Cerpen Sainul Hermawan: Godspot
Akhirnya aku lelah juga menunggu kutukan tuhan setelah kumenantangnya dengan pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh orang-orang yang mengaku telah mengenalnya. Mungkin mereka telah merasa menjawabnya dan sangat merasa mampu menjawabnya, tetapi mereka tetap tak mampu menyelam dalam ke dalam tempat di mana aku menyimpan keputusan untuk menerima jawaban yang benar.Aku juga tak tahu pasti apakah tuhan tak jadi mengutukku. Tetapi mungkin juga ia telah mengutukku lewat air panas yang telah mengubah bentuk kaki kananku, atau lewat hatiku yang tak pernah berhenti sedih di sela-sela berahi yang abadi, atau lewat labirin-labirin otak yang tak sudi berhenti mendenyutkan pening.
Tuhan sepertinya tak perduli lagi padaku. Aku juga tahu pasti. Aku tak mampu merasakannya lagi meski setiap hari ia nampang di baliho, billboard, stiker, brosur, pamflet, film, televisi, puisi, novel, AD/ART partai, undang-undang, dan di gapura lokalisasi. Orang-orang memperalatnya untuk bercinta, bertahan hidup, berpolitik, berapa saja. Atau mereka dan tuhan saling memperalat? Meski lelah, kutukannya tetap kutunggu, sebab pertanyaanku tentang kesuciannya belum terjawab.
Guruku telah mengusirku karena aku sudah mengingkari tuhannya yang mati. Baginya, tuhan adalah esensi, entitas statis, finish, selesai, dan orisinil. Setiap ciptaan yang mencoba mempersoalkannya dengan cara yang tidak santun adalah ciptaan laknat, terkutuk, bahkan layak dihabisi jiwanya. Tuhannya begitu bengis karena, baginya, tuhan berasal dari rasnya, bukan dari ras-ras manusia yang tidak otentik.
Anehnya, dia masih menawarkan tuhan kepada orang di luar rasnya karena rasnya sendiri tak bisa dikontrol, liar, dan sebab setiap orang dari mereka merasa paling dekat dengan tuhan. Aku tak ingin seperti mereka semua. Biarlah aku dicibir karena dianggap sebagai orang yang arogan pada tuhan karena selalu mencibir setiap orang yang datang menawarkan tuhan seperti sales yang menggedor ruang-ruang privatku. Lalu, buat apa aku menunggu kutukannya?
***
Aku lahir dari keluarga fanatik. Tuhan adalah santapanku setiap pagi dan sore. Ayahku tak pernah bosan menyuapiku tanpa mau peduli, kalau pada setiap suapannya, aku selalu tersedak dan hendak muntah. Ini harus ia lakukan sebab tuhan telah mengutusnya. Ia adalah tuhan yang tampak. Murka dan belas kasihnya adalah murka dan kasih sayang tuhan. Aku sangat yakin karena, saat itu, keyakinan itulah satu-satu nilai yang terpaku di otak dan hatiku.
Karenanya, aku terlatih memahami arti keterbatasan di bawah tuhan yang serba tak terbatas. Tetapi tuhan mungkin sangat sibuk, ia tetap menggariskan kemiskinan yang bersahaja bagi keluargaku. Aku dan keempat saudaraku tak selancar orang-orang yang terbebas dari kemiskinan dalam menuntaskan jenjang pendidikan yang runtut, teratur, dan lancar. Mungkin harapan-harapan yang kami panjatkan tak pernah sampai ke singgasananya. Apa kekurangan kami?
Kami sudah fanatik dan sudah terlalu lama miskin. Kata guru-guru spiritual kami yang makmur, kami sedang diuji untuk mendapatkan tahta kesucian di singgasana kebesaran tuhan. Kami percaya saja karena kami fanatik sebelum akhirnya aku menyadari bahwa keluargaku mengidap sindrom idealisme romantis, kesadaran palsu, kesadaran bahwa kemiskinan adalah kodrat dan bukan sebagai efek dari pemiskinan yang dilakukan secara sistematis, terencana.
Kesadaran inilah yang membangkitkan kebesaran ketuhanan ayahku. Ia mengusirku. Rumahku, sorgaku, selamanya tertutup bagiku jika aku tetap berpikiran bahwa tuhan sudah tak berdaya. Tuhan telah mati dan tak ada gunanya lagi minta tolong padanya untuk bangkit dari kemiskinan. Aku terusir seperti Adam dan Hawa yang tergelincir di surga dan jatuh ke bumi. Ibuku menangis sebab ia tahu aku benar. Sebab tuhan adalah laki-laki.
Aku laki-laki, ayahku laki, tapi tuhan kami berbeda. Ayah mengusirku sebab ia tahu kalau tuhanku lebih kuat. Ibu sedih aku pergi sebab yang penting baginya bukan tuhanku, hanya karena aku anaknya dan dia ibuku. Ayah dan tuhannya terguncang saat kami menyangkal karena ayah adalah bayang-bayang, tetapi sangat berkuasa.
“Tuhanku, ayahku, ke mana kemahapahamanmu? Mengapa kegelisahan darah dagingmu kau jawab dengan pengusiran? Mengapa tuhanku menggerakkan hatiku untuk mengusik tuhanmu? Mengapa tuhan kita jadi beda?”
Ayahku seperti melihat setan. Itu pertanyaan-pertanyaan dajjal. Itu tak layak hadir di sorganya yang harmonis. Harmonis yang hanya perlu satu tuhan.
Hiduplah kemudian aku di neraka, di antara para pahlawan bersuara api. Mereka pejuang demokrasi. Mereka juga penjaja demokrasi. Sebab demokrasi masih sebatas persoalan nasi. Di sini tak ada perbincangan tentang tuhan. Mereka suka bicara soal-soal setan politik, setan-setan demokrasi, setan-setan pendidikan, setan-setan seni, hiburan, dan kebudayaan. Kadang-kadang mereka pun harus menunaikan pesan setan di dunia yang kesetanan. Mereka begitu jeli menangkap suasana setan dalam setiap ruang dan waktu. Dinding-dinding tempat mereka bekerja penuh poster berisi yel-yel penyemangat: Hidup Setan! Hidup Setan!
Kami di sini makan dari hasil memeras orang-orang yang takut kepada setan. Sebab setan dan kami adalah demokrasi. Kami melayani pesanan demokrasi yang penuh kepentingan sepihak. Kami adalah pembela mereka yang bayar. Sebab kami adalah setan mata duitan. Jaringan kami besar. Uang sakuku dua kali lipat lebih besar daripada uang bulanan yang dahulu disuplai ayah dan beberapa saudaraku yang telah sukses. Tetapi mereka, para pedagang demokrasi itu, juga tak mampu menjawab pertanyaanku yang lain: adakah bahasa suci?
***
Ia telah mencari jawaban ke mana-mana. Tak ada jawaban yang memuaskan. Jawaban yang ditemukan masih berupa jawaban-jawaban khas orang-orang sekolahan: normatif, evaluatif, dan terkesan moralis. Terakhir dia menghadap profesornya untuk mencari kejelasan yang lain.
“Di mana kamu temukan pertanyaan itu, Nak?” Profesor tua itu bertanya dengan lembut kepada mahasiswanya yang sengaja menemuinya untuk mencari jawaban bagi “adakah bahasa suci?”. Meski dia mahasiswa, profesor itu selalu menganggapnya sebagai anaknya meski dia tak pernah dilahirkah oleh istri dan selingkuhannya. Dia terlahir sebagai anaknya karena kedekatan yang menjiwa. Dialah salah satu dari anak-anak yang tak pernah menikmati masa kecilnya yang lugu karena tak sedikit pun ruang publik berpihak padanya.
“Saya menemukannya di tengah himpitan kemiskinan, Prof. Keluarga kami miskin. Ayah saya hanya tukang bakso di terminal. Saya pikir, kapan dia bisa kaya jika tak berani menjual tuhan. Guru-guru kami miskin. Tapi, mereka berani menjual tuhan. Meski mereka makmur karenanya bagi saya mereka tetap miskin. Teman-teman kami, meski banyak punya uang, tetap miskin. Ruang publik kita miskin. Kemiskinan di mana-mana. Saya menaruh harapan besar agar Prof. dapat memberikan pengayaan.”
“Apa jawabanmu bagi pertanyaanmu sendiri?”
“Tidak ada bahasa suci. Hanya ilusi. Ia tak ada pada objek yang dianggapnya demikian, tetapi ada di kepala orang yang menganggapnya begitu”.
“Jika saya setuju dengan keyakinanmu, apa maumu selanjutnya?”
“Sederhana, Prof.” Dia mengeluarkan kitab suci mini dari sakunya, lalu menyodorkannya ke hadapan guru besar yang tak satu pun rambut hitam dapat ditemukan di rambutnya yang terawat, panjang dan dikuncir..
“Beranikah Prof. menginjak buku ini.”
Profesor kuncir itu sejauh ini sangat rapi merahasiakan amarah yang dilecut kenakalan darah muda mahasiswanya yang sedang gelisah. Diambilnya kitab itu. Ditimang-timangnya sesaat sebelum kemudian dia menjawab dengan bertanya.
“Apakah ini pembuktian yang harus dan pasti manjur atas keyakinan saya yang sama dengan keyakinanmu.”
“Keyakinan itu harus mewujud, Prof.”
“Bukankah setiap perwujudan akan memanggul ilusi?”
“Katakan saja, Prof. yakin, tapi takut. Beres, kan?”
“Kita punya keyakinan yang sama dengan ukuran atau cara mengukur yang berbeda. Beres, toh?”
***
Pendapat guru besar itu telah mengobrak-obrik susunan premis di kepalanya. Silogismenya jadi berantakan. Dia gelisah. Berdiri mendekati jendela, memandang panorama yang terbentang luas dari lantai dua rumah kontrakannya. Setelah bosan memandangi batas terjauh jarak pandang mata, dia mundur berkeliling kamar, memutar-mutar pikiran. Pertemuan tadi siang dengan guru sekulernya terus terbayang. Sayup-sayup suara sang profesor berdendang di gendang telinganya.
Malam ini dia sepertinya akan melakukan tindakan besar dalam hidupnya. Sahabat kamarnya sesekali memperhatikan dari balik buku yang sedang dia baca sambil berbaring di tempat tidur.
“Ada apa tuan pencari kesucian?”
Sahabatnya bertanya dengan gaya bercanda. Yang ditanya diam saja, meneruskan gelisahnya. Belum kawannya melanjutkan bacaannya sampai sepuluh kata, dia menarik kitab suci yang lebih besar, dibentangkan di tengah ruang. Kawannya terbelalak menunggu apa yang akan terjadi.
“Kawan, kamulah saksi sejarah itu. Saksikanlah caraku mencari tuhan, membangunkan tuhan dari kecuekannya.”
Sesaat kemudian dia meloncat dan mendaratkan kedua kakinya di atas kitab itu. Dia menginjak-injaknya dan berkata, “Tuhan kutuklah aku jika kau memang benar-benar ada! Kutunggu hari ini, besok, lusa, bulan ini, tahun ini, kapan saja!”
Matanya merah bagai sakau canabis satifa. Setan-setan mungkin sedang berpesta di matanya. Kawannya bangkit, meloncat, dan mendorongnya. Kitab itu diraihnya.
“Tuan, kenapa kamu harus lakukan ini? Hanya karena tak kuat menahan luapan ilusi ide-ide materialisme historis? Bukankah ini masih menjadi tempatku kembali mencari kedamaian?”
“Kau masih mengganggap ini sumber kedamaian? Ini pangkal perang, sumber sengkarut dan malapetaka kemanusiaan!” Dia hendak menginjak untuk kesekian kalinya tetapi tubuh kawannya menekan lebih keras hingga dia terjerembab di kasur.
Dua penikmat ide kiri itu berpelukan, membagi energi kedamaian. Pencari bahasa suci itu tersenyum. Dia merasa telah membunuh berhala di hatinya. Titik yang oleh pecandu tuhan baru disebut god spot di kepalanya, tetapi entah di mana, mungkin juga di antah berantah, atau dalam imajinasinya yang menganga.
***
Kisah itu sampai di meja kerjanya sore hari karena petugas pos telah tahu jam kerjanya. Di rumah mungil yang disediakan sekolah, dia tinggal seorang diri bersama tumpukan buku-buku kiri, kanan, atas, dan bawah. Dia kini tak banyak bicara, apalagi setelah dia punya telepon seluler, sarana komunikasi yang semakin membuatnya lebih sekuler terhadap tradisi lisan. Melalui alat itu ia menyebarkan tuhan yang mungkin telah ia temukan: tuhan yang tak memerlukan penanda atau petanda. Seperti apakah ia? Hanya dirinya dan tuhannya yang tahu.
Saat amplop besar itu dibuka, secarik kertas pesan menyapanya. Ungkapan seorang sahabat lama yang telah dilupakannya tetapi terpaksa harus diingatnya kembali karena teman itu selalu menggugahnya agar dia tak dilupakan begitu saja.
Pesan itu: tuan pembunuh berhala, telah kutuliskan kisahmu sebab kau memang tak bisa menulis, mesti kau telah banyak mencatat perjalanan pahitmu dalam buku harian yang hilang dalam chaos. Aku tahu kini kau telah kembali ke titik tengah. Kalau kau sempat membaca kisah ini kau pasti tersenyum karena segalanya mungkin telah salah bagi kesadaranmu kini.
Dalam gerakan lembut dia melipat kertas pesan pendek itu. Serius dia membaca kisahnya. Dia memang tersenyum. Dipersiapkanlah satu SMS untuk sahabatnya.
Message> Select> Write Message> Select> Aku kini jadi guru honorer di yayasan saudaraku. Di sini aku mengajar bahasa Inggris dan sejarah. Tapi aku masih menunggu kutukan itu: T=N/K Option> Send> 0817540xxxx> OK> Sending Message> Message Sent.
Sahabatnya nun di seberang lautan terpaku memikirkan T=N/K.
Banjarmasin, 03 Mei 2005
Sumber:
Jurnal Cerpen Borneo #02, Oktober 2005
Hermawan, Sainul. 2009. Mata untuk Mama. Banjarbaru: Scripta Cendekia
http://www.geocities.ws/ejabudaya/cerpen_gspot.html
0 komentar: