Cerpen Asep Fauzi: Atul

06.38 Zian 0 Comments

Kau selalu suka menghirup dalam-dalam bau laut, Atul. Mungkin, karena sejak kecil, kau sudah begitu akrab dengan hembusan dan deburannya. Daerah Kotabaru memang sebuah kepulauan. Hasil hamparan air asinnya menjadi andalan perekonomian bagi sebagian besar masyarakatnya. Tapi kali ini, kau tidak sedang menikmatinya di Taman Siring Laut, di Pantai Gedambaan, di Teluk Tamiang, atau di Gudang Ubur-Ubur Perikanan seperti masa-masa kecil hingga kau kuliah dulu.
Kau tengah berada di dalam kapal Ferry. Sudah hampir dua tahun ini, kau rutin melakukan penyeberangan menggunakan kapal ini setiap libur sekolah, dari Pelabuhan Stagen menuju Pelabuhan Tarjun dan sebaliknya, yang juga mengharuskan gadis berkerudung sepertimu untuk akrab dengan hutan dan ladang-ladang masyarakat Suku Dayak.
“Atul!”
Suara perempuan seketika memecah lamunanmu. Kau mencoba merayapi setiap wajah penumpang yang ada. Pagi minggu itu, penumpang memang terhitung lumayan banyak. Mungkin, karena mereka tak ingin bertemu siraman terik kemarau yang masih melanda Kotabaru, jika bepergian terlalu siang.
“Risma!” pekikmu. Akhirnya kau temukan juga wajah perempuan itu.

Setelah saling agak berteriak, kalian berpelukan. Dilanjutkan dengan saling bertanya kabar dan mengomentari penampilan masing-masing.
Lamak kayapa haja, mun sudah belaki ni tetap ai ada nang sayang.1”
Sebenarnya kau sedikit tersentil dengan jawaban temanmu itu’kan, Atul? Tetapi, kau berhasil menyembunyikannya dengan gelak tawamu. Setelah teman yang kau panggil Risma itu menunjuk posisi suami dan anaknya yang kira-kira sudah berumur tiga tahun yang tengah menikmati mi instan cup di sudut kapal yang lain. Setelah melempar senyum kepada keduanya, kau memilih kembali berbincang dengan Risma.
 Temanmu itu telah menikah saat menginjak semester ketujuh. Hal yang diidam-idamkan oleh sebagian teman-temanmu waktu itu. Supaya pas wisuda ada pasangannya, Atul. Begitu menurut beberapa dari mereka. Kau nyegir sendiri jika mengingatnya, Atul. Dan semenjak perayaan menggunakan topi toga itu, baru kali ini kalian kembali bertemu.
Ikam bekurus, kenapa? Di mana wayahini?2”
Di sini pang!3”
Kembali kau dan temanmu itu beradu tawa. Lalu kau ceritakan, bahwa saat ini kau tinggal dan mengajar di salah satu sekolah dasar yang ada di desa Magalau, sebuah desa di kecamatan Kelumpang Barat, yang masyarakatnya dominan bersuku Dayak.
Waninya ikam, Atul. Ikam lulusan terbaik, caka melamar di bank atawa perusahaan, nyata ganal gajih.4”
Kau tersenyum saja mendengar pernyataan temanmu itu. Ah, sebenarnya kau mengendus di dalam hati. Andai temanmu itu tahu, sebuah pengabdian tak dapat dilihat dari jarak dan gaji. Memang sangat jauh jika melihat jarak. Dari rumahmu yang berada di pusat kota kabupaten menuju kampung tempatmu mengajar, kau harus menempuh berpuluh-puluh kilo meter. Itu sebabnya, kau memutuskan untuk tinggal di kampung itu, Atul. Dan mengenai gaji, andai saja Risma mencicipi apa yang kau rasakan selama mengajar di sana. Betapa nikmat melihat wajah anak-anak yang matanya berbinar-binar penuh semangat karena keingintahuan mereka, serta gelak tawa mereka yang tak pernah menjenuhkan hati.
Memang di sekolah tempat kau mengajar itu, hanya ada lima guru termasuk kau. Kepala sekolah sudah masuk dalam jumlah itu. Hampir semua guru itu berasal dari kampung sebelah dan hanya satu orang berasal dari desa tersebut. Dan kau satu-satu guru yang berasal dari pusat kabupaten.
Awalnya, kau mengetahui tempat itu dari facebook. Ada salah satu teman jejaring sosialmu itu yang meng-upload keadaan sekolah di desa tersebut dengan jumlah guru yang terbatas. Merasa terpanggil, kau pun bertekad untuk mengajar di sana hingga saat ini, Atul.
Ikam pang di mana jua wayahini?5” Kali ini, kau yang bertanya, Atul.
Temanmu itu menguraikan, bahwa saat ini ia hanya beraktivitas di rumah. Menjadi ibu rumah tangga, kesibukannya hanya mengurus anak dan suami. Gaji honorer di sekolah tempat ia tinggal, terlampau parah untuk kebutuhan keluarganya. Bahkan, lagi-lagi karena alasan penghasilan, suaminya yang sebelumnya juga telah menghonor selama dua tahun di salah satu sekolah dasar, memutuskan untuk berhenti dan memilih menjadi satpam di salah satu perusahaan kelapa sawit. Ia katakan, bahwa menjadi seorang guru ternyata tidak menjanjikan. Sedangkan setiap penerimaan PNS, yang mendaftar ribuan, guru yang dibutuhkan tidak sampai dua puluh.
Dari mulut Risma pula kau tahu, bahwa Sukma, teman kalian yang paling pendiam di kelas kalian dulu, saat ini juga tidak memilih mengajar. Dia lebih mau bekerja sebagai pelayan toko ponsel di kota sebelah, karena gajinya di atas UMP.
Kau tercekat. Hampir saja kau mengelus dada mendengarnya, Atul.
Betapa kau beruntung memiliki orang tua yang sangat mengerti arti pengabdian. Mengingat ayahmu seorang pensiunan guru. Sehingga mereka tidak sedikit pun mengharapkan pemberian darimu, Atul. Meskipun, tetap saja jika hingga tiga atau sampai empat bulan, kau selalu menyisihkan sebagian dari honor mengajarmu itu untuk kedua orang tuamu.
Kau jadi ingat dengan Kak Darman. Kakak tingkat yang sangat kau kagumi dulu. Mahasiswa yang sangat aktif dalam kegiatan sosial dan organisasi di kampus yang memang menelurkan calon-calon guru itu. Saat kuliah, kakak tingkatmu itu sering menjadi panitia bahkan salah satu pembicara dalam kegiatan-kegiatan yang tentunya membahas tentang pendidikan dan keguruan.
Dia banyak bicara tentang pentingnya semangat menjadi seorang guru. Bahwa calon guru, bukan hanya siap secara keilmuan, tetapi juga mental. Harus memiliki komitmen yang tinggi dan kokoh. Karena menjadi seorang guru adalah pilihan, tapi bukan pilihan akhir dari sebuah profesi. Dan di akhir perjuangannya, dia memang layak menjadi wisudawan terbaik angkatannya waktu itu. Dia lulus dengan cumlaude, bahkan nyaris sempurna.
Tapi, kekagumanmu luruh, saat beberapa bulan kemudian tersiar kabar bahwa Darmansyah, kakak tingkat yang telah membakar semangatmu itu, yang sebelumnya telah menambah keyakinanmu bahwa guru memang pilihan hatimu. Bukan lantaran kampusnya yang dekat dengan rumah, atau alasan klasik lainnya. Kau dengar, bahwa Darmansyah memilih bekerja di salah satu bank swasta. Ah, apa yang sebenarnya terjadi? Padahal yang kau tahu, kehidupan keluarga kakak tingkatmu itu termasuk ekonomi menengah, jika memang itu yang menjadi alasan.
Sejak detik itu kau mulai resah dan bertanya-tanya dalam diam; jika hal ekonomi yang selalu menjadi alasan orang-orang lulusan pendidikan dan keguruan berkhianat terhadap profesi guru. Akankah ada generasi selanjutnya yang bercita-cita dengan tulus kepingin menjadi seorang guru?

***

Eh, pabila ni undangannya?6”
Akhirnya, pertanyaan yang seakan menjadi momok bagimu selama ini, kau dapatkan juga dari kawanmu itu, Atul. Prihal pertanyaan itu, sebenarnya kau juga sudah sangat ingin mengakhiri masa lajangmu. Kau sudah mencoba berikhtiar dengan cara berta’aruf bersama beberapa putera teman ayah dan ibu, atau beberapa teman kakakmu.
Sesungguhnya, bulan lalu sudah ada yang hampir menemui titik kecocokan antara kau dengan salah satu di antaranya. Lelaki itu bernama Fatur. Dia teman kakakmu yang bekerja di rumah sakit umum daerah.
“Jika kamu menjadi istriku, apakah kamu mau pindah mengajar ke kota? Atau berhenti sama sekali menjadi guru? Saya akan memenuhi kebutuhanmu! Atau kamu mau buka usaha kuliner atau pakaian di kota? Akan saya kasih modal!“
Sungguh, kau belum siap meninggalkan dunia pengabdianmu saat ini. Apalagi jika diminta untuk rela berhenti sama sekali.
Saat kapal telah menepi di Pelabuhan Tarjun, kau dan Risma saling mendadah. Motor metic-mu mulai menyusuri jalan perusahaan semen yang sebagian besar masih berbatu dan debunya yang tidak dapat diungkapkan dengan lisan. Apalagi saat kemarau sudah menginjak di bulan ke tiga seperti ini.
Kembali pikiranmu mengawang-awang, Atul. Banyak harapan yang sebenarnya masih kau gantungkan. Tentang anak-anak didikmu di pedalaman sana, pun tentang tumpuan harapan kepada calon pendamping hidupmu kelak yang kau harap bisa memahamimu dalam pengabdian ini.


Kotabaru, 27 Juli 2016


Keterangan:
1) Segemuk apapun, jika sudah bersuami tetap saja ada yang menyayangi.
2) Kamu kurusan, kenapa? Di mana sekarang?
3) Ya di sini!
4) Beraninya sekali kamu, Atul. Kamu lulusan terbaik, andai melamar di bank atau perusahaan, tentu gajinya lebih besar.
5) Kamu sendiri di mana sekarang?
6) Eh, kapan nih undangannya?

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu 31 Juli 2016

0 komentar: