Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Dia Yang Ditelikung
Guntur sahut-menyahut menyebar ngeri berpadu jilatan kilat sambar-menyambar. Langit kelam menuangkan hujan bak dicurahkan. Rumput-rumput terkulai bukan lagi menjadi labuhan tanya, letih tidak bergoyang. Rapat di pendopo kelurahan Kali Dongok menebar aroma yang lain dari biasanya. Teguran alam mulai dimengerti. “Kenapa kita harus mengerahkan segala kemampuan. Apa sebenarnya yang kita takuti?”, tanya Sundal Bulung bingung.“Ya, raksasa bukan, superman pun tidak. Apalagi pemegang kekuasaan. Tidak ada apa-apanya. Energi kita tersadot menghabisinya?”, Dalsun tidak kalah heran.
Tanya Sundal dan Dalsun menyentak urat sadar Sunlad. “Kita katakan, Dia tidak ada apa-apanya. Sampah, garbage. Hari-hari berkelana mencari modus baru, mengodamkan kekuasaan. Dia … cuek bebek saja”.
“Ya ya ya”, Landus menimpali. “Dia mungkin orang gila. Ada saja gagasannya. Ada saja yang dikerjakan. Kita katakan tahi kucing. Apa gagasan kita? Apa bukti karya selain mengatakan kita hebat?”
Landus Si Penghotbah melajutkan: “Kita katakan korupsi, Dia tidak pernah nanggap proyek. Tidak bermoral, Dia tidak pernah mengambil apa pun dari kita. Justru kita saling sikut berebut proyek.
Berlagak pendekar antikorupsi, tetapi ketika menerima proyek buka praktik. Setidaknya membiarkan ‘pemberi’ proyek melampiaskan kemampuan korupsinya. Kita pancarkan ketidakbecusan, peluangnya kita potong ke akarnya. Kita kampanyekan, Dia The Destroyer of Century” sampai public enemy.
Bukankah kita yang memanfaatkan fasilitas kelurahan. Menggotong kursi, meminjam mesin tik untuk selamanya. Halal-halal saja. Demi pekerjaan kantor. Tahun depan dibeli yang baru, kita bancakan lagi.
Kita canangkan, kitalah orang suci yang setia menghadap Sang Pencipta sembari membawa flasdisk kantor untuk menyimpan data-data perselingkuhan. Bagi Dia tidak boleh, bagi kita sah. Untuk Dia jangan, untuk kita halal. Tafsir pepatah adalah milik penafsir.
“Wahai para mitra sejati”, katanya puitis. “Bukankah kalender ini idenya? Ketika memulai, Dia tidak memakai dana kelurahan. Apalagi menadahkan celengan sumbangan. Kita ambil alih. Bekerja ngos-ngosan. Tidak beres. Salah adalah milik Dia paling pokok”.
Landus menarik nafas panjang: “Gagasannya kita ambil over. Kita telikung dan menelikunginya. Kita tipex sembari menyiarkan kabar keji, menari-nari di atas bangkai gagasnya yang kita bunuh tanpa darah. Kumpulkan orang-orang yang tidak paham sekalipun. Bukankah berarti mengakui kehebatannya? Ide tidak pernah bisa dibunuh, karya nyata apatah lagi”.
“Kita bicara obyektivitas. Sejarah ditulis dengan pena kebencian, fakta dibungkam dalam bungker recycle bin. Kita teriakkan kebenaran ilmiah di tabung aroma pisau dengki. Berdansa mabuk kumandangan mencuri ide. Fatwa kebersamaan dengan mengucilkan orang yang idenya kita tangguk. Iblis saja enggan, kita bangga”, Landus menarik nafas, berhenti sejenak.
“Kenapa pikirannya tidak bisa kita matikan. Kita sibuk mencari modus baru, berdiskusi dan berdebat. Kenapa?”. Landus memandang tajam Majelis Orang-Orang Hebat yang mulai menundukkan kepala.
“Saudara-Saudara. Kita katakan kepada semua penduduk Dia tidak becus beranyam minus. Sampai kapan kita merusak diri? Kenapa tidak ikut saja lomba mendulang fulus? Isteri-isteri kita akan tersenang, sumpah serapah mertua akan lenyap di telan badai tak bertepi, dan … fasilitas kelurahan untuk kemajuan kelurahan. Kapan malu kita bangkit menenteng barang-barang kelurahan seolah-olah milik nenek-moyang kita?” ***
Bagi Landus koreksi diri kini mendarah pikiran. Suatu hari secara tidak sengaja bertemu Si Dia sehabis menfitnahnya ke Pak Lurah agar dipecat. Tapi, kisah berbalik ketika bersua dalam bingung diri. Ketika meperbaiki genteng rumah dan jatuh menimpa adik ipar, disumpahi mertua habis-habisan. Landus tergusur dari kompleks Mertua Indah. Bertemulah dengan Si Dia.
Landus bercurhatria. Bagaimana peliknya hubungan dengan isteri, terlebih dengan mertuanya yang garang. Hutang-hutang di koperasi, dan … ketakutan di relung hati setelah menggelapkan uang Majelis. Pikirannya teramat kusut. Kusut, sungguh kusut. Pikirannya melayang ke masa beberapa tahun lalu.
Sebagai tamatan SMU tidak mudah mencari pekerjaan. Kebetulan Landus berkenalan dengan Geisha, keponakan Pak Lurah Kali Dongok. Cinta bukanlah landasan nikah. Harapannya, hidup akan tertolong, bisa menumpang dan dapat pekerjaan di kantor pamannya. Mula-mula skenario berjalan seperti di pikiran, tetapi setelah anak pertama lahir, kenyataan menjadi yang sesungguhnya. Setelah curhat, mendapat pencerahan. Terlebih kiat-kiat jitu menghadapi mertua.
“Sudahlah Pak. Kita harus belajar memahami orang lain. Selesaikan saja masalah masing-masing. Sampeyan cari rumah, saya minta tolong developer. Mari kita bekerja, memperbaiki ekonomi. Bekerja yang nyata-nyata agar potensi berkembang. Dan, bla … bla …”.
Pertemuan tersebut sangat berkesan. Lalu muncul pikiran baru, bukan seperti yang di asah di Majelis. Harus jadi diri sendiri, hidup bukan untuk diperintah orang, digerakkan, dan atau dibanggakan ketika diupah sebungkus Nasi Ramas. Mulailah Landus bekerja demi bekerja, demi kebenaran. Bukan, sekali lagi, bukan karena suruhan.
Sejak itu mulai tersibak, betapa selama ini mengembangkan kebencian, iri dan dengki, pantulan kekerdilan diri. Bisa jadi, ketegaran Si Dia bukan karena hebat, tapi … apa yang dikatakan apa adanya, dan nyata-nyata ada. Bukankah kenyataan adalah kebenaran itu sendiri?
Landus memulai bersunyi diri. Membatasi diri dari Majelis. Komputer bututnya dimanfaatkan untuk menulis. Kalau dulu merasa hebat kalau sudah berdiskusi, atau membohongi orang-orang yang tidak mengerti, kini disayonarakan.
Membeli komputer baru, melunasi cicilan rumah, dan … senyum mertua mulai akrab dibibirnya. Kalau dulu, begitu bangun tidur nafsunya terseret untuk berdiskusi agar terlihat hebat, kini mulai serius membaca buku-buku. Apa yang terpikirkan ditulis, ide-ide mengalir. Rumah kini menjadi taman hati. Hidup sesungguhnya dimulai dari keluarga, Landus menikmati arti berkeluarga dan kekeluargaan.
Sadar menyapa ramah. Kalau selama ini menjadi parasit di rumah mertua, di kelurahan, dan, ini yang lebih penting, kini mendapatkan ‘rahasia kehidupan’. Kalau dulu, bicara mengebu-ngebu tentang kehebatan dengan karya nol koma nol, kini, setelah berkarya, kepercayaan orang mengalir. Kesadaran dari asal-muasal, dari diri sendiri.
Satu rahasia yang didapatkan dalam berhubungan dengan ‘dunia luar’, memberikan yang dibutuhkan bukan mengutamakan kebutuhan sendiri. Dulu, kalau diberi kepercayaan, selalu untuk yang pertama sekaligus yang terakhir. Kini, diberi kepercayaan dan diberikan lagi karena hasilnya memang ada. Rupanya karya jauh lebih hebat dari kata-kata. Karya adalah duta promosi sesungguhnya.
Landus memahami, tidak ada yang salah dengan Majelis, setidaknya ketika wacana dijadikan primadona. Hanya saja, kehebatan berhenti pada bicara. Menilai orang lain, memaki karya orang, dan berhenti disitu. Bukankah menipu orang berhasil sebelum orang sadar? Lebih parah menipu diri sendiri.
Fatomorgana adalah pikiran kosong yang tidak maujud. Menututpi kebodohan dengan kebodohan lebih besar, untuk menutupi dusta diperlukan dusta lebih besar. Kini berposisi apa adanya. Tidak lagi membusungkan dada, menerima diri apa adanya. Setiap ketek pasti bau, yang perlu disiasati, bagaimana tidak merugikan diri, apalagi sampai membunuh orang lain.
Sejarah telah terkurung di masa lampau, namun butir-butir mutiaranya bersinar tiada henti. Musuh manusia sesunguhnya adalah dirinya. Selama ketidakmampuan menghias diri, lalu mencari kesalahan di saku orang lain, selama itu batas kesadaran akan dilumat awan.
Kesadaran Landus akhirnya menjadi trigger bagi anggota Majelis. Bekerja dan bekarya justru menjadi pembunuh dengki sebab energi menjadi terfokus. Majelis Orang-Orang Hebat menoreh makna sesuai artikulasi. Fajar kecerahan menyinari kelurahan Kali Dongok. Petir sambar-menyambar, kilat yang menghantar takut, rumput yang layu tak mampu bergoyang adalah peringatan Sang Khalik.
Kemajuan dimulai dari kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Belenggu pikiran adalah ketika pikiran tidak mampu memahami kebenaran, kebenaran yang direkat atas persepsi. Menipu diri dan menipu komunitas hanyalah lalat yang hinggap di tumpukan sampah. Sanpahlah yang menebar bau busuk dan hanya orang-orang dungu yang tidak paham sampah adalah produk akhir pembuat sampah. Orang cerdas mampu mengolah sampah jadi kompos. Terkutuklah produsen sampah yang mencemari hati sebening kalbu.
Memula namun pasti, kini kebersamaan menjadi kunci kemajuan kelurahan Kali Dongok. Iblis telah mengambil haknya dan genderang kemanusian tertabuh damai di relung hati penduduk. Kemajuan selalu dimulai dari nurani. Majelis Orang-Orang Hebat Kali Dunguk memacu kereka kencana menuju tambatan hakiki. Masa lalu adalah sejarah, masa depan kehidupan sesungguhnya.
***
Aku tertawa geli membaca cerpen yang semula sulit dipahami. Akhir-akhir ini, karena mengambil spesialis Kebudayaan Kuno aku sering membaca cerpen-cerpen kuno. Tugop —semacam komputer dinding— mencatat ribuan cerpen. Aku menutup remote control tugob, Maret, 17th, 2220. Cerpen yang ditulis dua abad lalu.
Sumber:
https://cerpenborneo.wordpress.com/2012/05/12/ersis-warmansyah-abbas-indonesia-kalimantan-selatan/
0 komentar: