Cerpen Chandra Wulan: Tujuh Belas itu Untukku
Pagi ini lebih terik dari biasa, meski arlojiku baru menunjukkan pukul sepuluh. Namun tidak denganku yang tengah menangis sejadi-jadinya. Kurasa menangis memang satu-satunya cara yang dapat dilakukan hati agar telinga mendengar kabarnya lewat sesenggukan. Setelah itu, dikatakannya harmoni dalam hati, sudah diperdengarkan.“Tak, ini minggu terakhir mempresentasikan tugas. Tinggal kamu yang belum.” Ucap Yusuf leader kami mengingatkan.
“Yup, Kamis ini sudah selesai. Tenang saja.” Jawabku pelan.
Benar-benar jawaban tak berdasar. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku begitu berani berkata Kamis ini selesai padahal konfirmasi dengan pengujipun tidak. Peduli setan, pikirku. Kupastikan setelah ini akan muncul alasan-alasan dan harapan-harapan aneh, jadi kita lihat saja nanti.
Ditempatku belajar selalu ada dua tugas yang harus diselesaikan dalam dua bulan, yaitu laporan dan makalah. Keduanya merupakan syarat agar bisa mengikuti ujian akhir. Kami sudah diperingatkan sejak awal. Karena tak jarang para peserta dilenakan kesibukan.
Minggu terakhir akan dimulai hari ini, artinya senin depan aku sudah harus siap untuk ujian akhir. Sedangkan buku logku yang berisi evaluasi kemajuan selama belajar disini masih polos, tak ada satu pun penanda bahwa aku telah menyelesaikan tugas.
Tolong jangan bandingkan dengan buku log teman-temanku. Aku mengakui aku memang paling malas untuk hal-hal berbau ilmiah seperti ini. Seharusnya aku sudah mempresentasikan keduanya sejak empat minggu lalu.
Jadwalku terlalu banyak, tidurku dikikis, berat badanku sudah turun lima kilogram, kantung mataku semakin penuh, dan akhir-akhir ini nafasku terasa berat. Kuharap ini hanya psikosomatik, anggap saja alam bawah sadarku hanya sedang mencari pembenaran agar semua orang bisa memaafkan segala kegagalanku nanti.
***
Kususuri lorong lantai dua, seiring galau yang kian menggerogoti. Inilah sebenar-benar galau. Jauh lebih menyiksa dibanding galaunya para pecinta.
“Tidak, ini memang minggu terakhir, tapi setidaknya aku mencoba dulu. Perkara diusir atau tidak, itu urusan belakang.” ucapku dalam hati sambil melangkah gontai menuju kantor penguji.
Aku serius dengan ucapanku pada Yusuf, hari Kamis sudah selesai. Ini bukan masalah tekad-tekadan, tapi ini masalah nekad-nekadan. Kepalaku sudah terlalu pusing. Rasanya ada sesuatu yang ingin segera kuledakkan. Harus kuledakkan hari ini atau kantor penguji yang akan meledakkanku. Akhirnya kuputuskan untuk meledakkan hari ini, menunggu kedua penguji di kantor mereka.
***
Pukul sebelas, kancingku sudah habis digilir, pilihannya tetap maju. Sudah satu jam tanpa hasil apa-apa. Kuberanikan diri mengetuk pintu ruang sekretaris, sekadar ingin memastikan bahwa kedua pengujiku tidak sedang diluar kota. Meski sebelumnya hatiku masih sedikit kurang ajar, berharap beliau ada diluar kota sehingga aku akan mendapat kata “wajar” tidak maju. Singkatnya, aku berharap orang-orang akan menyalahkan pengujiku, menganggap mereka meninggalkanku seenaknya.
“Permisi mbak, pak Arman dan pak Zami ada?” tanyaku pada mbak Sisi, sekretaris paling menyebalkan yang pernah kutemui. Ini salah satu alasan mengapa aku jarang menyambangi kantor penguji.
“Ada, lagi rapat di ruang direktur. Sebentar lagi selesai.” jawabnya ketus.
Aku mempraktikkan H-breathe yang pernah kubaca beberapa hari lalu. Kutarik nafas dalam, kuembuskan sambil berkata H. Kuharap ini bisa membantu.
Belum dua menit aku keluar, pak Arman dan pak Zami sudah meninggalkan ruang rapat. Bukan. Bukan hanya ruang rapat, tapi beliau meninggalkan kantor. Aku hanya bisa memandangi beliau dari kejauhan. Mustahil mencegat beliau dalam suasana seperti ini, lagipula ini murni kesalahanku.
Beliau semakin jauh, menghilang di persimpangan. Rasanya aku ingin melompat dari lantai dua atau menjebak diriku agar kehabisan oksigen di dalam lift. Berbagai adegan percobaan bunuh diri sudah kubayangkan sejak tadi, tapi aku terlalu takut melakukannya. Bagaimana perasaan kedua orangtuaku jika aku memutuskan bunuh diri? Padahal beliau tak kurang sedikitpun mendidikku agar menjadi manusia optimis. Sedangkan nanti aku tiba di neraka dan Tuhan menghukumku agar mengerjakan jutaan laporan dan makalah serta mempresentasikannya di hadapan malaikat. Tidak….
Aku kembali menemui mbak Sisi, menanyakan apakah kedua pengujiku akan kembali atau tidak. Semua seperti skenario hukuman.
“Beliau ada pertemuan di gedung S.Parman. Biasanya tidak akan datang lagi”
***
Aku bergegas ke kamar mandi. Tak kuat lagi ingin segera menangis. Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Aku pasrah. Aku tidak pasrah. Aku pasrah. Satu-satunya yang bisa kuhubungi hanya Tuhan. Setidaknya aku masih berharap, entah bagaimana caranya, itu terserah Tuhan.
Dengan backsound air kran yang mengalir deras, aku menangis lepas. Tak peduli disamping ini ada pos satpam. Bila aku meraung-raung mungkin para satpam akan berpikir ada makhluk halus di kamar mandi. Kukira akan ada ketenangan, ternyata aku semakin gelap mata. Tiba-tiba aku membayangkan teman-temanku yang perjalanannya mulus meski shalat wajib ala kadarnya. “Tadi subuh aku shalat, kemarin aku shalat, kemarinnya aku juga shalat. Kenapa?????” pertanyaan retoris kulontarkan bertubi-tubi. Seakan mempertanyakan untuk apa aku shalat.
Aku membuat perjanjian sepihak. Perjanjian paling tidak tahu malu selama hidupku. Kepada Tuhan pula aku menyampaikannya. Bernazar.
“Siang ini aku tidak akan shalat lagi, ashar juga, magrib, isya, subuh juga. Pokoknya sebelum tugasku selesai aku tidak akan shalat. Buat apa juga. Melewatkan tujuh belas rakaat sehari sudah lumayan untuk istirahat. Kalau nanti berhari-hari, tinggal dikali tujuh belas kali berapa. Aku muak dengan janji klasik seperti akan begini akan begitu, semua ibadah menjadi ekstra. Sama saja.” kutuliskan teriakan ini di memoku, di halaman paling tengah, tak lupa kusematkan pita hitam disana.
***
Setelah sedikit tenang, kumatikan kran air. Aku meninggalkan kamar mandi ketika azan zuhur dikumandangkan. Berjalan gagah menentang langit. Kuabaikan kedua malaikat disampingku, catat saja…. Aku tidak peduli… Diluar sana ada banyak yang lebih tidak peduli.
Aku berjalan beberapa langkah, dengan ketajaman mata 6/6 kulihat pak Arman dan pak Zami keluar dari lift menuju ruang sekretaris.
“Mengagumkan…” gumamku dalam hati
Takkan kulewatkan, aku harus tiba lebih dulu disana. Aku berbalik arah, langkahku semakin cepat, dan sekarang aku tinggal menunggu beliau datang ke ruangan ini. Aku mulai berpikir, sepertinya Tuhan benar-benar lebih mengasihi orang-orang yang meninggalkan shalat.
Kedua pengujiku tiba, namun hanya berlalu seperti tidak melihatku. Apa yang terjadi. Apakah Tuhan menghilangkanku dari pandangan mereka? Aku mulai panik. Ketakutan. Bagaimana bila aku benar-benar tak terlihat seperti di film vampire?
Aku tertegun di depan pintu kaca. Apa benar aku tak terlihat? Dari luar kudengar suara pak Arman, pak Zami, dan dosen yang lain. Terdengar sangat jauh. Kurasa perbincangan didalam akan menjadi perbincangan berjam-jam.
Aku semakin bingung, haruskah aku menarik kembali kata-kataku tadi? Aku menyerah. Sekarang langkahku tak kalah gontai dengan langkah tadi pagi. Ini urusan dengan Tuhan, bukan lagi urusan dengan penguji. Aku terlalu kurang ajar. Tidak sadar diri. Apa ruginya Tuhan bila ada hamba yang tak menyembah-Nya? Apalagi hamba itu hanya aku.
Suara iqamat terdengar samar, aku jadi ingin menangis. Beberapa menit lalu, hanya karena putus asa, aku memutuskan untuk meninggalkan shalat yang sudah bertahun-tahun kukerjakan. Aku memang sudah dewasa. Aku merasa berhak melakukan apapun sesuai keinginanku. Tapi kali ini tidak, aku ingin kembali seperti saat aku masih kecil. Aku ingin dipukul lagi bila aku malas shalat. Tujuh belas rakaat yang proporsional, dua rakaat memulai hari, empat rakaat tengah hari, empat rakaat sore hari, tiga rakaat magrib, dan empat rakaat malam hari.
***
Sudahlah, aku tak cukup berani dengan ‘tantangan’ yang kubuat sendiri. Mungkin saat ini malaikat dan setan sama-sama menertawakanku. Aku melangkah menuju mushalla. Setelah berwudhu, kuletakkan pantofel ku di batas suci.
“Tak, kamu jadi imam ya.” sepertinya aku mengenal pemilik suara ini. Lagi-lagi aku mengutuk diriku, berat sekali menjadi imam dengan hati lemah iman. Bismillaah… aku menoleh layu.
“Pak Arman? Pak Zami?”
“Kamu jadi imam ya…” pinta pak Zami…
Sumber:
https://wipewulan.wordpress.com/2014/02/17/tujuh-belas-itu-untukku-21/
0 komentar: