Cerpen Asep Fauzi: Hanya Mega-mega
Biasanya mega-mega itu hanya terlihat tengah berdesakkan dan berkejar-kejaran di pucuk Bukit Sebatung yang akhir-akhir ini lebih sering kau lihat dari beranda rumah kontrakkanmu. Sebelum akhirnya kau akan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu melamun, berlama-lama di sana. Meskipun tetap saja kumismu kian subur bak belantara lantaran tidak pernah kau cukur.Akhir-akhir ini, kau lebih sering mengingat kejadian malam itu. Tepatnya, kata-kata dari ayah mantan calon istrimu, “Ada yang lebih siap menikahi, Lili. Semoga kamu bisa mengerti! Karena dalam keluarga kami, jika sebuah rencana sudah tersiar, pantang untuk menunda apalagi membatalkannya. Hal itu hanya akan mencoreng kehormatan keluarga besar kami. Sedangkan kamu, belum juga siap uang jujurannya.”
Kini, mega-mega menaungi hatimu. Namun, bukan berarti juga membuatmu kepingin mendendangkan lagu yang terdapat kata ‘mega’ di liriknya, yang telah lama menjadi kebanggaan kotamu. Kotabaru gunungnya bamega /bamega ombak menampur di sala karang /ombak manampur di sala karang….*
***
Pukul setengah sembilan pagi, engkau sudah siap. Tubuh gempalmu engkau balut dengan baju batik lengan pendek khas Kotabaru yang bercorak Ikan Todak berwarna emas.
Hari ini, kau memang sengaja tidak hadir ke sekolah, karena telah mendapatkan izin dari Kepala Sekolah untuk mendampingi Alam, anak didikmu, untuk mengikuti lomba menggambar motif batik khas Kotabaru yang diadakan oleh Tim Penggerak PKK bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Setelah menjemput Alam di rumahnya, kalian lantas menuju Taman Siring Laut. Sesampainya di sana, kau memarkir motor matic biru-mu, lalu melangkah menuju tenda yang telah didirikan oleh penyelenggara, tempat acara pelaksanaan lomba.
Kau mengenduskan kegeramanmu. Perkiraanmu tepat, acara memang belum siap untuk dimulai. Padahal, waktu sepuluh menit lagi sudah akan menuju ke pukul sembilan, itu waktu yang tertera di dalam undangan. Meskipun sebenarnya kau paham betul, sudah dapat dipastikan acara semacam ini akan molor. Apalagi, kegiatan ini diadakan oleh organisasi binaan Ibu Pejabat dan akan dibuka langsung oleh pimpinan daerah. Sudah barang tentu akan terjadi acara tambahan, yaitu menunggu para pejabat itu datang.
Mungkin dapat dikatakan, sebuah acara tidak akan segera dimulai, sebelum mereka itu datang. Mungkin saja. Bahkan sangat mungkin. Lalu biasanya mereka akan datang dengan memasang wajah bangga telah ditunggu. Tidak akan ada wajah merasa bersalah sama sakali, sedikit pun.
Di sekitaran panggung, para panitia berseragam kaos biru terlihat tengah sibuk mempersiapkan untuk lomba menggambar ini atau hanya sekadar bergaya di depan kamera dan cekikikan melihat hasilnya.
Kau sapu lagi sekelilingmu, baru ada beberapa kelompok siswa dari sekolah menengah pertama dan menengah atas. Mungkin memang engkau saja yang membawa satu anak didikmu mengikuti lomba ini. Karena kau sedikit kesal juga dengan kepala sekolah, prihal surat undangan lomba yang baru dua hari yang lalu diserahkannya kepadamu. Alhasil, kau hanya dapat menyiapkan Alam untuk mengikutinya. Itu pun hanya beberapa kali saja kau melatihnya.
Meja dan kursi untuk peserta lomba maupun tamu undangan telah tersusun rapi di bawah tenda berwarna krim itu. Kursi dan meja khusus peserta dan pendamping juga sudah disediakan. Letaknya lebih jauh dari kursi-kursi undangan khusus pejabat dan orang-orang penting lainnya. Lebih dekat dengan laut. Mungkin agar peserta lebih nyaman berekspresi dengan pemandangan dan hembusan angin laut, pikirmu. Beberapa lelaki tegap berseragam dan berkacamata hitam, berdiri di sisi kanan panggung. Kau bingung, siapa mereka? Adakah orang penting yang telah hadir di sini dan sepagi ini? Di parkiran tadi, kau memang sempat melihat mobil ber-plat merah.
Kau tak acuh. Andai saja di zaman ini, ada pejabat atau pemimpin yang memikili sikap dan prilaku layaknya pemimpin di zaman nabi terakhir dulu. Ah, selalu saja anganmu mengarah ke sana saat terpikir atau membahas tentang pemimpin.
Alam meminta izin kepadamu untuk membeli air minum. Mungkin dia juga sama sepertimu, bosan menunggu acara itu dimulai.
Saat kau merasa bingung apa yang mesti dilakukan saat menunggu, selain membuka puluhan SMS dari mantan calon istrimu yang tidak pernah kau hapus sejak beberapa minggu yang lalu, kau lihat, ada lelaki berperawakan tambun tengah duduk di kursi tamu undangan, di barisan ketiga. Tanpa babibu, kau hampiri saja lelaki itu, setidaknya bisa kau ajak ngobrol untuk mengusir suntuk, pikirmu.
Lelaki itu tengah sibuk dengan koran lokal di tangannya. Kau lantas duduk di sampingnya sembari berkata, “Molor ya, Pak? Budaya yang telah mendarah daging. Selalu saja begini. Meskipun begitu, saya selalu berusaha untuk datang tepat waktu. Ah, saya ini, seperti baru saja hidup di negeri ini!” Kau mengatakan hal itu sambil tersenyum, tanpa memperhatikan wajah lelaki yang juga masih asyik melipat koran yang dibacanya itu karena kehadiranmu.
“Bapak ngajak ngobrol saya? Iya, Pak. Padahal saya sudah datang setengah jam yang lalu, dari waktu yang tertera di dalam undangan.”
Kau tengok wajah lelaki yang tengah melipat korannya itu. Jantungmu seakan terjatuh. Kau memicingkan kedua matamu. Menguceknya dua kali. Berusaha meyakinkan diri, dengan apa yang sedang kau lihat itu. “Eh, Bapak. Mohon maaf, Pak. Saya kira tadi Bapak juga guru yang mendampingi anak-anak berlomba. Duh, maafkan saya, Pak! Maaf! Bagaimana ini!” Kau kalang kabut menutupi perasaan malumu, karena yang kau ajak bicara ternyata tidak lain adalah orang nomor satu di kota ini.
Empat lelaki tegap yang tadi kau lihat tengah berdiri di dekat panggung, kini menghampiri kalian. Sepertinya curiga, sesuatu telah terjadi. “Mohon maaf, ada apa, Pak?” tanya salah satu di antara mereka yang tentu saja ditujukan kepada lelaki yang berada di sampingmu.
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Kalian silakan jika ingin istirahat! Saya sedang mengobrol dengan Bapak ini.” Lalu mereka kembali mohon diri. “Kita tunggu dulu peserta yang lain datang, ya, Pak. Baru kita minta kepada panitia untuk segera memulai acaranya,” kata pemimpin itu.
“I…iya, Pak. Iya.” Kau tentu saja masih kikuk. Kau sungguh tidak enak dan tidak habis pikir. Kenapa juga Bupati ini duduk di kursi seperti ini? Biasanya para pejabat dikhususnya duduk di kursi paling depan. Bukan di kursi plastik seperti ini. Dan dia bilang, bahwa dia telah tiba setengah jam yang lalu, sebelum waktu yang telah ditentukan oleh panitia. Ah, mana mungkin! Tepismu, belum sepenuhnya percaya.
Dia pun mulai mengajakmu berbincang. Mulai dari perihal tempatmu saat ini mengajar, hingga menanyai tempat tinggalmu. Oh, kau mulai takjub. Sungguh, baru kali ini kau berbincang dengan pimpinan kabupaten ini, di usiamu yang telah menginjak ke dua puluh tujuh itu.
Sebelumnya kau hanya sempat berjabatan tangan saja dengan para pejabat. Itu juga hanya sesekali, dan jika beruntung dapat mendekatinya di beberapa acara. Selama ini, pejabat mana juga yang mau berbincang dengan seorang guru honor seperti dirimu itu.
Di tengah obrolah kalian, kepalamu masih saja disesaki oleh tanda tanya, apakah ini nyata? Begitu santainya pemimpin ini saat berbincang denganmu, seakan tanpa sekat. Bukan begitu yang selama ini yang kau rasakan?
“Apa masukan Pak Akbar, khususnya untuk dunia pendidikan di kabupaten kita ini, Pak?” Tiba-tiba pimpinan itu memasang wajah sedikit serius daripada sebelumnya.
“Emm…. Bapak sungguh-sungguh mau mendengar pendapat saya, Pak?” jawabmu. Pimpinan itu mengangguk sembari tersenyum, lalu mempersilakanmu bicara.
“Mohon maaf sebelumnya, ya, Pak. Kalau menurut saya, berharap agar pengontrolan lebih ditekankan lagi, Pak. Jangan sampai di kabupaten kita ini masih ada sekolah yang kekurangan guru, khususnya di sekolah-sekolah pelosok. Jangan sampai ada pegawai negeri yang memang ditugaskan di pelosok-pelosok itu, dengan mudahnya mengajukan pindah ke daerah kota, hanya dengan jangka waktu beberapa bulan bertugas.
Selain itu, Bapak juga tentu telah mengetahuinya, bahwa ada sekolah menengah swasta di tengah-tengah kota kabupaten ini yang dalam waktu dekat akan tutup. Tinggal menunggu selesai ujian saja, maka sekolah itu akan tutup karena masalah kekurangan siswa. Hal ini-kan seharusnya dikontrol dan diatur oleh dinas terkait. Agar setiap sekolah memiliki batas maksimum penerimaan siswa. Sehingga sekolah-sekolah yang memang dianggap kurang dan tidak diminati oleh masyarakat, mau tidak mau jika sudah tidak ada peluang di sekolah-sekolah yang mereka minati, akhirnya masuk juga ke sekolah tersebut, atas rekomendasi pemerintah tentunya.”
“Jadi, itu yang saat ini Anda harapkan, Pak? Baiklah, terima kasih, Pak Akbar! Nanti saya akan evaluasi permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan pendidikan di kabupaten kita itu.
Memang saat ini, saya juga tengah melakukan terobosan-terobosan baru di sektor pendidikan ini, insya Allah. Terutama bagaimana agar sistim pendidikan kita tidak hanya berpacu kepada angka-angka saja, Pak Akbar. Tetapi kepada kualitas, terutama akhlak.
Saat ini, mindset anak-anak negeri ini, bahwa sekolah hanya untuk mencari pekerjaan yang baik. Orang tua baru menganggap anaknya cerdas saat Matematika-nya mendapat nilai tinggi. Menganggap seseorang sukses saat ia bekerja dengan mengenakan baju seragam. Terima kasih sekali lagi, Pak Akbar, atas masukannya!”
Kau menganguk dua kali, sembari mengucapkan ‘iya’ juga dua kali. Lega rasanya dadamu. Selama ini, berbicara tentang pendidikan hanya mentok dengan rekan-rekanmu sesama guru saja di sekolah, atau mengeluh di media sosial.
“Mohon maaf, Bapak. Mari silakan duduknya di depan! Acara akan segera kita mulai.” Seorang pembawa acara bersama seorang yang sepertinya ajudan pimpinan itu mendekati kalian.
Para peserta dan undangan yang lain ternyata telah ramai berdatangan. Kau tidak terlalu menyadari hal ini karena asyiknya berbincang dengan pimpinan itu. Mereka juga ada yang tidak sadar keberadaan pimpinan itu di dekatmu dan ikut heran, mengapa pemimpin itu duduk di barisan ke tiga kursi undangan.
“Iya, segera dimulai. Ini sudah ngaret dua puluh menit. Biar saya duduk di sini saja. Mudah saja jika sambutan, saya akan maju dari sini. Oke.”
“Iya…iya, Pak!” Mereka terlihat bingung. Kau juga semakin merasa aneh, tetapi senang juga ada seorang pemimpin macam ini.
Kau kembali hempaskan pandanganmu. Ini nyata. Kapal-kapal nelayan terlihat jelas dari tempatmu duduk. Taman Siring Laut yang sudah lumayan berbenah pembangunannya sebagai pusat di wisata dalam kota ini, akibat beberapa tahun yang lalu pernah menjadi tuan rumah perhelatan akbar, Hari Nusantara.
Tatanannya telah jelas, di sebelah kanan di pusatkan untuk sarana bermain dan bersantai pengunjung dengan tulisan ‘Siring Laut Kotabaru’ yang keemas-emasan. Sedangkan di sebelah kiri, tempat para penjual kaki lima menjajakan dagangannya dan juga penjual kuliner dengan tulisan besar ‘Wisata Kuliner’.
“Hadirin yang saya hormati. Saya tidak akan berlama-lama memberikan sambutan ini. Karena dulu juga saya tidak pernah suka mendengar para pejabat yang terlalu banyak bicara. Apalagi hanya membangga-banggakan diri sendiri dan sekadar ingin ditepuktangani.” Riuh, suara yang berhadir. Merasa heran, namun juga setuju.
“Oleh karena itu. saya ucapkan selamat berlomba kepada para peserta. Bersainglah secara sportif! Dan nantinya, bagi yang belum berkesempatan menjadi pemenang, jangan berkecil hati. Masih banyak di kesempatan yang lain untuk meraihnya.
Baiklah, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, lomba menggambar motif batik khas Kotabaru tingkat sekolah menengah dan umum, dengan ini….
Mohon maaf, sebentar. Saya harap, nanti, tidak perlu berlebihan bertepuk tangan untuk pejabat macam saya. Hadirin sekalian-lah, anak-anakku peserta lomba yang luar biasa yang seharusnya diberikan penghargaan. Sebagai pemimpin, saya yang seharusnya menghormati dan melayani hadirin sebagai pemberi amanah.
Baik saya ulang. Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, lomba menggambar motif batik khas Kotabaru tingkat sekolah menengah dan umum, dengan ini resmi dibuka.”
Semua yang hadir terpana sekaligus heran dengan pemimpin yang baru dilantik dua bulan yang lalu itu. Raut wajah-wajah itu kini bermekaran, menyeruakkan aroma kekaguman kepadanya. Meskipun telah dimohon untuk tidak melakukannya, tepuk tanganmu dan tamu lainnya menggema tidak tertahankan. Malah tepuk tangan itu dilakukan sembari berdiri, karena terlampau kagum dengan kerendahan hati pemimpin itu. Kamera televisi lokal pun seakan tak henti-hentinya menyuting semua itu.
***
“Pak…Bapak. Lombanya sudah mau dimulai, Pak. Huh, jam sebelas ternyata baru dimulai!” Kau tersadar oleh suara Alam yang terdengar kesal. Dia menyentuh lembut lenganmu sebelah kanan. Ternyata kau tertidur di meja peserta lomba itu. Kau kedip-kedipkan matamu yang lengket. Kepalamu terasa amat berat.
Sejak mendengar kata-kata ayah mantan calon istrimu malam itu, kau memang tidak pernah lagi tidur pulas. Mungkin lebih tepatnya tidak pernah lagi tidur. Hanya melamun di atas sajadah dan memandangi cincin seberat dua gram yang dikembalikannya tempo hari, yang dulu kau berikan saat melamarnya bersama ayah dan ibumu.
Mata para pendamping lainnya yang duduk di dekatmu, memandangmu dengan tatapan aneh. Bisa-bisanya tidur ditempat riuh seperti ini, pikir mereka. “Habis begadang ya, Pak, tadi malam?” kata salah satu di antara mereka sembari tertawa kecil. Kau hanya menanggapinya dengan senyuman yang kau paksakan.
Kau protes kepada Alam, mengapa juga dia tidak membangunkanmu sejak tadi. Semakin membuatmu terlihat kacau saja. “Maaf, Pak. Bapak terlihat kusut dan ngantuk sekali. Makanya Alam tidak tega membangunkan Bapak.”
Ternyata mega-mega yang berkumpul di hatimu semakin bertambah, membuat hatimu lebih sensitif, termasuk tentang pemimpin yang tadi sempat membuatmu takjub sekaligus bangga, yang ternyata juga hanya mega-mega. Padahal awalnya, engkau hanya kesal dan terlalu benci dengan tradisi tidak tepat waktu, termasuk dalam acara lomba itu, karena menunggu undangan pejabat yang sok merasa penting.
Ponselmu bergetar. Segera kau mengeceknya. Sebuah pesan. Kau pikir, siapa tahu itu dari mantan calon istrimu yang mengabarkan perubahan sikap ayahnya yang telah memperlakukanmu sedemikian mengenaskannya.
Tebakkanmu kali ini benar, Akbar. Pesan yang masuk memang darinya. Pesan itu dimulai dengan salam. Pesan yang panjang, eluhmu. Isinya memuat hari, tanggal, waktu, dan tempat pelaksanaan sebuah acara. Entah apa, kau tak sanggup menyelesaikannya, menapaki kata demi kata dari pesan darinya itu. Karena matamu, kini juga telah tertutup mega. Ya, hanya mega-mega.
Kotabaru, 20-26 Maret 2016
Keterangan:
*Lirik lagu Paris Barantai Ciptaan H. Anang Ardiansyah
Sumber:
Radar Surabaya, Minggu 03 Juli 2016
0 komentar: