Cerpen M. Fadli Al Fudhail: Drama Klasik Ini tentang "Cinta"
Hari sudah sore, namun aku masih berdiam diri di kamar tidurku. Aku hanya menatap ke arah luar rumahku melalui jendela kamar. Ku lihat hujan masih sangat deras. Di luar sana ada beberapa anak kecil yang sedang bergembira menikmati hujan. Dengan bertelanjang dada, mereka saling memercikkan air yang tergenang dari sebuah kubangan di tengah lapangan besar itu. Terlihat mereka saling tertawa pertanda bahwa mereka sangat menikmatinya. Tiba-tiba pikiranku mengingat seseorang yang kemarin aku temui di sekolah. Gadis yang membuatku sering tersenyum bodoh dalam setiap lamunanku. Gadis itu adalah Rena. Seorang gadi scantik yang mendominasi semua fikiranku. Dan tanpa sadar dan tanpa menghiraukan hujan ataupun jendela, akupun mulai terlelap.***
Pagi harinya, aku bangun cepat. Ya, ini adalah hari senin. Hari dimana kami akan dibariskan di tengah lapangan sekolah untuk mengikuti upacara bendera. Dan aku tidak ingin terlambat dan dihukum.
Akhirnya, aku tiba di sekolah tepat waktu. Begitu bel berbunyi, semua siswa berhamburan membentuk barisan sesuai dengan koloninya masing-masing. Aku pun berbaris sesuai dengan kelasku. Namun, aku belum melihat Rena didalam barisan. Hingga tiba-tiba dia muncul tepat di sampingku. Aku terkejut. Aku merasa senang sekaligus gugup. aku benar-benar terdiam menahan nafas berada di sampingnya. Sesekali dia melihat ke arahku. Mungkin dia merasa ada yang berbeda dengan sikap ku.
“ Hey, kamu kenapa ? kamu sakit ? kenapa wajahmu pucat dan tubuhmu gemetaran ?” bisik Rena kepadaku.
“ Oh... emmm.. apa...emmm tidak..ti.. aku tidak apa-apa” jawabku gugup.
“ Oh, ya sudah kalau begitu.” Kata Rena.
Aku pun tidak dapat berkata-kata lagi. Aku hanya terdiam memperhatikan arahan pembina upacara. Sesekali aku meliriknya dan tersenyum dalam hati. Ternyata dia begitu perhatian terhadapku
***
Pada suatu hari setela pengumuman. kelulusan sekolahku yaitu SMA bakti banua. Dan hujan begitu deras. Aku dan Rena terjebak di sekolah, padahal hari mulai senja. Saat itu aku memberanikan diri berdiri di sampingnya yang sedang memandang hujan penuh kecewa. Mungkin dia kesal karena hujan sudah menundanya untuk sampai ke rumah.
“ Hai, Ren . kenapa wajahnya mengerut begitu .” tanyaku memulai percakapan.
“ Ah, kamu, yan. Ini, hujannya lebat banget.” jawab Rena
“ oh, mangnya kenapa ?” kataku.
“ kan susah pulang “ jawabnya.dan aku mulai nyengir mendengarnya.
“ eh, Ren, nanti kamu terusin kulyahmu kemana?” tanyaku lagi.
“ belum tau sih, Aku mash bingung.” Jawabnya kemudian.
Tiba-tiba hujan mulai reda. Kini gerimislah yang berperan. Di kejauhan, terlihat sinar jingga sebagai efek dari hadirnya senja.
“ ren, hujannya sudah reda nih, ayo kita pulang.” ajakku pada Rena.
“ Oh iya, yan. Kalau kamu, mau kulyah dimana ? tanya Rena sewaktu diperjalanan.
“ Kalau aku sih ingin kulyah dibanjarmasin pengen dikampus IAIN Antasari Banjarmasin.” Jawabku sambil nyengir.
“ Begitu ya. bagus deh kamu bisa meneruskan kulyah” Kata Rena.
Kami pun terus berjalan, hingga akhirnya tibalah di ujung jalan dimana kami harus berpisah. Sebelum berpisah aku pun memulai merealisasikan maksud dan tujuanku mengajaknya berjalan menikmati hujan di senja ini.
“ Ren, sebenarnya ada yang mau aku katakan padamu.” Kataku pada Rena.
“ Apa ?. katakan saja” tanya Rena.
“ Ren, aku menyukaimu. Aku tau ini sulit bagimu, tapi aku berharap kau mau menerimaku.” Jawabku.
Rena terlihat bingung. Begitu juga denganku.
“ Baiklah, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku perlu berpikir. Aku pulang dulu.” Kata Rena tiba-tiba .
“ iya, Ren. Tapi aku harap jangan lama-lama karena minggu depan aku sudah berangkat ke Banjarmasin.” Jawabku.
Rena hanya mengangguk lalu pergi menjauhiku menuju rumahnya. Aku tidak berhenti memandangnya hingga dia benar-benar hilang di balik tembok rumahnya. setelah itu, aku pun pulang ke rumah dengan perasaan lega bercampur cemas. Lega karena semua isi hati telah tercurahkan. Cemas karena tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya terhadap pengakuanku tadi kepadanya.
***
Sejak hari dimana aku mengungkapkan perasaanku kepadanya, Rena banyak berubah. Dia menjadi pendiam. Aku juga tidak berani untuk menanyakan hal itu padanya karena takut membuatnya marah.
Sampai hari ini. hari dimana aku akan berangkat ke Banjarmasin, Rena masih membisu. Dia tidak pernah mengabari aku tentang apapun yang berkaitan dengan peristiwa itu. Sikapnya itu seakan mempertegas bahwa dia memang tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Aku hanya dapat pasrah menerima keadaan ini. Akhirnya, dengan sisa-sisa semangat yang ku miliki aku pun berpamitan pada semua keluarga dirumah dan masuk kedalam taxian kota meninggalkan mereka untuk pergi ke terminal yang menuju kota Banjarmasin tempataku kulyah. Sepanjang perjalanan, ku amati satu per satu bangunan dan jalanan yang pernah menjadi saksi bisu cerita senja ku bersama Rena. Aku hanya dapat menahan sedihku.Terlalu banyak kenanganku bersama Rena, Berat rasanya meninggalkan kota ini. kembali aku hanya dapat memejamkan mata sambil menghela nafas. Namun, semua harus ku lakukan. Ini semua demi mimpi dan cita-citaku yang ingin menjadi seorang guru yang handal.
Menunggu keberangkatan, aku pun duduk di salah satu kursi tunggu diterminal. Aku duduk sendirian. Aku duduk seperti orang memohon doa. Membungkuk dan mengusap-usapkan kedua tanganku ke wajah. Tiba-tiba...
“ Hey, mau berangkat kok tidak bilang-bilang” kata seseorang yang berada di sampingku.
Aku kenal suara itu. suara anggun yang hanya dimiliki oleh seorang gadis di kelas. Ya, Rena. Pasti itu Rena. Seketika aku menoleh ke arahnya, dan benar saja itu adalah Rena. Aku senang luar biasa.
“ Eh, Rena. Kok ada di sini, ada apa ?” tanyaku.
“ tentu saja, aku ke sini untuk menemui mu. Aku kan masih punya hutang. Karna aku belum menjawab tentang pernyataanmu waktu itu.” jawabnya.
“ Oh, iya. Jadi gimana ?” tanya ku.
“ Oke. Dengar dan lihat aku. Pertama, aku begitu kaget mendengar pernyataanmu waktu itu karena sebenaranya aku juga mempunyai rasa yang sama denganmu. Hanya saja aku lebih keras kepala darimu. keras kepalaku membuatku hanya dapat memendam perasaan ini dalam-dalam. Dan sebenarnya aku tidak tahu harus jawab apa.” Jawab Rena
“ Rena, aku tidak memaksamu untuk menjawab pernyataanku itu. Tapi, aku ingin kau percaya. Aku ingin kau percaya terhadap semua perasaanku terhadapmu.” Kata ku pada Rena.
“ Aku percaya. Hanya saja , seperti yang ku katakan tadi, aku lebih keras kepala. Aku selalu menyangkal dan menyangkal. kau tau, sebenarnya aku tak ingin kau pergi, yan. Aku sudah terlalu nyaman denganmu. Aku sudah mulai terbiasa mendengar suaramu.” Jawab Rena.
“ Ren, bukan hanya kau yang seperti itu. aku bahkan sudah sedari dulu merasa nyaman denganmu. Itu sebabnya aku menyukaimu dan menantang semua rasa gugup ku saat mengungkapkan isi hatiku ini kepadamu. Itu juga yang menyebabkan aku ingin kau mau menerimaku. ” Kata ku pada Rena.
Rena hanya terdiam. Duduk dan hanya menuduk dikursi sebelahku, dia membisu seribu bahasa. Sampai seorang Petugas terminal meminta agar semua penumpang bersiap-siap. Aku pun meminta Rena untuk bangun dan membiarkan aku pergi. Aku mencoba membangunkan karena mungkin dia tertidur. Perlahan, aku menyentuh bahunya. Namun dia tak bergeming. Aku kembali menyentuh dan menggoyang-goyangkan bahunya semakin keras. Lagi-lagi dia tidak merespon. Aku mulai cemas.
“ Ren, bangun Ren. Aku udah mau berangkat, nih”. Pintaku pada Rena.
Namun, dia tak bergeming sedikitpun.
“ Ren, kamu kenapa ? astagaaa...” aku terkejut ketika tanganku bersatu dengan tangannya.
Tangannya begitu dingin. Seperti membeku ditimbun salju kutub utara. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Rena. Dia tidak bangun-bangun walaupun aku sudah berusah membangunkannya. Aku semakin cemas.
“ Tolong...tolong... panggil ambulans, panggil cepat.” Pintaku pada orang-orang diterminal.
Aku mulai cemas. Aku tidak bisa melihat Rena seperti ini. Aku takut, aku takut terjadi apa-apa pada Rena. Aku takut, ini menjadi pertemuan terakhir bagi kami. Aku mulai menangis. Aku tak dapat membendung air mataku. Aku menumpahkan air mata ini sembari memeluknya erat-erat dan berharap ini bukan pelukan terakhirku untuknya.
Ambulans tiba. Petugas datang menghampiri kami. Petugas menggotong badan Rena dan meletakkannya ke dalam mobil itu. mereka membawa Rena ke Rumah Sakit.
***
Beberapa bulan kemudian.
Namaku Ryan ramadhan dan Kini aku sudah berada dibanjarmasin. Kota dimana aku melanjutkan studi ku, disebuah perguruan tinggi islam terbesar dikota Banjarmasin. Yaitu Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin. aku memejamkan mata untuk kembali mengingat Rena. sosok yang tidak dapat tergantikan seumur hidupku. Tak lupa aku membawa kertas hijau dengan tinta hitam pemberiannya terakhir bersamaku yang aku terima dari ibunya setelah pemakaman. Dan disana pula aku mengetahui bahwa Rena mempunyai penyakin kangker tulang. Perlahan-lahan kubuka kertas tersebut dan aku tak kuasa membaca tulisan itu. tulisan yang berbunyi “ JIKA SUATU SAAT NANTI AKU MENGHILANG, PERCAYALAH BAHWA AKU MENCINTAIMU” tulisan sederhana dengan tinta berwarna Hitam yang di goreskan pada kertas berwarna hijau namun penuh makna. Aku hanya dapat memeluk kertas itu. Tak kusadari, ternyata air mataku menetes tepat di tubuh kertas hijau itu. Aku menangis bersama hujan yang terjadi saat itu.
Sumber:
http://fadli-kpi.blogspot.co.id/2015/05/cerpen.html
0 komentar: