Cerpen Asep Fauzi: Perihal Aku dalam Mimpimu

05.40 Zian 0 Comments

Assalamualaikum? Maaf sebelumnya.
Tadi malam saya mimpi tentang Anda.
Saya harap Anda sehat selalu dan dalam lindungan-Nya!
Aku tertegun membaca pesan BBM darimu siang ini, Dew. Sebagai seorang lelaki lajang, tentu saja aku berpikir konyol. Semacam ada kesenangan tersendiri saat tahu bahwa aku sampai hinggap di dalam mimpimu. Apa-apaan ini? Sebenarnya, seberapa istimewanya’kah aku untukmu? Tetapi buru-buru kutepis kegagalan fokusku terhadap pesanmu itu. Di akhir pesanmu, ada kalimat pengharapan dan doa untukku.
Aku lantas membalasnya. Aku jawab salammu dan aku ketik, bahwa hari ini aku dalam keadaan sehat. Aku meyakinkanmu, bahwa aku baik-baik saja, tidak kurang satu apa pun.
O y, kalau tidak sibuk, sore ini pukul 16.00 
di taman, oleh beberapa mahasiswa (sepertinya satu kampus denganmu), 
saya diminta hadir untuk membentuk komunitas menulis sastra. 
Jika kamu tidak ada kesibukan, silakan ikut hadir!

Aku harap engkau bisa hadir, Dew! Karena aku tahu kau memiliki bakat menulis, khususnya cerita pendek. Meskipun menurutku, komitmenmu masih perlu diperkuat lagi. Aku mafhum untuk mahasiswi sepertimu. Aku juga pernah mengalaminya, saat menjadi mahasiswa begitu banyak yang dapat menjadi alasan untuk berkata tidak ada waktu untuk menulis, terutama karena tumpukan tugas-tugas dari dosen yang terasa selalu menjadi malapetaka. Ah, tetapi perihal kesukaan dalam menulis memang seakan menjadi jalan bagi kedekatan kita selama ini, bukan, Dew?
Apa kau masih mengingatnya saat itu? Ketika kau hadir di dalam acara peluncuran dan bincang buku kumpulan cerita pendek pertamaku, “Ziarah Debu”, di tahun lalu. Kau begitu antusias menanyakan beberapa cerita yang ada di dalam bukuku itu yang sebagian besar berlatar lokal kota kecil tempat kita sama-sama tinggal ini, serta berusaha mengorek bagaimana proses kreatif yang selama ini aku jalani sehingga dapat terhimpun kisah-kisah dalam buku tersebut.
Di akhir acara, kau dengan malu-malu juga ikut antre agar aku membubuhkan tanda tangan di buku kumpulan cerpen yang sangat erat kau pegang dengan senyummu yang tak henti-hentinya mengembang. Senyum yang menurutku hanya engkau seorang yang memilikinya. Senyum gadis khas kota kecil ini.
Kau memang sangat berbeda dari sekian peserta yang hadir, tepatnya wanita yang hadir dalam launching buku kumpulan cerpen pertamaku itu, Dew. Namun, jika aku ditanya di mana letak perbedaannya, jelas secara fisik kau laiknya wanita-wanita pada umumnya. Hanya saja, aku melihat ada sebuah kharisma darimu yang tidak dapat kujelaskan. Entah ini pandanganku saja atau hal serupa juga dirasakan oleh pria-pria lainnya yang mengenalmu. Intinya aku katakan, bahwa ada sesuatu yang istimewa di dalam dirimu, Dew.
Saat menandatangani buku kumpulan cerpen itu, engkau memohon kepadaku untuk menuliskan salah satu alamat jejaring sosial yang kupunya. Dengan nada bicara sedikit bercanda, kau bilang bahwa, siapa tahu kau bisa berkonsultasi secara gratis mengenai penulisan cerita pendek kepadaku.
Kulihat engkau memang tulus. Aku sambut permintaanmu dengan menuliskannya dengan senang hati di bagian bawah goresan tanda tanganku. Sejak saat itu, terekam dalam ingatanku, bahwa namamu, gadis hitam manis berkerudung penuh kesederhanaan dan kharisma itu adalah Dewi Yanti.
“Sebenarnya Dwi, yang menunjukkan bahwa saya adalah anak kedua dalam keluarga saya. Tapi ijazah pertama saya sebelum membuat akta kelahiran tertulis keliru dengan nama Dewi. Orangtua saya tidak pernah mempermasalahkannya dan tidak mau repot dengan segala tetek bengek mengurus kembali administrasi nama tersebut. Meskipun hingga saat ini, tetap saja mereka memanggil saya dengan ‘Dwi’.”
Setelahnya, kita acap sekali bertemu, Dew. Di taman, saat aku tenggelam dalam kisah-kisahku bersama laptop kesayanganku ‘Blacki’, di kedai TheCoffee saat menyesap cappuccino panas favoritku, di toko buku, atau di perpustakaan umum daerah, tempat-tempat menyenangkan yang menurutku tidak akan ada tandingannya di dunia ini. Pertemuan yang tentu saja tidak pernah kita rencanakan sebelumnya. Selama ini, kita memiliki kesukaan yang sama dengan tempat-tempat tersebut. Hanya saja, Tuhan mungkin baru mempertemukan kita, padahal sudah sejak lama kita berada di kota yang sama.

***

Mungkin hanya mimpi.
Setidaknya itu sebagai pengingat saja.
Maaf gak bisa ikut!
Sepertinya latihan hari ini sampai sore juga. 
Wah, serunya!
Aku mengerutkan kening saat kubaca pesan selanjutnya darimu itu, Dew. Pikiranku mulai berkeliaran. Aku tidak fokus lagi kepada kata-katamu yang tidak dapat ikut bergabung bersama kami sore ini di taman kota.
Kau memang pernah bercerita, bahwa saat ini kau bersama teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teatermu, tengah sibuk mempersiapkan pagelaran yang rutin kalian laksanakan di kampus. Meskipun sebenarnya aku menyayangkan kau tidak dapat hadir.
Memangnya nasib saya dalam mimpimu itu bagaimana, Dew? Hehe.
Iya, nanti jika sudah tidak sibuk, silakan, kapan saja ingin bergabung!
Ah, aku mulai sedikit terpancing dengan pokok pembicaraan kita siang ini tentang mimpimu itu, Dew. Pembicaraan yang pada akhirnya entah menyenangkan atau tidak, aku berusaha meraba hatiku.
Jika kuingat-ingat tentang kita. Iya, kau dan aku. Kau yang tiba-tiba berubah, maksudku tidak seperti saat di puncak perkenalan kita tempo hari. Kau yang dulu begitu intens datang kepadaku mengajak diskusi tentang cerpen, tentang teknik bercerita, cara meramu konflik, pendalaman karakter tokoh, menepis kebuntuan ide dan segala hal tentang kontruksi cerita, tiba-tiba saja engkau seakan menghilang.
Padahal, aku senang kau semakin menggilai dunia leterasi yang tidak banyak dilirik oleh orang-orang, terutama anak-anak muda di kota kecil ini, Dew. Meskipun kita lebih banyak berdiskusi melalui pesan singkat dan jejaring sosial, karena tentu tidak akan baik seorang dewasa sepertiku dan seorang mahasiswi sepertimu secara langsung dan sengaja bertemu berdua di sebuah tempat. Namun, sesekali jika tidak sengaja bertemu di perpustakaan, aku melihat hal yang berbeda dari caramu tersenyum, berbicara dan melihatku, Dew. Ah, apa mungkin ini hanya perasaanku saja yang terlalu gede rasa?
Entahlah, katanya mimpi itu kebalikan dari kenyataan, ya, tidak? 
Semoga bukan apa-apa!
Meskipun paginya, seekor gagak dengan suara yang resah lewat di belakang rumah kami. Juga, sejak pagi mata sebelah ini kekedutan.
Hatiku mendesir. Sepertinya pesanmu semakin serius tentang mimpi itu Dew, yang seakan di dalam mimipimu itu aku mengalami hal buruk, yang membuatmu bersedih dan khawatir. Aku melihatnya selain dari kalimat-kalimat pesanmu, juga dari emo yang kau selipkan di bagian awal atau akhir pesanmu itu.
Sebenarnya, aku memang sudah merasa ganjil hari ini, tetapi aku berusaha menanggapinya dengan biasa, seperti halnya saat kita membicarakan tentang novel-novel klasik karya penulis-penulis tanah air yang telah melegenda dan sungguh berbeda dengan novel-novel saat ini yang cenderung berisi alur cerita yang klise. Atau tentang jenis makanan yang sering dihidangkan di rumahmu saat lebaran tiba, yang aku kira di rumahmu juga menghidangkan lontong sayur, ternyata katamu, makanan itu kurang sesuai dengan lidah orang Jawa.
Meskipun pada akhirnya aku katakan kepadamu, bahwa engkau membuatku sangat penasaran dengan cerita isi mimpimu itu, tetapi aku mengaminkan saja doamu.
Tapi memang, hari ini agak ganjil, Dew.
Tadi, tiba-tiba ibu saya telefon….
Akhirnya aku ungkapkan seluruhnya keganjilan yang kurasakan hari ini kepadamu. Perasaanku mulai terbawa. Memang, baru saja tadi pagi, sebelum aku membaca pesanmu, ibuku menelefon, menanyakan keadaanku seperti biasanya, lalu sekonyong-konyong meminta maaf karena panggilan telefonku yang sebanyak tiga kali tidak terangkat oleh beliau.
Aku tentu saja bingung, karena hari ini aku tidak pernah menelefon beliau yang rumahnya berjarak sekitar empat jam dari tempat tinggalku saat ini. Ponselku tidak ada yang meminjam, selalu berada di dekat atau di dalam saku celanaku. Riwayat panggilan ke luar di ponselku juga tidak kutemukan bahwa nomor beliau telah terpanggil secara tidak sengaja.
Berfirasat yang baik saja!
Semoga tidak terjadi apa-apa!
Semoga masih dalam lindungan-Nya!
Semoga hanya bunga tidur!
Meskipun aku sudah terbawa dalam garis besar cerita mimpimu itu, aku harus setuju denganmu dengan menanggapinya biasa saja, Dew. Meskipun sebenarnya tanda tanya dan kekhawatiran malah semakin menjadi-jadi di lipatan hatiku.
Hanya saja, mengapa harus kau yang mendapatkan mimpi itu, Dew? Maksudku, kenapa melalui tidur dan mimpimu aku hadir dengan lakon sepertinya menyedihkan, mengenaskan? Mungkin lebih buruk dari kondisi menyedihkan, karena sedikitpun kau tidak mau menceritakannya dengan rinci tentang mimpimu itu.
Ibu juga, yang tiba-tiba meminta maaf karena merasa tidak mengangkat telefonku karena tengah di dapur, membuatku merasa hari ini semakin ganjil saja. Betapa tidak, aku tak pernah menelefonnya, sekali lagi kuulang, aku tidak pernah menelefonnya pagi itu. Titik.

***

Iya, terima kasih, Dew!
Maaf, aku baru saja membalas pesanmu siang ini, Dew. Sore kemarin, setelah kita membahas mimpimu yang aktor utamanya adalah aku. Aku bagaikan tersambar petir, tubuhku lemas, tulangnya seakan rontok berantakan.
Kemarin, saat aku baru saja pulang dari acara pembentukan komunitas menulis, aku yang tengah duduk santai di Siring Laut sembari menikmati novel teranyar karya seorang teman dari Makassar. Tiba-tiba mendapat kabar dari kakak calon istriku, iya calon istriku yang pernah aku ceritakan kepadamu di puncak perkenalan kita dulu, bahwa dia mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang selepas mengajar tari di sekolah tempatnya bekerja, Dew.
Sekarang, aku baru saja memegang kembali ponselku, selepas kembali dari acara pemakaman almarhumah calon istriku yang bulan depan rencananya akan aku nikahi itu, Dew.
Kini, aku mulai bisa menerka bagaimana mimpimu itu, Dew. Bagaimana pun bentuknya nasibku di dalam mimpimu itu, kini aku benar-benar telah memahaminya, bahkan sangat merasakannya.

Kotabaru, 20 Oktober 2015-14 April 2016

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 08 Mei 2016

0 komentar: