Cerpen M. Rifki: Kita dan antara Gerimis
"Benarkah jika cinta itu sebuah pilihan? Benarkah? Apa masih ada, apa masih berlaku sebuah kesempatan itu untukku? Ya, kesempatan untuk memiliki cinta. Karena cinta itu ada dalam jaminan Allah."***
Antara gerimis di pagi itu dan kau, Helwa.
Kalaupun cinta, memang aku sangat mencintaimu. Kalaupun rindu, memang aku sangat merindukanmu. Kalaupun sayang, maka kau tahu, tak ada detik yang tersisa selain hanya mengingatmu, Helwa. Aku tak bisa lebih sekadar membisu, membiarkan saja perasaan ini larut. Karena, percayalah, ketulusan ini takkan berkurang sesenti pun.
Kemarin, di gerimis yang mencair dari langit, usai sunrise mengganti gaun malam. Itu pertemuan terakhir kita sebelum besok kau pergi lama dari pesantren ini. Memang, seharusnya hari itu puncak perasaan ini kuluapkan. Hari saat penantian lamaku, menunggu di detik dan menit yang tepat untuk menumpahkan perasaan itu. Masih kusimpan rapat dan tetap utuh, Helwa. Penantian 15 tahun yang tidak sebentar sejak kita masih asyik dulu, malu-malu mengintip dibalik kitab. Mencuri kesempatan ketika jalanan amat lengang dari teman-teman santri lain, hanya sekadar melempar sapa. Apa kau ingat?
Hingga masa itu kini tinggal berbingkai kenangan, tak terasa telah begitu lama perasaan ini kupendam hingga kita sendiri mengabdi sebagai guru di pesantren. Namun, aku tak berubah, masih sebisu dulu dalam masalah cinta. Dan kau pun juga tahu, bukan?
Kita selalu terbiasa pada gerimis. Menjadikannya alasan untuk mengenang masa indah kita. Karena, pada gerimislah kau sering cerewet, memuji awan yang kau bilang baik sekali melelehkan air sejuk. Juga Tuhan yang entah tak diminta menurunkan rahmat-Nya. Dan kau benar, pada gerimis pula lah benih cinta ini tumbuh.
Aku masih beku di pijakan halte yang memisahkan jarak pada halaman aula pesanten dengan jalan raya. Di seberang sana, bersama secangkir teh, kau duduk anggun dan terlihat manis, perawakan yg berubah pesat dari yang kukenal dulu. Ya Rabb, sungguh, ini bukan urusan mudah. Datang ke sana menemuimu, sok peduli dengan pura-pura menyapa. Lah, bagaimana jika aku mengganggumu? Bagaimana jika kau yang malah menolakku? Lihatlah! Sudah setengah jam aku berdiri mematung di sini, rela gerimis yang kian tak ramah menikamku. Tapi, kau tetap seolah tak tahu menahu, tanpa pernah sesaat saja membalikkan pandangan ke seberang jalan demi melihatku. Helwa, seharusnya kau tau aku di sini. Toh, bukankah setiap hari pun aku selalu di sini demi memperhatikanmu yang di sana juga setiap hari selalu sok sibuk? Mengapa tidak sesaat saja kau mau memandangku?
Jujur, aku tak pernah senekad ini. Sepenggal menit aku sibuk mengutuki hati, melapangkan perasaan yang sangat susah diajak kompromi. Mencoba mendekatimu. Ah, ini bukan urusan mudah.
"E… ha… hai," sapaku kaku.
Kau menoleh ragu, mengangkat wajahmu yang tadi tenggelam dalam buku. Cukup lama.
Tidak. Ini tak boleh terjadi. Mengapa aku sangat gugup, semua kata-kataku yang tadi terangkai amat rapi pun luntur. Mendadak perasaan yang tadi ingin kuluapkan kehilangan bekasnya. Padahal inilah saatnya, inilah kesempatan saat ujung penantian itu usai. Tapi mengapa?
"Pa... Pagi," kataku gagap.
"Pagi," jawabmu ketus.
Aduh, kenapa mesti kata itu yang terlontar sih.
"Kau sibuk? "
Kau menggeleng. Berhasil, setidaknya aku mulai sedikit menguasai keadaan.
"Ada apa? " tanyamu.
Ya Rabb, ada apa? Ya, ada apa? Apa yang terjadi padaku? Seharusnya yang kubilang bahwa aku mencintaimu, aku menyayangimu.
"Ah, tidak apa-apa. Oya, aku ke kelas dulu ya, mau ngajar. Kamu?”
Tidak! Tidak! Semuanya gagal! Harapan itu sudah tak berlaku lagi. Hancur! Penantian ini memang tak ada ujungnya. Mengapa aku mesti bilang mau ngajar. Bodoh! Aku ini bodoh! Ketahuilah, ini memang tidak mudah.
"Aku nanti saja, mau baca buku ini dulu."
Kau pun tersenyum.
Pagi itu, gerimis seperti memakiku.
***
Antara gerimis di pagi itu dan kau, Reyhan
Kalaupun cinta, memang aku sangat mencintaimu. Kalaupun rindu, memang sangat aku merindukanmu. Kalaupun sayang, maka kau tau, tak ada detik yang tersisa selain kau, Reyhan. Aku tak pernah tau apa kau benar mencintaiku atau tidak. Kau selalu menikmati diam, tanpa pernah sekalipun terbesit untuk menyatakan perasaanmu. Namun, kau harus tahu, bahwa sesenti pun perasaanku tak akan berkurang.
Kemarin, di gerimis yang mencair dari langit, usai sunrise mengganti gaun malam, itu pertemuan terakhir kita, sebelum besok aku pergi dari pesantren karena orang tuaku ingin menjodohkanku. Kau lelaki bodoh, Rey! Lima belas tahun kita bersahabat, sejak dulu saat kita masih asyik mengintip dari balik kitab sekadar mencuri pandang, hingga tak terasa kita sendiri yang jadi guru di pesantren ini. Tapi, apa kau pernah sekali saja mengakui perasaanmu? Tak pernah! Tak pernah sekalipun! Aku selalu menunggu itu, hingga bagiku menunggu sudah menjadi bagian dari hidup. Kau tahu, ini menyakitkan. Terkurung pada penantian yang tak kunjung reda.
Kita memang selalu terbiasa pada gerimis, mengenalnya bahkan lebih mirip dari bagian kenangan kita. Benar, aku selalu cerewet saat gerimis tumpah, bilang ini dan itu yang tak jelas dan tentunya pernah menyindirmu, bukan? Karena menurutku pada gerimislah tumbuh benih perasaan di antara kita. Tapi, sayangnya kau amat senang membisu tanpa pernah mau mengerti.
Aku sengaja pagi itu duduk di depan aula pesantren, menunggumu yang selalu bersikap bodoh di seberang sana. Sesusah apa sih, mendekat ke sini, berbicara dan langsung mengungkapkan perasaan. Aku sudah hapal kebiasaanmu. Saat gerimis turun, kau tak tanggung-tanggung beka untuk lama di seberang sana dan rela saja tubuhmu dijilati gerimis.
Kau tak pernah mengerti, Rey. Aku selalu menunggumu, tapi apa? Percuma! Kau terlalu keras seperti batu untuk peka. Lihatlah, aku selalu bersandiwara di sini, sok sibuk setiap hari dan kini malah sok membaca yang semua itu kulakukan agar kau mengerti dan menghampiriku. Bukan hanya sekedar menyapa. Aku muak, Rey! Melihatmu di sana yang selalu bersikap bodoh dan tak pernah berani menikam rasa takutmu. Hingga aku sangat malas membalikkan pandangan ke seberang sana.
Ajaib! Kau akhirnya nekad dan mampu memaksa kakimu beranjak ke sini. Meski aku sangat tahu wajahmu memutih seperti kain kumal. Aku sudah menunggumu lama untuk ini, Rey. Kapan lagi kau akan mengungkapnya. Sebelum harapanmu sungguh tak lagi berlaku dan malah hancur. Sebelum terlambat dan selamanya kau takkan punya kesempatan untuk memilikiku lagi. Karena cinta itu adalah pilihan. Kau harus memilih.
"E… ha… hai," sapamu kaku.
Aku menoleh, ragu menatapmu yang tak pernah kunjung serius. Penat. Lelah, sedari tadi aku menyelubungi wajahku dengan buku. Ya Rabbi, kau sedang apa? Apa hanya mematung dan membisu? Cepat langsung saja katakan!
Aku memang tak pernah tahu apa yang menjerat lidahmu hingga teramat susah mengutarakannya.
"Pa… pagi," katamu gugup.
"Pagi," jawabku ketus.
Ada apa sih, basa-basi omong kosong lagi.
"Kau sibuk?"
Aku menggeleng. Kau lihat sendiri, bukan. Ya, setidaknya kau sedikit bisa mengendalikan diri.
"Ada apa?" tanyaku.
Akhirnya sempurna aku memancingmu. Kau pasti mengerti, bukan. Tunggu apa lagi. Katakan saja aku menyukaimu atau aku mencintaimu. Maka masalah beres, bukan.
"Ah, tidak apa-apa. Oya, aku ke kelas dulu ya, mau ngajar. Kamu?”
Bodoh! Kau lelaki bodoh! Percuma aku berharap selama ini. Percuma aku menunggumu, tapi kau selalu begitu, tak pernah serius. Bodoh! Kau bodoh, Reyhan! Bukankah kau juga mencintaiku. Sejak dulu pun aku juga sudah tau. Tapi, kau yang tak pernah berubah. Aku menyerah.
"Aku nanti saja, mau baca buku ini dulu." Aku tersenyum. Senyuman yang kupaksa merekah di bibir. Jujur, sebetulnya aku ingin ikut denganmu, ingin pergi bersamamu. Namun, aku terlanjur marah. Dasar kau, Reyhan!
Pagi itu gerimis seperti menatapku iba.
***
Antara gerimis di sore itu dan kau, Reyhan.
Hari ini aku pergi. Kau di mana, Reyhan? Apa kau tidak ikut mengantarku? Ah, aku memang gadis malang. Terlalu berharap banyak padamu, yang sebenarnya bukanlah hakku.
Di sore ini, gerimis belum usai mencair, hingga hari berganti lagi gaun gelap. Di sini, di bandara kota kecil kita, aku tak pernah lelah memajangkan pandangan ke tiap sudut tempat. Berharap kau ada. Memang percuma aku berharap kau ada. Yang ada hanya kawan-kawan lama kita, berebut menghampiriku, mengucapkan salam perpisahan dalam bentuk indah bermacam-macam. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa malu pamer puisi. Seharusnya kau yang melakukan ini, Rey.
Cukup lama aku mengeruk waktu di sini. Entahlah, aku masih setia menantimu, tak tahu sampai kapan baru akan tiba di pengunjungnya. Rela saja aku susah payah menemani mereka demi menantimu. Namun, malah kau yang tak ada, Reyhan. Kumohon, kali ini saja kau tidak memalsukan harapanku. Benar, kau memang ada, duduk di kursi paling belakang sana dan malah malu-malu menatapku. Bodoh! Kau ngapain di sana?!
Lalu, usai kutatap lama, dengan langkah berat kau pun mendekat. Wajahmu tegang. Di antara banyak kawan-kawan kita ini, kau pasti malu mengungkapkan perasaan. Duhai, kapan lagi. Jika seperti ini, sampai kapanpun perasaan itu takkan terungkap.
"Jaga dirimu baik-baik, ya!"
Hanya itu kalimat yang terlontar dari mulutmu. Tak lebih.
"Terimakasih," jawabku.
Lantas, setelah itu kau berpaling lagi dan jauh mengambil jarak pandang dariku. Apa kau tak mencintaiku, aku tak mengerti, Reyhan. Tak mengerti. Padahal, andai kau berani mengungkapkannya, aku bisa saja membatalkan perjodohanku. Membatalkan kepergianku ini untukmu.
Maaf. Tapi, sebentar lagi aku akan pergi.
***
Antara gerimis di sore itu dan kau, Helwa.
Hari ini kau akan akan pergi. Maaf, aku terlambat. ibuku terlalu tua untuk kutinggalkan sendiri di rumah. Dia juga sedang sakit. Tapi, aku tak mungkin melewatkan detik ini. Ini kesempatan terakhirku untukmu, sebelum semua benar-benar usai. Semoga kau masih mengharapkanku.
Ibuku selalu memaksa ingin melihatmu. Ingin melihatku menikah dengan gadis cantik sepertimu. Dia memang terlalu tua untuk masih hidup, setidaknya, sebelum napasnya berhembus terakhir, dia ingin melihatku bahagia denganmu. Sangat ingin. Entah mengapa bagiku, itu permintaan yang sangat sulit.
Di sore itu, gerimis belum usai mencair hingga hari berganti lagi gaun gelap. Di sini, di bandara kota kecil kita, aku bergegas berlari ke sana. Meski sebelumnya, lama membujuk ibuku agar mau sebentar menunggu di mobil.
Tidak. Saat aku ke sana, saat kakiku menginjak lantai pertama tempat itu, lihatlah! Kau amat asyik bercanda ria dengan kawan-kawan lama kita -banyak di antaranya laki-laki. Kau tampak bahagia dan entah mengapa aku tak suka melihat itu. Cemburu.
Seorang di antaranya bahkan tanpa malu memamerkan puisi untukmu. Ya Rabbi, kau tersenyum, Helwa. Kau menyukainya? Ah, aku seolah kehilangan semangat untuk mendekatimu meski sekadar mengucapkan salam perpisahan. Lantas memilih duduk di kursi paling belakang.
Sayang, kau keburu mendapatiku, memandangiku penuh harap. Baiklah, tak ada pilihan lain, aku ke sana dengan tegang karena menahan gugup dan grogi yang menimbunku.
"Jaga dirimu baik-baik, ya!"
Hanya itu kalimat yang terlontar dari mulutku. Tak lebih.
"Terimakasih," jawabmu.
Tak ada gunanya aku berada di dekatmu. Kau tetap akan pergi. Maafkan aku, Helwa. Kuharap kau mengerti.
Ah, aku menyesal. Sebentar lagi kau akan pergi.
***
Antara gerimis di malam itu dan mereka berdua.
Tak ada yang bisa diharapkan lagi. Bahkan gadis itu telah memasuki pesawat dan bersiap pergi. Membawa luka hati dan perasaan. Penantian ini membusuk tak berguna lagi. Mereka berdua sama-sama menangis. Ingin menghakimi langit, hukum langit yang jahat mesti memisahkan mereka. Dan lagi-lagi gerimis lah yang menjadi saksi pilu keduanya.
Namun, yang paling terpukul adalah sang lelaki. Ia seorang pemilih yang buruk. Membiarkan kesempatan lenyap tak berarti. Ada dua hal yang ia sesalkan; pertama kepergian gadis itu yang tanpa pernah tahu tentang perasaannya yang teramat tulus. Kedua adalah ibunya. Ibunya yang selalu mengharapkan agar bisa melihat anaknya bahagia bersama calon menantunya. Sayang, semua itu sekarang tak lebih sekadar gerimis yang jatuh sia-sia ke tanah, lantas larut tak berguna.
Reyhan, lelaki itu menangis di tengah gerimis. Tak peduli segila apa perbuatannya, ia teramat kesal mengutuki langit. Berteriak-teriak seperti kurang waras, menjadikannya tontonan yang menarik.
"Tuhan, kumohon, AKU MENCINTAINYA! SANGAT MENCINTAINYA! Tolong, kembalikan dia kepadaku. Aku tak sanggup, tak sanggup hidup tanpanya. BIARKAN DIA KEMBALI! Biarkan dia kembali untukku, Tuhan. KUMOHON!"
Mendadak, guntur meraung menakutkan malam itu.
***
Antara gerimis dan kepulangan.
Gadis itu memang kembali.
Hari sudah berlanjut malam, menusukkan dingin yang setajam duri es. Lelaki itu menyesal menyadari, orang yang ia sayangi, malam itu ... akhirnya menghempaskan nyawanya dan melambungkannya ke langit. Ini menyedihkan. Tangisan berceceran di bandara kota kecil ini. Guntur pun tak kunjung diam membentak-bentak beserta kilat yang mengurat. Petir pun tak kalah geram berperan, sempurna membuat malam semakin kelam dan menakutkan.
Sebulir bening dari pipi tua yang mengeriput. Terisak.
"Kau harus sabar, ya, Nak. Mungkin gadis itu memang bukan jodohmu," seorang wanita tua mengelus rambut Reyhan.
Ya, gadis itu memang kembali. Namun, dalam bentuk nyawa dan tubuh yang tak utuh lagi. Petir jahat, kejam, menyambar pesawat yang ia naiki.
"Cinta memang rahasia Allah dan ada dalam jaminannya." Lelaki itu mengeluh.[]
Maibelopah, 10 februari 2016
Sumber:
http://www.readzonekami.com/2016/04/muhammad-rifki-kita-dan-antara-gerimis.html
0 komentar: