Esai Jamal T. Suryanata: Sastra Banjar Mutakhir: Tentang Delapan Fenomena Kesastraan

06.28 Zian 0 Comments

/ 1 /
SEJAK kapan sesungguhnya sastra Banjar modern itu mulai muncul? Sebagaimana juga terjadi dalam usaha penyusunan sejarah sastra Indonesia yang hingga sekarang masih kontroversial itu, dalam hal ini agak sulit bagi kita untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Namun, jika untuk sementara kita boleh bersepakat bahwa masa awal kelahiran sastra Indonesia modern itu ditandai dengan munculnya sajak-sajak Muhammad Yamin dan Rustam Effendi serta sejumlah novel tradisi Balai Pustaka di sekitar awal abad ke-20, maka secara analogis dapat pula kita letakkan bahwa sejarah awal sastra Banjar modern baru dimulai sekitar akhir atau setidak-tidaknya paro kedua dekade 40-an. Hal ini antara lain didukung oleh bukti munculnya beberapa karya puisi berbahasa Banjar dengan bentuk baru yang secara estetis mengikuti konvensi perpuisian Indonesia modern sehingga dapat dibedakan dengan karya-karya sastra klasiknya.[1]

Bertolak dari pemahaman historis di atas, jika dalam pembicaraan selanjutnya saya menyebut istilah ”sastra Banjar modern”, konsep tersebut secara konsisten akan mengacu pada pengertian: seluruh karya sastra berbahasa Banjar yang dari segi bentuk maupun isinya telah mendapat pengaruh dari tradisi sastra Barat melalui persentuhannya dengan sastra Indonesia modern. Oleh karena itu, maka dalam hal pembagian genre sastranya pun akan mengikuti tradisi sastra Barat dan atau sastra Indonesia modern. Jadi, berdasarkan ciri-ciri kemodernan yang melekat padanya, secara garis besar keseluruhan khazanah sastra Banjar modern dapat dibagi ke dalam tiga bentuk generik: puisi, prosa-fiksi, dan drama. Kalaupun ketiga bentuk generik tersebut kemudian harus dibagi lagi ke dalam bentuk-bentuk yang lebih kecil, maka pembagian ragam yang merupakan hiponimnya tetap dapat merujuk pada tradisi sastra Barat dan atau sastra Indonesia modern.
Akan tetapi, selama lebih kurang tujuh dasawarsa, dalam perkembangannya hingga memasuki awal milenium ketiga ini sejarah hanya mencatat empat genre sastra yang dapat berkembang dalam tradisi penulisan sastra Banjar modern: puisi, cerpen, novel, dan drama. Bahkan, sejauh yang saya ketahui, untuk kedua bentuk yang disebut terakhir jumlah karya yang ada masih sangat (-sangat) jauh dari kondisi ideal. Oleh karena itu, dengan segala keterbatasannya, maka dalam diskusi selanjutnya mengenai berbagai fenomena atawa gejala kesastraan dalam sastra Banjar mutakhir ini tentu saja karya-karya puisi dan cerpenlah yang akan lebih banyak mendapatkan porsi pembahasan.

/ 2 /
Lepas dari soal lemahnya sistem sastranya, sepanjang perjalanannya hingga menjelang akhir dasawarsa pertama abad ke-21 ini, sejauh yang dapat saya amati setidak-tidaknya terdapat delapan fenomena kesastraan yang layak dicatat karena memang relatif merepresentasikan pernik-pernik wajah sastra Banjar mutakhir.[2] Fenomena yang saya maksudkan dalam konteks ini bukan saja menyangkut sistem mikro-sastranya, melainkan juga mencakup sistem makro-sastranya.
Fenomena pertama, yang kemunculannya terutama sangat menonjol antara awal 1980-an hingga akhir 1990-an, adalah apa yang sering saya sebut ”sastra-dalam-rangka”. Dengan istilah tersebut dimaksudkan bahwa perkembangan tradisi penulisan sastra Banjar modern selama ini sangat dipengaruhi dan bahkan tidak lepas dari dalam-rangka-tertentu sebagai dasar motivasi atau malah menjadi semacam katalisator penciptaannya. Tradisi penulisan puisi dan cerpen Banjar selama ini lebih banyak didorong oleh berbagai ajang lomba penulisan yang hampir selalu dikaitkan dengan dalam-rangka-tertentu, misalnya dalam rangka menyambut Hari Jadi Kota Banjarmasin.
Sekadar ilustrasi, hingga tahun 2008 setidaknya sudah enam kali diselenggarakan kegiatan lomba penulisan puisi maupun cerpen Banjar yang masing-masing diprakarsai oleh HIMSI Kalsel (1985), HIMSI Kalsel (1988), Taman Budaya Provinsi Kalsel (1993),  DKD Kalsel (1999), Disbudpar Provinsi Kalsel (2007), dan Disbudpar Provinsi Kalsel (2008). Ajang-ajang lomba penulisan demikianlah yang telah banyak memotivasi para pengarang di daerah ini hingga melahirkan sejumlah karya sastra Banjar modern yang secara literer lebih dapat dipertanggungjawabkan; misalnya puisi bertajuk ”Sapuluh Dapa pada Masigit Nur” (Y.S. Agus Suseno), juga cerpen “Racun” (Y.S. Agus Suseno), “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” (Y.S. Agus Suseno), “Rak Rak Gui!” (Burhanuddin Soebely), “Karindangan” (Seroja Murni), “Malam Kumpai Batu” (M. Rifani Djamhari), “Sawat Babulik” (Jaka Mustika), “Tajajak Suluh” (Jakaria Kastalani), “Mambari Maras Ni Diang” (S. Ripani Im), “Tihang Bamata Malingan” (Aria Patrajaya), ”Gandut Barniah” (Jamal T. Suryanata), dan ”Bagandang Nyiru” (Alfian Rifani).
Kecuali dalam-rangka mengikuti lomba penulisan, sejumlah karya sastra Banjar modern lainnya juga terlahir karena dorongan dalam-rangka memenuhi permintaan pihak tertentu. Misalnya, permintaan dari Panitia Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar yang selama kurun waktu 1980—2000 pernah lima kali berturut-turut dimotori dan dilaksanakan oleh Radio Nirwana Banjarmasin (1988—1992). Di antaranya tercatat cerpen-cerpen berjudul “Aluh Campaka” (B. Sanderta), “Kai Iyus” (B. Sanderta), “Lawang” (A. Rasyidi Umar), “Pitua” (A. Rasyidi Umar), “Surapil Mauk” (A. Rasyidi Umar), “Mangkusari” (Hijaz Yamani), “Luka nang Kada sing Baikan” (Hijaz Yamani), “Sapanjang Pamatang Panjang” (Syukrani Maswan), “Aluh Hati’ah” (Adjim Arijadi), “Hayam Walik” (Ajamuddin Tifani), “Taparukui” (M. Haderani Thalib), ”Sajampal Patirai” (M. Sulaiman Nazam), “Kambang Pambarian” (Sabrie Hermantedo), “Babini Pulang” (Sabrie Hermantedo), “Amun Tambus Hanyar Kawin” (Ian Emti), dan “Batandu” (Noor Aini Cahya Khairani).[3]
Fenomena kedua, hal yang cukup dominan mewarnai perkembangan tradisi penulisan sastra Banjar modern selama ini adalah munculnya sejumlah karya ”bercorak sastra terjemahan”. Disebut ”bercorak” dalam konteks ini karena proses penerjemahan karya-karya tersebut memang tidak tersistem, tidak dilakukan secara khusus oleh sang penulis maupun pihak lain sebagaimana layaknya penerjemahan sebuah karya sastra. Jika kita telusuri lebih jauh, ternyata latar belakang munculnya gejala ini masih erat kaitannya dengan fenomena sastra-dalam-rangka seperti yang telah diuraikan di atas. Istilah sastra terjemahan itu sendiri secara spesifik merujuk pada pengertian bahwa karya-karya sastra Banjar modern tertentu pada mulanya ditulis dalam dan dengan kerangka berpikir bahasa Indonesia, baik menyangkut aspek bahasa maupun isinya. Bahkan, ada beberapa karya yang jelas-jelas memperlihatkan corak keindonesiaannya dengan kadar sangat dominan. Hal ini terjadi, barangkali, lantaran proses penulisannya didesak oleh tenggat waktu yang ada (karena sempitnya rentang waktu yang diberikan oleh pihak panitia suatu sayembara penulisan, lomba baca cerpen, atau deadline penerbitan buku) sehingga karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia itu ditranslitrasi begitu saja (secara harfiah) ke dalam bahasa Banjar, tanpa mempertimbangkan perbedaan struktur bahasa maupun kekhasan aspek lokalitasnya.
Sekadar contoh, dua cerpen karya Hijaz Yamani dengan judul “Mangkusari” dan “Luka nang Kada sing Baikan” konon hanya merupakan terjemahan harfiah dari cerpennya yang semula ditulis dalam bahasa Indonesia lantaran keterbatasan waktu yang diberikan oleh Panitia Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar III yang diselenggarakan oleh Radio Nirwana Banjarmasin (1992).[4] Kecenderungan semacam itu dapat pula kita lihat, misalnya, dalam cerpen-cerpen “Kebebasan” (Noor Aini Cahya Khairani), “Bau Harum matan Surga” (Ahmad Fahrawi), “Parak Dah KO” (Sofyan Hamid), “Rina wan Rini” (Aida), dan “Salah Maartiakan” (Muliani). Belakangan, setelah kian maraknya penerbitan buku di banua ini sejak awal tahun 2000-an lalu, gejala sastra bercorak terjemahan ini (bahkan bisa jadi dengan menanggalkan konsep ”bercorak”-nya) semakin banyak kita temukan terutama pada genre puisi. Lihatlah, misalnya, sejumlah sajak yang terhimpun dalam buku Baturai Sanja (Eza Thabry Husano dkk., 2004), Uma Bungas Banjarbaru (Hamami Adaby, 2004), dan lebih-lebih Garunum (Hamami Adaby dkk., 2006).[5]
Kecuali kedua fenomena di atas, fenomena ketiga yang dapat saya tangkap sepanjang perjalanan sastra Banjar modern hingga sekarang adalah terjadinya pergeseran dalam estetika kesastraannya, yakni dari genre ”sastra populer” ke ”sastra serius”. Dengan kedua istilah tersebut pada dasarnya hanya sebagai upaya praktis-dikotomis untuk menggeneralisasikan kenyataan terdapatnya perbedaan bobot literer dalam khazanah sastra Banjar modern yang ada selama ini. Karya-karya sastra yang dapat digolongkan ke dalam kelompok sastra populer secara umum memperlihatkan banyak kelemahan karena memang digarap secara populer, kurang mendalam, bahkan cenderung asal jadi. Sebaliknya, karya-karya yang termasuk sastra serius pada umumnya memang digarap secara serius oleh para penulisnya yang rata-rata juga termasuk penulis senior (istilah ”senior” di sini bukan dalam konteks usia, melainkan lebih mengacu pada segi jam terbang kepengarangannya) sehingga karya-karya mereka relatif menunjukkan lebih banyak keunggulannya.
Sekadar contoh lagi, beberapa cerpen seperti “Tuli Sarumahan” (B. Sanderta), ”Jabakan Kupi Kamandrah” (B. Sanderta), “Kaluku Tapilih Bangkung” (Y.S. Agus Suseno), “Surapil Mauk” (A. Rasyidi Umar), ”Sajampal Patirai” (M. Sulaiman Nazam), “Amun Tambus Hanyar Kawin” (Ian Emti), “Tambus nang Manyamani” (Abdus Syukur MH), ”Latupan Cabi” (Abdus Syukur MH), “Si Jek Siyup” (Sabrie Hermantedo), “Babini Pulang” (Sabrie Hermantedo), dan “Batandu” (Noor Aini Cahya Khairani) dapat dianggap mewakili kelompok sastra (cerpen) populer. Ciri-ciri kepopuleran dalam karya-karya tersebut terutama menyangkut pemilihan tema yang terlampau sederhana, lemahnya teknik penggarapan cerita, serta kecenderungannya yang hanya mengandalkan efek humor sebagaimana umumnya menjadi kecenderungan dalam cerita-cerita rakyat dari khazanah sastra lisan pada masa lampau —sebutlah, misalnya, kisah-kisah ”Si Palui” dan ”Surawin”.[6] Sebaliknya, kendati tidak seluruh unsur kesastraannya terpenuhi, karya-karya yang cukup memenuhi syarat untuk disebut sastra serius di antaranya sederet cerpen yang pernah menjadi naskah pemenang lomba penulisan, beberapa dari cerpen pesanan, serta beberapa cerpen yang terhimpun dalam buku Galuh (Jamal T. Suryanata, 2005) maupun Maundak Dandang (M. Fitran Salam, 2005).
Fenomena keempat, suatu gejala baru yang berkaitan dengan kian maraknya penerbitan buku sastra atau kita sebut saja ”era sastra buku”. Sampai akhir tahun 1990-an, dalam tradisi sastra Banjar modern, penerbitan buku masih merupakan sesuatu yang langka. Selama itu, satu-satunya buku sastra Banjar modern yang pernah terbit hanyalah antologi puisi Artum Artha dengan tajuk Unggunan Puisi Banjar (1988). Buku yang memuat 72 judul puisi itu pun diterbitkan dalam edisi dwibahasa, bahasa Banjar dan bahasa Indonesia. Namun, sebagaimana telah disinggung di atas, sejak awal tahun 2000-an sekurang-kurangnya sudah terbit lima judul buku, baik kumpulan puisi maupun cerpen; masing-masing berjudul Baturai Sanja (Eza Thabry Husano dkk., 2004), Uma Bungas Banjarbaru (Hamami Adaby, 2004), Galuh (Jamal T. Suryanata, 2005), Maundak Dandang (M. Fitran Salam, 2005), dan Garunum (Hamami Adaby dkk., 2006). Hal ini pantas untuk dicatat karena memang merupakan gejala baru dalam perjalanan sastra Banjar modern selama ini.
Jika kita telusuri, munculnya era sastra buku dalam tradisi sastra Banjar modern berjalan seiring dan di antaranya didahului oleh munculnya fenomena ”sastra koran” yang dalam konteks ini dipandang sebagai fenomena kelima. Gejala ini mulai muncul di penghujung dasawarsa 90-an dengan terbitnya sebuah tabloid kebudayaan milik Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan (DKD Kalsel) bernama Wanyi. Selama penerbitannya yang hanya berusia sekitar dua tahunan (dengan 36 nomor penerbitan) itu, tabloid setengah bulanan ini sempat memublikasikan puluhan judul cerpen dan puisi Banjar modern. Kemudian, setelah Wanyi tutup usia, muncul sebuah koran lokal bernama Radar Banjarmasin yang memberi tempat cukup longgar bagi pemuatan karya-karya sastra Banjar Modern. Meski tidak bisa terbit secara teratur, terutama lantaran ketiadaan naskah yang masuk, sejak tahun 2003 hingga sekarang setidak-tidaknya sudah tercatat dua puluhan judul cerpen Banjar yang disiarkan melalui rubrik ”Cakrawala Sastra & Budaya” Radar Banjarmasin yang kebetulan digawangi oleh seorang cerpenis pula, Sandi Firly.
Selanjutnya, merupakan fenomena keenam, adalah munculnya karya-karya sastra Banjar modern di ruang maya bernama internet. Melalui situs http://www.urangbanjar.com yang pernah dibidani Erwin D. Nugroho dan (terutama) Ersis Warmansyah Abbas, misalnya, kita dapat menemukan beberapa puisi dan cerpen Banjar karya Arsyad Indradi, Hamami Adaby, dan Jamal T. Suryanata. Akan tetapi, sejauh pengamatan saya, hingga sekarang fenomena baru sastra Banjar di ruang maya ini tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hal serupa juga terjadi pada dua situs lain yang digagas oleh komunitas orang Banjar di Malaysia, yakni http://www.geocities.com/Tokyo/Palace/ 5830/teater.html.
Terkait dengan kedua situs yang disebut terakhir, saya juga menemukan suatu gejala baru dalam perkembangan sastra Banjar modern. Fenomena ketujuh ini adalah munculnya tradisi ”sastra Banjar serantau” dari beberapa komunitas penulis sastra Banjar modern di negeri jiran Malaysia yang dalam konsep sosiopolitis (ius sanguinus) mereka memang warga (keturunan) Banjar. Para penulis dan pengembang ”sastra Banjar serantau” tersebut antara lain bernaung dalam sebuah organisasi bernama Pertubuhan Banjar Malaysia. Beberapa tahun silam, organisasi orang Banjar-Malaysia ini bahkan pernah menggelar sebuah even sayembara penulisan cerpen Banjar bertajuk Pertandingan Mengarang dalam Bahasa Banjar Anjuran Pertubuhan Banjar Malaysia (1999). Dari even sayembara tersebut keluar tujuh cerpen Banjar sebagai pemenangnya; secara runtut, tiga naskah pemenang utama masing-masing berjudul ”Tuhalus” (Abdul Majid bin Lazim), ”Taganang” (Pn Hjh Norsiah bt Asaari), dan ”Kaingatan” (Mohamad Farid Alsafari bin Hj Ambiah), di samping empat pemenang saguhati yang masing-masing berjudul ”Lucung” (Ismail bin Najar), ”Banjar... Oh... Banjarku” (Mohamad Azlan Ali Bashah), ”Talajak” (Asari bin Osman), dan ”Batuahkah” (Tuan Haji Abdul Wahab bin Othman).[7]
Terakhir, merupakan fenomena kedelapan yang dapat saya catatkan adalah semakin dominannya pengaruh bahasa Indonesia ke dalam karya-karya sastra Banjar modern. Gejala ini terutama sekali muncul belakangan seiring dengan semakin maraknya tradisi penerbitan buku sastra di daerah ini sejak awal tahun 2000-an yang lalu. Sebagaimana juga telah saya singgung sebelumnya, kalau tidak hendak disebut sebagai karya terjemahan, maka karya-karya sastra Banjar modern (khususnya puisi) semacam ini paling tidak harus dikatakan karya bercorak terjemahan oleh karena bentuk (terutama dari aspek bahasanya) maupun isinya tidak lagi khas mencerminkan lokalitas Banjar.

/ 3 /
Demikianlah, sebagaimana sastra Indonesia modern dan tradisi-tradisi lainnya di berbagai belahan dunia, sastra Banjar modern telah tumbuh berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Akan tetapi, perkembangan sastra Banjar modern tentunya perlu dijaga dan digiring sedemikian rupa agar kelak tidak justru kehilangan identitasnya sebagai sastra daerah. Sebab, kalau sastra daerah sudah kehilangan jatidirinya, lalu apa bedanya dengan tradisi sastra lainnya? Apakah sastra Banjar masih bisa dibedakan dengan sastra Indonesia hanya dengan melihat aspek lokalitasnya, unsur sosiokulturalnya, atau segala sesuatu yang terkait dengan etnografi orang Banjarnya? Maka, kalau ada unsur yang harus dijaga ketat, itu adalah kemurnian bahasa yang menjadi mediumnya.
Dalam beberapa tulisan dan kesempatan diskusi, dalam rangka pengembangan bahasa dan sastra Banjar ke depan, saya pernah menawarkan konsep keterbukaan bahasa Banjar dengan cara menyerap kosa kata ”asing” (baca: selain bahasa Banjar). Dengan ”kebijakan” ini kosa kata bahasa Banjar tentu akan semakin kaya sehingga dari segi fungsinya ia tidak lagi dituding sekadar bahasa guyonan dalam pergaulan sehari-hari atau hanya mampu menjadi medium cerita humor di warung kopi dan bahan olok-olokan belaka. Sebab, jika proses penyerapan sudah berjalan secara tersistem tentu kemampuan bahasa Banjar akan lebih meningkat sehingga mampu berperan sebagai bahasa keilmuan dan media seni modern.
Akan tetapi, perlu kita sadari bahwa kebijakan ini bukan tanpa risiko dan karenanya harus benar-benar dijaga secara ketat agar tidak sampai menghilangkan identitas kebanjarannya. Jadi, proses penyerapan itu hanya akan dilakukan jika memang dipandang sangat perlu, misalnya karena padanan kosa kata tertentu memang belum tersedia dalam bahasa Banjar. Sebaliknya, jika kosa kata itu sudah ada padanannya dalam bahasa Banjar tentu kehadiran kosa kata serapan sudah tidak diperlukan lagi. Ringkasnya, proses penyerapan bahasa ”asing” ke dalam bahasa Banjar harus mengindahkan prinsip-prinsip tertentu sebagaimana kaidah-kaidah penyerapan yang berlaku dalam politik bahasa nasional (baca: bahasa Indonesia).
Sekarang, bagaimana masa depan sastra Banjar? Bagaimana prospek perkembangan sastra Banjar modern hingga setengah abad mendatang? Haruskah kita melakukan rekonsepsi atas modernitas yang terjadi dalam sastra Banjar modern selama ini? Apakah upaya penyempitan atau perluasan definisi sastra Banjar (sebagaimana yang pernah berkembang dalam suatu polemik panjang di harian Radar Banjarmasin pada Juni 2005 hingga awal Januari 2006 yang lalu) akan sama berpengaruh buruknya terhadap perkembangan sastra Banjar di masa-masa mendatang? Setidaknya, jawaban aksiologis untuk serentetan pertanyaan itulah yang tidak bisa saya urai-jelaskan secara panjang-lebar dalam kesempatan ini.
Namun begitu, menyoal masa depannya, satu hal yang dapat saya pastikan bahwa eksistensi (tumbuh-berkembangnya atau hilang-lenyapnya) sastra Banjar modern di kemudian hari sangat ditentukan oleh kondusif-tidaknya sistem makro-sastranya yang ada sekarang dan akan datang. Maka, dengan pola pikir sistemik, masalah tersebut bukan saja bergantung pada apresiasi yang sehat dari masyarakat pendukungnya atau sistem penerbitan dan ketersediaan ruang publikasinya, melainkan juga (baca: lebih-lebih lagi) produktivitas dan kreativitas para pengarangnya. Buktinya, masyarakat pembaca selalu menantikan munculnya karya-karya sastra Banjar modern di harian Radar Banjarmasin, tetapi hingga hari ini pihak redaktur senantiasa merasa kekurangan naskah yang masuk. Adapun ihwal bahasa tetap dapat disiasati dengan berbagai cara, sepanjang tidak menghilangkan identitas aslinya, jika para pengarangnya memang kreatif.
Akhirnya, dalam selimut problematik yang terus berjalin-kelindan itu, tentu saja urusan pelestarian dan pengembangan aset penting kesenian daerah ini harus menjadi perhatian kita bersama. Dengan kata lain, urusan pelestarian dan pengembangan sastra Banjar itu bukan semata-mata urusan dan tanggung jawab para sastrawan atau pengarang sastra Banjar sendiri. Semua pihak perlu dan harus terlibat di dalamnya. Jadi, perlu ada komitmen bersama dan tindakan nyata. Para pengarang harus terus berkarya secara kreatif dan produktif, sedangkan seluruh unsur stakeholders-nya harus sedia memberikan sokongan yang dibutuhkan. Hanya dengan cara demikian niscaya sastra Banjar akan dapat bertahan dan berkembang dengan lebih baik, insya Allah! []

Pelaihari, 14 Mei 2008

CATATAN :
[1] Sekadar pegangan praktis mengenai sejarah awal kelahiran sastra Indonesia dapat mengacu pada rumusan Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1991). Untuk diskusi lebih lanjut silakan baca Bagian V buku Maman S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik (Jakarta: Bening Publishing, 2005). Adapun patokan sejarah awal kelahiran sastra Banjar modern untuk sementara mengacu pada sajak ”Rindang Banua” (Hassan Basyri) yang ditulis pada tahun 1949, kendati secara estetik masih sangat dipengaruhi oleh konvensi pantun.
[2] Istilah “mutakhir” atau “terkini” dalam konteks ini pada dasarnya ingin menunjuk rentang waktu sekitar sepuluh tahun terakhir (1998—2008). Akan tetapi, oleh karena sejarah merupakan sebuah mata rantai yang tak putus-putusnya dan konsep “mutakhir” boleh dipandang sebagai akumulasi atau puncak terdekatnya, maka untuk memetakan jejak dan kemudian menggeneralisasi suatu fenomena kesastraannya mestinya dapat kita lacak sejak perkembangan tahun-tahun sebelumnya.
[3] Sebagaimana pernah diakui M.S. Sailillah (dalam kapasitasnya selaku Ketua Panitia Penyelenggara) melalui suatu wawancara dengan penulis (9 Februari 2003), selain beberapa cerpen yang diambil dari naskah hasil sayembara penulisan, hampir semua cerpen yang dijadikan materi lomba baca selama lima tahun itu merupakan karya pesanan. Karya-karya tersebut antara lain terhimpun dalam dua buku Materi Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar Radio Nirwana Banjarmasin III dan V (1990; 1992).
[4] Berdasarkan pengakuan Hijaz Yamani dalam suatu obrolan santai bersama Y.S. Agus Suseno dan Maman S. Tawie pada tahun 2000 yang diungkapkan kembali oleh Y.S. Agus Suseno melalui surat pribadinya kepada saya (5 Oktober 2002). Kemudian, setelah saya lacak kembali, ternyata cerpen “Mangkusari” versi Indonesia pernah dimuat dalam majalah Roman (Oktober 1957), sedangkan cerpen “Luka nang Kada sing Baikan” merupakan versi terjemahan dari cerpen Indonesia dengan judul “Luka yang Tak Sembuh” (Minggu Pagi, No. 32 Th. XI, 1958), hlm. 21.
[5] Kian maraknya penulisan dan penerbitan buku sastra Banjar modern dalam beberapa tahun terakhir tentu saja patut kita syukuri. Akan tetapi, tingginya tingkat produktivitas yang tanpa diimbangi dengan sentuhan kreativitas juga berbahaya secara literer. Maka, dari segi kuantitas saya pribadi ikut gembira menyaksikan perkembangan ini, tetapi dari segi kualitasnya justru saya khawatir sastra Banjar kelak akan kehilangan identitasnya. Oleh karena itu, sejauh menyangkut gejala ini, dalam rangka pengembangan bahasa dan sastra Banjar ke depan saya lebih suka menyebutnya secara eksplisit sebagai karya terjemahan.
[6] Perlu dicatat, sejauh yang dapat saya temukan, tidak tampak satu karya pun dalam khazanah sastra Banjar modern yang mengangkat persoalan seks —apalagi yang dieksploitasi secara vulgar— sebagai salah satu ciri yang seringkali dipandang sebagai ciri tipikal dalam sebuah karya sastra populer atau picisan.
[7] Lihat http://www.geocities.com/ Tokyo/Palace/5830/Pbanjar.html. Dua cerpen di antaranya pernah dimuat dalam tabloid Wanyi milik DKD Kalsel (Banjarmasin), masing-masing berjudul “Tuhalus” karya Abdul Majid bin Lazim (Wanyi, Edisi 34/ Tahun II/16—30 September 2000), hlm. 10 dan “Lucung” karya Ismail bin Najar (Wanyi, Edisi 36/ Tahun II/16—31 Januari 2001), hlm. 10. Dalam http://www.geocities.com/Tokyo/ Palace/5830/teater.html akan kita dapati nama Asari bin Osman dengan beberapa karyanya seperti “Ulun Urang Bukit” (puisi), “Talajak” (cerpen), serta “Sonia Puteri Kaling” dan “Nini Laki” (drama).


Sumber:
http://sastra-banjar.blogspot.co.id/2015/04/esai-sastra-banjar-6.html

0 komentar: