Cerpen Ali Makki: Perempuan Pembawa Rumus
Mentari naik berlahan pada ranting-dedaunan, terus merambat ke jendela kamar. Sembari memberi pesan harus bangun, mandi dan kemudian berangkat ke kampus. ayam berkokok saling berkejaran berebut makanan lezat pada sisa embun yang membasahi rerumputan, Serta mencakar tanah mencari limban yang keliaran dibawah daun daun kering, seakan inilah kehipan yang terindah baginya, ketika melihat rayap tidak menemukan jalan pulang, mereka memanggil kawanannya untuk berbagi, saling memberi kenikmatan dengan riang serupa mengatakan inilah bangsaku yang selalu damai, inilah hidupku yang selalu bersama saling berbagi rasa.Sesekali kumbang hinggap pada sekuntum bunga yang wanginya serupa mimpi mentari sempurna. Kadang kadang kupu kupu membawa impian manusia dengan keindahan sayapnya, ia melukiskan indahnya warna dunia dan kehidupan. Angin sepoi mulai menggoyangkan rambut gadis dipinggir jalan yang dibiarkan kerurai, rambut itu panjang serta basah menebarkan bau sampho, tubuh lansing memakai celana jeans dan kaos ketat mejadikannya terlihat gadis idaman semua lelaki.
Ketika embun mulai terhisab mentari pagi ini, tubuhku merasa ada yang mengikatnya, langkah ku seakan ada beban berat yang membuat kaki sulit untuk diangkat, dipijakkan. didepan sana kelihatan ada tembok tebal yang menghalangi jalanku, seakan ia menyuruh ku tetap di rumah dengan selimut dalam kamar, tidur lagi. namun aku mencoba dengan sangat sulit, berjalan pelan keluar, aku paksakan melangkah sedikit demi sedikit, rasanya tidak percaya, ada apa sebenarnya, barangkali ilmu didapat dengan susah payah dan harus terpaksa, kadang aku berpikir, ketika dalam keadaan galau, buat apa aku kuliah? Bila hanya akan mendapatkan kebingungan, membingungkan.
Baut apa menghadapi pelajaran yang berupa teka teki, bukannya hidup ini sudah terlalu rumit untuk dirumuskan. Lebih baik belajar kepada alam saja! Toh tidak usah membuang banyak uang! Membayar kebingungan ini, apalagi bila belajar pada alam lebih leluasa mendapatkan pelajaran tanpa rumus, atau mencari jawaban dari teka teki itu yang tentu tidak sejalan lagi, tidak sama dengan apa yang diharapkan jawabannya. tidak!, ‘‘kau harus kuliah, tempatmu disana, kau hanya takut manghapal rumus, jangan turuti ketakutanmu ini boy! Sebab itu hanya membuatmu diam dalam kebodohan. Bukannya kau pernah berjanji akan menjadi bintang dikampusmu, itu cita citamu kan?” ah, pusing...... kenapa? Dan kenapa harus takut, pikiranku kacau, tidak ada yang benar. Semuanya salah, itu salah, biarlah ia menemui hidupnya dengan sendirinya
Langkahku semakin jauh menyelusuri lorong, berpijak diatas pikiran yang tak tentu arah, haruskah aku meninggalkan materi hari ini? Begitu lemahnya aku. Membiarkan jiwa ini terus berseteru. Merebutkan kebutuhan dengan ketakutan yang terus membayangi, ketakutan yang selalu mendahului keberanian. Jangankan bergerak melawannya, diampun sama saja dengan pengecut.
***
Dalam perjalanan yang melelahkan dan pusing yang terus merajalela dibenakku, tak ada yang dapat kulakukan untuk menjadi tenang, lalu aku ambil handset, menyalakan handphone, memutar lagu dan Tiada terasa penat didada sirna saat mendengarkan musik koplo, mungkin saja memang harus sering sering mencari suasana santai untuk menghilangkan resah, gundah yang tak seharusnya terjadi ini, barangkali baiknya seperti itu.
Dan satu alasan untuk menjadi tenang adalah mendengarkan musik. Aku tersadar kembali bahwa aku telah sampai ke kampus. Tiba di pendidikan tinggi tempat kini aku belajar, kampus terbaik dalam pendidikan keagamaan dikebupaten ini atau hanya sebuah kumulan agar orang tertarik menuntut ilmu disitu. Ya, termasuk aku, menempuh dalam kebingungan dan percaya akan kebaikan itu. Kini setelah lama dengan selaksa yang tak cukup baik begitu terasa. Sangat terang kelihatan. Nampak seperti fajar sidiq pagi tadi. Itu adalah ralita yang kulihat disini, mungki disana pandanganmu berbeda.
Agama. Barangkali cukup menggiurkan bila berada atas dimensi agama, status agama yang kita tidak mengerti sama sekali apa itu agama, apa agama cukup dengan ibadah, percaya pada tuhan?, melaksanakan segala yang diperintah dan menjauhi larangannya itu? Jawaban itu yang selalu ku simpan saat orang bertanya tentang agama. Sedangkan agama adalah apa yang melintasi alam. Termasuk cara berpakaian, tingkah laku dan pergaulan pada lingkungan.
Aku terpana melihat para mahasiswi berlalu lalang dengan berpakaian rapi, tertutup serat oleh hijab transparan ala model metropolitan yang seakan sudah menuruti ajaran syariah. Memandang itu, ditopong oleh tubuhnya yang tinggi, wajahnya yang putih, pipinya yang merona, matanya yang lentik, dan kulitnya yang halus lembut membuatku terpesona melihat itu semua. tidak ada kata untuk kubaca tentangnya, hanya tiba tiba hati bergetar dengannya. Sembari terucap ‘nikmat tuhan yang manakah yang kamu dustakan?’ sepeti itu. Seperti itu setiap aku bertemu dengan gadis cantik yang berkerudung. Barangkali aura hidup dipesatren masih terlalu kental dalam kepribadian ini. Aku masih beruntung dapat melanjutkan pendidikan yang berasaskan islam. Tepatnya yang beragama. namun, sekalipun berasas islam dengan syariat yang masih longgar bagiku, terlalu menghibur untuk ditonton, terlalu indah untuk tetap bertahan bersama dosa dosa. Sekiranya itu bukan hidupku....!
“Inikah kampus kebanggaan kota kelahiranku? Kampus islam, kampus yang membawa keselamatan, kampus yang mungkin bertaburan kenikmatan hidup didunia dan akhirat’’. Itulah pernyataan pertama kali aku meningjakkan kaki dikampus yang telah mengharumkan nama bangsa, mekarnya bunga bunga insan yang kaffah, tumbuhnya tunas surgawi. Tapi itu hanya pesona nama saja. Ya, itu hanya perasaanku saja ketika ada identitas agama didalamnya, agama yang selama ini kudalami dan kupercayai kebenarannya.
***
Ketika aku memasuki ruangan, kemudian mengambil kursi paling belakang. Masih sepi, mereka belum datang, mungkin saja mereka tidak akan masuk kuliah. Pagi ini, disini. Diruangan itu, sambil duduk menatap keluar jendela, kelihatan jelas sepeda motor menghiasi jalan beraspal, berupa semut yang merayap pada pepohonan, bersusah payah saling mendahului. Kemudian kendaraan itu tersusun berjajar dilapangan dengan rapi. seratus, dua tatus atau bahkan lima ratus kendaraan mengisi parkiran disana.
Senyap, gerah, mulai terasa menguasai ruang tanpa teman. Hanya saja buku yang selalu menemaniku, kubaca novel tell me your dreams; ceritakan mimpi mimpimu. Kayaknya menarik untuk dibaca. Mimpiku untuk jadi orang sukses dan bermanfaat bagi masyarakat, mimpi kebanyakan orang orang yang hidup didunia ini. Sukses berarti berkecukupan.
“Boy, kamu sudah mengerjakan tugas matematikanya?” Kata aulia yang sudah tidak diragukan kalau masalah matematika. Ia paling rajin masuk kuliah, seakan waktunya hanya untuk belajar, dan belajar.
“Belum, memangnya ada tugas ya...? aku tidak tau kalau ada tugas. kamu sudah kah?” kubalikkan dengan harapan ia telah mengerjakan tugas tugas itu.
“Kerjakan tugasku ya..! males ngerjain tugas begituan, lebih baik aku baca buku ini, udah nanggung nich”
“Bach. maunya, aku belum selesai juga!” ujarnya penuh keakraban
Tugas matematika. Mata kuliah yang sangat tidak ku suka. Tepatnya aku benci, pelajaran apaan tuch. Sejenak aku melihat soalnya itu. merumuskan angka, angka itu dimasukkan ke dalam huruf P dikalikan dengan titik, kemudian huruf Q tak kuasa keluar dari kurung, Karena di dalam kurung lebih sempurna untuk didahulukan dalam memasuki jumlah seluruhan. Apa dan bagaimana caranya? bingungku mulai timbul lagi dalam pikiran ini.
“Boy, kamu jangan seperti itu, aku tahu kamu tidak suka pada pelajaran ini. namun, cobalah kamu menghormati dosen kita. Dia tidak akan memberikan nilai kalau kamu tidak mengerjakan tugas itu. Apa kamu mau ngulang tahun depan!. Bagimu memang ini seakan tidak berguna. Aku sadar itu, bahwa teori ini, rumus rumus ini tidak ada gunanya dalam kehidupan kita. Semangatlah, ada satu hal yang harus kamu ketahui boy, dalam jurusan kita tidak lepas dari angka dan rumus rumus.” Katanya sambil duduk didepanku. Matanya yang tajam mengucapkan kata yang tak aku mengerti apa yang diucapkannya. Tatapan itu seakan tidak yakin padaku, kalau aku dapat mengerti dan menerima kepasrahanku itu. Namun bukan aku yang kalah, biarkan saja ia merasa menang dalam pengetahuannya
***
Aulia, gadis yang selalu memberiku semangat untuk bisa bertahan, memberi motivasi hidup dalam merangkai langkah kepada yang lebih baik. Ia salah satu teman yang dapat mengerti kegelisahanku. Gadis yang cantik, ia seakan tahu semua masalahku dari tatapan matanya, ia yang selalu memberi senyum mentari, senyum yang membuatku masih dapat menatap hari, malam dan bintang terasa dekat, penuh warna. Ia bak mutiara yang memancarkan cahaya dalam hidup ini. Dan karena dia pula aku tetap kuliah disini.
“Dosennya sudah datang.” Kata yang lain yang baru masuk dengan tergesa gesa.
Aulia menggeser kursinya, mempersiapkan diri untuk belajar dengan penuh greget. Dan aku tetap tidak acuh. Dosen? Memangnya siapa dia? ia tidak akan membuatku bahagia. Apa dia dapat merumuskan jalannya hidupku, mungkin saja ia bisa mengalikan ibadahku, salat, puasa, serta berapa diantara rakaat yang 17 yang akan tereliminasi, atau puasa yang 12 jam dikalikan 30 hari hasilnya bisa menukar neraka. Paling tidak bisa mengukur umurku dengan neraca yang dirumuskan mana jarak kebaikan dan keburukan yang telah kulalui. Apakah setelah ini ada jalan yang dapat berfungsi. Atau setelah aku mati malaikat akan memenuhi permintaan dari penawaranku untuk masuk surga. Bila permintaanku tidak terpenuhi, bagaimana bentuk kurva yang akan ditulis malaikat itu. Muslimah, dosen perumus pasar dengan angka dan huruf. Dosen yang mengartikan titik dengan lipatan, tanda kurung sebagai pekerjaan penting.
“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarkatuh” ia mengucapkan salam dengan santun
“wa alaikum salam” serentak teman teman menjawab salam itu penuh hikmat
“saat ini ibu tidak akan masuk lama, cuman sekitar 10 menit saja. Apakah tugasnya sudah selesai?.” Memandang kami satu persatu. Membaca gerget wajah dari kami. Aku pindahkan buku yang kubaca ke bawah tas. Ia tersenyum, senyum kewibawaan, aku berharap ia cepat keluar, melihatnya ruangan sudah panas, mendengar materinya terasa mengantuk. Ya, ada apa dengan pelajaran itu?
Ia menaikkan materi tentang linear. Apa lagi linear itu? Mungkin saja ia menghargai temanku yang siap menerima pelajaran. Sepuluh menit bagiku seperti sehari bersamanya. Barangkali sebulan. Karena waktu terhadapnya adalah musuh
Temanku semuanya mengumpulkan tugas itu, dan aku terus diam disini, ditempat ini. Sampai dosen itu perlahan keluar dari ruangan. “Hore.....” rasanya lega, ruangan itu terasa sejuk. Angin mengalir diseluruh ruangan menggantikan pengap yang melanda 10 menit yang lalu. Temanku saling mendahului keluar. Ada yang mau ke kantin, ke puskom mengambil data, sebagian online facebookan diberanda. saling curhat dan mencari pertemanan yang tak mengenal apa itu perkenalan. Namun, melihatku duduk dengan tatapan tanpa gairah, aulia kembali mendatangiku.
“Boy, get spirit donk!!, aku tidak suka melihat kamu begini, bangunlah, tunjukkan potensimu dan katakan pada dunia aku bisa, paling tidak buatku, karena aku juga merasakan yang sama dengan apa yang kamu rasakan. tapi adanya kamu.....! aku ada semangat untuk meraih mimpi mimpiku, jangan biarkan emosimu menguasainya, sebab ia akan mejadikan kamu tidak berdaya.” Lagi lagi kalimat yang keluar dari bibir manisnya itu lebih memberikan aura dalam hidupku, aura menghargai keputusannya, dan aura kejujurannya, Atau mungkin menghargai cintanya. Ia tersenyum indah, senyum yang mempesona, senyum yang tiba tiba aku dapat merangkai rumus yang paling sulit,.rumus yang aku katakan adalah cinta. Teka teki yang selama ini tak terjawab dapat terpecahkan. Ya. Itulah cinta.
Sumber:
http://alibagaskara.blogspot.co.id/2014/01/perempuan-pembawa-rumus.html
0 komentar: