Cerpen Asep Fauzi: Kisah Sebenarnya tentang Perkawinan Hamdi
Semua orang sekampung sebenarnya sudah tahu benar, terutama ibu-ibu, bahwa sesering apapun mereka membicarakan prahara perkawinan si Hamdi, tetap saja dia akan memasang telinga panci. Namanya juga omongan, dari mulut satu ke mulut orang yang lain, bukannya tetap utuh, malah bertambah, seakan menjadi bahan mentah yang dijadikan berbagai macam barang. Sebuah omongan akan bertambah menjadi lebih panas setelah terus menerus digosok-gosok."Si Hamdi tu dibaca-bacai urang saku!"
"Kayaknya dia mati rasa sama bininya itu!"
"Dia belum kenyang dengan masa mudanya. Makanya seperti itu. Sayang, padahal jujurannya mahal sekali; dua puluh lima juta."
Kalimat-kalimat itu hanya sebagian kecil dari pembicaraan orang di kampung transmigrasi ini. Sisanya lebih banyak lagi, dan lebih bervariasi sesuai tanggapan mereka tentang yang terjadi dengan perkawinan si Hamdi dan Halimah itu.
***
Sebenarnya sejak si Hamdi belum kawin pun, dia sudah amat sering menjadi buah bibir orang-orang kampung. Ya, macam-macam saja; tentang dia yang malas membantu orang tuanya menggarap lahan sawah, soal dia yang lebih banyak makan, tidur dan berleha-leha, perihal ia yang masih meminta uang rokok kepada orang tuanya, hingga pada si Hamdi yang mulai ikut-ikutan si Mulyana mabuk-mabukan dan ngobat. Itulah yang menjadi bahan obrolan ibu-ibu saat beristirahat di pondok, ketika menanam bibit padi atau setelah menyiangi lahan padi yang mulai ditumbuhi gulma, hingga kini pada masalah perkawinannya, yaitu si Hamdi yang tidak memerdulikan istrinya.
"Astagfirullah. Aku ini bukannya mau ngomongin orang lho, ya, tapi aku hanya kasihan sama si Halimah. Masa aku dengar, si Hamdi selalu ogah-ogahan setiap diajak ke atas ranjang. Padahal katanya lagi, istrinya itu sampai nyolek-nyolek dan merengek-rengek."
"Aku juga heran. Malang sekali Halimah, si hitam manis itu. Jadinya aku berfikir, apa si Hamdi itu masih normal atau tidak, ya, sebagai laki-laki?"
Untung saja, kedua orang tua si Hamdi, Kosim dan Satiyem, orang yang amat penyabar. Sehingga sejak kecil, anak ketiganya dari empat bersaudara itu tidak pernah kena marah atau bahkan dihajar oleh Kosim. Itu pulalah yang membuat orang-orang tidak berani terang-terangan menggosip tentang perkawinan si Hamdi di depan Kosim dan Satiyem, karena untuk menjaga perasaan mereka. Namun, ya, namanya juga omongan. Dengan tidak memerlukan waktu yang lama, tetap saja sampai ke telinga mereka.
Mungkin, karena si Hamdi adalah anak bungsu dan laki-laki satu-satunya di keluarga mereka, sehingga soal watak juga memang sangat susah sekali diatasi dibandingkan saudari-saudarinya yang telah lama diboyong oleh suami mereka masing-masing. Hampir setiap hari, air liur Kosim terbuang sia-sia untuk menasihati si Hamdi. Malu? Tentu saja, Kosim jelas sadar. Orang tua mana yang tidak merasa demikian, saat anak bujangnya yang telah berusia dua puluh empat tahun, namun masih malas menginjakkan kakinya di sawah? Apa kata orang-orang? Saat pemuda-pemuda yang lain berlomba-lomba menggarap sawah bahkan menanam seluas-luasnya sayur-mayur, si Hamdi malah lebih suka luntang-lantung dan tak jarang kerjaannya hanya menunggu dan menggodai anak-anak perempuan SMP yang lokasi sekolahnya memang dekat dengan rumah orang tuanya itu.
Sebagai kawannya sejak masa SD, meski kami hanya bertahan sekolah hingga kelas empat saja, aku juga cukup mafhum dengan sifatnya itu. Dia acap sekali berkunjung ke rumahku selepas Maghrib. Hanya sekadar untuk minum kopi dan menghisap beberapa batang rokok sembari mengobrol kesana-kemari.
Aku juga jelas tahu bagaimana wataknya yang amat keras. Sehingga tentang namanya yang sudah dicap oleh orang kampung sebagai pemuda tukang luntang-lantung, aku tak pernah ambil pusing tentang hal itu. Apalagi berselera menanyakan alasannya melakukan semua itu. Meskipun Iroh, istriku, selalu mendesak agar aku menanyakan perihal tersebut dan apakah si Hamdi itu tidak malu? katanya.
***
Desa kami, Sekandis, khususnya Sekandis Atas memang dikenal sebagai salah satu penghasil beras terbesar di Kabupaten Kotabaru. Sehingga banyak pemuda desa ini yang bisa dengan mudah melepas masa lajang mereka. Menyunting gadis, dengan hasil penen padi yang melimpah ruah setiap musimnya. Apalagi saat hama wereng, tikus, dan babi bisa kami taklukan dengan baik. Meskipun kemakmuran hidup (berdasarkan ukuran kami), masih kurang lengkap tanpa adanya sentuhan jalan beraspal, air ledeng, apalagi listrik hingga detik ini. Semua itu bagai mimpi saja bagi kami.
Dan tanduk si Hamdi yang selama ini seakan disembunyikannya terhadap cerocosan orang kampung, kini akhirnya ia tunjukkan juga. Si Hamdi, tiba-tiba saja minta kawin. Ah, tebakanmu benar, Kawan. Mulut desa lagi-lagi menggaung. Padahal akhir-akhir ini, masih terasa hangat bahan omongan tentang Hamdi yang merupakan satu-satunya lelaki yang masih melajang di desa ini. Namun semuanya memang tidak dapat ditampik. Waktu itu, teman-teman seumurannya memang telah menikah, termasuk aku, Karnadi, Kolil, Parman, Taqim, Marwan, Hasan, Juli, dan Sadir sudah berumah tangga dan memiliki anak. Bahkan Sadir telah berhasil mengawini janda beranak tiga dari kampung sebelah.
Mendengar keinginan si Hamdi waktu itu, perasaan Kosim dan Satiyem tentu saja menjadi campur aduk. Ada perasaan senang, mengingat memang hanya anak mereka yag masih lajang di desa itu. Perasaan lainnya adalah was-was dengan perilaku malas-malasan anaknya itu. Mau diberi makan apa nanti anak orang?
"Kalau mau kawin, nyawah dulu yang luas. Kumpulkan uangnya, Di!" Satiyem kini angkat bicara.
"Ah, pokoknya aku mau dikawinkan secepatnya, Ma. Bila perlu bulan ini juga!"
Mendengar jawaban si Hamdi, Satiyem akhirnya berusaha melelehkan hati suaminya agar menjual sepetak sawah mereka, yang nanti hasilnya akan digabungkan dengan tabungan mereka hasil jualan sayur-mayur selama ini dan hasil panen sawah musim ini. Siapa tahu anak lelakinya itu bisa berubah dengan dia memiliki istri, pikir Satiyem.
Dan tentu saja, lagi-lagi mulut-mulut desa berdesas-desus, meskipun untuk kali ini kabar yang tersiar agak baik menurut mereka tentang si Hamdi.Sebulan kemudian, hajatan pun digelar di Sekandis Bawah. Pernikahan yang cukup meriah untuk ukuran desa Sekandis. Dua minggu setelahnya, perihal perkawinan si Hamdi, yang tak acuh kepada istrinya itu, mulai tercium oleh ibu-ibu dan tersiar di beranda-beranda rumah warga, di pondok-pondok, bahkan di tengah-tengah sawah.
***
Malam ini, baru saja si Hamdi dari rumahku. Ya, seperti malam-malam sebelumnya, kusuguhi dia kopi, kali ini dengan beberapa potong singkong sisa tadi sore istriku merebusnya. Kulihat wajahnya sangat sumringah. Kesumringahan yang tidak pernah kulihat sama sekali sebelumnya, baik saat dulu dia menikah atau saat setiap dia bercerita telah berhasil membonceng gadis SMP atau sekadar berhasil menggoda seorang janda di warung Haji Yani.
"Kawin dan punya bini itu hanya bikin susah. Enak juga sendiri, bebas menggoda dan make perempuan sana-sini. Aku kawin, hanya untuk membuktikan saja kepada orang sekampung, kalau aku juga bisa kawin dan bukan bujang lapuk!" begitu katanya, saat aku juga penasaran dengan tingkah lakunya yang semakin menjadi-jadi itu. Setelah kawin malah jarang pulang ke rumah. Lebih banyak mabuk dan tidur di teras-teras rumah orang lain usai teler-teleran dengan gaduk atau jinet bersama bujang-bujang desa sebelah.
Si Hamdi lantas pergi, setelah menandaskan kopi hitamnya dan menghabiskan dua potong singkong rebus. Iroh begitu senang mendengar kisah sebenarnya tentang perkawinan si Hamdi itu. Dan nanti besok pagi, aku sudah bisa menduga. Sebelum kaki istriku itu menyentuh lumpur sawah, saat kami menembus embun pagi yang masih menyelimuti desa, di jalan setapak dan pematang menuju lahan sawah, bahkan sebelum tiba di pondok, kisah sebenarnya tentang perkawinan si Hamdi itu sudah akan tersebar di setiap sudut desa, hingga warta itu mungkin juga akan menjadi bertambah. Ya, seperti biasa, seperti kisahku di bagian awal-awal, Kawan.
Kotabaru, 04-05 Juli 2016
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu 10 Juli 2016
0 komentar: