Cerpen Asep Fauzi: Merah Putih di Langit Bungkukan

06.45 Zian 0 Comments

“Serang!!!”
Seruanmu menggelegar, memecah pagi yang masih buta kala itu, Hasan Basri. Lalu suaramu itu membakar dada para pemuda Bungkukan yang hampir tiga bulan ini kau sulut sedikit demi sedikit untuk melawan polisi perintis Belanda yang masih melancarkan penjajahan mereka. Padahal kemerdekaan Indonesia telah diploklamirkan tiga tahun sebelumnya.
Tanganmu dengan piawai menyabetkan parang kecil yang kau pinjam dari salah satu warga kepada penjajah-penjajah itu tanpa memberikan kesempatan kepada mereka menarik pelatuk senjatanya. Handuk yang warnanya telah memudar mengikat kepalamu yang kokoh itu bersimbah peluh luapan semangat.
Timpas!”
Cucuk!”
Cancang!”
Lailahaillallah!”
Allahu akbar!”
Sedangkan suara lantang itu, yang seakan melahap habis rasa gentar para penyerang yang lain, seperti jilatan api yang dilempari jerami dan ranting kering itu adalah milik temanmu, Damanhuri. Suara berwarna merah putih itu berkobar-kobar di langit Bungkukan 13 November 1948.

***


Ini adalah hari keempat dari perjalananmu dari Hulu Sungai Selatan melalui jalan setapak menuju Bungkukan. Kau dengan sahabatmu Damanhuri, hanya berbekal merah putih di dada kalian. Kalian akhirnya sampai juga di desa itu. Desa yang tidak lama lagi akan kalian pudarkan warna abu-abu dan hitam yang menyelimuti wilayah ini.
Sebenarnya kau tidak terlalu perihatin dengan kedua warna gelap ini, karena saat itu hampir di seluruh bumi pertiwi memang masih berwarna demikian. Yang memperihatinkan adalah abu-abu dan hitam itu masih menjadi makanan empuk bagi pemilik warna merah putih biru.
Saat itu, para pemudanya hanya sibuk dengan saling adu otot dan ketangkasan sesama pemuda sewilayah. Apalagi jika permasalahannya adalah bersentuhan dengan gadis desa. Mata dan tempurung otak mereka masih gelap, abu-abu dan hitam oleh rimba.
Sedangkan para orang tuanya, di masa itu masih sibuk dengan pekerjaan untuk bertahan hidup. Kemiskinan masih menjadi sebuah warisan setiap generasi waktu itu. Padahal hasil bumi cukup melimpah; padi, lada, nira, kayu ulin, pisang. Namun karena mereka tak tahu angka dan aksara, semuanya menjadi hitam dan abu-abu. Warta tentang kemerdekaan bumi pertiwi terlambat singgah ke telinga mereka yang masih di kelilingi oleh hutan yang rata-rata perawan.
Padahal sebenarnya hidup mereka tenang-tenang saja. Sehat karena kealamian. Kekar karena kekerasan hidup dan bakaran terik ladang dan pahumaan. Mereka menyatu dengan alam. Akrab dengan kabar yang dibawa siulan angin, kepakan indah sayap kupu-kupu yang masuk ke dalam rumah, nyanyian burung gagak dan hantu, suara keresahan bangkui dan bakantan, rengekan rusa, dan melolongan anjing. Hingga pada akhirnya, suasana warna abu-abu dan hitam yang tetap dinikmati itu, dirobek-robek oleh orang-orang yang telah lebih dulu bermandikan pelangi. Warna yang lengkap tanpa abu-abu dan hitam. Mereka membawa merah, putih, dan biru agar rakyat Bungkukan mau mengunyahnya bulat-bulat. Padahal mereka tidak suka. Naluri mereka tidak dapat menerima dengan ketiga warna itu yang beraroma penindasan. Dan itu pulalah yang menjadi alasanmu, Hasan Basri dan sahabatmu itu berada di Bungkukan. Membawa warna yang lebih manusiawi!

***

Suasana di tahun 1948 memang masih kritis. Kau menyadari hal itu Hasan Basri, saat kau mendengar kabar bahwa polisi perintis Belanda masih menguasai jajahan mereka di wilayah yang dekat dengan perbatasan bagian timur di Kalimantan itu. Jiwa patriot dan solidaritas mendorongmu untuk menghentikan warna itu yang sudah kian mengerat dan meracuni warna abu-abu dan hitam mereka yang jujur dan lugu. Ini saatnya mengajak warga untuk bangkit, menguasai kembali wilayah Indonesia khususunya Kalimantan Selatan, tekadmu.
“Kami sengaja datang dari Kandangan, menempuh empat hari perjalanan, hanya untuk menemui buhan pian!”
Itu kalimat pertama yang kau ucapkan dengan pelan namun tegas, Hasan Basri, di depan enam pemuda Bungkukan yang duduk bersila di rumah Basyir dan ayahnya, pembuat gula aren, tempat kalian menginap itu. Kalian tentu khawatir para tamu tak diundang pembawa warna merah putih biru akan mencium revolusi fisik yang baru akan kalian rencanakan itu.
Awalnya memang agak sulit mengumpulkan mereka dalam suasana desa yang sudah mulai diwabahi racun merah putih biru itu. Hari-hari mereka penuh amarah sekaligus ketidakberdayaan terhadap ketiga warna yang andalannya adalah senjata api itu.
“Sampai kapan buhan pian mau diperbudak di banua sorang? Mereka itu hanya mengeruk hasil bumi; sahang dan tenaga buhan pian haja, yang akan mereka angkut habis ke negara mereka. Negera kita sudah merdeka. Kita jangan mau terus ditindas oleh mereka. Buhan pian harus berani melawan seperti masyarakat di pulau-pulau lain yang sudah bersatu mengusir mereka!” Damanhuri menambahkan kata-katamu.
Kalian menawarkan warna yang lebih suci, mempertahankan hak, dengan mengerahkan seluruh keberanian untuk  menjunjung harga diri banua. Ya, warna merah yang paling berani, putih yang paling suci.
Para pemuda itu lambat laun terkesan dengan warna merah putih yang dibawa olehmu dan sahabatmu itu, Hasan Basri. Dada mereka bergemuruh. Mereka saling berpandangan. Terlihat berpikir. Dan pada akhirnya kedua warna itu berkilat-kilat di mata mereka.
“Kalau buhan pian sepakat, besok pagi ajak semua pemuda di wilayah ini. Kita baatur untuk menyerang dan mengusir Belanda itu! Tapi jangan di rumah ini lagi. Bahaya! Adakah tempat yang lebih rahasia?” katamu. Semangatmu juga telah menggunung-gunung, Hasan Basri, saat melihat bahwa warna merah putih itu telah kian menyala di mata mereka, di antara gelapnya rumah Basyir yang memang semua pintu dan jendelanya ditutup rapat.

***

Pada akhirnya, kau dan para pemuda Bungkukan sepakat melakukan pertemuan di Goa Gunung Cermin. Tempat yang menurut mereka belum pernah diketahui oleh manusia bermata biru pemilik racun merah putih dan biru itu. Karena letaknya memang di balik gunung-gunung batu kapur yang banyak berdiri di wilayah ini.
Dua minggu pertama kalian menyiapkan senjata yang akan kalian gunakan untuk misi kalian itu. Ada yang menyiapkan parang dan mandau, maka dilibatkanlah warga yang piawai dalam hal pandai besi. Sebagian ada yang menyiapkan panah. Dan ada pula yang menyiapkan tombak dan bambu-bambu pilihan yang diruncingkan.
Mulanya, para pemuda itu menyanksikan bahwa senjata-senjata yang telah rampung mereka buat itu akan mampu menerjang senjata serdadu-serdadu Belanda yang lebih harat dan selalu membuat mereka takjub sekaligus gentar.
“Tidak ada yang tidak mungkin, buhannya ai. Kuncinya adalah kita harus cepat. Jangan berikan kesempatakn mereka untuk menggunakan senjata mereka!” begitu katamu, saat melihat warna merah putih di mata mereka, merahnya agak memudar. “Kalau kita yakin kita berada di pihak yang benar, maka Allah akan menolong kita, insya Allah. Yakinlah, Sanak! Meskipun mungkin kita pada akhirnya harus gugur, tapi kita sudah berusaha menegakkan hak kita di banua ini dari usaha penjajahan mereka selama ini,” lalu matamu menyapu wajah-wajah mereka.
Allahu akbar!” teriak salah satu dari mereka sambil mengangkat tangan yang mengepal, kemudian diikuti gemuruh semua yang hadir di goa itu mengagungkan nama-Nya. Kau lihat, Hasan Basri, merah putih di mata mereka kembali memekat.
Minggu-minggu selanjutnya kalian melakukan latihan fisik dan berlatih menggunakan senjata-senjata yang telah kalian buat sebulan sebelumnya. Kau membagi pasukan menjadi tiga bagian sesuai jenis senjata yang akan kalian gunakan. Bagian pertama yang menggunakan panah, dipimpin oleh Basyir, perwakilan dari pemuda wilayah itu. Sedang kau dan Damanhuri memimpin pasukan bersenjata parang, tombak dan bambu runcing. Hingga sebulan selanjutnya kalian telah siap. Perpaduan keyakinan dan harapan yang luhur, tubuh-tubuh kekar, senjata yang meyakinkan, strategi yang matang, dan tentu saja merah putih yang kini telah menyatu dengan nadi dan hela napas mereka.

***

Besok, pagi-pagi sekali kau dan Damanhuri harus kembali ke Hulu Sungai, sore itu kau sengaja menyusuri gunung-gunung batu kapur yang memesona berjejer gagah di hampir sebagian wilayah Bungkukan. Sekadar menghimpun bekal kenangan jika suatu saat kau merindukan tempat ini, pikirmu. Kurang lebih tiga bulan kau berada di wilayah ini, semata-mata membawa merah putih untuk warganya.
Kau hela napas dalam-dalam. Kau sangat bersyukur karena aroma merah putih telah menyatu dengan tempat itu. Di setiap udara yang kau lumat, ada harapan yang sebenarnya lebih mengkhawatirkanmu akan memudar, Hasan Basri, yang kemarin sore kau pidatokan kepada warga desa ini di akhir upacara pemakaman belasan pemuda yang gugur dalam penyerangan polisi perintis Belanda, “Saya berharap, kita sabarataan bersama-sama bisa menjaga semangat merah putih ini sampai kapanpun! Inti dari sebuah perjuangan adalah bukan semata-mata kemenangan. Namun, yang lebih penting adalah keyakinan, persatuan, dan proses menuju perjuangan itu sendiri. Mari, selalu kita wariskan ketiga pusaka itu kepada anak cucu kita, Dangsanak barataan!”

Kotabaru, 04-05 Agustus  2016

(Terinspirasi dari catatan perjalanan berjudul PerjalananSangMertua, 2010, Bungkukan Blogspot)

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu 14 Agustus 2016

0 komentar: