Cerpen Ratih Ayuningrum: Yang Tanpanya, Semua Hanya Hampa
Aku menyukai Almira. Cara dia berbicara, menatap, tersenyum atau hanya sekedar melirik. Aku menyukai wajahnya. Tubuhnya. Dan wanginya. Aku menyukai setiap pahatan jasadnya. Dia begitu mempesona.Almira secara fisik begitu sempurna di mataku. Dia tak hanya cantik, namun juga menarik. Perempuan selalu kubedakan dalam klasifikasi cantik dan menarik. Perempuan cantik, belum tentu menarik. Dan juga sebaliknya. Namun, Almira memiliki keduanya. Dia memiliki ragawi yang indah dan wajah yang elok. Dia cantik dan juga menarik.
Aku melirik arloji di pergelangan tanganku. Almira belum juga datang. Hari ini kami berjanji untuk bertemu di sebuah kafe di pusat perbelanjaan terbesar di Banjarmasin. Dengan sabar aku menunggu sembari sesekali meniup asap kopi yang menguap dari cangkir kopi milikku.
Aku menatap lekat satu sosok yang muncul dari balik pintu kafe. Senyumku mengembang dan di balas oleh sosok itu. Dia terlihat manis dengan setelan baju kerja berwarna merah marun. Sangat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Dia menghampiriku.
“Sudah lama?” tanyanya ketika sosoknya tepat berada di depanku. Aku menikmati setiap gerak-geriknya yang anggun.
“Aku juga baru datang.” Akh, sebuah kebohongan kecil kulakukan. Entah white lie atau sekedar bersopan santun. Aku hanya tidak ingin membuat Almira merasa tidak enak karena telah membuat aku menunggu, meskipun aku sudah menunggunya sejak setengah jam yang lalu.
“Maaf. Tadi ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan.”
“Tidak apa-apa.” Sahutku sambil berusaha tetap bersikap manis dan dia pun membalas dengan sebuah senyum yang tak kalah manis.
Pembicaraan antara kami pun mengalir dengan baik. Aku benar-benar menyukainya. Dia begitu indah. Aku mengagumi betapa sempurna fisiknya diciptakan. Aku ingin menjadi bagian hidupnya. Memiliki keindahan yang ada pada dirinya. Mengaguminya tanpa harus dibatasi oleh waktu. Aku ingin memiliki keindahannya sepenuhnya.
“Bukankah terlalu cepat? Aku rasa kita belum mengenal jauh, satu sama lain” ujarnya ketika kuutarakan maksudku bahwa aku menyukainya dan ingin menjadi bagian hidupnya.
“Aku terlanjur menyukaimu. Semua darimu. Gerak-gerikmu. Wangimu. Semuanya.”
“Semuanya?” sangsi Almira “Kita baru saja bertemu beberapa minggu yang lalu dan semudah itu kemudian kamu mengatakan semuanya?”
Aku terdiam. Mencari matanya dan ingin menegaskan padanya bahwa aku benar-benar menginginkannya dalam hidupku.
Aku dan Almira bertemu pada sebuah seminar sastra. Walaupun aku bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang komputer, namun aku sangat menggemari sastra. Sejak pertama kali melihat sosok Almira dengan segala kelebihan fisik yang dimilikinya, aku tak mampu melupakannya. Dia sangat indah di mataku.
“Nanti kita atur pertemuan selanjutnya. Istirahat siangku sudah habis.” Pungkas Almira sembari meninggalkanku dengan uap kopi yang tak lagi mengepul hangat.
***
Almira
Dia mengatakan ingin memilikiku. Aku tahu dia hanya menginginkan aku pada apa yang tampak pada mata kasatnya. Dia melihatku begitu indah, secara ragawi dan sungguh aku tak suka pada caranya memandangku. Pada caranya menilai bukan pada apa yang ada pada isi kepalaku. Tapi, hanya semata karena kemolekan ragaku. Aku tak menyalahkannya untuk itu karena itu memang manusiawi dan naluriah. Hanya saja, aku ingin dihargai bukan sekedar sebagai sebuah pesona yang membius dengan segala kebermenarikan pada apa yang telah Tuhan ciptakan padaku dan pada mahluk indah lainnya. Aku ingin dia dan mungkin dia-dia yang lain menghargaiku bukan sekedar pelengkap hidup mereka yang bisa mereka pandang kapan pun mereka mau dan bisa mereka tinggalkan kapan pun mereka juga mau.
Dan aku pun sebenarnya ingin jadi miliknya meski aku tahu dia tak sepenuhnya menginginkanku secara apa adanya aku.
***
“Serendah itukah cara pandangmu? Maksudku serendah itukah kamu memandang arti perempuan dalam hidupmu?” Asap rokok yang mengepul dari bibirku membuat kabut pada matanya. Dia mengibaskan tangan.
“Maksudmu?”
“Apa yang kamu pikirkan ketika dulu memutuskan untuk menjadikan Almira sebagai pendampingmu”
“Aku hanya tahu bahwa aku mencintainya dan dia adalah orang yang tepat untukku.”
“Benarkah?” sangsiku.
Dia mengangguk, sekedar meyakinkanku.
“Dan ketika kemudian di persimpangan kamu merasa dia tidak lagi tepat untukmu hanya karena kesalahan yang kupikir itu berasal dari keegoisanmu, apakah lantas kemudian dengan begitu mudah bahwa kamu mengatakan tidak pernah mencintainya?”
“Bukan tidak pernah.” Sanggahnya “Hanya saja aku merasa dia sekarang sudah tidak tepat lagi untukku. Aku berhak untuk memilih yang lain.”
Aku mengernyitkan keningku.
“Semudah itu?”
“Apa maksudmu dengan semudah itu?”
“Maksudku semudah itu kamu ingin menepikan Almira dari hidupmu dengan sebuah keputusan yang kupikir terlalu cepat. Bukankah masalah muncul hanya berasal darimu? Maksudku, dari keegoisanmu yang menginginkan seseorang yang lain dalam hidupmu. Lalu apa arti Almira selama ini dalam hidupmu?”
“Entahlah. Aku jenuh. Aku hanya ingin suasana yang berbeda saja. Ya, semacam eksistensi pengakuan diri bahwa dengan umurku yang sudah matang, ternyata bukan hanya Almira yang menginginkanku. Namun, aku pun bisa memilih seseorang yang jauh lebih indah dari Almira.”
Aku kembali mengernyitkan keningku, dalam. Berusaha untuk memahami jalan pikiran Reno. Eksistensi diri di usia matang? Terlalu naïf kedengarannya. Apa yang salah dengan usia matang sehingga perlu pengakuan akan eksistensi diri dan untuk pengakuan tersebut harus menyakiti banyak hati? Bukankah begitu banyak cara yang lebih santun untuk sekedar mencari pengakuan akan eksistensi diri pada usia matang.
Angin yang berhembus dari sungai Martapura mempermainkan anak rambut kami. Kami memandang lepas ke arah sungai yang terbentur pada buritan rumah-rumah penduduk yang berjejalan.
Aku menatap wajah Reno. Meskipun aku laki-laki, aku tidak sependapat dengan cara pandangnya yang begitu ringan memandang persoalannya dengan Almira. Almira terlalu berharga untuk dia permainkan dengan cara pandangnya yang begitu sempit tentang perasaan perempuan. Tidakkah selama bertahun-tahun dia bersama Almira, pernahkah dia benar-benar memahami perasaan Almira? Almira terlalu berharga untuk dimentahkannya dengan alasan-alasan yang begitu tipis. Alasan yang hanya akan mengukuhkan keegoannya.
“Aku tidak mungkin lagi mengatakan padanya bahwa aku memujanya karena dia begitu indah sementara usia sudah mulai membuat kecantikannya punah. Dan lagipula aku memerlukan pendamping yang benar-benar bisa stand by 24 jam di rumah untuk melayaniku kapan pun aku perlukan”
Aku memicingkan mata. Sebenarnya aku marah mendengar perkataannya. Perkataan seorang pengecut yang hanya mampu bermain-main dengan perasaan seorang perempuan. Memandang perempuan hanya sebagai pelayan hidupnya. Bukan sebagai belahan jiwanya yang tanpanya maka semua akan hampa. Sehina itukah Reno memandang arti perempuan di hidupnya?
“Bukankah kamu tahu sejak awal bahwa Almira bekerja? Lantas kenapa sekarang itu menjadi persoalan? Mungkin ketika itu menjadi perosalan bagimu kenapa kamu tidak membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa kalian sepakati. Tentu, bukan hanya sekedar memandang Almira sebagai pelayan setiamu. Perempuan bukan sekedar pelayan bagi laki-laki yang 24 jam bisa kamu suruh-suruh sesuai dengan kebutuhanmu. Cara pandangmu itu salah. Perempuan adalah mahluk indah yang lebih dari sekedar melayani kita di rumah tangga! Apa yang bisa kamu katakan bahwa ternyata begitu mudahnya kamu berkhianat dari cinta hanya karena alasan yang sangat tipis. Lalu selama ini apa arti Almira di mata kamu. Apa arti semua pengabdiannya? Semua pengorbanannya? Apa semata-mata hanya karena faktor fisik yang tak lagi indah dan dia tak mampu menjadi pelayanmu sepenuhnya, lantas kamu ingin menepikannya dari hatimu? Apa yang kamu pahami tentang cinta dan perasaan perempuan?!”
“Entahlah. Aku jenuh ketika pulang ke rumah mendapati seorang perempuan yang sudah mulai layu. Dia tak pernah lagi bisa memberikan apa yang kuinginkan.”
“Kamu mengerti arti soulmate? Belahan jiwa? Yang tanpanya maka hanya hampa yang dapat kau kecap. Mungkin hampa itu belum pernah kamu sadari karena kamu tidak pernah mau menyadarinya dan belajar untuk memahami dan menghargai pasanganmu. Dia bukan benda mati yang bebas kamu pilih ketika suka dan kemudian menepikannya tanpa makna ketika keindahan tak ada lagi padanya. Keindahan dalam pengabdiannya mendampingimu, itulah keindahan yang sesungguhnya.”
“Sejujurnya aku menemuimu ingin meminta pembenaranmu akan sikapku yang mulai dirambah oleh jenuh. Namun, ternyata aku hanya mendapatkan ceramah tanpa akhir. Membosankan!”
Aku menatapnya marah. Tidak menyangka bahwa Reno, sahabatku ini hanyalah seorang sosok yang egois dan tak pernah mau belajar memahami perasaan pasangannya. Dia hanya berusaha ingin dipahami dan Almira adalah perempuan yang bertahun-tahun mencoba untuk memahaminya. Memberinya kasih sayang yang tulus dan dia terlalu berharga untuk ditepikan begitu saja.
“Pernahkah kamu memahami caranya menikmati derita ketika kalian masih belum semapan saat ini? Dia yang selalu ada saat susah dan mendengarkan semua keluhmu. Kemudian, ketika hidupmu mulai menapaki tangga paling atas, begitu mudah kemudian kamu berpaling dari tahun-tahun perkawinan yang pernah kalian jalani”
Reno hanya menatapku. Aku meninggalkannya sendiri. Dia yang masih memandang kecipak sungai Martapura yang mencipta buih berekor ketika ada kelotok yang lewat di atasnya.
***
Almira
Senja begitu ranum kali ini. Sinarnya merah bercampur warna jingga keemasaan. Aku terpaku menatap senja. Aku memang selalu melewati senja sendirian, tapi tak pernah sesepi ini. Sepi ini begitu menggigit. Senja ini begitu sepi dan senyap. Senyap itu dari hatiku.
Aku menyibakkan gorden dan menutupi hampir separuh jendela rumahku. Kusapukan pandanganku ke sekeliling rumah dan pandangan itu kemudian berubah menjadi bulir-bulir hangat yang menggenangi sudut mataku.
Aku pikir tak mampu lagi bertahan setelah sekian tahun mencoba bertahan dan berusaha untuk menjadi pihak yang selalu memahami. Aku mencintainya lebih dari sekedar yang dia ketahui dan karena cinta itu pula aku menjadi mampu berdiri di atas setiap duri yang dia suguhkan pada hidupku. Aku tak pernah menuntut banyak hal darinya selain bahwa ingin diperlakukan selayaknya belahan jiwanya. Aku butuh setiap detil perhatiannya karena aku perempuan. Bukan sekedar puji manis pada apa yang terlihat kasat oleh matanya akan keindahan ragawi. Aku ingin diperlakukan begitu indah dan merasa sangat dibutuhkan olehnya. Bukan sekedar menjadi pelayan hidup yang walau untuk itu aku tak pernah mempermasalahkannya, karena aku mencintainya dan dia adalah belahan jiwaku yang tanpanya maka semua akan hampa.
Aku begitu tulus untuknya, bahkan saat semuanya masih belum semapan ini. Derita bersamanya adalah nikmat yang kukecap dengan indah. Airmata dengannya adalah bulir kehidupan penuh makna. Dan kini, jika dia mulai merasa aku bukanlah lagi bagian hidupnya, maka aku tak akan pernah menjadi penghalang untuk bahagianya.
Senja pelan semakin tergelincir. Aku memutuskan untuk pergi darinya walau aku tahu ini bukan penyelesaiaan yang tepat. Aku hanya ingin mengerti bahwa kehadiranku pernah berarti di hidupnya walau mungkin berulang kali dia memaksaku untuk menggantikan posisiku dengan seseorang yang lain di hidupnya. Entah di hidupnya? Atau di hatinya?
***
Reno
Almira pergi meninggalkan rumah. Aku tak menemukan sosoknya kala pulang malam itu. Dia pergi meninggalkanku. Aku gelagapan mencarinya ke setiap sudut. Aku membutuhkannya. Dia selalu membuatkanku segelas teh manis ketika aku pulang. Menyiapkan air hangat untukku mandi dan menyajikan senyum bak rembulan di wajahnya walau terkadang aku menangkap keletihan pada matanya. Namun entah letih karena apa karena aku pun tidak pernah menanyakannya. Sekarang semua itu tidak ada. Aku hanya menemukan sepi yang dapat kubaca dengan jelas pada dinding-dinding rumahku.
Almira pergi dan aku membutuhkannya. Aku tak menemukan makam malam yang selalu dia sediakan untukku plus kesantunan dan keriangannya menyiapkan makanku. Bahkan saat aku memarahinya pun, Almira tak pernah absen menyiapkan semua kebutuhanku. Dia begitu tulus untukku.
Aku terduduk. Berusaha untuk berpikir tenang. Namun aku tak mampu tenang. Aku membutuhkan Almira. Sangat. Aku ternyata merasa kehilangannya. Bukan hanya karena dia selalu menyiapkan semua keperluanku. Bukan hanya karena dia tidak pernah mengeluh atas semua perlakuanku padanya. Dia selalu memahami keegoisanku. Bahkan saat aku mengutarakan ingin menggantikan posisinya di hidupku, dia pun tidak mengeluarkan sumpah serapah dan caci maki di depanku. Dia hanya menangis dan berujar santun padaku, bahwa apapun itu, demi bahagiaku, dia tidak akan pernah menjadi penghalang. Betapa egoisnya aku.
Aku mencoba menghubungi ponselnya, namun tidak ada jawaban. Aku semakin gelisah. Apakah Almira sudah makan? Bagaimana keadaan dia sekarang? Di luar hujan, apakah Almira kedinginan? Aku mengkhawatirkannya. Sesuatu hal yang selama ini jarang aku lakukan untuknya, bahkan mungkin tidak pernah. Aku tak pernah mengkhawatirkannya karena yakin dia selalu ada di rumah ketika aku datang dengan semua baktinya untukku.
Kupejamkan mata. Mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan sesal yang mulai mengejekku dengan sinis. Aku luruh. Semua keegoanku terkikis entah kemana. Aku ternyata teramat membutuhkan Almira. Dia yang selalu ada dan tersenyum manis saat aku jatuh dan terpuruk. Dia yang selalu berusaha untuk menyemaikan bahagia dalam jiwaku. Dia yang selalu mendengarkan semua keluh kesahku walau terkadang fisiknya yang lelah dipaksanya jua terlihat kuat di mataku. Lantas apa balasanku padanya? Aku tak pernah berusaha untuk memahami perasaannya. Bahkan aku ingin menggantinya dari hidupku hanya karena kejenuhan yang mungkin hanya sesaat.
Aku menerawang. Mungkin aku bisa mengganti sosoknya dengan sosok lain di hidupku. Namun, apakah nanti akan kurasakan sebuah bahagia yang sama seperti mimpiku? Sementara kadang mimpi terlalu indah dan tak sama dengan kenyataan. Dan, dengan itu, aku akan melukai Almira dan luka itu abadi, walau aku tahu hati Almira terlalu putih untuk mengakui luka itu.
Aku meraba sudut hatiku. Ada yang kosong di sana. Sejak awal bertemu Almira aku memang hanya mengagumi fisiknya yang indah. Walau mungkin dia membalas semua pandanganku padanya dengan perasaan yang sangat tulus dan aku tak pernah mengerti terbuat dari apakah ketulusan itu? Karena Almira tak pernah bosan menyuguhkannya dalam hidupku meski kadang aku tak pernah bisa memahaminya. Almira ternyata jauh lebih indah dari apa yang pernah aku lihat. Ada yang menghangat di sudut mataku. Aku ternyata bukan apa-apa tanpa Almira, belahan jiwaku.
“Terkadang kita merasa sesuatu itu berarti setelah dia pergi meninggalkan kita dengan sesal yang tak berbatas”
Kembali terngiang ucapan Damar, sahabatku, tadi siang. Aku tidak ingin kehilangan Almira. Aku tidak ingin menyesal karena sebuah keputusan yang salah akibat pikiranku yang sempit dan tidak berpikir panjang. Membiarkan Almira pergi dari hidupku, sama saja menukar ketulusan yang mungkin tidak akan pernah kutemukan lagi dengan sebuah kebodohan.
Di luar hujan. Aku berlari menerobos hujan yang semakin pekat. Aku tidak perduli pada cuaca yang tidak bersahabat. Aku hanya ingin menemukan Almira dan mengatakan di hadapannya bahwa dia tak akan pernah tergantikan. Bukan hanya karena aku teramat membutuhkannya dalam hidupku. Tetapi, karena dia adalah soulmateku. Belahan jiwaku yang tanpanya, maka semua hanya hampa.
Banjarmasin, Mei 2009
After the discus with Nay. Thanks, Sis.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/ratih-ayuningrum/cerpen-lawas/401391114364
0 komentar: