Esai Jamal T. Suryanata: Sastra Banjar Modern: Langkah Si Yatim Menuju Gerbang Mimpi
/ 1 /DALAM lingkupnya yang luas, istilah “sastra Banjar” mengacu pada seluruh karya sastra yang diungkapkan dalam bahasa Banjar, baik dengan media lisan maupun tulisan. Batasan tersebut sekaligus merepresentasikan bahwa dalam khazanah sastra Banjar secara historis maupun dari segi estetisnya —sebagaimana juga dalam lingkungan sastra lainnya— terdapat ruang dialektis yang kemudian memunculkan dikotomi “sastra klasik” dan “sastra modern”. Namun, dalam banyak publikasi dan berbagai pembicaraan tentang sastra Banjar selama ini tampaknya telah terjadi distorsi pengertian yang menyaran hanya pada karya-karya sastra klasik atau sastra lisannya saja. Jadi, dengan demikian, sebutan sastra Banjar dipandang masih identik dengan mantra, syair, pantun, cerita-cerita rakyat, atau bentuk-bentuk khusus seperti andi-andi, lamut, mamanda, dan madihin.[1]
Pandangan demikian jelas telah mengesampingkan keberadaan sastra Banjar modern yang masa awal pertumbuhannya diperkirakan sudah dimulai sejak paro kedua tahun 1940-an. Bagaimanapun, kendati dalam usianya yang masih relatif muda itu, sastra Banjar modern telah menunjukkan eksistensinya sebagai sisi lain dari khazanah sastra Banjar atau sebagai kekayaan budaya Banjar pada umumnya. Sebab, berbeda dengan karya-karya sastra klasiknya yang cenderung statis, sastra Banjar modern merupakan aset budaya yang lebih dinamis dan karenanya ia perlu diberi tempat serta hak hidup yang sewajarnya. Namun, sejauh ini pertumbuhkembangan sastra Banjar modern tampaknya masih seperti langkah si yatim yang berjalan terseok-seok menuju gerbang mimpinya; bahwa sebuah rumah idaman yang indah dan penuh dengan tamansari sastra itu tak lebih dari sesuatu yang masih diandaikan.
Hal itu terbukti karena sejak masa pertumbuhannya sampai dengan awal abad ke-21 ini jumlah karya sastra yang ada relatif masih sangat sedikit. Tidak berimbang dengan jumlah pengarangnya. Selama ini (baca: sampai tahun 2000), dalam khazanah sastra Banjar modern hanya dikenal tiga genre sastra: puisi, cerpen, dan drama.[2] Sedangkan untuk genre novel tampaknya masih merupakan makhluk asing, masih sebagai obsesi besar yang entah sampai kapan kelahirannya bisa diharapkan.[3]
Secara kuantitatif, hingga saat ini jumlah karya-karya puisi yang ada diperkirakan belum mencapai ribuan judul (dengan jumlah penulis sekitar 100-an orang); jumlah karya cerpennya belum mencapai ratusan judul (dengan jumlah penulis sekitar 30-an orang); sedangkan karya drama belum mencapai puluhan judul (dengan jumlah penulis tidak lebih dari 5 orang). Bahkan, untuk genre drama kiranya masih perlu dipersoalkan lagi oleh karena karya-karya dimaksud sudah sangat sulit dilacak keberadaannya.[4] Lalu, masih menjadi pertanyaan pula, apakah pengarang-pengarang yang hanya menghasilkan satu-dua karya puisi atau cerpen atau drama Banjar modern sudah layak disebut sebagai sastrawan Banjar modern?
/ 2 /
Kiranya, ada banyak masalah yang hingga kini terus menelikung dunia sastra Banjar modern sehingga ia tidak dapat berkembang dengan wajar sebagaimana yang terjadi dalam lingkungan sastra Jawa dan Sunda, misalnya. Masalah-masalah tersebut terutama menyangkut sistem makro-sastra atawa lingkungan karya sastranya yang selama ini memang cenderung kurang mendukung —bahkan, secara ekstrim harus dikatakan sangat tidak kondusif. Kenyataan tersebut dapat ditelusuri melalui beberapa subsistem yang selanjutnya akan membentuk sistem tersendiri. Empat sistem yang terpenting di antaranya meliputi sistem penerbitan, sistem pengarang, sistem pembaca, dan sistem kritik sastra.[5]
Dalam bidang publikasi, kita tahu, sejak masa pertumbuhannya hingga sekarang ini sastra Banjar modern adalah dunia sastra yang nyaris nol penerbitan —dalam arti yang seluas-luasnya (baik dalam bentuk lembaga penerbit maupun media massa cetak semacam Jayabaya dan Panyebar Semangat dalam sastra Jawa atau Mangle untuk lingkungan sastra Sunda). Dengan demikian, dapat diduga bahwa sistem penyebarluasan karya-karya sastra Banjar modern selama ini sudah tentu lebih banyak ditempuh melalui jalur di luar sistem penerbitan. Misalnya, melalui even-even lomba baca atau sayembara penulisan (khususnya puisi dan cerpen) yang pernah beberapa kali dilaksanakan oleh lembaga tertentu (antara lain Taman Budaya Prov. Kalsel, Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud, dan Radio Nirwana Banjarmasin). Adapun naskah drama terutama ditulis untuk keperluan suatu pementasan (teater).
Di tengah sengkarutnya sistem publikasi dan kosongnya media penerbitan tersebut, baru pada akhir dekade 90-an kerinduan kita akan media publikasi sedikit terobati dengan hadirnya Wanyi (sebuah tabloid kebudayaan setengahbulanan milik DKD Kalsel) yang selama 36 nomor penerbitannya (April 1999 s.d. Januari 2001) sangat banyak membantu serta mendorong perkembangan sastra Banjar modern. Dalam usianya yang relatif pendek itu, setidak-tidaknya terhitung sudah 20 karya cerpen Banjar pernah dimuat dalam tabloid ini, di samping beberapa karya puisi. Kemudian, setelah vakum beberapa lama, dalam dua tahun terakhir (2003—2004) satu-satunya media massa cetak lokal yang patut diacungi jempol —karena keakomodatifan dan keterbukaannya terhadap publikasi sastra Banjar modern— adalah SKH Radar Banjarmasin. Melalui rubrik “Cakrawala Sastra & Budaya”-nya, hingga kini sudah belasan karya cerpen Banjar yang telah dipublikasikannya. Kalaupun masih ada media lain yang sesekali pernah memuat karya-karya puisi Banjar modern, mungkin harus ditujukan pada SKH Banjarmasin Post. Namun begitu, kita masih tetap perlu menyayangkan karena sampai saat ini dunia sastra Banjar modern belum memiliki suatu media penerbitan yang sepenuhnya berbahasa daerah sebagaimana dalam dunia penerbitan sastra Jawa dan Sunda.[6]
Jika persoalan di atas kita kaitkan dengan penerbitan karya dalam bentuk buku, sampai saat ini mungkin hanya beberapa karya yang bisa disebutkan. Di tahun 1980-an, Artum Artha pernah menerbitkan Unggunan Puisi Banjar (1982), buku kumpulan puisi Banjar modern dalam edisi dua bahasa (Banjar-Indonesia). Dalam dasawarsa yang sama, Panitia Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar Radio Nirwana Banjarmasin pernah pula menerbitkan dua buku kumpulan cerpen Banjar secara sangat sederhana, hanya untuk kepentingan materi lomba tersebut (1990, 1992). Selain itu, beberapa karya cerpen Banjar (16 cerpen karya 10 cerpenis) dimuat sebagai lampiran buku Kajian Seni: Karakter Tokoh-tokoh Idaman Cerpen Banjar Modern yang disusun oleh Jarkasi dan Djantera Kawi (2000). Selanjutnya, Hamami Adaby juga berhasil menerbitkan kumpulan puisi Banjar modernnya di bawah tajuk Uma Bungas Banjarbaru (2004).[7] Lalu, menyusul sebuah antologi puisi bersama dengan judul Garunum (2005) karya lima penyair Banjarbaru (Hamami Adaby, Arsyad Indradi, Ersis Warmansyah Abbas, Rudy Resnawan, dan Dewa Pahuluan).
Kenyataan betapa seretnya sistem penerbitan tersebut pada akhirnya memang berdampak langsung pada surutnya kegairahan para pengarang di daerah ini untuk menulis dalam bahasa Banjar yang notabene merupakan bahasa-ibu mereka. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, mereka lebih banyak hadir dan berkiprah sebagai pengarang sastra Indonesia. Dapat dipastikan bahwa beberapa pengarang yang selama ini menghasilkan karya-karya sastra Banjar modern pada awal karier kepengarangan mereka semuanya berangkat dari penulisan sastra Indonesia. Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan jika sebagian karya sastra Banjar modern yang ada selama ini di antaranya hanya merupakan hasil terjemahan harfiah dari sastra Indonesia yang pernah mereka tulis sebelumnya. Hal ini tampak dari masih kuatnya pengaruh bahasa Indonesia ke dalam karya-karya sastra Banjar modern, di samping warna lokalnya yang sama sekali tidak bersentuhan dengan tradisi-budaya Banjar —saya kira, antologi puisi Garunum paling representatif sebagai contoh gejala ini.
Dalam sistem kepengarangan, dari sekitar 300-an lebih nama sastrawan (Indonesia) asal Kalsel —antara lain yang pernah dihimpun Jarkasi dan Tajuddin Noor Ganie dalam buku Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (2001)— barangkali tidak ada separo di antaranya yang sekaligus juga menulis dalam bahasa Banjar, apalagi untuk bisa disebut sebagai sastrawan Banjar modern. Faktor penyebabnya tentu masih ada hubung-kaitnya dengan buruknya sistem penerbitan di atas, di samping faktor-faktor lain seperti kurangnya penguasaan bahasa Banjar beserta teknik penulisannya maupun alasan yang berkenaan dengan jangkauan popularitas dan “logika asap dapur”. Sebab, jangankan menulis dalam bahasa Banjar yang nihil penerbitan plus dengan lingkungan pembacanya yang sangat terbatas, sejauh ini profesi kepengarangan di Indonesia pada umumnya memang belum bisa dijadikan sandaran hidup utama bagi para sastrawan. Oleh karena itu, dalam pola pikir yang profit-oriented, tidaklah lacur jika kebanyakan pengarang Kalsel lebih memilih menulis sastra Indonesia yang —seperti pernah diungkapkan Y.S. Agus Suseno— di samping rubriknya tersedia di media massa (lokal maupun nasional), honornya pun ada.[8] Jadi, menulis tidak semata-mata untuk mencari kepuasan batin, tetapi juga terpenuhinya tuntutan materiil.
Ketika kita coba memasuki pembicaraan sastra Banjar modern dalam kaitannya dengan sistem pembaca, tampak bahwa kondisi seperti yang terjadi dalam kedua sistem sastra sebelumnya ternyata lebih kurang sama adanya. Dilihat dari sistem pembaca, perkembangan sastra Banjar modern juga sangat memprihatinkan. Sejauh ini, lingkungan pembaca sastra Banjar modern masih berkisar dari elite ke elite sastra itu sendiri. Masyarakat Banjar bukanlah masyarakat pembaca sebagaimana dalam sastra Jawa atau sastra Sunda yang hampir menjangkau semua lapisan masyarakatnya. Secara umum, keadaan masyarakat Banjar hingga saat ini belum “melek sastra”. Kendati sekarang masyarakat Banjar sudah melek aksara, tetapi kegiatan membaca —lebih-lebih lagi menulis— belum lagi menjadi tradisi yang baik. Tradisi lisan masih sangat kuat mewarnai pola kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai konsekuensi logis dari kondisi semacam itu jelas media massa cetak belum mendapat tempat yang semestinya. Dalam kondisi masyarakat yang demikian sudah tentu harapan akan berkembangnya dunia sastranya secara wajar masih terasa muskil.
Lalu, seiring dengan ketiga persoalan di atas, sistem kritik sastra yang seyogianya dapat menjadi penopang apresiasi masyarakat serta tumbuh berkembangnya dunia sastra kreatifnya secara lebih inklusif ternyata juga belum mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Beberapa penulis yang pernah menghasilkan karya kritik sastra tentang sastra Banjar modern di antaranya dapat disebutkan tiga nama: Muhammad Yusransyah, Jarkasi, dan Tajuddin Noor Ganie. Mereka menulis esai-esai berupa ulasan ringkas mengenai satu-dua karya puisi atau cerpen Banjar yang kemudian disiarkan melalui beberapa media massa cetak lokal seperti Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin, Wanyi, dan Bandarmasih. Sampai saat ini (baca: tahun 2004), Kajian Seni: Karakter Tokoh-tokoh Idaman Cerpen Banjar Modern yang ditulis oleh Jarkasi dan Djantera Kawi mungkin merupakan satu-satunya karya kritik sastra Banjar modern yang berhasil diterbitkan dalam bentuk buku. Selebihnya, sejumlah karya sastra Banjar modern (terutama cerpen) diangkat dan ditelaah dalam bentuk laporan hasil penelitian ilmiah (akademis), terutama berupa skripsi sarjana oleh sejumlah mahasiswa STKIP PGRI dan FKIP Unlam (Banjarmasin). Namun, perlu digarisbawahi bahwa karya-karya kritik sastra akademis tersebut jelas lebih bersifat eksklusif jika dibandingkan dengan karya-karya kritik umum (kreatif) yang tentunya dapat dibaca oleh kalangan pembaca yang lebih luas.
/ 3 /
Seiring dengan persoalan sistem makro-sastranya yang selama ini menjadi momok dalam perkembangan sastra Banjar modern, sebagaimana telah diuraikan di atas, ada suatu fenomena kesastraan yang tampaknya cukup signifikan menandai karya-karya sastra kreatifnya. Bahwa sastra Banjar modern selama ini masih menunjukkan gejala “sastra di simpang jalan” pada dasarnya merupakan akibat tak langsung dari kondisi lingkungan sastranya yang kurang kondusif itu. Gejala ini antara lain ditandai oleh masih begitu kuatnya pengaruh tradisi lisan dalam banyak karya kreatifnya, terutama dalam karya-karya cerpen (kisdap). Pada satu sisi, stuktur formal sastranya memang sudah menunjukkan ciri-ciri kemodernan sebagaimana struktur cerpen Indonesia. Misalnya, temanya yang lebih beragam, tipologi penokohannya yang relatif kompleks, pola pengalurannya yang tidak selalu lurus ke depan, atau model penyudutpandangannya yang lebih variatif.
Namun, pada sisi lain beberapa karya di antaranya justru masih memperlihatkan pola-pola sastra tradisional sebagaimana dalam tradisi bakisah dan cerita-cerita rakyat (“Si Palui” atau “Sarawin”, misalnya). Temanya yang seringkali hanya berkisar tentang kesalahpahaman dalam berkomunikasi, penuh lelucon dan muatan humor yang sangat tinggi, bahasanya yang spontan dan bergaya lisan, atau teknik penyudut-pandangannya yang cenderung mendalang saja merupakan beberapa ciri dari pengaruh kelisanan. Dengan kata lain, karya-karya sastra Banjar modern yang ada selama ini masih berada di bawah bayang-bayang antara sastra lisan Banjar di satu sisi dan sastra Indonesia modern di sisi lain.[9]
Gambaran di atas setidak-tidak membuktikan bahwa perkembangan sastra Banjar modern hingga sejauh ini masih memperlihatkan ketegangan antara tradisi dan pembaruan. Kenyataan tersebut barangkali memang sejalan dengan perkembangan masyarakat Banjar sendiri —sebagai lingkungan yang melahirkannya— yang hingga saat ini tampaknya juga masih berada dalam ketegangan antara kelisanan (orality) dan keberaksaraan (literacy). Kendati para pengarang Banjar secara dikotomis termasuk kelompok masyarakat terpelajar, tetapi karya-karya sastranya bukanlah representasi dari kehidupan para pengarangnya. Sastra Banjar modern, bagaimanapun, merupakan refleksi sosial dari tradisi-budaya masyarakat yang menjadi lingkungan terdekatnya. Sebab, jika ia sudah lepas bebas dari semangat tradisi atau muatan kultur kebanjarannya, maka dengan sendirinya karya-karya semacam itu sudah kehilangan ruh kedaerahan atau warna lokal (local color) yang seyogianya terpancar dalam setiap karya sastra daerah. Jika karya-karya sastra daerah sudah tercerabut dari akar budayanya, lalu apa bedanya sastra daerah dengan sastra nasional (baca: sastra Banjar dengan sastra Indonesia), kecuali karena faktor perbedaan bahasa yang menjadi mediumnya? Namun, bagaimanapun, hal ini tetap akan menjadi sebuah persoalan dialektis.
/ 4 /
Melihat kenyataan betapa sengkarut dan terseok-seoknya perjalanan sastra Banjar modern selama ini, sebagai wilayah yang nyaris selalu terabaikan, kiranya dapat diprediksikan bahwa dalam perkembangannya ke depan pasti akan semakin mengalami banyak benturan. Perkembangan sosiokultural masyarakat Banjar yang tentu akan semakin kompleks di masa-masa mendatang sudah pasti akan berpengaruh besar pula terhadap perkembangan dunia sastranya di kemudian hari. Untuk itu, jika kita memang bersetuju bahwa peran sastra Banjar —juga sastra-sastra daerah lainnya— masih dipandang penting dan layak diberi hak hidup, kiranya perlu dipikirkan upaya-upaya strategis agar ia tetap bisa eksis di bawah kuatnya pengaruh sastra Indonesia.
Jika selama ini keberadaan karya-karya sastra Banjar modern cenderung bersifat eksklusif, hanya bisa dibaca dan dinikmati oleh kalangan yang sangat terbatas, sudah waktunya para pengarang sendiri mulai mengusahakan sistem publikasi secara lebih terbuka. Jika selama ini karya-karya sastra Banjar cenderung tidak dicari oleh masyarakatnya, sudah saatnya para pengarang sendiri yang harus bergerak secara proaktif untuk menemui pembacanya melalui berbagai strategi. Selain dengan cara-cara klise yang telah dilakukan selama ini, mereka juga harus mampu memanfaatkan berbagai hasil teknologi mutakhir sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya, baik melalui media cetak maupun elektronik. Juga, jika selama ini penerbitan buku masih merupakan sesuatu yang asing dalam tradisi sastra Banjar, sudah saatnya pula para pengarang untuk mulai memasuki dunia penerbitan secara lebih profesional.
Upaya lain yang mungkin perlu dilakukan adalah dengan membentuk suatu wadah, organisasi kesastraan semisal Komunitas Sastra Banjar atau Pondok Sastra Banjar dengan manajemen yang baik. Sebab, melalui wadah semacam itu tentunya banyak hal yang dapat dipikirkan dan dilakukan, di samping kerja individual yang harus tetap dipertahankan. Bentuk-bentuk kerja kolektif itu antara lain menyangkut kegiatan dokumentasi karya, temu sastra, lomba baca, sayembara atau workshop penulisan, dan mungkin pula bisa melangkah ke penerbitan buku. Upaya semacam ini tentu saja harus didukung oleh berbagai pihak yang terkait, terutama pemerintah daerah yang seyogianya tidak hanya memberikan perhatian diplomatis dalam bentuk janji-janji belaka (nonsens!), tetapi harus dalam wujud tindakan konkret (seperti bantuan finasial atau memfasilitasi penerbitan karya dalam bentuk buku).
Selain itu, tampaknya juga perlu dipikirkan upaya penerjemahan karya-karya sastra secara bolak-balik dan proporsional, dari bahasa Banjar ke bahasa Indonesia atau sebaliknya. Bentuk penerjemahan itu sendiri tentunya tidak dilakukan secara harfiah, tetapi dalam bentuk terjemahan bebas. Kalau perlu, sebuah karya hanya diambil gagasan utamanya saja untuk kemudian ditulis kembali secara kreatif ke dalam bahasa kedua. Jika sebuah cerpen Banjar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ia akan tampil sebagai cerpen Indonesia yang kental dengan warna lokal Banjar. Sebaliknya, jika sebuah cerpen Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Banjar, seyogianya ia akan tampil sebagai karya saduran yang telah diadaptasikan dengan tradisi-budaya Banjar sendiri. Proses penerjemahan ini bisa dilakukan oleh pengarangnya sendiri maupun oleh orang lain yang seyogianya juga memiliki pemahaman yang relatif memadai tentang berbagai aspek sosiokultural masyarakat Banjar, di samping kemampuan teknis penulisannya.
Tidak kalah pentingnya adalah media publikasi karya sehingga peran dan kehadirannya dapat lebih mendorong motivasi para pengarang untuk terus berkarya secara kreatif dan produktif. Kendati, misalnya, harapan untuk memiliki sebuah majalah atau surat kabar yang murni berbahasa Banjar masih layaknya mimpi di siang bolong, setidak-tidaknya ada sebuah media massa cetak lokal yang secara tetap dan berkesinambungan mau memberi ruang sebagai wadah bagi para sastrawan Banjar untuk memublikasikan karya-karya terbaru mereka. Ya, tentu saja hal ini hanya sebuah tawaran yang terkesan sudah begitu klise.
/ 5 /
Dengan berbagai upaya strategis seperti yang direkomendasikan di atas diharapkan sastra Banjar modern kelak dapat berkembang secara wajar sebagaimana yang selama ini kita harapkan. Hanya dengan usaha-usaha nyata dan kerja keras semacam itu bolehlah si yatim akan dapat terus melangkah ke depan menuju gerbang mimpinya. Sebab, kalau tidak, sastra Banjar modern sampai kapan pun akan terus terpuruk dalam segala kondisi keterjepitannya dan akan tetap seperti orang berjalan di tempat.
Bagaimanapun, sebagai salah satu khazanah sastra daerah di Indonesia, sastra Banjar modern tetap dipandang perlu untuk terus dikembangkan. Paling tidak, dengan terus mengembangkannya, secara tidak langsung bahasa Banjar pun akan ikut terpelihara. Jadi, apa kabar sastra Banjar modern? Quo vadis? []
Batu Ampar, 20 Mei 2004
CATATAN :
[1] Cara pandang —lebih tepatnya kesalahkaprahan— semacam itu bukan saja berkembang di lingkungan masyarakat awam, melainkan juga terjadi di kalangan intelektual kita. Sekadar contoh, lihat misalnya “Hasil Rumusan Komisi C: Bidang Sosial Budaya” sebagai salah satu hasil pembahasan dalam rangkaian Musyawarah Besar Pembangunan Banua Banjar beberapa waktu melewat (Banjarmasin, 10-13 Agustus 2000). Dalam rumusan tersebut antara lain dinyatakan, “Sastra Banjar adalah salah satu ciri sastra daerah yang hidup di Kalimantan Selatan dengan ciri: berbahasa Banjar, bersifat lisan, telah hidup/berkembang dua generasi, berisi nilai lokal/universal.” Setali tiga uang, perhatikan juga materi perkuliahan Sastra (Daerah) Banjar yang selama ini diberikan di FKIP Unlam maupun STKIP PGRI Banjarmasin.
[2] Sejauh yang saya ketahui, pada awal pertumbuhannya sastra Banjar modern dimulai dengan genre puisi sejak akhir 1940-an, kemudian disusul lahirnya genre cerpen dan drama di sekitar tahun 1970-an. Hal ini sangat berbeda dengan sejarah sastra Indonesia modern yang hampir semua genre sastranya dapat berkembang relatif serentak sejak tahun 1920-an. Juga sangat bertolak belakang dengan sejarah sastra Jawa modern yang dimulai dengan munculnya karya-karya novel (roman) pada tahun 1920-an, kemudian berturut-turut menyusul genre cerpen (cerkak) pada tahun 1930-an, puisi (geguritan), dan akhirnya drama pada tahun 1970-an. Untuk sejarah sastra Indonesia dapat dibaca dalam buku Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1991), sedangkan untuk perkembangan sastra Jawa modern lihat misalnya catatan Imam Budi Utomo dkk., Eskapisme Sastra Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 1.
[3] Sekadar informasi tambahan, belakangan (dalam dekade kedua abad ke-21 ini), khazanah sastra Banjar modern sudah lengkap dengan genre novel. Sayangnya, saya belum punya data akurat mengenai perkembangan baru ini sehingga tak bisa menyajikannya di sini.
[4] Tentang naskah drama, melalui sebuah suratnya kepada saya (tertanggal 6 Maret 2003), Burhanuddin Soebely menginformasikan bahwa pada tahun 1970-an Darmansyah Zauhidhie pernah menulis “Jantina” dan Syamsiar Seman menulis “Kambang Culan”. Di tahun 1980-an, Uda Djarani dan Burhanuddin Soebeli sendiri menulis “Sabar”. Kemudian, pada tahun 2000-an Asari bin Osman (seorang penulis Banjar yang bermukim di Malaysia) menulis “Sonia Putri Kaling” dan “Nini Laki”. Karya-karya Asari antara lain dapat dilihat dalam http://www.geocities.com/tokyo/palce/5830/teater.html (meliputi puisi, cerpen, dan drama). Untuk karya-karya cerpen Banjar, hingga sekarang diperkirakan baru sekitar 60 judul (baik dalam bentuk naskah maupun yang sudah dipublikasikan). Sementara, untuk karya-karya puisi memang agak sulit ditentukan jumlahnya secara keseluruhan. Adapun beberapa naskah japin carita seperti yang pernah ditulis B. Sanderta, Y.S. Agus Suseno, dan Abdus Syukur MH untuk sementara (berdasarkan strukturnya) tetap dimasukkan sebagai genre sastra Banjar klasik, kendati wujud “naskah” (teks tertulis) sudah merupakan salah satu ciri kemodernan.
[5] Uraian teoretis tentang sistem makro-sastra dapat dibaca, misalnya, dalam buku Ronald Tanaka, Systems Models for Literary Macro-Theory (Lisse: The Piter de Ridder Press, 1976).
[6] Menurut catatan Sapardi Djoko Damono, dalam sastra Jawa modern terdapat puluhan majalah dan koran yang pernah terbit secara silih berganti dan hingga kini beberapa di antaranya masih dapat terbit secara berkala dengan oplah ribuan eksemplar. Lihat uraiannya dalam buku Priayi-Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 87—113. Sedangkan Imam Budi Utomo dkk. mencatat sekitar 20-an lembaga penerbit buku (tersebar di beberapa kota di Jawa, termasuk Bandung) yang pernah menerbitkan novel-novel Jawa. Lihat kembali Utomo dkk., op. cit., hlm. 103—112.
[7] Buku Hamami Adaby tersebut telah diulas secara ringkas oleh Jarkasi dalam sebuah esainya, “Menikmati Kumpulan Puisi Uma Bungas Banjarbaru: Menimang Ruang, Minus Estetika” (Radar Banjarmasin, 9 Mei 2004), hlm. 4.
[8] Surat pribadi Y.S Agus Suseno kepada saya (tertanggal 5 Oktober 2002).
[9] Dengan beberapa kekhususan dan perbedaan, kenyataan semacam itu juga terjadi dalam sastra Jawa modern. Sebagaimana pernah diungkapkan Damono, “Ada kesan yang kuat bahwa sejak pertumbuhannya sastra Jawa-baru berada di bawah bayang-bayang sastra Jawa-klasik, terutama yang berakar di keraton dan kemudian menyebar ke kalangan yang lebih luas. Di samping itu, ia tampaknya juga berada di bawah bayangan sastra Indonesia yang tumbuh pada waktu yang bersamaan.” Lihat Damono, op. cit., hlm. 1.
Sumber:
http://sastra-banjar.blogspot.co.id/2015/04/esai-sastra-banjar-4.html
0 komentar: