Esai Jamal T. Suryanata: Sastra, Kita, Media: Menelusuri Jurnalisme Sastra Banjar Modern

02.09 Zian 0 Comments

/ 1 /
DI TENGAH lajunya perkembangan ilmu dan teknologi —terutama kemajuan di bidang teknologi informasi— dewasa ini, ternyata sastra kita (baca: sastra Banjar) masih saja sebagai makhluk yang terasing dalam lingkungannya sendiri. Jika kita mematok batas historis awal pertumbuhan sastra Banjar modern di sekitar akhir dekade 40-an, hingga memasuki tahun-tahun pertama alaf ketiga ini pun secara de facto harus diakui bahwa dunia sastra kita belum memperlihatkan perkembangan yang berarti.[1] Sastra kita masih saja terkungkung dalam kesunyiannya, nyaris jalan di tempat, seperti anak yatim yang dengan langkah terseok-seok menatap gamang dunia keakanannya. Bahkan, jalan keakanan itu sendiri tampaknya masih terasa demikian gelap. Bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun enggan.
Kenyataan menunjukkan bahwa selama beberapa dasawarsa (setidak-tidaknya sepanjang rentang waktu 1940—2000) dalam pertumbuhkembangannya, secara umum sastra kita masih sebagai “sastra dalam rangka” —suatu fenomena kesastraan yang pada akhirnya turut memoles wajah karya-karya yang dihasilkannya. Dengan istilah tersebut dimaksudkan bahwa secara umum dunia kepengarangan kita selama ini lebih banyak ditentukan oleh momen-momen ”dalam rangka” tersebut. Ada kecenderungan bahwa para pengarang kita hanya terdorong untuk berkarya jika ada pihak tertentu yang menyelenggarakan lomba baca atau sayembara penulisan (terutama puisi dan cerpen), misalnya dalam rangka menyambut Hari Jadi Kota Banjarmasin. Jadi, ada korelasi positif antara produktivitas —dalam batas tertentu juga bisa bermakna kreativitas— dengan motivasi-motivasi eksternal. Dengan demikian, implisit terkatakan bahwa para pengarang kita selama ini relatif tidak produktif dalam berkarya. Setidak-tidaknya, pada umumnya rata-rata masih bernapas pendek.

Persoalannya sekarang, sudah tepatkah tudingan tersebut harus dialamatkan kepada para pengarang? Jawabannya tentu saja bisa beragam dan cenderung sangat dialektis. Namun, kita tahu, pengarang hanya merupakan salah satu subsistem dari sebuah sistem yang lebih besar, yakni sistem makro-sastranya. Dunia kepengarangan dilingkungi dan sekaligus ditentukan oleh banyak faktor. Di antara sekian faktor itu, media publikasi tampaknya dapat dipandang sebagai faktor yang paling krusial dan relatif menentukan arah pertumbuhkembangan sastra Banjar modern selama ini, lebih-lebih untuk tradisi kepengarangannya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hidup-matinya suatu tradisi sastra modern di mana pun sangat dipengaruhi oleh faktor tersedia-tidaknya media massa atau penerbitan sebagai wadah yang paling efektif untuk penyebarluasan karya-karya sastra. Maka, bertolak dari pemikiran semacam itulah pembicaraan tentang jurnalisme sastra Banjar modern ini akan kita mulai.

/ 2 /
Haraf mafhum, istilah “jurnalisme sastra” dalam konteks pembicaraan ini akan mengacu pada pengertian yang seluas-luasnya. Ia tidak saja berorientasi pada media massa cetak berupa penerbitan berkala dan lembaga-lembaga penerbitan lainnya, tetapi mencakup segala bentuk dan tradisi yang mungkin dapat dimanfaatkan sebagai media penyebarluasan karya sastra.[2] Jadi, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk seperti penerbitan buku, majalah, tabloid, surat kabar, buletin, radio, televisi, internet, dan bahkan tradisi barter karya yang mungkin hanya dicetak atau distensil secara sangat sederhana. Namun begitu, tentu saja penerbitan buku dan media massa cetak berkala akan lebih mendapat tempat dalam pembicaraan ini oleh karena faktor efektivitasnya yang relatif tinggi dan sekaligus paling representatif sebagai bentuk jurnalisme sastra.
Secara hirtoris, sejak tahun 1930-an di Kalimantan Selatan dan sekitarnya (khasnya Samarinda di Kalimantan Timur) sebenarnya sudah bermunculan penerbitan-penerbitan berkala secara silih berganti (termasuk dalam arti hanya berganti nama). Puluhan majalah dan surat kabar pernah hadir sebagai mitra jurnalisme sastra. Beberapa majalah, baik yang distribusinya relatif luas maupun yang hanya beredar untuk kalangan terbatas, yang dapat disebutkan adalah Tjanang, Bingkisan, Kesadaran Kalimantan, Perintis, Malam Djumahat, Pembangoen Semangat, Poernama Raja, Mestika Merdeka, Roman Semangat, Islam Berdjoeang, Sinar Hoeloe Soengai, Njanjian Soeboeh, Kedaulatan, Piala, dan Paun —untuk menyebut beberapa di antaranya. Sedangkan dalam bentuk surat kabar antara lain Oetoesan Kalimantan, Soeara Kalimantan, Borneo Post, Borneo Shimbun, Kalimantan Raja, Bintang Boerneo, Kalimantan Berdjoeang, Terompet Rakjat, Pengharapan, Upaja, Indonesia Merdeka, dan Indonesia Berdjoeang —juga untuk menyebur beberapa saja.[3]
Menurut keterangan Artum Artha, penerbitan-penerbitan berkala tersebut semuanya berbahasa Indonesia (Melayu), kendati di antaranya ada juga yang sesekali memuat karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu-Banjar berupa pantun, syair, dan cerita.[4] Dengan demikian, dapat diduga bahwa pada masa itu karya-karya sastra Banjar modern belum lagi memasuki dunia penerbitan dalam suatu rubrik khusus dan berkesinambungan. Namun begitu, sangat mungkin bahwa pada tahun-tahun 1940-an atau beberapa tahun sesudahnya sudah ada karya-karya sastra Banjar modern yang sekali waktu muncul di beberapa penerbitan tersebut, terutama karya puisi. Setidak-tidaknya, karya-karya tersebut sudah dapat dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya tradisi penulisan sastra Banjar modern yang hingga saat ini diasumsikan dimulai dengan genre puisi.
Kendati kelahiran genre puisi diduga muncul lebih awal, tetapi menyangkut sistem jurnalisme sastranya tampaknya tidak lebih marak daripada karya-karya cerpen yang tradisi penulisannya baru dimulai sekitar tahun 1970-an (menyusul genre drama pada waktu yang hampir bersamaan). Penulisan cerpen Banjar dimulai oleh A. Rasyidi Umar dan Syukrani Maswan yang dalam dasawarsa tersebut keduanya menggagas dan membidani langsung acara apresiasi sastra di Radio Kamajaya Banjarmasin.[5] Karya-karya cerpen Banjar yang mereka tulis disiarkan (dibacakan) sebagai selingan dan sekaligus bahan bandingan cerpen-cerpen Indonesia. Ikut terlibat aktif dalam acara berdurasi satu jam tersebut adalah beberapa mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia (IMSI), Fakultas Keguruan Universitas Lambung Mangkurat (FKg. Unlam) Banjarmasin. Di antaranya dapat disebutkan nama-nama Rustam Effendi, Abdul Wahid Fahmi, Fathurrachman Nunci, Jauhar, Sutisna Hayati, dan Noor Aina. Dalam periode 1974—1978, organisasi kemahasiswaan ini pernah pula beberapa kali menyelenggarakan sayembara penulisan puisi dan cerpen Banjar.[6]
Berdasarkan data di atas, jurnalisme sastra Banjar modern sepanjang dasawarsa 70-an itu juga belum memasuki sistem penerbitan, baik penerbitan buku maupun penerbitan berkala. Sebab, sejauh yang saya ketahui, sampai dengan akhir 1970-an belum ada indikasi yang dapat mengarahkan kesimpulan kita akan adanya sebuah majalah atau surat kabar yang memuat karya-karya puisi maupun cerpen Banjar dalam sebuah rubrik khusus. Sedangkan karya-karya yang mungkin sesekali muncul sebagai sisipan memang sangat sulit untuk dilacak kembali. Namun demikian, kiranya perlu dicatat bahwa pada masa itu sistem jusnalisme sastra kita sudah mulai memanfaatkan media elektronik (berupa siaran radio). Hanya saja, publikasi cerpen Banjar (mungkin juga diselingi karya-karya puisinya) melalui siaran radio amatir tersebut masih saja sebagai tempelan dalam acara yang sesungguhnya lebih berorientasi pada apresiasi sastra Indonesia. Jadi, pada masa itu, tampaknya memang belum ada siaran khusus untuk apresiasi sastra Banjar modern, sebagaimana juga berlaku untuk program acara bertajuk “Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni” yang selama puluhan tahun diasuh oleh penyair Hijaz Yamani di RRI Nusantara III Banjarmasin —program acara ini sudah dimulai sejak tahun 1953.[7]

/ 3 /
Dalam tahun 1980-an hingga 1990-an, tradisi sastra Banjar modern lebih banyak diwarnai even-even lomba baca dan sayembara penulisan (puisi dan cerpen) yang antara lain pernah beberapa kali dilaksanakan oleh Taman Budaya Prov. Kalsel, Kanwil Depdikbud Prov. Kalsel, HIMSI Kalsel, dan Radio Nirwana Banjarmasin. Sepanjang dua dasawarsa tersebut, sistem jurnalisme sastra kita melalui media massa cetak tampaknya juga tidak mengalami perkembangan yang signifikan.
Kendati juga tak bisa dibuktikan secara autentik, kemungkinan media yang sesekali memuat karya puisi (Banjar modern) adalah Banjarmasin Post, Dinamika Berita (kemudian berubah nama menjadi Kalimantan Post), dan Media Masyarakat. Namun, perlu dicatat bahwa pada awal tahun 1980-an jurnalisme sastra Banjar modern telah memunculkan fenomena baru yang pada masa-masa sebelumnya belum pernah tersentuh sama sekali. Dengan terbitnya sebuah kumpulan puisi dalam edisi dua bahasa (Banjar-Indonesia) karya Artum Artha dengan judul Unggunan Puisi Banjar (1982), jusnalisme sastra Banjar modern berarti sudah mulai memasuki sistem penerbitan buku —meski sampai saat ini pun (baca: tahun 2005) di Kalsel belum ada suatu lembaga yang bisa digolongkan sebagai penerbit profesional, kecuali lebih tepat disebut sebagai lembaga percetakan saja.
Tahun 1990-an sebenarnya cukup memberi angin segar bagi perkembangan jurnalisme sastra daerah kita. Sebab, setelah direkomendasikan dalam Musyawarah Seniman (Musen) II Kalsel pada tahun 1993, terhitung sejak Agustus 1994 Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalsel telah menerbitkan sebuah majalah kebudayaan bernama Bandarmasih.[8] Namun, di samping lantaran usianya yang hanya bisa bertahan beberapa nomor penerbitan saja, ternyata majalah ini sama sekali tidak memberikan kontribusi positif bagi perkembangan jurnalisme sastra Banjar modern.[9]
Kemudian, setelah vakum beberapa lama (1995—1998), barulah karya-karya puisi dan cerpen Banjar mulai mendapat tempat (meski tetap sahibar umpat baupang) dengan terbitnya tabloid kebudayaan Wanyi (juga milik DKD Kalsel) yang tampaknya dimaksudkan sebagai pengganti majalah Bandarmasih yang usianya hampir seumur jagung itu. Paling tidak, melalui tabloid setengahbulanan yang terutama dimotori oleh dua serangkai (Drs. Jarkasi dan Drs. Syarifuddin R) itu, selama 36 nomor penerbitannya (April 1999 s.d. Januari 2001) telah dipublikasikan sekitar dua puluhan cerpen Banjar (dari 14 cerpenis —sayang, mungkin karena kesalahan teknis, tiga di antaranya tidak dicantumkan nama pengarangnya) dan beberapa karya puisi (dari seorang penyair).
Perlu dicatat, dua cerpen di antaranya justru ditulis oleh dua pengarang Banjar berkewarganegaraan Malaysia (Abdul Majid bin Lazim dan Ismail bin Najar).[10] Maka, dapat dikatakan bahwa munculnya fenomena baru ini merupakan suatu gebrakan dalam sistem jurnalisme sastra kita. Dikatakan demikian karena pada masa-masa sebelumnya memang tidak pernah terjadi publikasi karya yang tingkat frekuensinya sekerap pemuatan di tabloid kebudayaan milik DKD Kalsel tersebut. Namun, toh lagi-lagi tetap harus disayangkan, Wanyi pun akhirnya mati muda.
Sekarang, sepeninggal Wanyi, satu-satunya media massa cetak lokal yang mau mewadahi dan cukup respek terhadap perkembangan sastra Banjar modern adalah SKH Radar Banjarmasin yang sejak pertengahan 2003 hingga pertengahan 2004 lalu telah memuat lebih dari sepuluh karya cerpen Banjar (dari lima pengarang), kendati juga belum merupakan rubrik khusus (tetap). Tentu saja kebijakan semacam ini sangat bergantung pada siapa-nya dan bukan pada apa-nya. Hal ini mungkin terjadi, barangkali, hanya karena (dan beruntunglah kita) rubrik “Cakrawala Sastra & Budaya”-nya kebetulan dipegang oleh seorang Sandi Firly yang (kebetulan juga seorang cerpenis), selaku redaktur kebudayaan, komitmen dan keterbukaannya terhadap sastra Banjar —di samping sastra Indonesia, tentu saja— memang tak perlu diragukan lagi. Karena itu, selama rekan-rekan dari Radar Banjarmasin masih cukup akomodatif (apalagi jika langkah positif ini kemudian diikuti oleh koran-koran lokal lainnya), kiranya kita tak perlu khawatir bahwa perkembangan jurnalisme sastra Banjar modern akan kembali sepi seperti pada masa-masa sebelum kehadiran Wanyi (akhir 1990-an ke bawah).

/ 4 /
Dalam bidang jurnalisme sastra, tampaknya kita memang perlu becermin pada tradisi sastra Jawa dan Sunda (modern) yang usianya seiring dengan pertumbuhkembangan sastra Indonesia modern. Sekarang ini, dalam lingkungan sastra Jawa mutakhir, di samping kehadiran majalah Panyebar Semangat yang sudah teruji ketahanannya selama puluhan tahun, masih ada Jaya Baya dan Djaka Lodang yang tiras penerbitannya rata-rata sekitar 5.000 eksemplar per edisi penerbitan. Kemudian, ada juga Pagagan dan Parikesit (media yang disebut terakhir baru terbit sejak tahun 2003 melewat dengan tiras di bawah 1.000 eksemplar per edisi), sedangkan Mekar Sari kini telah menempel di Kedaulatan Rakyat. Adapun untuk lingkungan sastra Sunda, di samping tetap bertahannya majalah Mangle yang bertiras mencapai angka 10.000-an per bulan itu, ada juga tabloid Galura yang oplahnya lebih-kurang sama (setara).[11]
Kendati mimpi untuk memiliki sebuah (apalagi beberapa) media sastra daerah yang representatif semacam Panyebar Semangat atau Mangle masih merupakan obsesi besar yang realisasinya masih terlalu sulit untuk diprediksikan, perkembangan sastra Banjar modern ke depan selebihnya sangat ditentukan oleh produktivitas dan kreativitas para pengarangnya. Namun, persoalannya sekarang, adakah dunia sastra kita memiliki sosok pengarang yang sehandal pengarang-pengarang Jawa modern semisal Suparto Brata, Any Asmara, Asmara Hadi, Hardjana HP, Moch. Soedjadi Madinah, Moch. Nursjahid P, Naning Saputra, Pini A.R., Widi Widajat (untuk menyebut beberapa dari generasi sepuhnya), Krishna Mihardja, Eko Nuryono, Yan Tohari, Aye Suharyono, Widhy Pratiwi, dan Agus Suprihono (beberapa nama dari generasi sekarang)?[12] Jika jawabannya “Cah-ai, asa liwar ngalih di-iindaakan!”, apa boleh buat jika pada akhirnya pembicaran tentang masa depan sastra Banjar modern akan menjadi sia-sia belaka.
Maka, mulai detik ini, biarlah kita coba berpikir sedikit moderat. Untuk sementara waktu, agar kita dapat terus menjalankan “roda pembangunan” di negeri bernama sastra Banjar modern ini, secara serba-sinergis dan berkesimbungan, tak usah dulu kita bermimpi muluk-muluk memiliki tokoh-tokoh pejuang yang dedikasi dan kerja kerasnya sekaliber mendiang Suripan Sadi Hutomo (untuk sastra Jawa) atau Ajip Rosidi (untuk sastra Sunda). Juga tak usah kita berkeras-hati bahwa jurnalisme sastra Banjar modern “wajib” memiliki sebuah atau lebih media publikasi yang murni berbahasa daerah sebagaimana dalam sastra Jawa dan Sunda yang telah disebutkan terdahulu. Kiranya tak usah pula kita merasa berkecil-hati lantaran sejak masa kelahirannya berpuluh tahun silam hingga usia remajanya kini (mungkinkah sekarang ia sedang pubertas?) sastra Banjar modern tak pernah mengenal seorang ayah (karena mungkin ia memang telah ditakdirkan sebagai seorang yatim lagi miskin?).
Selama sang ibu-kandungnya tetap menyayangi dan ingin membesarkan anak-anaknya dengan sepenuh cinta, sastra kita tak akan pernah merasa kesepian lagi. Kitalah (baca: para pengarang Banjar sendiri) ibu-kandungnya itu, figur-figur yang harus selalu siap untuk melahirkan, menerima, dan mendewasakan anak-anak yatim lainnya. Dalam perjalanan keyatimannya itu, kelak di belakang hari, siapa tahu mereka justru akan menemukan ayah-ayah yang sangat banyak? Ayah-ayah yang cinta-kasihnya setara dengan cinta-kasih ibu-kandungnya sendiri? Dalam konteks ini, satu hal yang barangkali harus terus dijaga, jangan sampai ia benar-benar menjadi yatim-piatu dan perlahan-lahan mati dalam kesunyian dunianya yang kejam itu.

/ 5 /
Sebagaimana pernah dituliskan Taufiq Ismail yang mencoba merangkai kata-katanya dengan sebuah ungkapan lama: air bagi ikan, bahasa bagi manusia; maka oksigen bagi ikan, sastra bagi manusia! Namun, masihkah sastra dipandang penting dalam gerak kehidupan yang serba-begitu-cepat dan kian didominasi materialistic-oriented di abad teknologi canggih sekarang ini?
Jika kita masih beranggapan bahwa “berkesenian (baca: bersastra-ria) adalah sebagian dari iman” —untuk meminjam ungkapan yang sering dijadikan bahan guyonan Y.S Agus Suseno— tentunya kita (saya dan Anda semua) ingin terus setia dan tak akan pernah meninggalkan dunia sastra, lebih-lebih untuk sastra Banjar yang kondisinya sungguh nelangsa nian itu. Kita harus selalu yakin —tentu dengan segala risiko dan konsekuensinya— bahwa perkembangan sastra Banjar modern ke depan akan semakin mendapat tempat di hati masyarakatnya. Kita juga senantiasa harus percaya bahwa publik pembaca sastra Banjar modern akan terus bertambah dari tahun ke tahun, dari masa ke masa. Begitulah obsesi kita.

/ 6 /
Alkisah, dalam sebuah mimpi panjang, di tengah peta sebuah negeri madani yang makmur-berkeadilan lagi adil-berkemakmuran saya melihat serombongan sastrawan Banjar abad ke-21 (penyair, cerpenis, novelis, dramawan, bahkan hadir juga esais dan kritikus) dengan pakaian dan penampilan aneka ragam (agak urakan, tetapi tetap sopan) —tanpa kehilangan semangat keindonesiaan— secara tertib bergantian membacakan karya-karya mereka di lantai enam sebuah gedung bertingkat yang dilengkapi berbagai fasilitas pertunjukan serba-canggih. Di ruang full-AC itu, para kepala desa, lurah, camat, bupati, walikota, termasuk gubernur (semua beserta ibu —ada juga yang beserta bapak karena camat atau bupatinya kebetulan perempuan— dan sejumlah stafnya) tampak duduk khidmat menyaksikan pesta sastra yang konon diselenggarakan tahunan itu.
Lalu, dari pojok gedung itu, terdengar celotehan seorang anak belasan tahun —kemudian saya ketahui dia seorang calon novelis Banjar yang sangat potensial— di hadapan beberapa teman sebayanya, “Aku ingin seperti mereka, terus berkarya dengan tidak henti-hentinya. Dengan tidak kapok-kapoknya ditolak redaktur dan penerbit. Kelak novelku akan diterbitkan dalam edisi luks, dibaca oleh banyak orang, tentu juga dengan royalti yang lumayan tinggi. Sedangkan tulisan-tulisanku yang lain bertebaran menghiasi halaman-halaman sejumlah penerbitan di Bumi Lambung Mangkurat ini, dengan jumlah honorarium yang memuaskan pula. Dan, lihat saja nanti, karya-karyaku tentu juga bisa kalian baca melalui situs internet!”
Di akhir acara, sebelum doa dan santap makan bersama, sempat pula saya dengar presenter menyebutkan bahwa para sastrawan tersebut bukan saja berasal dari Kalimantan Selatan sendiri, melainkan juga dari berbagai tempat yang jauh: Jawa, Sumatera, Sulawesi, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, bahkan dari Belanda dan Arab Saudi. Namun, ketika itu saya dan beberapa kawan lainnya tidak begitu menyadari kalau ternyata kami sudah lama menyusul mendiang Hijaz Yamani, Ajamuddin Tifani, Artum Artha, Noor Aini Cahya Khairani, dan entah siapa lagi? []

Batu Ampar, 10 September 2005

CATATAN :
[1] Sampai saat ini, saya masih berasumsi bahwa awal sejarah pertumbuhan sastra Banjar modern baru dimulai sekitar penghujung tahun 1940-an didasarkan atas fakta (dengan data yang sangat minim) bahwa pada tahun 1949 Hassan Basry sudah menulis puisi dengan judul “Rindang Banua”. Kendati, memang, dari segi strukturnya masih sangat dipengaruhi oleh tradisi pantun dan bahasanya pun masih bercampur bahasa Indonesia (Melayu). Lihat juga tulisan H. Syamsiar Seman, “Hassan Basry Penulis Karya Sastra” (Banjarmasin Post, 15 Juli 1999).
[2] Dalam batas-batas tertentu, pengertian tersebut juga mengacu pada konsep sistem penerbitan seperti yang dikemukakan Ronald Tanaka ketika menjelaskan tentang teori-makro-sastra-nya, yakni lembaga yang menerbitkan dan memasarkan karya sastra. Lihat bukunya, Systems Models for Literary Macro-Theory (Lisse: Peter de Ridder Press, 1976). Perlu dicatat, konsep ini harus dibedakan dengan istilah “jurnalistik sastra” sebagai gambaran media massa yang menggunakan teknik-teknik sastra seperti yang dimaksudkan S. Sinansari Ecip dalam sebuah esainya, “Jurnalistik Sastra: Sejenak Berkenalan dengan Gadis Gemulai” (Sinar Harapan, 20 Oktober 1983).
[3] Selengkapnya lihat catatan Artum Artha dalam sebuah artikel panjangnya, “Pengarang-Wartawan-Penjair Kal-Sel dalam Tahun 1930—1950,” (Intansari, edisi Maret-April 1971).
[4] Wawancara penulis dengan Artum Artha (1 Oktober 2002) yang dilengkapi dengan catatan-catatan tangan, selang beberapa hari sebelum beliau berpulang ke rahmatullah (28 Oktober 2002). Namun, sangat disayangkan, data yang dikemukakan tidak disertai dengan arsip teks-teks sastranya. Selain itu, karya-karya yang dicontohkan (dalam catatan beliau) masih berorientasi pada sastra Banjar (Melayu) klasik.
[5] Jika kita beranalogi pada sejarah lahirnya cerpen Indonesia yang merujuk pada karya-karya M. Kasim dan Syuman Hs, cikal-bakal tradisi penulisan cerpen Banjar sesungguhnya dapat dimulai dari cerita-cerita serial “Si Palui” yang ditulis Yustan Aziddin sejak Oktober 1973. Namun, bagaimanapun, bentuk cerita rakyat yang telah dimodifikasi tersebut belum bisa disebut cerpen sebagaimana dalam konsep sastra modern. Masalah ini mirip dengan kasus karya-karya japin carita yang banyak digarap oleh (antara lain) B. Sanderta, Y.S. Agus Suseno, dan Abdus Syukur MH karena secara struktural masih dibatasi oleh pakem drama tradisional Banjar, kendati dilihat dari aspek tertentu sudah menunjukkan ciri-ciri sastra modern.
[6] Data ini didasarkan pada informasi yang disampaikan A. Rasyidi Umar via surat pribadinya kepada saya (29 Desember 2002) dan dilengkapi penjelasan melalui wawancara (16 Februari 2003). Namun, juga sangat disayangkan bahwa karya-karya cerpen dimaksud tidak disertai dengan teks-teks pendukung akibat ketiadaan dokumentasi.
[7] Lihat “Catatan Pembuka” Burhanuddin Soebely, La Ventre de Kandangan: Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (Kandangan: Disparbud Pemkab HSS, 2004), hlm.7.
[8] Majalah Bandarmasih sebenarnya sudah pernah diterbitkan oleh Perwakilan Jawatan Kebudayaan Kalsel pada tahun 1950-an (entah sampai berapa nomor sebelum penerbitannya terhenti). Kemudian, pada awal 1970-an majalah kebudayaan tersebut dihidupkan kembali (juga hanya untuk beberapa nomor saja) atas rekomendasi Musen I (1971). Namun, sejauh ini tidak ada data yang menunjukkan bahwa majalah yang juga berbahasa Indonesia tersebut dapat disebut sebagai media publikasi sastra Banjar modern. Besar kemungkinan bahwa pada masa itu memang tidak ada pengarang kita yang menulis dalam bahasa Banjar dan mengirimkan karya-karya sastranya untuk dipublikasikan.
[9] Hal yang sama juga terjadi pada jurnal kebudayaan Palangsaran yang kemudian digantikan oleh tabloid kebudayaan Gerbang —keduanya terbit di Kandangan (Hulu Sungai Selatan), juga untuk beberapa nomor saja. Kalau saya tidak keliru, konon Gerbang dapat terbit sampai belasan edisi, sedangkan Palangsaran justru hanya bisa bertahan satu kali terbit.
[10] Menurut informasi Burhanuddin Soebely melalui suratnya kepada saya (bertanggal 6 Maret 2003), seorang pengarang Banjar asal Malaysia lainnya, Asari bin Osman, bahkan sudah memasuki situs internet (lihat http://www.geocities.com/tokyo/palace/5830/teater.html) sebagai media publikasi karya-karyanya (meliputi puisi, cerpen, dan drama). Lihat juga catatan saya, “Sastra Banjar Modern: Langkah Si Yatim Menuju Gerbang Mimpi”, sebagai prasaran dalam rangkaian acara bertajuk La Ventre de Kandangan: Aruh Sastra Kalimantan Selatan (Kandangan, 22—23 Mei 2004).
[11] Data mengenai penerbitan sastra Jawa mutakhir saya dapatkan dari Tirto Suwondo (melalui SMS), seorang kritikus sastra dari Balai Bahasa Yogyakarta. Untuk data penerbitan sastra Sunda saya peroleh dari Wan Anwar (dalam suatu obrolan sepanjang Pangkalan Bun—Sampit) dan Cecep Syamsul Hari (melalui SMS) —keduanya redaktur majalah sastra Horison. Mengenai situasi penerbitan sastra Jawa selama tahun 1950-an, lihat uraian Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Priayi-Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), sedangkan untuk kurun waktu 1960-an sampai dengan 1970-annya dapat dibaca dalam buku Imam Budi Utomo dkk., Eskapisme Sastra Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002).
[12] Informasi tentang pengarang-pengarang Jawa terkini saya peroleh dari catatan sahabat saya di Yogyakarta, Krishna Mihardja (maaf, ini juga cuma melalui SMS lho!).


Sumber:
http://sastra-banjar.blogspot.co.id/2015/04/esai-sastra-banjar-5.html

0 komentar: