Cerpen Asep Fauzi: Buku-buku Titipan Ustadz

01.34 Zian 0 Comments

“Mas, Iqqi!” Begitu panggilmu pagi itu. Aku baru saja masuk ke dalam kelas yang di depan pintunya bertuliskan ‘Kelas 2A’. Aku tidak menjawabnya, hanya menghampirimu dengan wajah dan mata penuh tanya. Kau yang beberapa menit yang lalu baru saja menjawab salamku dan telah duduk di balik meja kerjamu itu, mengeluarkan sebuah bungkusan.
“Afwan. Ustadz mau titip buku, ya Mas.”
Belum sempat aku bertanya, kau lebih dulu melanjutkan kata-katamu,“Nanti sore. Tante Rezeki insha Allah akan mengambil buku ini ke rumah, Mas Iqqi. Iya, ini untuk Tante Rezeki.” Kau tersenyum, aku menerimanya.
“Syukron ya, Mas!” katamu lagi.
Aku hanya mengangguk, lalu berjalan menuju tas sekolahku dan memasukkan titipan yang katamu buku itu di antara buku-buku pelajaran dan alat tulis milikku. Buku itu dibalut dengan pelastik berwarna putih.
Seingatku, baru saja kemarin kau bertanya prihal apakah aku mempunyai seorang tante bernama Rezeki Purnamasari atau tidak, hari ini kau sudah menitipkan sesuatu untuk tanteku itu.
Aku jelas mengenal baik dirimu, Ustadz Asep. Kau adalah salah satu guru di sekolah dasar islam ini, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Meja kerjamu memang berada di kelas ini, tepat bersebelahan dengan meja kerja Ustadzah Ramlah-wali kelas kami.

***


Hari ini seperti hari-hari sebelumnya. Setelah bel terdengar, kami berbaris, lalu menunaikan shalat duha. Setelahnya, pelajaran dibuka dengan pembelajaran al-quran dan pelajaran-pelajaran lainnya, ditutup dengan tahfiz hingga pukul 14.15. Setelah itu aku bergegas pulang saat abi sudah tiba menjemput.
Sesampainya di rumah aku istirahat sambil mengeluarkan buku-buku pelajaran hari ini. Astagfirullahal’adzim, aku teledor. Titipan Ustadz Asep untuk Tante Rezeki terjatuh ke lantai saat aku mengeluarkan buku-buku pelajaran milikku. Dan buku itu terpisah dari pelastik yang membalutnya.
Kulihat warna sampulnya berwarna merah muda, sambil kumasukkan dan kurapikan kembali buku itu. lamat-lamat terbaca olehku buku itu berjudul Di Jalan Dakwah Aku Menikah. Ah, aku tidak suka buku yang tidak ada gambar komiknya.
Setelah ashar, Tante Rezeki ternyata datang ke rumahku. Sebelum dia bertanya, aku sudah berlari ke kamar mengambilkan buku berwarna pink titipan Ustadz Asep untuknya itu.
Setelah mengucapkan terimakasih, ia menyodorkan cokelat kepadaku. Ini yang paling aku suka dari tanteku yang selalu terlihat lembut dengan jilbabnya itu, dia selalu membawakanku cokelat kesukaanku.
Dia adik ummi, sekarang masih tinggal bersama nenek dan kakek. Kata ummi, Tante Rezeki guru Kimia di SMP Negeri 6. Entah, aku juga belum tahu seperti apa pelajaran itu.
Tapi, sejak hari itu, aku tahu bahwa Ustadz Asep dengan Tante Rezeki itu berteman. Tapi mungkin mereka sama-sama pemalu. Itu sebabnya Ustadz Asep tidak berani langsung menyerahkan buku itu kepada Tante Rezeki. Orang dewasa terkadang lucu dan kalah berani dengan anak SD.

***

Tiga hari setelah itu, Tante Rezeki kembali ke rumahku untuk menitipkan kembali buku tersebut kepada Ustadz Asep.
Dan ternyata mereka masih tetap pemalu. Karena selain Tante Rezeki tidak mengembalikan secara langsung, Ustadz Asep juga kembali menitipkan kepadaku buku untuk Tante Rezeki. Kali ini jika dilihat dari bungkusannya, jumlah bukunya lebih dari satu. Dan saat dengan sengaja aku buka bungkusan itu di kamar karena penasaran. Benar saja, ada empat buah buku, satu buku sangat tebal dan tiga buku lainnya berukuran sedang. Pantas saja tasku menjadi sangat berat saat tadi membawanya. Ah, lagi-lagi tak ada buku yang menurutku seru. Kubaca satu-satu judul buku-buku itu dengan malas; Bahagianya Merayakan Cinta, MoU Suami-Istri, Diary Pengantin, dan Jalan Cinta Para Pejuang.
“Kok, Ustadz Asep tidak berani memberikan langsung buku-bukunya?” tanyaku kepada Tante Rezeki sambil kupasang wajah menyelidik dan meledek. Tentu saja buku-buku itu sudah kurapikan kembali sebelum Tante Rezeki tiba di rumahku untuk mengambilnya. Tante hanya tersenyum, begitu juga dengan ummi.
“Kok, Mas Iqqi tahu kalau ini isinya buku?”
Ups, aku salah bicara! Tante Rezeki masih menunggu jawabanku yang jawabannya masih kufikirkan.
“Eh, tadi Ustadz yang bilang!” jawabku agak gugup.
Aku menghela nafas, alhamdulillah aku tidak berbohong. Meski rasa penasaranku juga mendorong sehingga lancang membaca judul buku-buku itu.
“Ustadz Asep bukannya tidak berani. Tante Rezeki dan Ustadz Asep itu baru saling mengenal. Mereka memang sama-sama pemalu. Tidak boleh ikhwan dan akhwat yang sudah dewasa bertemu berduaan. Itu namanya bukan muhrim, sayang.”
Ah, kenapa ummi yang menjawab, aku kan jadi tidak dapat meledek Tante Rezeki lebih lama karena punya teman ikhwan yang pengecut seperti Ustadz Asep, yang tidak berani menyerahkan bukunya langsung kepada tante. Padahal kata abi, sebagai seorang ikhwan aku harus berani. Kulihat Tante Rezeki hanya mengulum senyum saja.
Sejenak aku diam. Belum puas dengan bantuan jawaban dari ummi. Tapi bisa sajakan Ustadz Asep menyerahkannya langsung ke sekolah Tante Rezeki atau mereka bertemu di Taman Kota atau di Siring Laut yang banyak orangnya, jadi bertemunya tidak hanya berdua, tetapi banyak orang yang sedang berjualan dan bersantai di sana.
“Selama masih bisa menghindarinya, kenapa harus bertemu. Oh, sepertinya ada yang tidak ikhlas membantu nih Tante Rezeki!” kata ummi, seraya tersenyum dan melirik Tante Rezeki. Duh, sepertinya ummi tahu apa yang akan kuucapkan!
“Iya-iya, aku ikhlas,” ucapku agak kesal.
Uh, gagal deh hari ini meledek Tante Rezeki yang punya teman pengecut. Ustadz Bahasa Indonesia di sekolahku ternyata pengecut.

***

Dua hari, seminggu, lama…. Sejak itu Ustadz Asep tidak pernah lagi menitipkan buku kepadaku. Terakhir ya hanya Tante Rezeki yang titip mengembalikan buku-buku yang dipinjamkan oleh Ustadz Asep itu. Selebihnya tidak ada.
Ah, mungkin mereka malu, setelah Tante Rezeki kuledek tempo hari. Dan ia memberitahukan hal tersebut kepada Ustadz Asep. Tapi tadi di sekolah Ustadz Asep tidak cemberut kepadaku, tetap tersenyum, menyapa dan menanyai kabarku.
Tante Rezeki juga begitu. Bahkan Tante Rezeki akhir-akhir ini lebih sering berkunjung ke rumahku, tentunya tidak lupa dengan membawa cokelat untukku. Tante datang lalu mengobrol serius dengan ummi dan abi, entah apa yang mereka obrolkan. Ummi dan abi juga beberapa hari ini sering mengajakku berkunjung ke rumah nenek dan kakek menemui Tante Rezeki. Sepupu-sepupuku dan ummi abinya juga banyak hadir. Sepertinya akan ada acara di rumah kakek dan nenek.
Dan benar saja, hari minggu itu ummi dan abi memintaku memakai baju batik sasirangan khas Kalimantan Selatan yang warnanya kulihat sama persis dengan yang dikenakan ummi dan abi. Hari itu kami akan ke rumah kakek dan nenek.
“Anak Sholeh, di rumah kakek dan nenek akan ada acara beantaran jujuran. Insha Allah Tante Rezeki akan menikah dengan Ustadz Asep.”
Itu rayuan ummi setelah sebelumnya aku ogah-ogahan ikut karena terlalu pagi untuk mandi di hari libur.
Tante Rezeki dan Ustadz Asep akan menikah? Aku mengerutkan kening sambil menuju ke kamar mandi. Orang dewasa memang terkadang aneh dan membingungkan. Padahal sebelumnya mereka tidak berani saling bertemu. 

*Sebuah doa
Kotabaru, 4 Februari 2015, 23.51.

Sumber:
Serambi Ummah, Edisi 15-21 Mei 2015

0 komentar: