Cerpen Anita Nur Hidayah: Antara Penantian dan Pertemuan
Studio siaran yang sempit ini terasa sangat panas. AC yang sudah disetel enam belas derajat pun tak mampu mendinginkan tubuh ini. Lama aku termenung memikirkan masa depanku yang tak kunjungkumengerti. Memikirkan hari demi hari yang ku lalui sendiri tanpa ada sandaran hati. Kuingat kata-kata sahabatku tadi siang yang mengejekku karena sampai sekarang akau masih sendiri.Ya, perkenalkan namaku Sinta.Aku anak kelas tiga SMAN 1 Bunga Bangsa. Selain aktif dalam kegiatan di sekolah aku juga aktif menjadi penyiar radio sejak aku kelas satu SMA. Kembali kepermasalahan utama, kenapa ya sampai sekarang aku masih belum bisa menerima seseorang untuk berada di hatiku. Sebenarnya bukannya aku tak mau punya pacar seperti temanku yang lain, tapi sebenarnya aku sedang menunggu seseorang di masa laluku.Ya, bisa dibilang aku masih belum bisa melupakan orang itu.
Dulu waktu aku masih kecil aku tinggal di Banjarnegara, aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Arya. Dia orangnya sangat baik sejak kecil kami sudah akrab karena rumah kami tetanggaan. Aku dengan Arya juga bersekolah di SD yang sama dan kami selalu berangkat sekolah bersama-sama. Kebiasaan kami adalah memanjat pohon jambu yang ada di belakang rumahku, di sana kami bisa ngobrol sepuasnya dan menikmati semilirnya angin desa. Kami juga pernah berjanji bahwa kami tidak akan pernah melupakan satu sama lain dan akan saling menjaga selamanya.Hingga suatu hari keluargaku ditimpa sebuah musibah.
Sore itu telepon rumahku berdering, ibu langsung mengangkatnya. Terdengar sura diujung gagang telepon itu, ”Apakah benar ini kediaman bapak Hartono?” kemudian terjadi pembicaran yang membuat ibu terjatuh dan menangis di dekat meja telepon. Kuhampiri ibu yang masih menangis meraung-raung,”Ada apa bu?” tanyaku dengan kekhawatiran. Dengan tersedu-sedu ibu menjawab, ”Ayahmu kecelakaan dan sekarang beliau sudah berpulang….” Bagai disambar petir aku pun ikut menangis dan merasa tak percaya akan apa yang terjadi ini.
Tak lama kemudian sanak saudara dan tetangga telah berdatangan di rumah kami mengucapkan bela sungkawa. Tepat pukul delapan malam sirine ambulan berbunyi di halaman rumah kami pertanda jenazah ayah sudah sampai. Segera kuhampiri mobil itu dan tak lama kemudian pintu itu telah terbuka. Kulihat sesosok manusia yang diselimuti kain putih seluruh tubuhnya. Kubuka kain itu dan kukecup keningnya untuk yang terakhir kali. Di dalam ibu tak kuasa menahan kesedihannya hingga beliau pingsan. Sesampainya di rumah, jenazah ayah langsung dimandikan dan disholatkan. Keesokan harinya dengan berjalan kaki jenazah ayah di antarkan di tempat peristirahatan terakhirnya.
Semenjak kepergian Ayah kondisi ekonomi keluarga kami terasa semakin sulit, hingga suatu sore ibu mengajakku berbicara di halaman belakang rumah.
“Sin, ibu pengen ngomong sesuatu sama kamu!” kata beliau dengan lembut.
“Iya, ngomong saja Bu jangan sungkan, kan Sinta anak ibu dan sekarang kita hanya tinggal berdua,” tanggapku.
Ibu pun mengutarakan maksudnya bahwa beliau sudah memutuskan untuk merantau ke Bandung demi mencukupi kebutuhan keluarga kami. Aku hanya menyetujui keinginan ibu karena aku juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu ibu.Walaupun dalam hati kecilku aku sangat berat untuk meninggalkan semua kenangan di desa ini, apalagi harus berpisah dengan Arya. Hal itulah yang membuat persahabatan kami renggang dan tidak pernah ada komunikasi lagi ketika aku di Bandung.
Ketika pertama kali tiba di Bandung kami menyewa sebuah rumah yang tidak mewah tetapi cukup untuk kami berdua berteduh menyambung kehidupan. Ibu memilih membuka butik sederhana seperti apa yang sudah ibu rencanakan dari awal. Aku masuk ke SMP Dharma Bakti yang kebetulan itu memang sebuah sekolah favorit di sana. Setahun berada di Bandung membuat kehidupan keluarga kami lebih baik dan di tahun kedua ibu mendapatkan pengganti ayah. Ibu menikah dengan seorang pengusaha yang baik hati. Dari situ kami pun pindah kerumah ayah baruku.
“Hai!Ngelamun aja nih,” suara Intan menyadarkanku dari lamunan.
“He...he...he,” jawabku dengan santai.
“Makan siang yuk, perutku udah keroncongan nih!” lanjutnya lagi.
Kami pun langsung menuju rumah makan favorit kami, karena selain masakannya enak harganya juga terjangkau. Selesai makan siang aku langsung pulang ke rumah karena kebetulan jam siaranku sudah selesai. Sesampainya di rumah ternyata tidak ada siapapun di sana mungkin ibu dan ayahku belum pulang bekerja. Segera kuganti bajuku dan kubaringkan tubuhku di tempat tidur. Tak lama kemudian kudengar suara deru mobil pertanda orang tuaku sudah pulang. Kulangkahkan kakiku menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
“Eh tumben udah pulang, biasanya sampai malam baru pulang,” tegur ayahku.
“Iya, kan bentar lagi mau ujian,” jawabku.
Saat makan malam ibuku menanyakanku perihal ujian nasional yang tinggal dua bulan lagi. Ayahku juga menyarankan agar aku off dulu dari siaran,karena mereka tidak ingin aku kecewa dengan hasilku ujianku nantinya, apalagi aku bersekolah di tempat yang lumayan favorit dikotaku.Tapi aku aku masih mempertimbangkan saran itu karena menjadi penyiar adalah hidupku. Nantinya kalau sudah lulus SMA ini aku aku masuk kuliah di bidang penyiaran seperti yang aku cita-citakan dari kecil.
Keesokan harinya ayahku kembali menanyakan pertanyaan yang tadi malam. Akupun menyetujui saran beliau karena setelah kupertimbangkan ternyata usul beliau baik juga. Lebih baik aku off dulu dari pada nilaiku harus jeblok dan tidak bisa masuk universitas impianku. Beberapa hari ini aku sangat sibuk masuk les privat,yah itupun karena saran dari ayahku. Meskipun sangat membosankan tapi aku berusaha untuk menikmatinya.
Tanpa terasa hari telah berganti dengan cepatnya, hari ini adalah hari pertamaku mengikuti UN, terasa sangat grogi tapi Alhamdulillah dapat kulalui dengan baik. Empat hari adalah waktu yang sangat lama untuk menghadapi sebuah ujian, tapi tak terasa aku sudah melalui semuanya dengan baik. Akupun mulai on air lagi, dan semua itu dapat menghilangkan stresku selama ujian. Detik-detik yang ditunggu pun tiba hari ini adalah adalah hari pengumuman hasil UN-ku, ada rasa was-was di sana takut kalau tidak lulus. Tapi nampaknya Tuhan berkehendak lain aku lulus dengan nilai tertinggi di sekolah dan aku lulus pula mengikuti seleksi di universitas impianku.
Hari pertama masuk kuliah adalah hari yang sangat membahagiakan sekaligus menegangkan. Hari ini aku akan bertemu dengan teman-teman baruku. Kutengok papan pengumuman tempat namaku tertulis sebagai mahasiswi di sini. Secara tak sengaja kulihat nama Arya Revalna di antara deretan nama itu, nama yang sangat kukenal di masa laluku.
“Itu kan nama Arya,” Bisikku dalam hati.
Tapi segera kubuang jauh-jauh pikiran itu karena kurasa tidak mungkin kalau di masuk disini. Hari ini aku punya banyak teman baru tapi yang paling akrab adalah Farel karena dia bersebelahan denganku. Hari-hari kami lalui bersama dan itu membuat kami menjadi sepasang sahabat.Setiap malam minggu kami selalu pergi bersama maklum karena kami kan jomblo sejati. Tapi akhir-akhir ini ada yang aneh dengan Farel dia kelihatan lagi jatuh cinta.
“Kenapa kamu Rel, senyum-senyum terus,” tanyaku padanya.
“Enggak kenapa-napa kok,” jawabnya dengan tersenyum-senyum.
Tapi setelah kupaksa dia pun mengaku, bahwa kemarin dia bertemu dengan seorang cowok yang menabraknya hingga bukunya terjatuh. Mulai dari hal itu Farel mulai merasakan jatuh cinta, tapi sayangnya belum sempat dia menanyakan namanya buru-buru cowok itu pergi setelah membantu Farel menata bukunya. Dan-akhir ini sedang giat mencari tahu tentang identitas cowok itu. Namun, sayang sudah seminggu ini dia mencari informasi tapi tak kunjung menemukannya.
Hari ini hari Minggu aku menyempatkan diri pergi ke toko buku untuk mencari referensi tugas dari dosenku. Kerena hari itu juga mau hujan maka aku buru-buru menuju kasir, tapi tanpa sengaja aku menabrak seorang laki-laki yang juga sedang mengantri untuk membayar.
“Akh, sorry...sorry!” kataku dengan rasa penuh bersalah.
“Gak papa!” jawabnya dengan tersenyum simpul.
Tak kusangka setelah aku minta maaf dia malah mengajakku berkenalan.
“Kenalkan, namaku Arya Revalna, kamu siapa?” tanyanya
Bagai disengat lebah sungguh aku tak bisa berkata-kata lagi, karena orang yang sedang di depanku ini adalah orang yang selama ini kutunggu-tunggu kedatangannya.
“Tidakkah kau mengenalku, aku Sinta sahabat lamamu!” jawabku.
Dengan muka penuh tidak percaya dia langsung memelukku. Kemudian dia menceritakan bagaimana dia bisa berada di sini, dan ternyata kami juga kuliah di tempat yang sama. Berarti dugaanku sewaktu pertama kali aku masuk kuliah,nama itu ternyata memang nama miliknya. Kami pun mencari tempat untuk sekedar minum dan cerita lebih lanjut lagi. Sesampainya di rumah kuceritakan semuanya pada ibu, beliau sangat senang mendengarnya. Tak lupa hal ini kuceritakan semuanya pada Farel dan dia juga ikut senang mendengarnya.
“Kenapa kamu senyum-senyum,pasti gara-gara yang kemarin!” ledeknya kepadaku.
Aku hanya tertawa menjawabnya.Tapi aku juga merasa kecewa karena aku nggak bisa ketemu sama Arya, soalnya dia masuk sore sedangkan aku masuk pagi. Padahal hari ini aku juga mau ngenalin Arya sama Farel. Yah, tapi untungnya Farel nggak marah sama aku. Soalnya aku dulu pernah janji sama Farel jika aku sudah ketemu sama Arya mau langsung aku kenalin.
Yah, ternyata waktu berlalu dengan cepat sudah sebulan aku bertemu dengan Arya dan rencananya malam minggu ini kami akan ketemuan. Mulai kemarin Farel juga pergi ke Jogja untuk KKN. Jadi kami akan lama nggak ketemu dan malam mingguan bersama di rumahku seperti dulu deh.
Malam ini aku dandan secantik mungkin dan senatural mungkin karena malam ini aku akan ketemuan dengan Arya. Jam menunjukkan pukul delapan malam aku bergegas menghentikan taksi di depan rumahku. Setelah beberapa menit terlihat sebuah cafe yang tidak besar namun terlihat sangat romantis. Kulangkahkan kakiku kedalam kafe itu dan kutemukan sesosok pria tampan memakai kemeja tersenyum padaku.
“Eh maaf ya sudah menunggu lama,” kataku padanya.
“Enggak, baru sebentar kok,” jawabnya.
Kamipun memesan makanan dan mulai mengulang kembali kenangan kami waktu kecil. Dan yang paling mengejutkan bagiku setalah kami selesai makan dia memintaku menjadi pacarnya dan aku hanya terdiam tak bisa menjawabnya. Tapi dalam hatiku aku tak mungkin menolaknya karena itu adalah yang kutunggu-tunggu selama ini. Karena takut kemalaman aku pun diantarnya pulang tapi sayangnya dia nggak mau mau mampir dulu karena udah capek katanya. Yah, tapi aku sangat bahagia malam ini. Sesampainya dikamar segera kupencet nomor Farel untuk menceritakan semuanya padanya. Kutunggu jawaban darinya tapi sayangnya malah suara operator yang kudengar yang menyataka bahwa hp-nya sedang tidak aktif.
Keesokan harinya ketika aku pulang kuliah kucoba untuk menghubungi Farel lagi dan kudengar jawaban di seberang sana. Tapi aku jadi merasa khawatir karena kudengar suaranya yang sayu.
“Kamu sakit, Rel?” tanyaku padanya.
“Enggak kok,” jawabnya singkat.
Kutanyakan bagaimana kelanjutan ceritanya dengan orang yang menabraknya dahulu, tapi dia malah menangis. Dia menyatakan bahwa dia sudah mengetahui nama orang itu, namanya Reva. Tapi setelah beberapa hari berhubungan dengan Reva dia menyatakan tidak mau diganggu lagi karena katanya dia sekarang sudah punya pacar. Betapa kecewanya Farel saat itu padahal dia baru mencari celah agar lebih dekat sama Reva. Mengetahui ini semua kuurungkan niatku untuk menceritakan bahwa aku sudah jadian sama Arya. Aku nggak mau bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Sudah tiga bulan hubunganku dengan Arya berjalan dan Sabtu ini Farel pulang dari Jogja aku berencana menjemputnya di bandara. Kuminta Arya untuk menemaniku tapi sayangnya dia ada jadwal kuliah sehingga nggak bisa nganterin aku.
Suasana disini sangat ramai dan banyak orang berlalu lalang mengangkat barang,ya karena pagi ini aku sudah ada di bandara untuk menjemput Farel. Setelah setengah jam menunggu kulihat sesosok wanita yang ramping badannya menuju kearahku. Ya dia Farel mukanya lebih cantik tapi badannya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Segera aku menghampirinya dan kubawakan kopernya.
Segera kami naik kemobil dan kuantarkan dia kerumahnya. Sesampainya dirumah kami bercerita tentang pengalaman kami setelah tiga bulan nggak ketemu,tak lupa ku ceritakan tentang hubunganku dengan Arya. Malam ini kami janjian makan malam bersama diluar sekalian mengenalkannya dengan Arya.Tepat pukul sembilan aku jemput Farel di rumahnya dan kami menuju kafe tempat aku dan Arya biasa ketemu. Kami menuju tempat biasa kami nongkrong tapi sepertinya hal buruk terjadi malam ini. Tiba-tiba Farel menangis dan tidak mau meneruskan langkahnya.
“Jadi laki-laki ini yang akan kau kenalkan padaku,” kata Farel dengan terbata-bata.
“Apa maksudmu berkata seperti itu?” tanyaku tak mengerti.
“Ini laki-laki yang telah mengecewakanku demi perempuan lain, dan ternyata perempuan itu kau!” katanya dengan nada marah.
“Apa?” tanyaku dengan penuh ketidakpercayaan.
Farel pun pergi menjauh dariku dan tanpa menghiraukan Arya kukejar Farel, sungguh aku tak percaya dengan semua ini. Sampai di perempatan kulihat Farel sudah menyeberang jalan,tanpa memerhatikan kendaraan yang lewat aku langsung menyebrang dan sialnya…..tet…tet…tet.
Kulihat aku telah berada dipangkuan Arya tapi kurasakan begitu sakit tubuh ini dengan bersimbah darah kulihat juga Farel menangis tersedu-sedu disampingku.
***
Hari ini hari yang paling bersejarah bagiku semua orang tampak penuh memenuhi taman yang penuh gundukan ini. Tampak Arya, Farel, Ayah, Ibu dan semua keluargaku datang ketempat ini. Kurasakan hangatnya kasih sayang mereka. Tak lama kemudian aku telah tidur di tempat peristirahatan terakhirku. Lama-lama cangkul demi cangkul tanah menghalangiku untuk melihat orang-orang yang kusayang. Dan kini mereka telah menaburi rumahku dengan bunga-bunga yang berbau nan harum.
Sumber:
http://www.smagibs.sch.id/umum/cerpen.html
0 komentar: