Cerpen Mahfuzh Amin: Kupinang Kau Dengan Kurma

00.23 Zian 0 Comments

Dangsanak, apa yang akan kau lakukan jika kau terdesak untuk segera meminang gadis yang kau cintai, sedangkan kau tidak mempunyai apa-apa untuk jujuran-nya?
Inilah yang membuat aku sekarang mengalami galau tingkat dewa, dangsanak.
Kisah ini berawal dari hari Minggu, sehari sebelum Ramadhan dimulai. Ketika itu, aku kedatangan tamu seorang lelaki berwajah sedih. Dia bercerita padaku tentang gadis yang selama ini ia cintai dan rencananya akan ia lamar di malam selikur Ramadhan tahun ini. Dia adalah Nizam, sahabat karibku sendiri.
“Tapi, kemarin aku mendapat kabar bahwa dia telah dikhitbah oleh lelaki lain,” ujarnya dengan suara parau.
“Kau sudah buktikan kebenaran kabar itu?” Aku bertanya.
Dia mengangguk. Wajahnya tertunduk.
“Padahal aku tinggal menunggu uang THR-ku untuk mencukupi duit jujuran.”
Nizam memang tidak berstatus pacaran dengan gadis yang disukainya itu. Lebih tepatnya, gadis itu tidak mau diajak pacaran. Gadis itu maunya langsung dilamar dan dinikahi tanpa melewati proses pacaran. Karena pacaran itu mendekatkan ke zina, kata gadis itu. Sayangnya, untuk datang ke rumah gadis dan melamarnya tidak bisa hanya dengan tangan kosong, bermodal cinta, dan janji siap bertanggung jawab.
“Si Anu itu kemarin jujuran-nya tiga puluh juta.”
“Kalau si Itu jujuran-nya besar lagi. Lima puluh juta.”
“Gimana mau cepat-cepat nikah. Jujuran mahal! Ada  patokan minimumnya lagi. Kayak jual-beli saja, menyesuaikan harga pasaran para tetangga.”

Itulah sedikit rangkuman obrolan para bujangan yang pernah kudengar di sebuah warung. Perihal itu juga yang membuat Nizam menjadi lelaki patah hati yang terlambat datang ke medan perang. Dan perihal itu juga yang membuat hatiku mulai mengumumkan kegalauannya seiring dengan diumumkannya awal bulan Ramadhan oleh Pak Menteri Agama.
Aku mulai khawatir hal yang menimpa sahabatku itu juga menimpa diriku. Apalagi ada angin-angin kecil yang mengabarkan padaku bahwa ayah gadis yang kucintai sudah mulai menunjukan tanda-tanda kebelet pengen punya cucu. Meski aku dan gadis yang kucintai itu berstatus pacaran, tapi status ini belum bisa dijadikan jaminan kalau kami akan tetap duduk bersama di pelaminan. Aku sudah sering melihat wajah-wajah nelangsa yang berusaha berlapang dada berfoto di pelaminan bersama mantan kekasihnya dan disekat oleh sang pengantin pria.
Jadi, apa yang harus kulakukan, dangsanak? Aku takut.
“Datang ke rumahnya, lalu katakan pada ayahnya kalau kamu mencintai anaknya dan bermaksud mempersunting anaknya menjadi istrimu.” Ini bukan saran Nizam, karena tentu aku tidak akan curhat pada lelaki patah hati itu. Ini saran dari sohibku yang lain. Nazmi namanya.
“Tapi, apa yang harus aku bawa? Aku tidak punya duit berpuluh-puluh juta.” Aku menyadari, aku bukanlah seorang pekerja tetap dengan gaji yang selalu tepat selama bertahun-tahun.
“Kamu bawa saja rasa cintamu dan keseriusanmu. Yang penting, coba dulu.”
“Terus, jika ayahnya menanyakan tentang mahar yang bisa kuberikan, aku harus jawab apa?” tanyaku lagi.
Nazmi memandang ke atas dengan kening yang berkerut, menanti sebuah lampu jatuh ke kepalanya. Cukup lama, hingga ia mengakhirinya dengan geram. “Argh…. Kenapa aku yang harus pusing memikirkan jawabannya? Aku saja masih pusing mikirin duit jujuran untuk melamarkan kekasihku.”

***

Setelah melewati diskusi yang cukup intens dengan gadis yang kucintai, akhirnya aku pun memutuskan untuk melangkah ke rumahnya dan menyatakan keseriusanku. Tentu saja, dia sangat senang dengan sikap gantle-ku ini. Karena memang inilah yang dia tunggu-tunggu dariku sejak beberapa bulan yang lalu. Meskipun aku dipenuhi getar ketakutan yang membuatku selalu merasa ingin pipis.
“Tak masalah pian tidak membawa apa-apa. Yang penting, pian datang ke rumah ulun, kakanda ae.”
Sebagai seorang gadis yang sudah kebelet ingin dinikahi, tentu dia tidak mempermasalahkan apa yang kubawa. Apalagi aku sangat yakin, dia juga mencintaiku dan berharap banyak padaku. Namun kenyataannya, tetap ayahnya jualah yang memegang kendali cerita selanjutnya. Dan seperti yang kukhawatirkan, pertanyaan itu pun keluar lebih cepat dari yang aku prediksikan.
“Saat ini, ulun hanya bisa membawa ini,” jawabku sambil meletakkan bawaanku ke atas meja.
Beliau memandang bawaanku dengan kening berkerut dan tangan mengelus-elus janggut tipisnya. Mungkin aneh melihat bawaanku yang masih terbungkus dengan kantong plastik hitam. Kemudian – meski agak lama sehingga membuatku cukup kewalahan mengatur orkestra jantungku – beliau pun meraih kantong plastik itu dan melihat isinya.
“Kurma?” gumam beliau. Ekspresi beliau membuatku menjadi semakin berkeringat dingin.
Sejujurnya, aku sangat ingin membawa cincin emas berkarat sebagai bukti keseriusanku melamar gadis yang kucintai. Namun, apalah daya, situasi dan kondisiku saat ini tidak memungkinkan bagiku untuk membawa barang mewah itu. Entah di saat yang akan datang pun kemungkinan itu tetap akan terasa sangat sulit. Aku pun sempat terpikir mencari alternatif dengan membeli chiki-chikian, berharap dapat hadiah langsung sebuah cincin. Namun, pikiran itu langsung kutepis. Aku juga sempat berpikir membeli cincin akik imitasi, tapi …. Ah, ini adalah hal yang serius, bukan main-main!
“Sudah, tak usah bingung. Coba bawa kurma saja,” usul Nazmi.
“Emang ada orang yang melamar gadis hanya dengan kurma?” tanyaku.
“Ada.”
Benarkah? Entah mengapa hatiku seketika merasa senang. “Siapa?”
“Ya, kamu lah orangnya,” jawab Nazmi lalu ngakak. Tentu saja aku langsung manyun.
“Kan dicoba dulu. Daripada tak ada yang dibawa sama sekali. Jika itu berhasil, aku juga akan melamar pacarku dengan kurma.”
“Berarti, aku dijadikan bahan percobaan dong,” sahutku makin manyun.
Tapi ujungnya, aku tetap mengikuti saran Nazmi. Tentu saja kurma yang kubawa adalah kurma terbaik yang bisa kubeli sesuai isi dompetku.
“Maaf, Bah, ulun tidak bermaksud menghina keluarga pian dengan hanya membawa kurma. Saat ini, hanya sebatas ini yang mampu ulun berikan. Mungkin, anak pian sudah menceritakan bagaimana kondisi ulun. Yang pasti, kedatangan ulun ini ingin menyampaikan niat baik ulun terhadap anak pian.” Tentu saja, kalimat ini sudah kurangkai dan kuhapal sebelum berangkat ke rumah gadis yang kucintai. Untung grogiku tidak menghilangkan hapalanku.
Suasana masih hening. Tidak ada pergerakan dari beliau setelah gumam kurma tadi. Membuatku merasakan suasana yang mencekam.
Beliau tersenyum kemudian berujar, “Aku senang dengan kejujuranmu, dan salut atas keberanianmu. Sekarang, jarang ada pemuda seperti kamu. Dengan senang hati aku menerima pemberianmu ini. Tentang niat baikmu terhadap anakku, jika anakku bersedia menerimamu, aku pun akan merestuinya.”
Benarkah? Semulus inikah jalanku untuk menghalalkan cinta yang kuidam-idamkan? Tentu saja aku ingin berteriak dan melompat kegirangan.
Namun, perkataan ayah gadis yang kucintai tadi hanyalah ekspektasiku belaka. Realitanya, aku masih berada dalam suasana hening yang mencekam.
“Ehem…” Beliau berdehem. Suaranya bak petir yang menyambar telingaku, membuatku hampir saja terlonjak.
“Kau serius dengan anakku?”
Inggih,” jawabku bergetar sambil mengangguk, kepalaku juga masih menunduk.
“Bukan coba-coba, kan?”
Aku terdiam. Menimbang-nimbang kata apa yang cocok sebagai jawaban. Karena aku yakin, yang beliau butuhkan bukan sekadar kata “Inggih”.
Aku menarik napas panjang, mengangkat wajah demi mengumpulkan keberanian, dan menjawab dengan sejujur-jujurannya, “Ulun serius ingin menikahi anak pian. Tapi, ulun belum punya apa-apa yang bisa dijadikan mahar untuk meminang anak pian. Ulun nekad datang ke rumah pian karena beberapa hari ini ulun dihantui rasa takut kehilangan anak pian. Takut kalau ada lelaki lain yang lebih dahulu meminang anak pian. Jujur, ulun memang coba-coba datang dengan hanya membawa kurma. Tapi, untuk menikahi anak pian, ulun tidak pernah terpikir sekadar coba-coba.”
Dan aku langsung tertunduk kembali setelah mengatakan itu. Entah sejauh mana ngelanturnya kata-kata itu. Yang penting aku telah jujur, itu saja. Semoga beliau paham.
Cukup lama aku duduk dengan menunduk, mendengarkan setiap kata yang terlontar dari mulut beliau. Hingga akhirnya, aku bisa pulang dengan hati yang lega. Meskipun lamaranku tidak diterima malam ini, yang penting lamaranku tidak ditolak mentah-mentah. Beliau memintaku untuk berusaha mengumpulkan modal dan mempersilakanku datang kembali setelah hari raya qurban.
“Wuih…. Kalau begitu, aku akan meminang pacarku malam ini dengan kurma juga,” ucap Nazmi setelah mendengarkan cerita dariku.

Tanjung di puasa ke-9 1437 H


Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 19 Juni 2016

0 komentar: