Esai Sainul Hermawan: Unsur Fals Novel Palas

00.38 Zian 0 Comments

Palas nampaknya merupakan salah satu puncak pencapain prestasi Aliman Syahrani dalam menekuni seni kata jika kita membaca riwayat perjalanan karir kepenulisannya di bagian akhir novel ini. Keberhasilan Syahrani menerbitkan novel itu tidak hanya menaklukkan rekor proses kreatifnya sendiri, melainkan juga meretas kebekuan jagat sastra Kalimantan Selatan yang sejauh ini lebih dikenal sebagai wilayah penulis puisi daripada sebagai wilayah penulis cerita pendek (cerpen) dan novel. Meskipun setiap pekan kita dapat menyaksikan kehadiran cerita bersambung di harian lokal, tetapi yang mampu menerbitkannya menjadi buku dan disambut banyak pembaca tampaknya masih jarang.
Tulisan ini ingin menunjukkan bagaimana Syahrani mengelola kata menjadi kekuatan yang menentukan “derajat kesastraan” novelnya. Seluruh uraian didasarkan pada asumsi teoretis bahwa sastrawan dan ilmuwan (dalam pengertian dikotomik yang simplistik) menghadapi atau memperlakukan bahasa secara berbeda. Ilmuwan cenderung memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan, tetapi sastrawan tidak menghadapinya sebagai alat, tetapi sebagai tujuan. Dengan kata lain, bahasa seorang ilmuwan atau politisi hanyalah input dan medium, sedangkan bahasa sastrawan adalah sarana dan sekaligus sasaran, input dan output. Sastrawan tidak sekedar memakai bahasa, tetapi ia mengerjakan, mengolah, menggarap, dan menciptakan bahasa (Lihat Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya, Pustaka Utama Grafiti, 2004, hlm. 277).

Oleh karena itu, sastrawan menghasilkan jenis pengetahuan yang disebut pengetahuan puitis (poetic knowledge). Menurut filsuf Perancis, Jacques Maritain dan Raissa Maritain (dalam Kleden, 2004: 293), pengetahuan puitis lahir dari konnaturalitas afektif yang cenderung menyatakan dirinya sendiri dalam suatu karya atau pengetahuan yang lahir bukan dari “cara mengetahui”, tetapi melalui insting dan kecenderungan, melalui resonansi dalam diri subyek, yang bergerak menuju penciptaan suatu karya. Dalam pengetahuan seperti ini peranan kata-kata mental dan peranan keputusan dalam pengetahuan spekulatif diambil alih oleh peranan obyek yang diciptakannya. Dengan kata lain, pengetahuan puitis bersifat implisit karena mediasinya berlangsung tidak melalui pikiran, tetapi melalui perasaan dan pengalaman.
Jadi, pengetahuan puitis yang lahir dari konnaturalitas afektif jelas berbeda dengan pengetahuan konseptual yang lahir dari konnaturalitas intelektual. Dalam konteks ini, karya sastra yang in optima forma adalah karya sastra yang nol referensi dengan makna yang tidak terbatas (Kleden, 2004: 296). Artinya, novel yang berhasil tidak hanya melahirkan makna akibat adanya hubungan antara teks dengan objek di luar teks, tetapi juga harus mampu menghasilkan makna yang lahir dari teks itu sendiri karena adanya hubungan-hubungan internal dalam teks (Kleden, 2004: 296-297).
Konnaturalitas yang terdapat dalam Palas tampak berada dalam kerangka intertekstualitas. Oleh karena itu, diskusi tentang lingkup jaringan teksnya perlu disajikan untuk menjajaki kemungkinan sikap penulis terhadap orisinalitas tekstual.
Konnaturalitas intelektual teks sastra antara lain dapat dilihat pada adanya fakta sejarah dalam teks itu yang dijadikan baik sebagai sarana penceritaan maupun sasaran penceritaan. Kehadirannya yang sangat kuat terutama dapat dilihat pada penggunaan diksi-diksi yang tidak menyuguhkan “dunia tekstual” yang unik. Dalam hal ini Palas dapat dibandingkan dengan novel Saman, karya Ayu Utami (2000), dalam mengelola komponen tersebut. Pembandingan ini penting dilakukan agar konnaturalitas intelektual yang tidak perlu tidak terlalu dominan hadir dalam teks sastra. Kadang-kadang konnaturaltas intelektual juga diperlukan jika ia dijadikan sasaran penulis sebagai sarana untuk melakukan sindiran terhadap realitas yang ingin dirujuknya.
Di sekitar halaman 35 terdapat uraian yang cukup panjang tentang hutan yang lebih layak dipaparkan oleh penyuluh kehutanan daripada novelis. Jika elemen ini dianggap sebagai unsur yang harus ada, seharusnya bahasanya dipoles lebih indah, lebih eliptis, lebih estetis, sehingga pembaca tidak terus-menerus mengerutkan dahi karena merasa teks yang dihadapinya tidak mampu membawanya ke dunia kata yang lebih baru.
Karya Syahrani nampak didominasi oleh konnaturalitas intelektual karena bahasa di dalamnya lebih sering dipakai dengan cara yang sangat terkesan terlalu akademis. Indikasi bahasa yang terlalu akademis itu dapat dibaca pada bagian tentang kebakaran hutan (hlm. 34-36), pembukaan lahan (hlm. 37-41), rumah urang Bukit dan letak geografis Loksado (hlm. 72-75), dan jihad Ibnu Hajar (hlm. 98-110). Bagian-bagian itu membuat novel ini tampak lebih terkesan menjadi cacatan sejarah yang mengedepankan aspek konnaturalitas intelektual yang mempersempit konotasi daripada aspek konnaturalitas afektif yang memberi sedikit ruang bagi denotasi. Di dalamnya terdapat unsur-unsur kalimat yang belum dipadatkan. Jika keberadaannya dianggap sebagai pilihan gaya pengarang, maka pilihan ini adalah pilihan yang sudah sangat usang. Jiwa zaman pengguna bahasa senantiasa berubah. Karya sastra baru harus mampu menangkap jiwa zaman yang baru itu jika ia ingin disambut dengan baik.
Cobalah bandingkan dengan bagaimana Saman (2000: 139-140) memperlakukan fakta sejarah yang pada awalnya jelas merupakan fakta konnaturaliats intelektual, tetapi kemudian diubahnya menjadi unsur cerita yang bersifat konnaturalis afektif. Fakta sejarah ini diangkat bukan hanya sebagai sesuatu yang diketahui tetapi juga sesuatu yang dialami.
Syahrani dan Utami menggunakan fakta sejarah secara berbeda. Dalam karya Syahrani sejarah diletakkan sebagai unsur yang terpisah dari tokoh aku atau sebagai sesuatu yang diketahui saja, tetapi dalam karya Utami sejarah menjadi gaya bertutur untuk menjelaskan betapa aneh dunia yang dihadapi tokoh aku dan keanehan itu pun bukan hanya dialami oleh tokoh-tokoh sejarah dari tempat yang ingin dikunjunginya, melainkan juga dialami oleh tokoh aku itu sendiri. Dengan kata lain, kutipan fakta sejarah dalam karya Syahrani cenderung berupa konnaturalitas intelektual, sedangkan pada karya Utami cenderung berupa konnaturalitas afektif.
Di samping itu, kesan adanya banyak tekstur cut and clue dalam Palas (2004) juga sangat terlihat ketika novel ini disejajarkan dengan hipogram yang tampaknya memberikan banyak inspirasi, yaitu novel Lingkar Tanah Lingkar Air (LTLA) karya Ahmad Tohari (1999). Dalam kasus intertekstual linier, sebuah hipogram biasanya terbit lebih dahulu. Proses saling mengilhami antarkarya sastra adalah sesuatu yang wajar. LTLA tampak mengilhami Palas dalam aspek pelataran dan pengaluran cerita. Yang tidak wajar dan bukan menjadi persoalan intertekstualitas adalah penjiplakan. Jika Palas di bandingkan dengan LTLA ada kesan penjiplakan yang sangat kental.
Beberapa tahun sebelum Palas terbit, Ahmad Tohari menuliskan ekspresi sebagai berikut dalam LTLA: Pagi hari musim kemarau di tengah belantara hutan jati adalah kelengangan yang tetap terasa purba. Senyap yang selalu membuat aku merasa terpencil dan asing. Padahal, ibarat ikan, hutan jati dan semak belukar yang mengitarinya sudah bertahun-tahun menjadi lubuk tempat aku dan teman-temanku hidup dan bertahan…. (Tohari, 1999: 1). Dalam Palas, ekspresi yang nyaris sama dapat ditemukan bukan di halaman awal, melainkan di halaman tengah: Malam hari di awal musim penghujan di desa terpencil kaki pegunungan Meratus adalah kelengangan yang tetap terasa purba. Senyap yang menyergap membuatku merasa terpencil dan asing. Padahal, Loksado adalah kenangan. Loksado berarti tanah tumpah kelahiran…. (Syahrani, 2004: 47).
Memang tidak seluruh ekspresi Palas berupa transfer dari karya sastra lain seperti kutipan di atas. Tetapi sekecil apapun kehadiran ekspresi yang telah diungkapkan penulis lain dalam Palas akan ikut memperkuat kesan intertualitas negatif yang dapat mengurangi orisinalitas tekstualnya, kecuali penulis mengakui seperti kebiasaan Seno Gumira Adjidarma yang dengan akurat memberikan catatan kaki pada setiap ekspresi yang dengan sengaja ia ambil dari karya sastra lain. Seno Gumira Adjidarma mencontohkan bahwa pengambilan elemen karya sastra lain terhadap karyanya bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan asalkan ada pengakuan sadar bahwa unsur-unsur pinjaman itu bukan ekspresi orisinalnya. Dalam cerpen Partai Pengemis, misalnya, Seno menulis satu paragraf yang merupakan mozaik dari beragam teks (Lihat dalam kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati. Galang Press, 1999, hlm. 83).
Seno memberikan catatan kaki bahwa cerpen Partai Pengemis karyanya adalah hasil adaptasi dari komik Walet Merah karya Hans Djaladara. Ekspresi inilah nanah, yang meleleh dari luka, sambil berjalan kau usap juga tidak diakui sebagai ekspresinya, melainkan dipinjam dari sajak Peminta-minta karya Chairil Anwar, dan ekspresi puitis lalat terbang dari nanah ke nanah dipinjam dari sajak Lalat karya Sutardji Calzoum Bachri (1981: 107).
Bahkan ada bagian dialog dalam cerpen Para Pengemis yang diakui Seno sebagai kutipan yang persis aslinya dan dia hanya memperbarui ejaannya. Sehingga bagian yang lain yang tidak diberi keterangan adalah asli kreasi orisinil yang mungkin tetap berada dalam kerangka adaptasi atau sama sekali lepas darinya. Dengan cara inilah Seno mempermainkan relativitas orisinalitas.
Pengakuannya di setiap catatan kaki cerpennya adalah kesadaran intelektual terhadap keberadaan intertektualitas teks sehingga yang dia kejar bukan lagi orisinal komponen atau apa yang menyusun baris-baris prosanya, melainkan bagaimana dia meramu unsur-unsur itu menjadi karya baru yang segar: komik dan sajak lebur menjadi cerpen. Meskipun demikian, dia tidak mau terjebak dalam konnaturalitas intelektual yang berlebihan. Karenanya dia melakukan adaptasi dan renarasi, bukan imitasi linier. Sedikit hal yang semacam ini dapat ditemukan dalam Palas.
Bahasa karya sastra adalah adalah gerbang utama memasuki dunia imajianasi yang hendak ditawarkan oleh penulis karya fiksional itu. Aspek ini pun sering dijadikan indikator pembeda antara karya sastra dan karya non-sastra. Oleh karena itu, aspek ini dapat dipakai sebagai salah satu ukuran sukses dan tidaknya sebuah prosa. Bahasa prosa yang berhasil cenderung mengurangi beban referensial bahasa yang digunakannya karena ia berangkat dari pengetahuan dasar bahwa hubungan antara sastra dan realitas yang diacunya sebaiknya bersifat simbolik. Dalam konteks ini, novel Palas penuh dengan beban yang pertama sehingga medan konotasi bahasa yang digunakannya menjadi sempit dan asosiasi imajinatif pembaca menjadi kurang berkembang.
Melalui tulisan ini penulis Palas dapat melihat bagaimana serapan dari teks lain dapat dimainkannya menjadi bangunan tekstual yang berhasil. Serapan yang memang bukan kreasi orisinal sendiri sebaiknya diakui sebagai bentuk pertanggungjawaban berkesenian. Jika tidak ingin demikian, unsur-unsur serapan itu harus dirombak total menjadi ekspresi yang sepenuhnya berbeda karena seniman kata memang berlomba untuk menciptakan kata, sebab kata-kata tidak dihadapinya hanya sebagai sarana melainkan sekaligus sebagai sasaran.

Banjarmasin, 14 Maret 2005

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu 3 April 2005
http://www.geocities.ws/ejabudaya/esai_unsur_fals.html

0 komentar: