Cerpen Asep Fauzi: Lelaki Peri

02.32 Zian 0 Comments

“Dalam keluarga kita, lelaki memang harus pergi melaut, Acong! Apalagi kau anak lelakiku satu-satunya! Kau sudah seharusnya ikut bersama ayahmu ini, agar nanti saat dewasa, kau sudah terbiasa!”
Ayahmu geram, Acong. Dia mengatakan hal itu dengan bahasa Bajau yang kental, sembari memegang dan menggoncang-goncangkan kedua bahumu yang lemah. Matanya menombak bebas ke dalam matamu yang sayu.
Dia kalap. Saat itu, baru saja hari kelulusanmu dari sekolah dasar. Melalui ibumu, kau meminta kepadanya untuk melanjutkannya ke SMP. Kau menangis mendengar penolakannya, Acong. Perasaanmu terlalu tipis, bak kulit bawang.
Kau memang tidak seperti anak lelaki dari suku Bajau pada umumnya yang pemberani menerjang ombak, legam oleh terik, dan kekar, Acong. Kau menyadari hal itu sejak kecil. Ayahmu pun jelas tahu, kau sering sakit-sakitan. Meskipun tidak setiap hari ayahmu berada di rumah, tapi lebih banyak menelisik jeroan laut.

Kau tidak bisa melakukan sesuatu yang berat dan melelahkan atau hanya sekadar terlalu lama terkena angin laut di malam hari, Acong. Karenanya, kau selalu memilih untuk di rumah. Tidak seperti anak-anak lelaki yang lainnya, seumuranmu, sudah mulai ikut serta bersama ayah mereka mengarungi lautan di Pulau Laut ini.
“Sudah bisa baca dan tulis juga sudah untung, Acong. Kata kepala desa, agar nanti kau sebagai nelayan tidak kena tipu oleh pembeli saat menjual hasil tangkapanmu. Ah, buktinya sejak kecil aku tak pernah tertipu jika masalah uang, Acong!”
Dulu, ayahmu memang sempat menolak pendapat ibumu, saat kau merengek meminta masuk sekolah dasar, Acong. Ayahmu bersikeras berkata tidak, karena menurutnya, kelak kau akan menjadi seorang nelayan sepertinya dan lelaki-lelaki Bajau lainnya di desa ini. Jadi, tak perlu harus mengecap bangku sekolah.
Beruntung, saat itu dengan diam-diam, ibumu mengajakmu menemui kepala desa agar bisa membujuk ayahmu dan alhasil pendiriannya meleleh. Akhirnya, kau bisa sekolah dengan beberapa kawanmu dari Desa Rampa ini. Kebanyakan yang sekolah memang anak-anak dari desa lain yang orang tuanya merupakan pedagang pakaian di Pasar Tingkat.
“Ini memang sudah suratan dari nenek moyang kita, Acong. Harga diri lelaki Bajau adalah mengarungi luasnya lautan. Jadi, kau harus tetap melaut bersamaku! Lupakan keinginanmu untuk melanjutkan sekolah!”
Isakkanmu semakin keras, Acong. Perasaanmu terlampau lembut dengan larangan ayahmu itu. Pernyataan ayahmu itu membuatmu membisikkan kepada dirimu, bahwa kau memang harus sesegera mungkin menyempurnakan diri menjelma lelaki peri. Meskipun, di televisi yang sering kautonton bersama teman-teman perempuanmu setiap hari minggu di rumah Paman Becce, sosok lelaki peri tetap berwujud lelaki, dengan tubuh tegap dan tentu saja tampan, juga bersayap.

***

Lelaki! Tetapi dengan segala kelembutannya, kegemaran memolekkan diri, memilih membantu ibu memasak, mencuci piring dan mencuci pakaian. Berkumpul dan beradu tawa bersama teman-teman perempuan di sekitaran Desa Rampa ini adalah caramu mewujudkan niat untuk menjadi lelaki peri, Acong.
Keinginanmu untuk bersekolah, dan dianugerahi tubuh yang tidak laiknya seperti lelaki Bajau pada umumnya, membuatmu memilihnya.
Betapa awalnya ada keterpaksaan yang sangat menyiksa. Kau harus menggadaikan kelelakianmu untuk semua itu, Acong. Entah, kau juga tak pernah tahu dari mana ide gila itu kau dapatkan. Tapi itulah satu-satunya jalan, agar ayahmu tak lagi memaksamu untuk ikut melaut bersamanya.
Kau seakan tidak lagi perduli dengan cibiran orang-orang. Mereka tidak habis pikir. Menurut mereka, lelaki-lelaki peri sepertimu tidak dapat beranak-pinak, tapi anehnya setiap waktu selalu bermunculan dan bertambah.
Lalu, sempat juga pikiranmu terpancing oleh ledekan-ledekan mereka itu, apakah lelaki-lelaki peri yang lebih dulu bermetamorfosis, mengalami awal permasalahan sepertimu?
“Jika kau tak mampu dan tidak ingin melaut seperti ayahmu dan lelaki Bajau lainnya, buktikanlah kepada ayahmu, kepada mereka, bahwa lelaki Bajau juga bisa menjadi lelaki yang lain di daratan sana, anakku!”
Itu yang tak pernah ayahmu dengar dari mulut ibumu yang selalu mengiyakan kata-katanya, Acong. Tanpa sepengetahuannya, ibumu mengatakan hal itu sambil memelukmu. Meskipun hingga detik ini, kau tak pernah mengatakannya kepada siapa pun tentang niatanmu menjadi lelaki peri. Tidak juga kepada ibumu. Tidak sama sekali.
Akhirnya, ayahmu menyerah dengan keperianmu, Acong. Ia mengizinkanmu untuk melanjutkan sekolah ke SMP, ketimbang kau menjadi lelaki peri yang pengangguran atau tak pengangguran tapi bekerja di salon kecantikan yang ada di kota. Sudah ada beberapa anak dari desa kalian yang memilih nasib seperti itu. Menurut ayahmu, itu malah akan menambah malu keluarga kalian.
Tapi tentu saja itu tidak gratis. Sebelumnya, hajaran ayahmu membabi buta di tubuhmu yang gemulai itu, Acong. Senja itu ia pulang dari melaut menciptakan jeritanmu dan ibumu yang membuat para tetangga memenuhi jalan di depan rumah kalian yang berbentuk jembatan khas Desa Rampa itu.
“Kau sungguh … sungguh, lelaki yang memalukan, Acong!”
Ayahmu mengatakan itu dengan suara bergetar, Acong. Segala kisah badai, amukan angin, dan gelombang bringas yang dulu selalu dia ceritakan kepadamu ketika masih bocah, seketika itu berkelebatan menjadi satu di matanya.
Kau tahu ia teramat kecewa. Tapi, kau telah memilihnya, Acong. Kau telah nyaman dengan status barumu sebagai lelaki peri itu. Meski tak bersayap dan selalu menjadi buah bibir para pemuda dan ibu-ibu di desa kalian. Tapi kau dapat bersekolah. Kau cerdas, Acong, dan teman wanitamu begitu banyak dan rata-rata menawan.
Dalam lubuk hatimu yang terdalam, kau sadar, kau tidak akan pernah menyalahkan ayahmu dalam hal ini, Acong. Dia tetap ayahmu. Lelaki Bajau terbaik bagimu. Meski sejak itu, dia tak pernah mau lagi berbicara denganmu. Kau tentu saja sedih dengan semua itu. Anak mana yang akan tenang saat ayahnya tidak lagi memerdulikannya?
Kau menjadi pemurung, Acong. Baik di rumah maupun di sekolah. Lantas membuat teman-teman perempuanmu semakin dekat denganmu. Mereka mencoba menghiburmu dan sering menemanimu di rumah.
Dan senja itu lagi. Entah apa yang membuat ayahmu kembali mengamuk, Acong. Dia tarik dengan kasar kau yang tengah mengumpati bulu matamu yang tidak lentik di depan cermin. Ibumu menjerit. Lalu menghujami ayahmu dengan pertanyaan bingung atas prilakunya itu, Acong.
Tetapi ayahmu tetap bergeming. Semakin lupa diri. Ia menyeretmu ke bagian belakang rumah kalian.  Dibukanya pintu belakang rumah kalian yang mengarah ke laut. Kau mencoba meronta dan memohon. Selanjutnya, dengan tanpa ampun, ayahmu menghempaskan tubuhmu ke laut yang airnya sedang pasang itu, Acong.
Ibumu menjerit.
Tetangga kalian seolah sudah bosan dengan suasana ini. Ayahmu yang selalu naik pitam  karena perubahan perilaku anak lelakinya akhir-akhir ini. Sehingga, seakan tak ada lagi mata yang berselera lagi menjadi saksi kegaduhan yang berasal dari rumah kalian.
“Pak, Acong tidak bisa berenang!”
Di antara helaan napas yang kau perjuangkan, ibumu mengingatkan ayahmu tentang hal itu, Acong. Ayahmu tentu tahu, bahwa kau tidak bisa berenang. Sejak kecil kau terlampau takut saat teman-temanmu mengajakmu untuk berenang. Dan meraung-raung, menangis menolak ayahmu, saat ia berniat melatihmu.
Dia pegangi ibumu yang meronta ingin menceburkan diri untuk menolongmu. Kau masih menangkap suara bentakkan ayahmu, “Biarkan dia berusaha menyelamatkan dirinya, Bu! Semakin hari, dia kian mencoreng wajahku yang dikenal orang-orang sebagai nelayan handal di desa ini. Dan beberapa hari ini aku dengar dia sering berkumpul dengan teman-teman perempuannya di rumah ini. Jangankan dia mau mewarisi kemampuanku yang lain; menjadi seorang petiti tali, mempertahankan harga diri ayahnya sebagai lelaki saja, tidak bisa.
“Anak lelaki yang selama bertahun-tahun kita rindukan, Bu. Setelah lahir kita bangga-banggakan dan kuharapkan agar dapat tumbuh sebagai pemuda Bajau yang gagah. Sekarang, dia malah membangkang kepada leluhurnya sendiri, bahkan terhadap Tuhan kita.
“Mengapa Acong? Kenapa dulu saat kau masih bersarang di rahim ibumu, kau tidak me….”
Suara ayahmu terputus, Acong. Hilang. Tepat saat napasmu kau rasakan sesak, pedih teriris. Kau kembali mendengar langkah ayahmu menyeret langkah ibumu dan menutup pintu. Lalu hilang sama sekali. Tanganmu tak mampu lagi mengayuh. Deburan ombak, bahkan angin senja ini tak mampu lagi kaudengar. Senyap. Dalam waktu yang cukup lama, kau seperti tuli. Semuanya juga gelap. Hitam. Kau merasakan takut yang sangat teramat, Acong.

***

“Pak, aku mau mengangkat, Acong.”
Suara ibumu terdengar lagi, kini dengan sesegukannya. Kau juga dapat kembali mendengar ombak, hembusan angin dan menangkap setiap wujud oleh matamu seperti sebelumnya, Acong. Meski kini udaranya melalui celah-celah dinding rumah kalian lebih kencang menampar-tampar rambut dan tubuhmu yang semampai, meski kurus.
Iya, kau sudah tak berada di air lagi. Kau bingung. Apakah kau sudah bisa berenang? Dan bisa menyelematkan diri hingga kini telah berada di dekat pintu belakang rumah kalian, Acong? Tapi tubuhmu tak sedikit pun basah. Kaulihat ibumu sudah hampir menggapai tubuh pintu dan mendekatimu. Tetapi ia tidak memerdulikanmu. Ia membuka pintu, Acong.
“Acong, Pak!”
Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu hingga ibumu tak mampu melihatmu, Acong? Kau buntuti pandangannya. Di sana telah mengambang batang tubuhmu yang tertahan oleh tiang kayu ulin bagian belakang rumah Haji Kette. Kini kau tersadar dengan apa yang terjadi, Acong.
“Pak, Acong ngambang!”
Ayahmu kalang kabut, berlari menghampiri ibumu dari kamarnya, Acong. Ia secepat kilat terjun, berenang menggapai tubuhmu.
Tapi perhatianmu teralih kepada kedua bahu belakangmu, Acong. Kau rasakan ada yang bergerak keluar dari sana. Tidak sakit. Kau hanya merasakan geli yang aneh, bergerak-gerak semakin hebat. Semakin keluar dan melebar.
Oh Tuhan, kau takjub. Dua belah sayap berbulu putih nan lembut tumbuh dari sana, Acong. Kau coba mengepak-kepakkannya dengan hati-hati dan perasaan tidak biasa. Tapi, kau senang.
Tiba-tiba saja, kau ingin segera terbang, jauh sekali, Acong. Meski kini ayahmu telah mengangkat tubuhmu. Lalu air mata ayahmu berserakan. Erangannya bersahutan bersama ibumu, yang tak lama berselang, diikuti kegaduhan Desa Rampa.

Kotabaru, 05-12-2015 s/d 04-02-2016

Sumber:
Mata Banua, Sabtu, 27 Februari 2016

0 komentar: