Cerpen Puan Malaya: Kontrak Miranti
Saat kutatap nanar wajah-wajah yang seakan pongah. Wajah-wajah yang matanya pura-pura kelilipan. Wajah-wajah yang pura-pura batuk. Wajah-wajah yang pura-pura menatap deretan lampu lalu lintas. Mungkin jengah, bosan melihat diriku yang tiap hari, tiap panas mentari menyengat kulit bumi dan seisinya, tak peduli gumpalan debu yang siap melahap tubuh beliaku namun tak pernah jera menadahkan tangan pada wajah-wajah yang seakan pongah itu.Kubisikkan doa. Semoga mereka menyisihkan sedikit harta benda mereka. Untuk diriku yang papa, untuk diriku yang terpenjara dengan setoran paksa mengandalkan kekumuhan, kedekilan, agar terbit belas kasihan.
Mengapa wajah-wajah itu beku ? Mungkin mereka telah tahu bahwa harta yang mereka percikkan hanya untuk foya-foya Bos Besarku. Mungkin mereka pun telah merasa miskin. Dan sedikit harta begitu berarti bagi kehidupan mereka. Info berita pagi yang sempat termakan oleh gendang telingaku lamat-lamat masih terdengar, sepintas masih kuingat, -’harga gula naik, harga beras naik, harga minyak naik’….ah..semoga rejekiku ikut naik.
Saat lampu lalu lintas berganti warna menjadi merah. Aku sumringah. Kukais rupiah, menadahkan tangan kepada para pengendara yang taat lalu lintas. ” Hei, berikanlah hartamu sedikit…hai bapak, ibu, kakak..nanti aku bisa-bisa ditampar, dianggap tidak becus, dianggap kurang modal untuk terbitkan belas kasihan, dan dijadikan bulan-bulanan oleh Bos Besar.” Geram hatiku akan kepapaanku. Tertindas, terinjak, mampukah aku berlari dari semua ini ?
***
Senja hari, di sarang Bos Besar.
”Heh ! cuma ini yang bisa kau cari ?” Bos Besar dengan mata nyalang menatapku buas. Bos Besar yang kelabui aku demi rupiah dan membuatku tercerai-berai dengan ibu bapakku, sanak saudaraku. Katanya aku mau dijadikan anak buah toko. Kalau tidak ya babu. Kalau tidak ya….
”Ngemis aja gak becus ! Ntar malam, umpat unda haja ! Mandi yang bersih ! Dandan yang rapi ! Nih, gasan nyawa ! ” Bos besar melempar 2 gumpal uang seribuan dan sebungkus nasi. Nasi berlauk tempe kulahap bersama teman-teman kecilku yang tidak lagi sebaya. Sayup-sayup terdengar kumandang azan Maghrib. Aku bergegas mandi lalu berwudhu dan shalat dengan mukena lusuhku.
”Semiskin apapun, jangan pernah kau tinggalkan shalat.” Masih kuingat amanah Bapak saat melepas kepergianku dengan Bos Besar. Masih kuingat bulir-bulir air mata yang mengalir di pipi tua ibu. Aku, perempuan sulung, harus mengubah nasib, bertekat harus berhenti menjadi buruh tani yang hanya mengurusi tanah orang lain dengan upah yang tak seberapa.
”Hei ! Sudah siap belum ? Pake shalat shalat lagi ! Biar shalat seribu kali, tatap ai miskin !” sembur Bos Besar seraya menarik lengan tanganku dengan kasar. ”Cepat ! Bereskan barang nyawa semuaan.”
Semua ? Apakah Bos Besar mau memulangkanku ?
“Pulang kampung, Bos ?” tanyaku takut-takut.
“Pulang kampung, dengkulmu !” Bos Besar menebar sumpah serapah. ”Jangan banyak tanya ! Mau kuhajar ?”
”I i i iya bos …” Segera kubenahi baju-baju kumalku, baju-baju lusuhku, baju-baju dekilku.
***
”Bungasnya bawaan nyawa, Man! Tapi kok dekil begini. Nyawa mandi’i pakai apa? Banyu pacirinkah ?” Wanita seumur ibuku, mungkin usianya 50-an, dandanannya menor, dengan roman wajah centil menyapa kedatangan kami,
Aku tak kenal tempat ini. Terpencil, jauh dari keramaian kota. Tapi tempat ini seakan tak pernah mati. Bahkan, nampak semakin hidup. Tak selayu diriku yang kian lemah dimakan beban derita. Bos Besar masih tak beranjak dari pembicaraannya bersama wanita yang menyambut kedatangan kami tadi.
Lamat-lamat terdengar suara percakapan Bos dan wanita itu. Tak terdengar jelas. Aku terduduk di sofa empuk tak jauh dari tempat duduk mereka.
Maman, sang bos besar ternyata sedang transaksi tubuh Miranti untuk dijual kepada Jumirah.
”Bagaimana, Man ? 2 juta ya ?!” rayu Jumirah seraya menghembuskan asap rokok mildnya.
”Wah…terlalu murah, Jum. Miranti masih perawan. Masih polos. Lugu.”
”Nah,makanya itu… kalau masih perawan, masih polos berarti kan unda cagar malajari dulu teknik-tekniknya.”
Maman jadi nginyem.
”Dimana-mana Man, kalau masih mentah tu murah. Nanti unda yang moles, unda yang malajari . Wajar unda minta murah.”
”Tinggi’i dikit pang, Jum. Masa cuma 2 juta. Udah perawan, ayu lagi. Anaknya rajin shalat lagi.”
”Akayah ! Memangnya kerja disini pake shalat segala ?! ”
”Sakadanya nyawa pikirakan jua. Kayapa, Jum ? Naik’akan harganyalah.”
”Nyawa handak berapa ? ”
Bos besar mulai memperhatikan jari-jarinya. Diangkatnya 5 jari pada tangan kanannya. Jumirah bengong.
”Hah !!!! Lima juta !!!?” Jumirah yang sehari-hari adalah germo bagi perempuan – perempuan muda yang menjajakan seks short & long time untuk pelaut asing dan pekerja tambang itu terperangah.
”Yakin pang Jum, kada bakal rugi ! Sambil manulungi aku. Biniku cagar beranak sebentar lagi, ” Maman memelas pasang tampang sedih.
Jumirah menatap Miranti yang tengah bengong duduk di ruang tamu. Wajahnya mulus tanpa jerawat, lugu dan eksotik. Kalau kata Tukul Arwana, ndeso. Bodi, tingi semampai walaupun berkulit coklat gelap. Fakta aktual, yah mendekati Tiara lah, mantan fotomodel majalah berlogo kepala kelinci berdasi kupu-kupu itu.
”Bagaimana Jum ?” Maman memecahkan keheningan hingga membuat Jumirah tergagap.
”Okelah 5 juta,” sahut Jumirah pendek dan seribu rencana tengah berkecamuk dalam otaknya.
***
Bos Besar meninggalkanku di rumah Mami Jum dengan kantong yang membengkak. Tak pernah kulihat Bos Besar tersenyum selebar malam tadi. Kini aku harus mengikuti apapun perintah Mami Jum.
***
Jumirah berpikir keras. Ia tak ingin 5 jutanya menjadi buntung. Setidaknya bertambah dua kali lipat atau berlipat-lipat. Kalau hanya mengandalkan booking pelaut asing ataupun pekerja tambang tidak mungkin mampu melipatgandakan 5 juta secepat kilat. Aha… Pikiran cemerlang pun menghambur dalam sel-sel syaraf otak Jumirah. Seketika wajah Jumirah pun sumringah. Kenapa tidak sedari tadi hal ini terpikirkan ?
Jarinya pun liar memenceti tombol telepon selularnya. Tak sabar hatinya menanti nada sambung berganti dengan suara yang ingin ia hubungi.
” Halo, Lin…gimana dengan bisnis ginseng kita ? Masih jadi ?” berondong Jumirah dengan nada tak sabar.
”Ada bibitkah disitu ?” sahut suara dari seberang.
”Ada. Berapa kontraknya ? ”
”2 tahun, 20 juta.”
Jumirah langsung kegirangan begitu mendengar 20 juta. Uangnya yang sisa 1 juta akan bertambah. Ini pertanda baik. Paling-paling mendandani Miranti hanya habis 500 ribu. Orangnya sudah cantik duluan.
”Ok haja. Kapan kita ketemu ?”
”Lusa. Di Hotel XYZ kamar 345. Jam 9 malam. Hari ini aku hubungi Mr. Han.”
Hubungan pun terputus. Jumirah tersenyum puas. Bisnis ginseng membuat jantungnya berdebar. Ini kali pertama ia jalankan.
Dengan takut-takut dan penuh keluguan, Miranti mengikuti apapun kehendak Jumirah. Ke salon sudah, mengenakan baju yang sedang in juga sudah. Polesan riasan wajah kini melengkapi sosok Miranti, remaja desa berusia 15 tahun yang rela meninggalkan keluarganya nun jauh di desa dan harus rela terjebak dalam belitan arus kapital demi melengkapi haus nafsu lelaki.
Akhirnya, lusa yang dinanti pun tiba. Gerimis menghantarkan kepergian Jumirah dan Miranti ke hotel XYZ seperti yang dijanjikan oleh rekan bisnis ginseng Jumirah. Gerimis hati menambah timbunan tanda tanya yang mengguruh dalam benak Miranti. ”Aku mau dibawa kemana ?” bisiknya dalam hati.
Hotel XYZ adalah hotel eksklusif di kota itu. Tidak sedikit para pengusaha maupun wisatawan asing yang menjadikannya sebagai tempat bermalam. Sebagai tempat pengesahan Mou ataupun sekedar menyingkirkan kepenatan dari rutinitas bisnis. Miranti dengan langkah gugup, masuk ke dalam lift. Jumirah santai saja, karena ia sudah terbiasa mengantarkan anak didiknya ke tempat itu.
Kamar 345. Jumirah mengetuk daun pintu. Sosok perempuan umur 30’an dengan rambut dicat pirang membukakan pintu. Jumirah dan Miranti pun memasuki kamar itu. Sementara di dalam kamar telah ada 4 orang laki-laki. Satu orang nampak berpenampilan bak tuan guru, sebutan bagi orang yang memiliki ilmu agama yang luas dan dipercaya masyarakat untuk memberikan solusi hidup ataupun menikahkan. Sisanya, 2 orang laki-laki yang tampak kekar dan kuat. Satu orang lagi berperawakan tinggi, putih dan bermata sipit. Nampaknya, ia orang asing .
”Ini orangnya ?” dengan bahasa Indonesia yang patah-patah dan terbata-bata ia memandangi Miranti. ”Hm…saya suka,”sambungnya lagi.
Jumirah dan Linda- rekan bisnis ginseng Jumirah- gembira ria. Mereka pun saling berpelukan. Miranti hanya terheran-heran.
”Baiklah, kita mulai saja.” Lelaki yang berpenampilan bak tuan guru menyudahi suasana kegembiraan itu. Kegembiraan bagi Jumirah dan Linda tentunya. Kegembiraan Mr. Han yang akan memiliki Miranti. Kegembiraan pula bagi sang lelaki bak tuan guru dan para pengawal Linda yang akan kecipratan persenan di malam itu.
Prosesi nikah pun dimulai. Malam itu, dua insan yang tak pernah bersua, apalagi terlibat perasaan mencinta tengah diresmikan dalam ikatan nikah siri yang mut’ah. Nikah tersembunyi yang terselenggara atas sebuah kontrak tengah terjadi. Lembar demi lembar kertas perjanjian ditandatangani Miranti yang isinya tidak ia mengerti sedikitpun.
Miranti pun malam itu resmi menjadi milik Mr. Han. Rembulan mengintip malu-malu dibalik awan. Bintang-gemintang meredup di kelamnya malam. Gerimis pun masih saja membasahi tubuh bumi. Sementara itu geliat ritme kehidupan malam tengah memulai derapnya, tuk obati kejenuhan dan kehausan nafsu tak bertepi.
Sumber:
https://femaleap.wordpress.com/2007/12/26/kontrak-miranti/
0 komentar: