Cerpen Asep Fauzi: Di Antara Hujan yang Jatuh

06.29 Zian 0 Comments

Kau tahu, Ken, di antara hujan yang dijatuhkan-Nya, begitu banyak kisah yang telah kita lalui bersama. Meskipun semisal hujannya telah reda, namun basahnya akan tetap membekas. Menyisakan bau lembab yang tercium begitu nikmat, dihembuskan oleh uap panas dari dalam tanah yang sebelumnya dipanggang oleh terik.
Bulir-bulirnya juga sejenak menghiasi dan mengembun di pepohonan, di ujung-ujung dedaunan yang hijau, di kelopak-kelopak bunga yang bermekaran, di tepi-tepi atap rumah, dan apa saja yang berhasil dijatuhinya. Tak lama, akan ada angin yang bertiup, meluruhkan seluruh bulir-bulir itu, lalu semuanya kembali ke tanah.

***


Hujan jatuh hari Kamis, minggu pertama di bulan Mei. Musim memang tidak lagi konsisten, Ken. Kau pernah bercerita bukan, Ken, bahwa Kamis adalah hari kelahiranmu? Siang ini, aku tengah di kost Sherly, menikmati turunnya hujan dari emperannya sebelum masuk kelas Matematika Keuangan. Dan seperti biasa, pesanmu aku pastikan akan masuk saat anugera Tuhan itu tetes demi tetesnya menghujami bumi.
“Aku tahu, meskipun kita berada di tempat yang berbeda, saat ini kau tengah melahap setiap tetes hujan yang jatuh dari langit. Dan di sini, yang kulihat, di antara bulirnya, ada wajahmu, Santi.” Aku tersenyum melihat pesanmu, Ken. Sherly tentu tahu makna simpulan bibirku.
“Sudahilah kebodohanmu itu, San! Dia hanya menganggapmu sebagai junior dalam komunitas itu.”
Kau tahu, Ken, kata-kata itu selalu saja lancar meluncur dari mulut Sherly, sahabat baikku itu, saat aku dengan antusias mengisahkan tentangmu kepadanya atau sekadar meluapkan kesenanganku yang berkenaan denganmu. Iya, tentang pesan-pesan keakrabanmu, yang acap sekali kau kirim, apalagi di saat musim hujan telah tiba seperti ini. Bukan hanya lantaran kita sama-sama menyukai keromantisan hujan, Ken. Bahkan aku merasakan ada perhatian lebih dari sejumlah pesan-pesanmu.
“Jangan bilang kalau kau belum makan! Aku tidak rela bunga-bunga mawar di halaman rumahmu histeris senang karena melihatmu layu, Santi.”
Aku bukanlah wanita yang terlampau bodoh dengan kata-kata yang kau rangkai. Aku tentu dapat membedakan kata-kata bernada biasa atau diramu dengan manis. Kata-kata mendalam dan sepenuh jiwa atau kerontang. Aku tahu, Ken, karena kita sama-sama menyukai rangkaian aksara.
Padahal, aku juga selalu menyakinkan Sherly, Ken, bahwa aku beberapa kali telah bermimpi bersanding bersamamu di pelaminan berdekorasi Adat Banjar yang bersahaja. Mungkin jika itu hanya sesekali atau dua kali tayang di antara lelapku, aku tidak akan meyakininya sepenuh hati seperti ini. Namun, kenyataannya mimpi itu seakan nyata berulang kali hadir. Ah, mimpi itu begitu indah, Ken. Andai kau mengalaminya juga.
Namun, Sherly selalu saja seperti tak lelah meyakinkanku, bahwa kau hanya menganggapku sebagai juniormu di Komunitas Pecinta Anak yang kau bina itu, Ken. Tidak lebih. Dari komunitas itu memang semua perasaanku kepadamu seakan bertumbuh. Dan di pertemuan pertama komunitas di Rumah Baca yang kau bangun itu pun hujan seakan mengawali rasa yang aku yakini hingga detik ini. Saat kita mendongeng di hadapan anak-anak, ketika berkejaran, makan, dan menggambar sembari beradu tawa bersama mereka. Tidakkah kau melihat perasaanku itu kini berkembang, merekah bermekaran, Ken? Wanginya begitu memabukkan, laiknya senyum dan suara khasmu ketika berbicara, Ken.
“Nanti kau akan sakit, San. Sadarlah, itu hanya bunga tidur! Ada pria yang lebih mencintaimu ketimbang pria pengecut penebar harapan itu, yang belum jelas bagaimana perasaannya kepadamu.”
Aku tidak habis pikir, Ken, mengapa Sherly seakan tega mengatakan hal itu kepadaku, sahabatnya sendiri. Bukankah ia juga seorang perempuan, sama sepertiku yang memiliki hati yang cenderung mudah bergetar akan sebuah perhatian dari seorang pria?

***

“Ini hujan kedua di bulan ini, tepat di hari kelahiranmu, empat belas Mei, San. Sepertinya tentang kelahiran kita telah diabadikan oleh Tuhan melalui hujan di bulan ini.”
Kau benar, Ken, hujan di minggu kedua ini tepat di tanggal aku dilahirkan ke dunia ini. Dadaku juga bergemuruh saat menyadari kesamaan kita di bulan ini. Semakin nikmat saja aku menyaksikan hujan sore ini di beranda rumahku. Bulir-bulirnya berjatuhan indah di atas tanaman Markisa dan Labu Air yang menjalar di samping rumahku yang memang dibuat oleh ayah dengan empat sudut untuk menyokong buahnya, yang juga merambat bebas ke atas rumah sederhana kami. Kau selalu mengatakan bahwa di rumah kami sejuk dan tenang, Ken. Terakhir kali kau berkunjung kemari untuk memancing ikan Haruan dan Papuyu di danau buatan di belakang rumah kami dan untuk pertamakalinya mencicipi buah Markisa hasil tanaman ayah itu.
“Jangan terlalu berharap, San. Aku takut, kau hanya dipermainkan oleh harapan-harapan yang belum tentu benar itu. Apalagi itu hanya mimpi.”
Ah, suara A’in menyadarkan lamunanku tentangmu, tentang kita di antara hujan yang jatuh ini, Ken. Suaranya bagai petir yang mengganggu keromantisan hujan sore ini.
Begitulah A’in, Ken. Ia hadir hampir tiap minggu, mencoba mengambil perhatianku dari semua hal tentangmu. Membawa berbagai macam buah tangan. Belum lagi hati ayah dan ibu yang tidak luput pula dari incarannya. Namun aku tidak pernah menganggapnya, Ken. Meskipun aku acungi jempol sikapnya yang pantang menyerah untuk menaklukan hatiku selama bertahun-tahun lamanya. Tahan dengan sikap cuek dan keras kepalanya aku. Tapi, Ken, tidak ada yag dapat menghentikan bayanganmu di benakku. Tidak ada yang berhak mengalihkan keinginanku untuk mewujudkan mimpi-mimpi tentang kita yang hinggap di malam-malamku. Ya, tentang pernikahan kita dalam mimpiku itu. mekipun aku belum pernah mencoba mengatakan hal apa pun kepadamu, Ken.
“Itu hanya mimpi, San. Lihat sampai sekarang, dia tidak pernah mengatakan apa pun kepadamu, bukan? Apalagi kudengar dari Sherly bahwa dia telah bertunangan. Sadarlah! Kau boleh saja tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk kau cintai, tapi aku tidak ingin kau terluka oleh bulir-bulir hujan yang diromantis-romantiskannya untukmu selama ini. Aku tidak ingin kau….”
Untuk pertama kalinya, aku sentak saja dia, hingga putus kata-katanya. Aku terpaksa memintanya untuk diam. Berani sekali dia terlalu ikut campur dalam hidup dan mimpiku. Dia kira, siapa dia? Dia hanya teman sekolah saat putih abu-abu yang memang telah lama menginginkan balasan cinta dariku. Tapi jangan seperti itu caranya! Semakin benci saja aku kepadanya. Dia itu tidak lebih dari seorang pecudang bagiku, Ken. Meskipun aku memang pernah mendengar selentingan bahwa kau telah bertunangan, Ken. Ah, entahlah, bahkan aku tidak pernah berusaha ingin mengetahui kabar itu. Apalagi selanjutnya kudengar juga, bahwa hubungan itu telah berakhir.

***

Hari ini hujan ketiga di bulan ini, Ken, tepatnya di akhir Mei. Aku tengah menyusuri jalanan kampus. Aspalnya menyeruakkan bau hujan yang bercampur aroma laut dan jemuran ikan dan udang yang bertiup dari permukiman masyarakat di belakang kampus.
Hujan kali ini sungguh berbeda, Ken, kau entah kemana. Seolah ditelan bumi saja. Dua pekan ini tidak pernah lagi mengirimiku pesan, bahkan sore ini, hingga hujan yang jatuh perlahan mereda, kau tidak juga hadir melalui pesanmu seperti biasanya. Kemana kau, Ken? Bahkan pengurus Rumah Baca Al-Ikhlas juga tidak tahu keberadaanmu saat ini.
Padahal minggu-minggu ini aku sudah bisa bernapas lega, Ken. A’in tidak lagi menyambangi dan merecoki perasaanku. Entah dia sudah terlampau lelah atau kecewa kepadaku karena tidak sebagian kecil pun dari perasaanku dapat kubagi darimu. Mungkin dia sakit hati karena kusentak tempo hari. Tapi apa peduliku! Toh, dia juga yang sungguh keterlaluan mencampuri urusan perasaanku kepadamu.
Hari ini aku juga tidak berselera ke kost Sherly, karena aku sudah bisa menebak, kalimat apa yang akan terlontar dari mulutnya ketika melihat wajahmu yang dipenuhi rindu bercampur kekhawatiran. Aku terus menyusuri Kompleks Perikanan ini. Sepeda motorku kuparkir di kampus. Aku ingin ke perpustakaan saja sore ini, Ken. Namun, tiba-tiba seorang wanita bersepeda motor jenis matic berhenti di hadapanku. Wanita itu berbaju dinas salah satu instansi pemerintahan. Tanpa memastikan bahwa aku adalah orang yang dimaksudnya, ia lantas berbicara kepadaku, “Oh, jadi kau rupanya yang bernama Santi!”
Aku tertegun melihat wanita putih cantik dan tinggi itu, Ken. Namun yang kutangkap, wajahnya agak merah seperti tengah menahan panas. Padahal sisa-sisa hujan barusan masih terasa dingin di kulitku.
“Ini undangan pernikahanku dengan Ken.” Benda yang disebutnya sebagai undangan itu melayang ke wajahku, Ken, lalu jatuh di dekat kakiku. Aku tercekat, bukan hanya karena perlakuan pelemparannya itu, tapi aku berdoa semoga apa yang kudengar dari mulut mungil wanita itu keliru. “Jadi, mulai saat ini, aku harap kau tidak lagi membalas atau mengiriminya pesan-pesan romantis hujan-hujan segala.”
Mataku terbelalak.
“Kenapa? Kau tidak terima? Itu tidak ada artinya dibandingkan dengan perasaanku yang telah kalian cangkuli selama ini. Kau dengan senang hati menerima setiap pesan keromantisan dari Ken.” Kali ini wanita itu bicaranya tersendat-sendat, Ken. Matanya seketika memerah dan hujan perlahan turun dari kedua sudutnya. Aku masih diam. Mencoba mencerna apa yang telah dikatakannya.
“Jika tidak ada perjanjian dengan pria yang sangat mencintaimu, perhitungan ini tidak akan pernah cukup hingga di sini, Santi. Kau harus ingat, bahwa musim tidak selamanya terus penghujan. Dan hujan tidak selamanya romantis seperti apa yang kau impikan.”
Aku masih diam. Entah apa yang harus aku katakana untuk menanggapi lemparan pernyataan-pernyataannya itu, Ken. Ia lalu membenarnya posisi helm merah mudanya, bergegas berbalik menunggangi motornya dan melesat meninggalkanku dan sisa-sisa cipratan motornya.

***

Hujan kembali turun, Ken, saat aku tengah berusaha mengambil undangan pernikahan yang telah sedikit basah oleh sisa-sisa hujan sebelumnya. Wanita itu benar, ada namamu dan namanya tertulis jelas dengan jenis huruf Agensi Fb di antara kalimat-kalimat undangan itu.
Bulir-bulir hujan perlahan jatuh menyentuh tubuhku, juga undangan yang kupegang dengan gemetar, Ken. Nama kalian perlahan luntur. Tujuan langkah awalku kini kabur dari otakku. Namun, kaki ini tanpa kusadari tetap saja menapaki jalanan. Di antara bulir-bulir hujan yang jatuh, ada bayangan kalian berkelebatan tengah bersanding di pelaminan, Ken. Ada rembesan air mataku yang tak lagi tampak karena terpaannya. Hati ini seketika itu juga basah dan pedih, Ken, di antara hujan yang jatuh.

Kotabaru, 09-11 Juni 2016

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu 10 Juli 2016

0 komentar: