Cerpen M. Hasbi Salim: Emas Madinah

03.35 Zian 0 Comments

Bu Ijah selalu memamerkan gelang yang dibelinya di salah satu toko emas di Madinah kepada teman-temannya, termasuk kepada Bu Fatma, teman seregunya.  “Kalau kau mau membeli emas yang seperti ini. Nanti kutunjukkan tokonya,” ucapnya  dengan bangga.
“Pergi haji masih bisa beli perhiasan pula, pastilah telah membawa banyak uang, Nich!” ucap Bu Fatma. “Kalau saya tidak mungkin,  soalnya …,” lanjutnya berat.
“Ini sudah saya persiapkan jauh-jauh hari sebelum berangkat, sebab yang beginian hanya ada di sini,” ucap Bu Ijah sambil mengeluarkan gelangnya yang terlindung lengan bajunya.
Bu Fatma sesungguhnya sangat tertarik untuk membeli perhiasan seperti itu. Namun, ia menyadari sepenuhnya bahwa uangnya hanya  cukup membeli keperluan pokok dan sedikit oleh-oleh buat keluarga di kampung yang dengan susah payah mengantar keberangkatannya sampai bandara,  sehingga keinginannya untuk memiliki emas Madinah  segera dikuburnya dalam-dalam.
Di tengah malam yang sepi dan senyap tiba-tiba Bu Fatma tertawa renyah sendiri. Sementara Pak Jali, suaminya yang tadinya tidur nyenyak jadi  terjaga. “Ada apa, Bu?” tanya Pak Jali sambil membangunkan istrinya.

“Anu, ….., anu ……,” ucap Bu Fatma sambil mengusap kedua matanya.
“Apa?” desak Pak Jali.
“Aku bermimpi,” ucap Bu Fatma.
“Mimpi apa? Pakai ketawa segala!” desak Pak Jali.
Bu Fatma terdiam sejenak. “Aku mimpi dibelikan sebuah cincin,” ucap Bu Fatma kalam sambil menatap lengan dan jari manisnya yang mulus dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan-lahan parit di sudut matanya mengalirkan air jernih yang kian deras. Namun, ia segera menyapu-habis air matanya.
Mendengar kata-kata istrinya, Pak Jali ikut sedih. Ia sadar bahwa istrinya sudah lama ingin memiliki perhiasan yang indah dan mahal. Namun, jangankan untuk membelikan sejumlah perhiasan, cincin kawinnya satu-satunya saja terjual buat pelunasan ONH (Ongkos Naik Haji).
“Maafkan saya yang tidak bisa membelikan perhiasan seperti suami-suami  lain,” ucap Pak Jali dengan suara berat.
“Tidak apa-apa. Saya malah minta maaf,” ucap Bu Fatma dengan penuh penyesalan.  “Bukan bermaksudku meminta sesuatu.”
Suaminya hanya mengangguk dan diiringi dengan sedikit senyuman yang agak tawar.
Pak Jali dan istrinya kemudian berwudhu dan shalat tahajjud bersama. Pada sujud terakhir malam itu mereka memohon untuk   dikabulkan segala hajat baik untuk dunia maupun akhirat.
Siangnya, saat pulang dari Masjid Nabawi, mereka  mencari jalan pintas agar segera tiba di hotel dan bisa menyantap jatah makan siang yang biasanya telah disediakan, maklum perut mereka sudah mulai keroncongan. Namun, ternyata  mereka tersesat ke komplek pertokoan emas yang sangat luas. Mereka kepingin sekali keluar dari kawasan yang asing itu, namun tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh.
Cahaya emas yang tajam, membuat mata Pak Jali dan Bu Fatma terasa perih. Para penjual emas beramai-ramai  menawarkan dagangannya. “ Murah, Tuan! Lihat dulu! Ini barang bagus!” ucap mereka dalam bahasa Indonedia yang patah-patah. Selain itu, ada sejumlah penjual yang gigih membujuk agar mereka  masuk ke tokonya walaupun hanya sekedar melihat-lihat aneka perhiasan yang dipajang di etalase dan dinding toko.
Pak Jali mencoba mendekati seorang penjaga toko yang wajahnya ke-Indonesia-an untuk menanyakan jalan ke luar.
“Jali!” ucap lelaki itu.
“Maun!” sahut Pak Jali.
Keduanya berpelukan erat. Bu Fatma hanya melongo melihat kedua lelaki itu melepaskan rindu. Dua bersahabat yang pernah satu kelas di pondok pesantren itu sudah dua puluh tahun  tidak berjumpa.
“Silakan! Mau pilih yang mana?” ucap Pak Maun.
“Terima kasih. Kami tidak mencari emas,” ucap Bu Fatma sambil tersenyum malu.
“Benar kata istri saya ini, kami bukannya mau mencari perhiasan ke sini, tetapi lantaran tersesat saja. Tolong tunjukkan jalan ke hotel Dar Assalam. Kami mau pulang,” pinta Pak Jali.
“Soal pulang gampang. Nanti saya yang mengantarkan. Mungkin istrimu perlu perhiasan. Ambillah!”  Pinta Pak Maun.
“Terima kasih. Lain kali saja. Jika kami sudah dapat rejeki banyak,”  ucap Pak Jali.
“Jangan ditunda lagi. Sekarang juga. Tidak perlu dibayar,” ucap Pak Maun. “Ambillah!” desaknya.
“Ini milikmu?” tanya Pak Jali.
“Ya,” ucap Pak Maun dengan senyum ceria.
Bu Fatma mengambil sebuah gelang emas yang bentuknya  persis seperti milik Bu Ijah.
“Jangan yang itu,” ucap Pak Maun.
“Kenapa?” tanya Bu Fatma keheranan.
“Itu bukan emas. Itu ‘emas-emasan’ saja,” jelas Pak Maun sambil tersenyum geli.
Bu Fatma semakin tidak mengerti.
“Yang sebelah ini yang asli,” ucap Pak Maun sambil mengambilkan dua buah gelang, sebuah kalung dan seutas cincin yang sangat indah.
Bu Fatma menerimanya dengan senang hati.
Pak Jali dan Bu Fatma pulang dengan gembira, apalagi Pak Maun mengantarnya sampai ke pintu hotel setelah sempat mampir di sebuah restauran. Dan mengecap soto Banjar kesukaan mereka.
Di depan hotel. Bu Ijah menyapa Pak Jali dengan akrab.
“Di mana kalian berkenalan?” tanya Bu Fatma.
“Bu Ijah ini kan sering belanja di toko saya,” jelas Pak Maun sambil tersenyum ramah.
Bu Ijah tersenyum pula. Namun, tiba-tiba ia cemberut ketika melihat perhiasan yang dipakai Bu Fatma.
“Katanya tidak punya uang,” ucap Bu Ijah kian sewot.
“Punya, tapi hanya sedikit,” ucap Bu Fatma.
“Sedikit? Tapi, kok bisa beli emas seperti itu!” Bu Ijah menunjuk gelang dan cincin yang dipakai Bu Fatma.
 “Oh, ini. Dikasih Pak Maun,” jawab Bu Fatma sambil tersenyum pada Pak Maun yang ada di hadapannya.
“Dikasih!?” Bu Ijah penasaran.
“Ya,” tegas Bu Fatma.
“Terus terang saja. Pak Jali ini sangat berjasa pada saya, yaitu membantu  mengurus KTP di kelurahan saat mau berangkat turis ke sini. Sekarang, alhamdulillah usahaku sebagai penjual emas yang sukses di sini. Mumpung bertemu, wajarlah saya memberikan yang secuil ini sebagai ungkapan terima kasih,” cecar Pak Maun sambil tersenyum lantaran teringat masa silam.
Dengan wajah cemberut Bu Ijah diam seribu bahasa. Lalu, pergi tanpa pamit.*


Sumber:
https://hasbisalim.wordpress.com/2008/03/30/emas-madinah/

0 komentar: