Cerpen M. Hasbi Salim: Durian Lampini

03.31 Zian 0 Comments

Aku paling suka buah Durian. Kebetulan kami mempunyai beberapa pohon, yang tumbuh jauh di belakang rumah. Pohon-pohon ini merupakan peninggalan kakekku beberapa tahun yang silam. Dengan adanya pohon-pohon tersebut, maka  setiap musim durian tiba kami dapat menikmati buah-buah “durian lampini” tanpa harus membeli.
“Durian lampini” adalah sebutan yang diberikan oleh  orang-orang kampungku terhadap buah durian yang sangat matang di pohon, biasanya ia jatuh ke tanah dengan sendirinya lantaran tangkainya yang sudah mengering.
Mendengar orang menyebut ‘durian lampini’, air liurku langsung pecah, sebab terbayang baunya yang menyengat hidung, isinya yang  lembut yang sering terlihat dari  buah yang merekah, rasanya yang sangat manis lantaran benar-benar matang. Bukan karena ‘karbitan’ atau perangsang.
Untuk mendapatkan buah-buah durian lampini yang lezat pada musim buah biasanya  tinggal berjalan-jalan saja ke kebun durian di pagi hari, sebab  buah-buah yang sangat matang itu biasanya berjatuhan ke tanah pada malam hari lantaran dihinggapi mangsa seperti burung, kalung, dan lain-lain.

Kalau berjalan-jalan di bawah pohon durian, aku tidak lupa mengenakan helm untuk keamanan batok kepala. Maklum, kadang-kadang buah sebesar kepala itu jatuh secara tiba-tiba. Aku tidak perduli  dikata-katai teman-teman  robot nyasar. “Demi keamanan,” timpalku.
Namun, aku heran kenapa akhir-akhir ini jarang sekali menemukan buah-buah durian lampini di bawah pohon, padahal buah-buah matang yang tadinya banyak  menggelantung di atas pohon,  kini tinggal sedikit.  Apakah dibawa kalung atau burung? Tidak mungkin, karena buahnya berat. Dipetik ayah? Ah, mustahil, sebab setahuku ayah tidak berani  lagi naik pohon, sejak lima tahun yang lalu, lantaran terjatuh  dari pohon rambutan.
Pada suatu sore, ayah melenggang masuk rumah sambil menenteng dua biji buah durian lampini. Begitu melihatnya, aku segera merebut durian yang ada di tangannya.    Buah-buah itu hampir saja jatuh ke kaki ayah. Ayah menggidik membayangkan duri-duri tajamnya menancap di kaki dan mengeluarkan cairan merah yang segar dan berbau amis.
“Sabaran sedikit, kenapa, sih?” ucap ayah seraya menyerahkan buah durian ke tanganku.
“Maaf, Yah,”  ucapku. “Abis aku sudah lama merindukan buah-buah seperti ini,” lanjutku.
Buah-buah durian lampini itu segera kubelah.  Ayah dan ibu ikut menyantapnya dengan lahap.
“Enak sekali durian ini, Yah,” ucapku dengan suara tak sempurna lantaran mulutku terganjal biji durian yang sedang kukecup berulang-ulang. Ayah  menatapku seraya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Persis durian milik kita,” ucap ibu spontan dengan mata yang terpejam-pejam karena merasakan lebih dalam kelezatannya.
“Ya,” sambarku. Aku sebenarnya hendak mengatakan itu, tetapi duluan ibu.  “Beli di mana, Yah?”  tanyaku kemudian.
“Di pasar,” jawab ayah seraya tersenyum.
Melihat senyum ayah,  aku ragu dengan kata-katanya. “Ayah berbohong!” ucapku.
“Pasti ini buah durian yang tumbuh di belakang rumah,” ucap ibu mendukungku. “Dari kulitnya aku sudah curiga. Setelah merasakan kelezatannya, aku menjadi yakin,” tambahnya.
“Ngaku saja, Yah,” rayuku. “Biar hukumannya tidak berat. Betul kan, Bu?” ucapku sambil mencolek bahu ibu. Ibu tersenyum.
“Emangnya ayah pencuri, apa? Diintrogasi begitu,” ayah marah.
“Cuma bercanda, Yah. Masa diambil hati,” ucap ibu lembut.
“Ya, kami hanya bercanda,” ucapku penuh penyesalan. “Maaf! Maaf!”
“Oke, oke. Aku ngerti,” ucap ayah sambil tersenyum, pertanda ia tidak marah sungguhan.
Kemudian ayah mendekati aku dan ibu.
“Begini,” ucap ayah serius. Kemudian ayah menceritakan panjang lebar bahwa buah-buah durian lampini itu memang dibelinya di pasar buah tradisional. Ketika itu tak sengaja matanya tertumbuk pada setumpuk buah durian yang digelar seseorang di tepi jalan. Ia langsung tertarik, lalu mendekatinya. Kemudian, memegang dan menciumnya. Ia kian tertarik melihat isinya yang sedikit tampak dari sela-sela kulitnya yang merekah. Hal itu mengingatkannya pada buah-buah durian lampini miliknya yang sering disantapnya pada tahun-tahun yang lalu.
“Ini pastilah  jenis buah durian Bangkok,” ucap ayah dengan yakin kepada penjual durian.
“Saya kurang tahu jenis-jenis  buah durian, Pak. Soalnya saya beli dari seseorang juga. Itu dia orangnya,” ucap penjual durian itu sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada seorang  pemuda yang berbadan jangkung dan berkumis, yang tidak jauh dari  tempat itu.
Mendengar pembicaraan ayah dan penjual buah, pemuda itu menoleh sejenak, kemudian mempercepat langkahnya, hingga ditelan kerumunan manusia yang kian berdatangan dari berbagai penjuru.
Pada suatu hari, ayah membuat sebuah rencana yang kusebut ‘Operasi Durian Lampini’. Aku tentu saja senang dilibatkan dalam operasi itu, sebab memang sejak duduk di Sekolah Dasar aku tertarik hal-hal yang bersifat detektif sampai saat aku sudah duduk di SLTA ini. Mungkin ini dampak dari  kesukaanku menonton film detektif di televisi.
“Apa yang harus aku lakukan, Yah?”  tanyaku ragu.
“Mudah saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Tunggu saja perintah komandan!”  lanjut ayah sambil menunjuk dadanya dengan ibu jarinya berulang-ulang.
Aku tersenyum melihat ayah yang  nampak gagah,  padahal ia sudah  dimakan usia setengah abad. Tiba-tiba ia kelihatan seperti polisi-polisi yang mengatur lalu-lintas pengguna jalan di persimpangan.

***

Pada suatu dini hari, aku,  ayah dan  Pak  Gunadi, teman akrab ayahku pergi ke kebun durian. Kami membawa  peralatan yang telah dipersiapkan beberapa hari sebelumnya.
Ketika mulai memasuki kawasan kebun durian bulu kodokku merinding. Lantaran terbayang di benakku ular berbisa yang melingkar-lingkar dan sewaktu-waktu siap menyerang dengan biasanya jika diganggu. Apalagi jalan yang dilalui penuh rumput dan semak-semak yang cukup tebal. Biasanya tempat-tempat seperti itu merupakan tempat yang nyaman baginya. Aku melangkah jua di belakang ayah sambil mengusir perasaan was-was.
Setibanya di kebun durian, aku disuruh ayah bersembunyi di bawah pohon dan melakukan sesuatu jika isyarat dibunyikan. Sementara, ayah melangkah ke bawah pohon yang lain. Binatang-binatang kecil yang mencium bau badanku mulai berdatangan dan hinggap. Duh, gatalnya! Rupanya mereka mulai ‘usil’ menggambil darah yang ada di tubuhku. Aku hanya diam, tidak berani berbuat apa-apa, sebab takut berisik yang mengakibatkan gagalnya rencana.
Terdengar desah dedaunan kering yang diinjak seseorang. Tubuhku mulai gemetar. Kupeluk tubuhku sendiri dengan kedua tanganku sambil berusaha mengendalikan diri. Dari sinar bulan sabit yang tembus di sela dedaunan terlihat kelebat seseorang berjalan di bawah pohon lalu naik ke pohon dengan cepat sekali.
Pada tepukan tangan ketiga yang dilakukan ayah, aku segera melakukan tugas yang telah diberikan, yaitu memencet tombol kecil yang ada di tanganku. Kontan saja larm berbunyi melengking dan beberapa buah lampu nion yang di panjang di beberapa dahan pohon menyala terang sekali. Nampak Mang Udin dan dua orang pemuda desa lainnya kaget luar biasa.
“Menyerahlah! Tempat ini sudah dikepung!” ucap ayah sehabis suaranya.
Mendengar suara ayah yang menggelegar, para pencuri itu urung lari. Mereka  semua adalah para pemuda desa yang putus sekolah, yang pengangguran.
“Maafkan kami, Pak,” ucap Mang Udin menyembah-nyembah di kaki ayah diikuti oleh  temannya.
“Kalian saya maafkan. Tapi, proses hukum tetap dijalankan,” tegas ayah.
“Betul!” ucap Pak Haji Gurdan. “Saya setuju itu!” lanjutnya tegas. “Mari ikut kami!”
Para pencuri sangat kaget melihat Pak Gurdan, seorang tokoh masyarakat pemilik kebun durian yang juga pernah mereka curi  ada di situ.
Para pencuri buah-buah durian itu tidak mengira kalau modus pencurian yang sangat halus itu bisa diketahui. Pencurian itu dilakukan dengan cara; salah seorang naik ke atas pohon untuk memetik buah-buah yang matang dengan perlahan, kemudian mengikat dan menurunkannya dengan tali satu persatu. Sementara yang lainnya menadahkan karung di bawah pohon. Sehingga buah-buah itu bisa langsung mereka masukkan.
Para pencuri itu berlotot meminta agar tidak dibawa ke polisi.
“Begini saja,” ucap ayah kepada keempat pencuri tersebut.
“Bagaiman, Pak?” desak Mang Udin. Ia  nampak antusias ingin mengetahui jalan keluar yang diberikan ayah. Ia  pikir ayah akan memberikan sanksi yang tidak berat.
“Kalian kami minta mengembalikan buah-buah yang telah dicuri.”
“Sudah terjual habis, Pak,” aku Mang Udin dengan suara memelas.
“Kalau begitu serahkan uangnya,” desak ayah.
“Sudah habis, Pak.”
“Buat apa?”
“Buat judi, Pak,”  ucap Mang Udin malu-malu.
“Seandainya kalian mencuri hanya untuk dimakan sendiri, niscaya akan kami relakan tanpa sanksi. Tetapi, lantaran seperti itu, sanksi tetap kami berikan,” ucap ayah.
Para mencuri itu menunduk sedih. Butir demi butir air mata mereka jatuh ke tahan. Lama-lama mengguyur bagaikan hujan  yang lebat.
Semua diam membisu.
“Begini saja,” ucap ayah dengan kalam.
Para pencuri itu bergegas memperhatikan kata-kata ayah dengan saksama.
“Kalian kami beri sanksi, memetikkan sisa-sisa buah-buah yang ada di pohon sampai selesai tanpa upah,”  ucap ayah.
Para pencuri itu pasrah  dan menerima  sanksi itu, sebab hukuman seperti itu mereka pikir sangat ringan. Mereka pun mengucapkan terima kasih berulang-ulang diberi sangsi seperti itu.
Namun ternyata, baru tiga jam memetik buah-buah yang ada di atas pohon tanpa istirahat, mereka sudah hampir pingsan lantaran kelelahan, apalagi setelah mendengar bahwa para pemilik pohon durian lainnya yang pernah mereka curi berdatangan dan  menuntut untuk dipetikkan secara gratis pula.
Orang-orang ternyata tidak tega melihat para pencuri yang kian lemas lantaran kelelahan luar biasa. Mereka diperbolehkan pulang setelah berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi di kemudian hari.
Kini kami dapat menikmati buah-buah durian lampini kembali setiap musim buah tiba.

Sumber:
Jumbawuya, Aliansyah, dkk. 2011. Ketika Api Bicara: Kumpulan Cerpen Pendidikan Berkarakter. Banjarmasin: Tahura Media
https://hasbisalim.wordpress.com/2008/04/03/durian-lampini/

0 komentar: