Cerpen Asep Fauzi: Mantra Leluhur

01.32 Zian 0 Comments

Jagalah laut dan desa ini dengan mantra leluhur kita, Dekka!
Pesan itu kau sampaikan kepadaku Ayah, saat kau mempercayakan aku untuk mengucapkan mantra itu setiap tahun sekali dalam acara upacara adat di desa kita.
“Kau sudah cukup matang dengan usia duapuluh delapan tahun. Dan aku sudah tua.”
Itu alasanmu kala itu. Saat itu kau ajak aku ke dalam sebuah kamar khusus, dimana kau biasanya menyendiri sebelum acara upacara dilaksanakan. Lalu kau mengajarkan kepadaku bait-bait mantra berbahasa Bugis itu.
“Ruangan ini akan menjadi hakmu, dan kata Sandro otomatis akan bersandang di depan namamu Dekka, Sandro Dekka setelah nanti acara syukuran pengangkatanmu.”
Aku mengangguk sembari memamerkan senyum tanpa mengeluarkan sepatah kata pun mendengar wejanganmu kala itu. Aku hanya menatap lekat-lekat wajah rentamu yang sepekan ini telah sakit-sakitan, aku mencium aroma perpisahan di matamu, Ayah.
Dan benar saja, tepat sehari setelah upacara pengangkatanku menjadi pengucap kata-kata sakral itu, yang dihadiri oleh tokoh masyarakat desa dan tokoh-tokoh kabupaten, kau untuk terakhir kalinya menghela napas.

***


Malam sudah merayap di setiap lekuk desa. Desa ini telah ramai sejak tiga minggu yang lalu. Desa yang beruntung karena memiliki pantai yang indah, sehingga pemerintah daerah mengkombinasikan upacara adat yang setiap tahun dilaksanakan dengan pantai sebagai wisata yang dapat menarik wisatawan yang akan menikmati setiap pahatan keindahan pantainya.
Belum lagi para pedagang dari berbagai daerah yang menjual pakaian, aksesoris, hingga isi perabotan rumah akan ikut mengais rezeki di acara tahunan ini, berbagai acara perlombaan dan pameran pembangunan daerah juga disuguhkan dalam rangkaian pesta laut ini.
Ayah, aku yakin kau tentu melihat dari kejauhan sana, bagaimana aku telah dengan baik menjaga desa kita dengan mantra dari leluhur kita yang telah turun-temurun itu. Selama tiga tahun berjalan sepeninggalmu, desa kita tetap aman, tidak ada penyakit yang mewabah, masayarakat sejahtera dengan tangkapan hasil laut yang melimpah dan tentunya tidak ada yang celaka di lautan sana saat mereka menangkap isi perut laut.
Tapi ayah, dua hari yang lalu Andi datang menemuiku. Iya, aku memang sedikit kurang akrab dengannya Ayah, kau kan tahu dia hasil dari wanita yang kau jadikan istri keduamu.
Kau tahu apa maksud dia menemuiku? Dia memintaku melepaskan gelar Sandro ini Ayah, padahal aku masih mampu, lihat aku masih sehat dan usiaku pun belum genap empat puluh lima tahun, itu kan syarat dari leluhur kita?
“Aku tahu, saat ini bayaran dari Bupati sangat besar bukan? Sehingga kau tidak ingin aku menggantikanmu memimpin upacara pemberian makan laut ini? Kau serakah, Dekka!”
“Tidak, bukan begitu. Kau kan tahu Andi, usiaku masih tiga puluh satu, berarti aku belum dapat menyerahkan tanggung jawab ini kepadamu atau bahkan kepada keturunanku sendiri.”
Ah, sudahlah, kau tidak perlu berkilah, anggap saja ini sebagai perubahan kecil-kecilan, agar adil. Jika aku menunggumu berusia empat puluh lima, berarti aku tidak memiliki kesempatan untuk menjadi Sandro, kau lupa usia kita hanya terpaut beberapa bulan?”
Aku membisu. Kau tahukan betapa kerasnya watak Andi. Apalagi dia datang bersama panitia pergelaran upacara adat dari kabupaten. Mereka memang katanya hadir sebagai penengah, tapi seakan berpihak kepadanya. Aku tak dapat berbuat apa-apa Ayah. Aku juga malu jika harus beradu urat dengan saudara sendiri, Ayah.
Akhirnya upacara pun dilaksanakan di rumahnya, Ayah. Selepas maghrib semua undangan telah berdatangan, semua bahan sudah tersedia, ada beras ketan yang diberi berbagai pewarna-kuning, merah, serta hitam dan putih, pisang Bugis, ayam kampung berbulu hitam serta berkaki kuning dan miniatur kapal pinisi tersedia di atas panggung kecil, bahan-bahan itulah yang besok akan dilarutkan ke lautan dari atas kapal.
Semua undangan tampak khusyu melihat Andi yang kini memimpin upacara. Aku hanya melihat semuanya dari kejauhan, karena aku sama sekali tidak diundangnya.

***

Hari pelarutan sesaji pun tiba. Seperti biasa, panggung utama pantai ini begitu sesak oleh para undangan dan terutama pengunjung, puluhan kapal berukuran sedang hingga besar yang sudah dihias sedemikian rupa telah memenuhi dermaga. Setelah acara seremonial di panggung utama pantai dipimpin oleh Bupati, semua rombongan menuju kapal untuk ikut melarutkan sesaji oleh Sandro. Semuanya riuh penuh suka cita menuju laut. Aku melihat semuanya dari belakang rumahku yang menjorok ke laut dan tak jauh dari dermaga.
Tapi ramai iring-iringan kapal itu tak lama, Ayah. Setiap kapal berlomba kembali menuju dermaga. Mereka panik,  anak-anak dan wanita menangis.
“Kapal Sandro… kapal Sandro diterjang ombak, kapalnya tenggelam, tolong!”
Sial! Apa kubilang, kenapa juga kau bersikeras dan tak mau menghafalkan mantranya, Andi?
Aku pontang-panting sambil bersumpah serapah. Lalu bergegas lari ke kapalku untuk menuju kericuhan di tengah laut sana.  Setidaknya ini yang dapat aku lakukan, sembari kurasakan bongkahan rasa bersalah di dalam dadaku kian membesar. Maafkan aku. Maafkan aku, Ayah.

Kotabaru, 8 Agustus 2014

Sumber:
Banjarmasin Post, Minggu, 4 Januari 2015

0 komentar: