Cerpen Asep Fauzi: Perjalanan Malam

02.00 Zian 0 Comments

Perjalanan itu dimulai sejak kau menerima tawaran Engkus untuk bekerja di pertambangan batubara sebagai buruh cuci atau juru masak yang ada di Kalimantan. Kau akui, dia memang sosok lelaki yang sangat pandai meluluhkan hati wanita, tak terkecuali ibumu. Wanita yang selama ini selalu menghalang-halangimu untuk bersuami karena takut kau akan diboyong oleh suamimu dan meninggalkannya. Tapi wanita yang kepalanya sudah mulai ditumbuhi uban itu akhirnya takluk oleh rayuan Engkus.
Perjalanan itu sungguh melelahkan dan menguras kewanitaanmu. Perjalanan terlama yang pernah kau lakukan. Jika selama ini kau hanya berjalan menuju ke sawah untuk bekerja, ke Pasar Lewieuh Sari, atau paling jauh dari tanah Tasikmalaya itu, kau hanya pernah ke Bandung mengunjungi Uwa1 Mimin atau ke Pantai Pangandaran bersama ayahmu yang telah lama meninggal. Tentu saja itu dulu, saat kau masih brwujud gadis kecil. Sehingga seluk-beluk Pantai Pangandaran misalnya, jelas kau tidak dapat mengingatnya kembali dengan detil bagaimana lembut pasirnya, riak ombaknya, segala hal yang ada di pantai itu. Apalagi jika kau diminta mengingat rute jalan menuju rumah

Mimin, kau tidak akan lagi mampu mengingatnya.

Gajihna besar, Ambu2. Si Nyai teh bakal punya banyak duit kerja di sana. Setiap bulan, Ambu akan dapat kiriman dari Kalimantan, tidak kurang dari dua juta lebih. Pokokna Ambu jangan kawatir, percaya sama Engkus!”
Sejak kepergian Engkus ke Kalimantan, anak Mang3 Uher, teman masa kecilmu itu memang seperti kaya mendadak. Setiap ia pulang, pasti membawa perubahan bagi keluarga atau hidupnya. Misalnya saja, rumah kedua orang tuanya yang dulu sama seperti rumahmu yang terbuat dari anyaman bambu, kini telah berbahan beton dengan tinggi menjulang, tingkat dua.
Tahun lalu, ia juga membeli tanah dan sawah milik Pak Lurah. Dan kini orang tuanya membuka warung makan. Itu jelas membuat ibumu mau tidak mau menjadi yakin. Jangankan Engkus yang mengaku sebagai karyawan pertambangan batubara, Si Aep, yang hanya berjualan batagor di Pulau Kalimantan itu juga sama mujurnya, dia bisa membeli rumah, sapi dan sebuah kebun Haji Iding. Hidupnya sekarang lebih dari kata cukup.
“Di sana teh yang penting mau bekerja, pasti jadi uang.” Begitu kata Aep saat kau ikut bersama ibu-ibu dan gadis-gadis yang lain berduyun-duyun menuju rumahnya saat lebaran.
Kau juga tentu tidak memiliki alasan untuk menolak tawaran Engkus. Selain itu sebagai kesempatan untuk melepas masa lajang di usiamu yang sudah tidak muda lagi. Eh, siapa yang tahu, Tuhan memberikan jodoh juragan batubara atau bos kebun kelapa sawit di sana? Tidak ada yang tidak mungkin, bisikmu dalam hati. Meski kini usiamu sudah menginjak dua puluh empat, namun kau jelas masih bisa cantik. Garis-garis alami keayuan gadis Sunda jelas masih terlihat, hanya saja saat ini kau memang kurang terawat. Ya, karena kemiskinanmu ini, umpatmu dalam hati. Tapi tidak, kau malah lebih mengingat kata-kata Engkus, “Sejak dulu, saya sebenarnya suka sama kamu, Nyai. Siapa tahu setelah beberapa tahun kita bekerja di sana, dan bisa membuat Ambumu senang. Tentu tidak ada alasan dia untuk menolak lamaran saya nantinya, bukan? Apalagi saya tetangga dekat kalian, dan Ambu tentu tahu betul tentang saya.”
Hati wanita mana yang tidak melayang? Tapi kau dan ibumu masih diam, meski menolak juga tidak, seperti tengah menimbang-nimbang. Kalimantan bagi kalian adalah hutan belantara. Meski kalian percaya, bahwa orang-orang di sana, konon rata-rata kaya raya.

***

Engkus kembali menanyakan tawarannya tempo hari, tapi kali ini ia datang sembari menyodorkan bungkusan yang setelah kaubuka ternyata benda mewah yang selama ini tak mampu kaubeli yang hanya bekerja sebagai buruh di sawah Haji Dadang.
”Ini hape buat kamu! Jadi nanti jangan kawatir, kalo Ambu kangen atau kamu ingin ngobrol dengan Ambu dari Kalimantan, tinggal telpon saja ke nomor Abah4 atau Ambu saya.”
Kau sebenarnya semakin yakin dengan niat baiknya itu. Apalagi saat dia bilang, bahwa dia yang akan menanggung keberangkatanmu ke Kalimantan hingga kau positif sudah bisa bekerja di sana. Tidak tanggung-tanggung, Engkus akan mengajakmu ke Kalimantan tidak dengan kapal, tapi dengan pesawat. Tidak…tidak, pasti kau bermimpi, bisikmu senang di dalam hati. Bahkan membayangkannya pun kau tak pernah akan terbang menggunakan pesawat, lalu bekerja di Kalimantan dengan gajih berjuta-juta. Ah, kau tidak mau menunda-nunda lagi, kau dan ibumu secara bersamaan menjawab ‘iya’. Kau melihat senyum bahagia dari bibir Engkus.
Tiga hari kemudian kalian berangkat. Pagi-pagi sekali kalian sudah digiring kedua orang tua Engkus, ibumu tentunya dan beberapa tetangga. Ibumu jelas yang paling sangat sedih. Meski sudah yakin bahwa kau-anak gadis satu-satunya pasti aman di tangan lelaki tampan berkumis tipis itu. Tapi seorang ibu namanya, tetap saja menangisi perpisahan dengan buah hatinya. Pagi itu kau mengenakan rok dengan kaos kuning mencolok yang kaubeli sebelum hari raya Idul Fitri tahun lalu.
Kau tidak banyak membawa pakaian. Kau ingat pesan Engkus bahwa nanti di sana juga kau bisa membelinya. Tapi bungkusan kue rangginang dan surabi buatan ibumu jelas tak bisa kau tolak, harus dibawa untuk camilan di jalan, pesannya.
Dari Desa Sukaharja, angkot membawa kalian ke Terminal Lewiueh Sari, Tasikmalaya. Dari sana kalian berganti bus menuju ke Terminal Kampung Rambutan Jakarta yang akan membawa kalian menuju Bandara Soekarno Hatta. Sepanjang jalan, matamu liar merekam kemegahan kota Jakarta yang seumur-umur baru kali itu kaulihat. Lalu senja itu juga, tidak lama setelah kalian sampai, kalian sudah terbang ke Kalimantan.
Sebelum lepas landas dari Jakarta, kau bahkan baru tahu bahwa kau akan terbang ke sebuah tempat bernama Banjarmasin, tempat yang tak pernah kau tanyakan sebelumnya kepada Engkus. Pokoknya yang kau tahu adalah Kalimantan. Bahkan, hingga kau sampai di pulau itu, kau tidak pernah tahu kau berada di Kalimantan bagian mana, kau tak pernah bertanya, suatu saat kau baru akan tahu.

***

Dari Bandara Syamsuddin Noor sebenarnya perjalanan malam itu baru dimulai. Perjalanan gulita. Malam memang kalian baru tiba di sana. Kau hirup udaranya yang panas, sangat beda sekali dengan suhu di Tasikmalaya yang sangat dingin karena pegunungannya. Padahal menurutmu di sini banyak hutan.
Kau diminta Engkus untuk menunggu sebentar, lalu dia berbicara dengan suara laki-laki menggunakan ponselnya. Tak lama kalian kembali menaiki mobil yang menurutmu mewah. Tidak pernah sebelumnya kau menaikinya. Kau kira, kendaraan darat termewah hanya bus tadi yang menuju ke Jakarta yang akan kaunaiki. Oh, betapa hal-hal menakjubkan hanya beberapa waktu telah kau rasakan bersama Engkus di perjalanan ini.
Tapi sejak awal kau memang sungkan jika harus banyak bertanya kepada Engkus. Kau tentu telah memercayai dia sepenuhnya. Jika dilihat-lihat, belum ada tanda-tanda mobil ini akan berhenti. Kau akhirnya ikut tidur, Engkus sudah mendengkur sejak tadi di sebelah sopir.
Paginya, kau terbangun oleh goyangan mobil yang tidak senyaman sebelumnya. Kau hempaskan pandanganmu, ternyata kau tengah berada di jalan yang berlubang dan berkubang. Kiri kanan yang kau lihat hanya hutan, lalu kebun kelapa sawit, hutan, kebun karet, kebun kelapa sawit, hutan lagi, begitu seterusnya. Oh, ternyata hanya beberapa jam kau dapat melihat kota dan lampu-lampu di Kalimantan ini.
“Kita masih lama ya ini di perjalanannya, Akang5 Engkus?” kau akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Tidak, Nyai. Ini sebentar lagi kita nyampe di Barak Kabun Pisang, tempat kamu nanti akan bekerja!”
“Kok gak kelihatan tambangnya ya, Kang?”
Engkus tertawa yang diikuti oleh sopir. Kau mengerutkan kening.
“Tambangnya jauh dari tempat kamu akan bekerja, Nyai.”
Kata ‘oh’, yang akhirnya menutup pertanyaanmu itu.
Tak lama kemudian, kalian telah sampai di sebuah barak di dalam hutan ini yang setelah kau lihat-lihat, tak ada perkampungan di dekatnya. Ada banyak perempuan cantik yang tengah menjemur pakaian di sebelah kiri barak, sekitar tujuh perempuan lain yang hanya menggunakan kain sedada seperti membawa cucian dan alat mandi menuju sungai yang berada tepat di belakang barak itu. Itu yang akan saya kerjakan di sini? pikirmu.
Di depan salah satu pintu barak kau lihat ada warung. Lima laki-laki berjaket dengan rambut rata-rata gondrong agak dekil (sepertinya mereka baru saja bangun tidur dan hanya mencuci muka) sedang menikmati kopi hitam dan mengepulkan hisapan rokoknya sambil memperhatikan kedatangan kalian pagi itu. Sesekali mereka terlihat berbisik dan tertawa bersama. Di kemudian hari, kau akan tahu bahwa mereka adalah Amat Kucik dan teman-temannya.
Barak Kabun Pisang dibangun dari papan dan kayu tanpa cat, beratapkan seng yang terdiri dari dua bagian. Setiap bagiannya terdiri dari tujuh ruangan dengan fungsi yang belum kau ketahui. Kau diminta masuk ke dalam sebuah ruangan yang di dalamnya ada meja dan kursi, mungkin ruang tamu, pikirmu. Engkus dan Si Sopir kembali ke mobil untuk mengambil barangmu sesuai yang dikatakan sebelumnya, bahwa mereka yang akan mengangkatkan barang-barangmu.
“Ini Acil6 Ikis! Hem…Acil itu maksudnya uwa kalo di Sunda mah.” kata Engkus.
Kau senyumi wanita yang diperkenalkan olehnya itu, yang kautaksir sudah berusia tiga puluhan.
Bungasae,7” kata wanita yang menurutmu matanya agak galak itu saat menyalamimu. Tapi kau takjub, begitu banyak emas yang melingkar di tangan dan lehernya.
“Kamu cantik kata Si Acil!” Engkus menjawab kebingunganmu. Kau terlihat salah tingkah dengan mengelus-elus rambutmu yang dikepang dua.
 Lalu kaulihat Acil Ikis dan Engkus saling memberi isyarat dan berbicara dengan bahasa yang belum kau pahami dan suatu saat baru kau tahu bahwa itu Bahasa Banjar. Kemudian Engkus mengajakmu ke sebuah ruangan, tasmu di tangannya. Setiap rungan ternyata terdapat dua kamar tidur, dengan ruang depan yang sempit dan dapur seadanya.
“Ini kamar kamu, Nyai. Kamu istirahat saja dulu. Nanti sore atau malam Acil Ikis yang akan ngasih tau ke kamu apa-apa saja tugas yang harus kamu kerjakan,” kata Engkus datar setelah membimbingmu memasuki kamar yang berada di dekat dapur. Kau mengangguk.
Akang mau kemana setelah ini?”
“Saya ya ke tempat kerja saya, Nyai. Karena hari ini, hari terakhir saya cuti, besok sudah harus masuk kerja lagi. Tapi nanti saya akan sering-sering kok nengokin kamu di sini. Tenang saja, ya!”
Kau kembali mengangguk. Lalu mengantarkan dan mendadahinya dengan ragu yang kini telah meninggalkanmu di barak itu dengan orang-orang asing yang nantinya baru kau ketahui bahwa Barak Kabun Pisang itu berada di kabupaten bernama Kotabaru.

***

Itu kala terakhir kau melihat Engkus. Hampir tiga tahun setelah itu kau tak pernah lagi melihat batang hidung lelaki anjir8 itu. Engkus bedul9! Itu yang kini sering kau umpatkan di dalam dadamu.
Kini, kehidupanmu memang berubah, Nyai. Kau lebih cantik, bersih, wangi, pakaianmu bagus-bagus, tabunganmu juga banyak. Engkus benar, kau memang akan menjelma wanita yang beruang di pulau ini, tapi perihal bekerja sebagai tukang cuci di pertambangan tidak sepenuhnya benar. Tapi mencuci air eluhan pekat para pekerja tambang yang belepotan di tubuhmu minimal setiap tiga hari sekali, memang benar.
“Engkus sudah menjual ikam10, larang11. Mahal tahulah!”
Itu kalimat dengan nada dan ekspresi kasar yang kau terima dari Acil Ikis saat kau meronta dan meraung-raung, menolak untuk pertama kalinya saat akan dipakai oleh lelaki pengunjung barak itu.
Kau syok, perihnya selangkanganmu untuk pertamakalinya pada malam itu bercampur baur dengan perih di hatimu. Ponsel yang dulu sebelum berangkat dibelikan oleh Engkus setan itu dan dompet berisi identitasmu juga raib dari tasmu. Dasar manusia licik kau Engkus, teriakmu dalam hati.
“Aku juga dulu begitu, mbak e. Dua tahun yang lalu aku diajak olehnya dari Surabaya. Aku kira Engkus memang mencari mangsanya ke setiap daerah khususnya dari Pulau Jawa untuk dia jual ke tempat ini, agar kita tidak tahu seluk beluk barak yang ada di dalam hutan antah berantah ini.”
Pengakuan itu kau terima dari Retno, teman seruangan denganmu, wanita hitam manis berdarah Jawa yang sejak itu senasib denganmu. Tapi menurutnya, kini dia hanya bisa pasrah. Kabur dari sini sudah tidak mungkin, mata-mata Acil Ikis ada di mana-mana. Betapa tempat ini sudah sangat dikenal. Tidak ada wanita yang bisa keluar dari tempat ini.
“Nanti, kalau kita sudah tua, tidak cantik dan tidak payu lagi, baru Acil Ikis akan membuang kita seperti sampah. Dia baru akan menyerahkan identitas dan mengusir kita dari barak ini.”
“Apa tidak ada yang pernah melapor?”
Dia malah tersenyum cuka mendengar pertanyaanmu.
“Aku pikir, mereka sulit menolak sogokan tidur dengan wanita yang diinginkannya kapanpun mereka kepingin di tempat ini. Apalagi tidak semuanya wanita yang ada di barak ini berpikir sama seperti kita.”
Isakan ketidakberdayaanmu semakin menjadi-jadi. Sejak saat itu, perjalanan yang telah kau lakukan menuju pulau yang kau harapkan dapat memberi cahaya gemerlap dalam kehidupanmu, seketika itu juga malah menjadi semakin gelap. 
Kau membayangkan, bagaimana Engkus pulang ke Tasik dengan membawa bermacam-macam kabar. Lelaki keparat itu tentu akan merangkai kata sesuka lidahnya mengenai dirimu di sini kepada ibu dan orang-orang kampung.
Mungkin saja dia akan mengatakan kepada mereka, bahwa kau telah menikah dengan jutawan Kalimantan dan tidak mau kembali lagi ke kampung halaman. Atau dia akan berkata, kalau kau telah menjadi istri simpanan seorang pengusaha batubara dan hidup mewah dan tidak mau mengenalnya lagi. Atau dia akan mengatakan bahwa kau telah menjadi…ah, menjadi pelacur. Awas kau Engkus! Hardik hatimu. Kau hanya bisa melinangkan air mata yang sudah terlampau sakit.

***

Malam ini kau sudah merencanakannya kembali. Kau akan mengulang perjalanan malam itu lagi, meski sendiri dengan diam-diam dari jangkauan mata penghuni barak. Ini untuk sekian kalinya kau mencoba menerobos malam. Semoga saja tak pernah tertangkap lagi oleh Amat Kucik dan teman-temannya, tangan kanan Acil Ikis itu. Sungguh jika itu terjadi lagi, siksaan dan permainan mereka begitu menyakitkan dan kasar seperti binatang. Tapi ini sudah tahun keempat dari kisah perjalananmu, kau begitu merindukan ibumu.
“Nyai!” suara Acil Ikis tiba-tiba terdengar dari balik pintu ruanganmu, membuat kegugupanmu bertambah yang masih berada di dalam kamar dan bersiap-siap dengan tas kecil sesak berisi uang.
“Nyai, ini ada tamu! Pak Alfi datang, nah!”
Kaulirik jam tanganmu, tepat pukul dua dini hari. Kau mengendus, lelaki tua bangka itu datang di waktu selarut ini hanya untuk urusan selangkangan. Tapi, kau tak perduli, lewat pintu dapur dan hutan belakang barak kau akan mencoba kembali meninggalkan tempat gelap ini. Jam-jam seperti ini biasanya Amat Kucik dan teman-temannya tengah teler di warung tempat mereka berjaga.
Kau mulai menyeberangi sungai yang alirannya hanya sebatas betismu. Dingin. Kau sengaja memakai celana panjang agar mudah bergerak. Sedangkan sandal, kaupegang dengan tangan kirimu.
Sementara itu, Acil Ikis semakin kencang memanggil-manggil namamu sembari terus menggedor-gedor pintu ruanganmu. Rupanya Retno tidur mati, setelah semalaman suntuk bergelut dengan lelaki langganannya, sampai-sampai tak terusik oleh teriakan dan gedoran Acil Ikis.
“Heh…Siapa itu!”
Langkahmu tiba-tiba terhenti saat baru saja berhasil menyeberangi sungai itu. Kau kenal kalau suara itu adalah milik Uncit, anak buah Amat Kucik, tapi kau tak dapat menjangkaunya, karena wajahmu tersiram cahaya senter.
“Nyai, handak ka mana, ikam? Heh, jangan bukah!12”
Samar-samar, sumber suara itu bergerak. Kau terus menambah kecepatan langkahmu menerobos hutan itu. Kau bahkan tak perduli lagi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan menimpamu setelah perjalanan malam ini. Yang berkeliaran di dalam pikiranmu saat ini hanya satu, yaitu wajah ibumu. 

Kotabaru, 01-09 Januari 2016

Keterangan Bahasa Sunda & Banjar:
1) Bibi
2) Ibu
3) Paman
4) Ayah
5) Kak/Kakak
6) Tante
7) ”Cantik kok”
8) Anjing
9) Babi
10) Kamu
11) Mahal
12) ”Nyai, mau ke mana, kau! Heh, jangan lari!”


Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 17 Januari 2016

0 komentar: