Cerpen M. Rifki: Sisa Raut Tua
07.31Pengap.
Tak ada keluh yang meluncur dari mulut wanita tua itu. Memang, meski sejak mula bis itu disesaki para penumpang, berjejalan, salah seorang pun tanpa peduli main dorong seenaknya. Seorang lelaki dengan santai meludahkan asap rokok ke sembarang tempat. Pagi yang buruk. Belum lagi aroma khas tiap orang yang bercampur satu memadu, serta teriakan-teriakan para mandor. Berisik. Tidak, semua itu sama sekali tak berpengaruh padanya. Sambil mengeratkan pelukan tangannya, wanita tua berbaju coklat itu hanya menyandarkan kepalanya pada permukaan dinding kaca, lantas membuang sisa airmata yang menggenang sejak beberapa hari lalu.
Termenung. Ia pergi hari itu kr kota besar yang asing, tersesat tanpa alamat seperti srbuah layang-layang yang diburu angin. Ke sana dan ke sini tanpa arah yang jelas. Hanya duka dan airmata kerinduan yang membimbingnya menyusuri tiap potongan jalan yang sama seksli tidak ia kenali.
"Anak-anakku, kakian di mana?"
Keluh itu akhirnya ia pecahkan.
"Ibu datang, nak."
16.01
Di ujung jalan sana, di sebuah sentral fotocopy terbesar di kota ini, para remaja berpasang-pasangan akan asyik mengerumuni tempat itu. Setiap haru, jelang sore baru dimulai, tempat itu akan selalu padat oleh setiap pasangat yang silih berganti datang. Aku aku tak tau pasti apa yang dulakukan mereka di sana atau seromantis apa tempat itu hingga setiap hari tak pernah dirayapi sepi.
Sebenarnya aku tak peduli dengan mereka. Pamer dosa, pamer mesra, pamer kasih sayang. Sesekali di antara pasangan itu tanpa malu meluncurkan ciuman. Terlebih saat hujan tumpah, mereka seenaknya melebarkan payung ke sembarang jalan, mengamburkan percik hujan dan menyesaki jalan. Aku tak peduli.
Maaf. Sebenarnya aku tak mau melakukan ini, meski aku muak melihat mereka, sungguh, aku tak menginginkan ini. Hari itu, sore yang sama seperti sore-sore lalu, di sana, pada sentral fotokopi yang biasa mereka senangi memadu kasih. Tepat di bawah pijakan mereka, puluhan bom aktif tetpadang. Tinggal menunggu tombol di tangab kananku ditekan. Maka, puluhan pasangan itu tentu tak lebih seperti daun-daun yang jatuh diterjang angin, berhamburan lengkap dengan lumuran darah.
Tiga orang lelaki yang seorganisasi denganku mulai resah menunggu tempat itu meledak dan hancur berkeping-keping. Dua ransel tas yang penuh dengan senapan. Juga sudah mereka siapkan, hanya tinggal menungguku. Tidak, aku tidak ingin melakukan ini, membiarkan orang-orang di sana seperti kembala yang diterkam ganas serigala. Kata mereka ini jihad, membunuh habis orang-orang yang suka membibit dosa.
Sempat sebelum ledakan hebat mengamuk di sana, sebelum reruntuhan dan kerumunan asap debu beradu, tak sengaja pandanganku jatuh pada sosok wanita tua berbaju coklat yang baru turun dari bis. Berputar-putar kebingungan di sana. Raut tuanya samar-samar menyentuh ingatan lamaku yang teramat kabur. Hampir raib. Sayang, belum usai ingatan itu kuseret, tiga lelaki di sebelahku mendesak paksa. Seharusnya aku tak meledakkannya, ada seorang nenek tua yang tanpa dosa juga harus menelan derita ledakan. Sungguh, aku tak ingin melakukan ini.
Terlambat.
Hanya raut tuanya yang tersisa di benakku.
16.05
Tolong! Tak bisakah sehari saja aku tak didera masalah. Aku hanya seorang gadis yang menginginkan ketenangan dan kedamaian. Ya, damai, aku ingin seperti gadis-gadis lain, menjalani hidup dengan normal. Mengapa di sore itu tuhan begitu tega membiarkan tempat kubekerja hancur tak bersisa. Tak puaskah selama ini Dia telah membuatku cukup menderita, mengaharuskanku gentayangan tiap malam sebagai kupu-kupu malam.
Aku muak dengan hidup ini. Tidak adil. Baru kemaren aku bekerja di sini, mencoba memperbaiki hidup yang selama ini berantakan. Menata lagi mimpi-mimpi indah di masa depan, tapi mengapa? Semuanya malah hancur. Mimpiku tak lebih sekedar telor yang busuk.
Sore itu, ledakan hebat itu mendadak muncul. Tega sekali membiarkan orang-orang di dalam sentral fotokopi terbesar di kota ini terpontang-panting seperti kaleng minuman yang ditendang-tendang. Tanpa ampun, reruntuhan bangunan bertingkat itu ambruk dan jatuh menimpa orang-orang di dalamnya yang terlambat keluar, juga menimpaku. Kakiku terluka, luka yang lebar. Aku mengaduh kesakitan. Percuma ssja, siapa pula yang, akan menolong. Aku berusaha berlari dengan sisa tenaga yang ada, menyelamatkan diri dari sisa reruntuhan yang akan jatuh lagi.
Sempat, sebelum aku lari, tak sengaja pandanganku jatuh pada sosok wanita tua berbaju coklat. Aku menelan ludah, ia juga mengaduh kesakitan di sana dengan luka yang lebih parah. Raut tuanya samar-samar menyentuh ingatan lamaku yang teramat kabur. Hampir raib. Sayang, belum sempat ingatan itu kuseret, reruntuhan berikutnya menyusul jatuh.
Terlambat.
Hanya raut tuanya yang tersisa di benakku.
16.22
Aku adalah seorang lelaki yang ke mana-mana biasa membawa kamera, mencari-cari tempat untuk lensaku. Sore itu, tiba-tiba seseorang menelponku, mengatakan ada sebuah ledakan di sentral fotokopi terbesar dibkota ini. Sebuah ledakan hebat, memuntahkan puluhan lelaki dan wanita yang dilumuri darah.
Mengapa harus di sore itu? Ah, Padahal aku dan keluarga akan makan bersama di sebuah pelabuhan eambil menikmati setiap potongan senja. Sudah lams kami tidak makan bersama. Aku srlalu sibuk, bshkan sekedar untuk menyapa anakku pun jarang. Dan di sore itu, aku memilih pilihan yang buruk, kembali membuat keluargaku kecewa. Ya, itu memang pilihan yang buruk, tapi inilah pekerjaanku. Maka tanpa tuding, aku bergegas mendatangi tempat itu. Menerobos kepulan asap debu bekas ledakan. Ada banyak orang-orang yang terbantai dan tak tertolong. Aku tak peduli, inilah pekerjaanku. Yang terpenting bagiku hanyalah berita, gambar, berita, gambar dan berita.
Semua rekanku pun sama, dengan wajah, penuh sandiwara, sok sedih, sok prihatin, ya, semua kepura-puraan di depqn kamera itu dusta. Demi gambar dan berita yang menarik, hanya itu. Jujur, sebenarnya aku pun muak dengan pekerjaan ini. Namun, hanya ini yang kubisa demi menghidupi keluargaku.
Seperti biasa, usai puas dengan sandiwara murahan, bersiap pulang dengan berita yang telah kami dapat. Tunggu! Sempat, sebelum langkahku meninggalkan bekas dari tempat itu, tak sengaja pandanganku jatuh pada sosok wanita tua berbaju coklat. Ia terkapar di sana dengan luka robek di dahi, terseok-seok merangkak. Ya tuhan, siapa yang tak kasihan melihat wanita tua itu, merangkak keras, berteriak keras pula ke arahku. Raut tuanya samar-samar menyentuh ingatan lamaku yang teramat kabur. Hampir raib. Sayang, belum sempat ingatan itu kuseret, rekan-rekanku keburu mendesakku paksa untuk bergegas pulang dan merangkumkan berita.
Ah, terlambat.
Hanya raut tuanya yang tersisa dibenakku.
16.31
Terimakasih tuhan, hari itu aku telah bertemu dengan ketiga anakku. Sayang, mereka sama sekali tak mengingatku.
Mungkin raut tua ini yang membuat mereka lupa.
Asrama Zaid, 26 Januari 2016
Sumber:
http://mohmedrifki.blogspot.co.id/2016/01/cerpen-sisa-raut-tua.html
0 komentar: