Cerpen Zaidinoor: Makam

02.43 Zian 0 Comments

Mulanya hanya gundukan tanah biasa yang menjadi sarang anai-anai. Gundukan itu berada di atas tanah tak bertuan di tepi kampung. Namun setelah Anal, lelaki yang dianggap setengah gila itu mengalami suatu mimpi, tempat itu berubah.
Anal menceritakan kepada warga kampung bahwa dalam mimpinya tersebut ia didatangi lelaki tua berjubah putih. “Beliau bernama Datu Apik,” kata Anal suatu sore di warung kopi.
Orang-orang memang pernah mendengar nama itu. Datu Apik adalah seorang tokoh yang digdaya. Penyebar kebaikan. Selama hidupnya ia membaktikan diri membangun masyarakat, mengajarkan budi dan tentang saling berbagi kepada sesama. Namun selama ini mereka menganggap keberadaan Datu Apik hanya legenda yang diceritakan turun menurun. Toh selama ini tak ada yang bisa membuktikan bahwa sang Datu Pernah hidup.

Makamnya saja tak pernah ada, begitu pikir orang kampung.
Warga kampung tak begitu saja percaya dengan pengakuan Anal. Mereka menganggap kegilaan Anal sedang kumat. Meski tak ada yang percaya, cerita tentang makam sang Datu terlanjur menyebar. Di luar kampung, cerita itu tak hanya tentang mimpi Anal, tapi juga tentang cerita-cerita ajaib yang terjadi di gundukan tanah tersebut. Ada cerita tentang munculnya selarik sinar dari gundukan tanah itu yang memancar ke langit. Ada juga cerita tentang batu nisan yang muncul dengan sendirinya dari dalam tanah dan lain sebagainya.
Hingga suatu hari, kampung Anal didatangi seorang perempuan gemuk paro baya. Ia mengaku ingin ziarah ke makam Datu Apik. Katanya ia bernazar akan ziarah ke makam sang Datu apabila anaknya lulus Ujian Nasioanal dengan nilai tertinggi. Dan menurut perempuan itu , ternyata anaknya bisa lulus dengan nilai sempurna. Sekarang ia hendak menunaikan nazar tersebut. Di gundukan sarang anai-anai, ia menangis tersedu-sedu menyampaikan terima kasih kepada sang Datu.
Pada hari yang lain seorang lelaki berjas hitam dengan sedan mewah juga datang. Ia mengaku dari kota. Dulu ujarnya, sewaktu mencalonkan diri menjadi anggota dewan, ia bernazar akan ziarah ke makam Datu Apik jika terpilih nantinya. “Sekarang saya sudah terpilih. Karena itu saya ziarah ke makam beliau,” kata lelaki itu sewaktu menanyakan letak makam Datu Apik kepada orang-orang kampung di warung kopi.
Setelah kedatangan dua orang itu ke kampung mereka, warga mulai percaya dengan cerita Anal. Di gundukan anai-anai itu warga bergotong-royong membangun pemakamam yang layak. Di atas tanah itu mereka membuat kubah, meletakkan nisan dan membuat papan nama. Anal sendiri langsung diangkat sebagai kuncen makam itu.
Makin hari, kampung makin ramai dengan kedatangan orang yang ziarah ke makam itu. Warga kampung mendapat keuntungan. Mereka mendirikan warung-warung untuk peziarah yang belanja. Bagi yang tidak punya modal
mendirikan warung, sebagian mengubah halaman rumah mereka menjadi area parkir. Bahkan anak-anak bisa menambah uang saku mereka dengan menjual bunga kepada peziarah.
“Semua ini berkat Anal,” kata mereka.
Sejak menjadi kuncen, Anal seperti sembuh dari kegilaannya. Ia tak pernah lagi lalu lalang dengan telanjang. Ia juga tak pernah lagi menggerutu sendirian. Warga kampung tak lagi menganggap Anal gila, bahkan ada yang menganggap Anal adalah orang suci.
Makam itu sendiri bagi warga kampung adalah sebuah berkah. Setiap hari uang mengalir dengan sendirinya ke kampung mereka. Mereka tak perlu lagi berpanas-panasan menggarap sawah. Toh, uang mengalir dengan sendirinya ke kampung mereka. Lahan-lahan sawah pun terbengkalai.
Keadaan ini berlangsung untuk beberapa lama. Hingga suatu hari ada seorang lelaki yang mengaku keturunan langsung Datu Apik. Ia datang ke kampung dengan membawa beberapa bukti untuk menguatkan pengakuannya itu. Termasuk selembar kertas usang yang bertuliskan silsilah Datu Apik. Di hadapan Pembakal dan tokoh masyarakat ia menyatakan ingin membongkar makam itu dan memindahkannya ke kampung halamannya di luar propinsi.
“Saya tak bisa memutuskan untuk setuju atau tidak,” kata Pembakal.
“Jadi bagusnya bagaimana?,” tanya orang itu.
“Malam ini kita akan rapat dengan seluruh warga kampung,” jawab Pembakal.
Malamnya rapat langsung digelar di balai desa dengan menghadirkan orang yang mengaku keturunan Datu Apik tersebut. Setelah pembakal menjelaskan tentang rencana pemindahan makan itu, kontan seluruh yang berhadir menolak.
“Datu Apik adalah tetua kampung ini, dan dari dulu beliau sudah bermakam di sini,” kata seorang warga.
“Ya!,” kata yang lain. “kalau benar kenapa anda adalah pewaris sah Datu, kenapa tidak datang dari dulu?!,” sambungnya lagi.
“Atau hanya karena agar peziarah datang ke kampung anda dan kampung anda akan ramai seperti yang terjadi di kampung kami selama ini?,” kata Anal yang juga hadir.
“Kan peziarah pasti membawa uang untuk belanja,” sambung Anal lagi dengan nada polos.
“Jadi karena uang?!,” seru yang lain menghakimi. Mendengar ini, semua warga langsung berang. Suasana menjadi riuh. Mereka marah kepada lelaki itu. Untungnya Pembakal cepat menenangkan dan menutup rapat. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lelaki itu disuruh segera pulang oleh Pembakal. Namun sebelum pulang lelaki itu mengatakan bahwa masalah itu akan ia bawa ke pengadilan.
Sebulan kemudian lelaki itu datang lagi. Kali ini warga kampung tak bisa apa-apa. Ia datang bersama puluhan polisi bersenjata lengkap.
Katanya, pengadilan telah mensahkannya sebagai keturunan dan pewaris Datu Apik. Dengan begitu, ia juga berhak membongkar dan memindahkan makam Datu Apik.
Warga hanya bisa melihat dari kejauhan saat makam sang Datu dibongkar. Tak ada yang bisa mendekat saat pembongkaran berlangsung.
Makam itu dijaga ketat. Sekop demi sekop tanah mulai terangkat. Setelah penggalian makam itu sedalam manusia berdiri, tiba-tiba satu dari tiga orang penggali berteriak bahwa mereka menemukan sesuatu di bawah sana.
Lelaki itu langsung berlari mendekati makam. Mungkin karena penasaran, puluhan polisi yang berjaga pun ikut mendekat dan melihat ke lubang galian. Hal ini membuat warga kampung bisa mendekat dan melihat apa yang terjadi. Ternyata di lubang itu hanya ada dua balok kayu ulin atau kayu besi yang terletak menyilang. Di bawahnya ceruk hitam yang terbentuk seperti bekar pembaringan manusia... “Jangankan jasad, kain kafan saja tidak ada…” kata seorang warga.
“Itu tandanya Datu tak ingin dipindah,” kata salah seorang warga.
“Itu artinya Datu hanya ingin dimakamkan di sini!,” kata yang lain.
Warga kampung bersorak dan beramai-ramai menutup lubang galian itu kembali.
Lelaki yang mengaku keturunan sah sang Datu akhirnya pulang. Ia membawa dua balok membawa kayu ulin yang ditemukan itu. Katanya untuk ditanam di kampung halamannya sebagai tanda bahwa makam Datu telah dipindahkan.
Besoknya di bekas galian tanah itu muncul kembali gundukan kecil pertanda anai-anai kembali bersarang. Warga kampung percaya bahwa makam di atasnya ada sarang anai-anai, maka makam itu biasanya adalah makam keramat. Dan itu artinya jasad Datu Apik kembali lagi ke makam itu. Orang-orang tetap saja berdatangan untuk ziarah.. Para peziarah itu tak memedulikan pengumuman dari pengadilan yang ditempel di sudut kubah bahwa makam Datu Apik telah dipindahkan.

***

Pagi-pagi betul warga sudah ketakutan. Kampung mereka didatangi lima lelaki asing bertampang sangar. Semuanya memiliki tato, entah di leher, di lengan dan lain sebagainya. Kelimanya datang membawa parang panjang tanpa sarung. Sepanjang jalan kampung mereka berteriak-teriak. Ada yang menantang warga kampung dan ada yang mengeluarkan sumpah serapah.
Sesampainya di makam Datu Apik mereka menebas apa saja. Papan nama, kubah makam dan lainnya yang berhubungan dengan makam mereka porak-porandakan. Mereka mengamuk sambil berteriak-teriak..
“Ziarah ke sini cuma menziarahi setan!,” kata salah seorang.
“Tidak ada apa-apa lagi di sini!,” teriak yang lain.
Warga kampung tak berani berbuat apa-apa. Sebagian besar mengunci pintu rumah rapat-rapat. Sebagian lagi hanya berani melihat di kejauhan saat kelima lelaki itu meratakan gundukan tanah makam sambil terus berteriak-teriak.
Kelima lelaki itu mengamuk sampai sore hari. menjelang magrib, tiba-tiba mereka jatuh pingsan secara bersamaan. Warga kampung baru berani mendekat setelah tubuh-tubuh yang tergeletak itu tak bergerak setelah beberapa saat. Mereka kemudian mengerumuni tubuh-tubuh itu.
“Akhirnya mereka kelelahan sendiri,” Kata Pembakal.
“Bukan!,” bantah Anal, “Ini adalah hukuman dari Datu karena berani mengganggu istirahat Datu, mereka kualat,” katanya lagi yang dibenarkan hampir seluruh warga.
Seperti ada yang memerintahkan, seluruh warga kemudian menggotong lima tubuh yang tak sadarkan diri itu ke lahan bekas sawah mereka yang terbengkalai. Mereka memilih lahan yang paling jauh dari kampung.
Kelimanya ditinggalkan di sana dengan terikat dan dalam keadaan telanjang.[]

Sumber:
http://kalatida.com/makam/

0 komentar: