengah, bisa juga rata kanan, zig-zag atau bagaimana sesuai dengan seleramu. Dan kau juga baru tahu, bahwa bentuk puisi itu harus bermakna, bahkan titik dalam puisi pun seharusnya memiliki makna.
“Berpuisi sesungguhnya adalah apa yang kautulis dapat kau lakukan di muka bumi ini, Nak.”
Kau mengerutkan kening. Menurutmu, membicarakan puisi dengannya semakin hari kian rumit saja.
“Ya. Seindah dan sedalam apa pun puisimu. Setajam dan seberani apa pun kau merangkainya, tapi jika hidupmu tak berpuisi, semuanya tidak ada gunanya, Lungit. Maka, hanya akan menjadi kumpulan kata tanpa makna.” Dia diam sejenak.
“Meskipun puisi bukan kitab suci, tetapi hal buruk dan kebaikan yang ada di dalam kata-katamu itu dapat kau lakukan dalam kehidupan ini. Yang buruk kau jauhi dan kau jadikan sebagai pelajaran dan yang baik kau lakukan. Kau semaikan.”
***
Amboi, betapa senangnya. Tidak pernah terbayang secepat ini cita-cita itu akan kaujalani. Ya, tahun ajaran baru, kau didaftarkan sekolah oleh kedua orang tuamu. Kau masuk SMP.
Padahal sejauh yang kau tahu, selama ini dagangan kedua orang tuamu tidak terlalu laris. Bahkan kedua orang tuamu sering mengeluh bahwa penghasilannya hanya cukup untuk bayar sewa rumah dan modal produksi dagangan bakso mereka. Tapi pemikiranmu saat itu belum bisa lebih jauh dari itu. Kau tetap membawa berita gembira ini kepada lelaki itu dengan menggebu-gebu sambil membawa puisi-puisimu yang sejak itu berisikan rasa syukur kepada Tuhan, dan ungkapan-ungkapan terima kasih kepada kedua orang tuamu karena telah mendaftarkanmu sekolah. Mewujudkan mimpimu yang pernah terhenti.
Dia terlihat senang mendengarnya dan melihatmu bahagia. Dia juga mulai mengajarimu bagaimana caranya membaca puisi-puisi yang telah kaubuat selama ini atau memintamu membacakan puisi-puisi buatannya.
“Setelah kau menuangkannya dengan rangkaian kata-kata. Ekspresikanlah dengan suara, intonasi, mimik dan gerak tubuhmu. Maka, kau akan merasakan sensasi yang lain dari puisi-puisi yang kaubuat itu, Lungit!”
Kekagumanmu kian memuncah, karena selain ia pandai menulis puisi, ternyata ia juga pembaca puisi yang baik. Kau juga terperangah, karena wajah lelaki itu ada di buku. Iya, puisi-puisinya ternyata telah ada di buku-buku yang tak sengaja kau temukan di perpustakaan tempatmu bersekolah.
Suatu saat, kau juga akan tahu dari kedua orang tuamu, dengan derai air mata, mereka akan mengurai sejarah, bahwa sekolahmu selama ini ternyata dibiayai oleh lelaki itu.
Dan kau akan bergegas menemuinya dengan membawa sebuah puisi atau mungkin tanpa kautuliskan terlebih dahulu di atas secarik kertas seperti biasanya.
Kau akan mengungkapkan kepadanya dengan susunan kata yang langsung kaueja dari relung hatimu Lungit, bahwa dialah…dia adalah puisi sesungguhnya bagimu. Rumah puisi adalah hatimu/ yang merangkai kota-kota dunia// Membaca dan merekam peristiwa/ lewat jemari waktu// Dalam pahatan hari/ tanpa henti//….*
Kotabaru, 28 Desember 2015 – 20 Januari 2016
Keterangan:
*Kutipan puisi “Rumah Puisi” karya Eko Suryadi WS
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 31 Januari 2016
0 komentar: