Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Mahkamah Tak Berbias
Silbi sungguh kaget. Tiba-tiba dia berada di ruangan serba putih. Lantai, dinding, plafon, meja, bangku, dan benda-benda di ruangan tanpa pintu dan jendela tersebut berwarna putih. Darah Silbi terkesiap ketika memandang pakaiannya yang hitam. Kontras dengan ruangan menawan tersebut. Ada satu lagi yang hitam, … sebuah kursi. Terletak diantara meja panjang di depan dan deretan seratusan kursi di belakang.“Duduk”. Silbi tidak sempat kaget sebab kakinya otomatis melangkah. Sebenarnya hendak mencerna apa yang terjadi, tetapi apa daya, kakinya tidak mau kompromi. Dalam persekian detik terduduk. Begitu pantatnya menjejak bantalan kursi, belenggu tangan yang terkait di kursi mencengkeram tangan, begitu juga kakinya. Silbi betul-betul tidak paham apa yang sedang terjadi.Apalagi kedua ‘pengawal’ yang menggiring ke ruang serba putih tersebut mendatangkan takut tak terkira. Jangankan tersenyum, tatapan matanya langsung ke hulu hati membuat ngeri mencapai puncaknya. Silbi sungguh tak tahu berada dimana, dihadirkan oleh siapa, hendak diapakan, atau sedang dalam ‘upacara’ apa. Bingung.Dalam keheranan, entah datang dari mana, di meja telah duduk empat orang berpakaian serba putih. Padahal ruangan tersebut tanpa pintu dan jendela. Badannya tinggi besar, berjanggut tebal memutih dengan tatapan mata teduh berwibawa. Dan, entah mengapa, Silbi seolah-olah melihat kursi-kursi di belakang telah terisi penuh. Padahal, jangankan menoleh, menggerakkan leher saja tidak bisa. Silbi terpaku duduk dengan pandangan lurus ke empat orang yang duduk di depan. Apakah ini ruang pengadilan?
Silbi mencoba mengumpulkan ingatannya. Rasa-rasanya, kemaren dia sedang bercengkerama dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan anak tertuanya baru kembali belajar dari luar negeri dan mengatakan segera akan ke luar negeri lagi bekerja. Yang membuat Silbi tidak bisa bernafas anak tertuanya tidak mau menerima bantuan.
“Okelah, kalau kamu tetap bersikeras ke luar negeri. Memang di negara kita gaji belum memuaskan orang sekaliber kamu. Tetapi, kenapa menolak bantuan Bapak? Kamu perlu bekal di negeri orang”, Silbi berkata tenang meyakinkan.
“Saya bisa mencari uang. Terima kasih atas perhatian Bapak”, jawab Dakas, anaknya setengah cuek.
“Bagus itu. Tapi, Bapak tidak mau kamu sengsara di rantau orang. Bagaimana kata dunia kalau anak seorang petinggi terlunta-lunta. Kamu jangan membuat malu Bapak”.
“Saya tidak mau. Berapa gaji Bapak sebulan? Dari mana rumah megah ini? Bagaimana Bapak bisa membeli apartemen di Singapura, Hongkong, dan Hollywood. Dari mana Bapak dapat uang yang didepositokan bermilyar-milyar itu? Cukuplah sudah perbuatan Bapak. Jangan disambungkan ke saya. Saya tidak mau menanggung beban Bapak kelak kemudian hari”.
Jawaban Dakas yang tidak terduga membuat darah Silbi menggelegak. Sekujur badannya bergetar sembari bergerak mau mencengkeram leher Dakas. Bahkan, mau membunuhnya. Anak tidak tahu diuntung. Dari kecil dibesarkan, disekolahkan sampai ke luar negeri, e… begitu pulang mengumbar kata-kata bengis. Dakas, anak Silbi yang cerdas dan berbakti, betul-betul menimbulkan amarah. Kog bisa-bisanya berkata demikian.
Tetapi, dada Silbi terasa sakit. Lalu … badannya terasa ringan, melayang. Terlihat isterinya meraung menahan badan seseorang yang hampir roboh. Anconomis, Jamdun, Kandato, Bangbir, anak-ananya ikut-ikutan menangis sekeras-kerasnya. Dakas juga menghampiri seseorang itu. Lalu, keponakan dan seisi rumah. Tetangga berdatangan. Sekali lagi dipandanginya dalam-dalam. Oh, seseorang itu mirip dengannya. Silbi heran, kenapa mereka menangisi orang yang mirip dirinya? Apakah itu dia? Lalu, Silbi tidak tahu apa-apa lagi. Melayang ke dunia tanpa rasa.
***
“Berapa gaji Saudara sebulan?”, Silbi kaget sembari menatap orang pertama di meja depan yang menanyainya.
“Dua juta enam ratus ribu ditambah tunjangan dua juta lima ratus ribu”. Silbi merasa tidak menjawab tetapi jawaban itu terasa keluar dari dirinya.
“Pengeluaran Saudara sebulan?”, tanya orang kedua.
“Sembilan juta rupiah”, lagi-lagi keluar jawaban otomatis padahal dia sedang berpikir untuk memberi jawaban. Kali ini rinci dari biaya rumah tangga, telepon rumah, HP, sampai biaya perselingkuhan dengan bendaharanya. Pokoknya detail.
“Apakah Saudara punya penghasilan selain itu”, tanya orang ketiga.
“Tidak. Saya tidak punya keahlian lain yang mendatangkan pendapatan”, lagi-lagi jawaban otomatis.
“Dari mana Saudara mendapatkan uang untuk membeli apartemen di Singapura?”, tanya orang ke empat yang nampaknya lebih ganas. Dalam hati Silbi mau mengibuli penanya. Mana tahu tengah bermimpi saja.
“Sogokan dari pengusaha Brutrus ketika menangani proyek rekonstruksi korban gunung berapi”, tiba-tiba suara nyaring menggelegar dari belakang. Kali ini Silbi bisa menoleh. Ternyata yang bicara adalah Brutrus.
“Rumah yang di Hongkong dan Hallywood duitnya dari mana? Tidak masuk akal saudara membeli apartemen di kompleks selebriti dunia tersebut”, tanyanya tidak memberi ampun.
“Proyek pendidikan”, kali ini Jadas, pemborong yang ditunjuknya menjawab tanpa kasihan memapar keculasan Silbi. Bahkan ditambahkannya: “Ada bangunan sekolah yang tidak pernah berdiri”.
Lalu dicecar berbagai pertanyaan, tentang kebijakannya yang tidak memihak publik, tidak menyekolahkan dan memberdayakan staf cerdas, menghambat promosi staf pintar berselimut alasan yang dicari-cari. Jangankan memajukan lembaga, menjadikan WC-WC di kantor agar bersih saja tidak mampu sekalipun WC di ruangannya berbatu pualam.
Dan, … jawaban yang benar selalu diutarakan mereka yang duduk di kursi belakang. Tidak ada yang meleset. Persis sebagaimana terjadi.
“Saudara Silbi”. Kini orang pertama bertanya dengan anggun. “Tugas Saudara membangun kualitas sumber daya manusia, membangun bangsa, begitu kan?”.
“Ya”, kali ini Sibli menjawab tanpa diintervensi. Rupanya kalau dijawab jujur tidak ada intervensi jawaban otomatis.
“Bagus. Tetapi, mengapa Saudara bisa mempunyai harta melimpah sementara lembaga yang Saudara pimpin serba kekurangan. Sekolah-sekolah di dekat rumah Saudara hampir roboh. Padahal tanggung jawab Saudara. Saudara tidak pantas mendapatkan semua itu. Gaji Saudara tidak cukup untuk itu”.
Belum sempat menjawab dilanjutkan: “Saudara merasa telah berbuat demi memajukan bangsa.
Padahal, Saudaralah yang menyebabkan menjadi bangsa pecundang. Pendidikan memerlukan kontribusi, Saudara mencari harta berlimpah dari pendidikan. Saudara menyalahgunakan amanah”.
Tanpa perasaan, semua pertanyaan kini dijawab seadanya. Kalau berdusta nanti ada intervensi jawaban. Dia sadar, ketika mencoba berdusta lagi, ketika ditanya kenapa pergi ke negara Ceko menghadiri pertemuan astronomi internasional padahal bidang keahliannya pemerasan susu kuda.
Tiba-tiba dari belakang datang bantahan dari Prago yang ahli astronomi. Sibli tidak mengirim Prago karena dia tahu Prago lebih pintar. Silbi akhirnya pasrah. Pasti sudah, berdusta percuma.
Muncul pikiranan jernih, mengapa dulu tidak menyekolahkan staf, mengapa mengumpulkan harta menjadi hobi utama, bukankah kalau digunakan untuk membangun sekolah, rumah, mobil, dan depositonya bisa membangun beratus-ratus sekolah? Buat apa memakai parfun Paris kalau got-got di lingkungan berbau busuk. Sebagai pemimpin tidak mengembangkan potensi bawahan tapi menyedot energi mereka untuk diklaim menjadi kemampuannya. Keterlaluan memang.
Dulu, kalau berdusta selalu mulus. Ada memang anak buahnya yang tahu, tapi tidak seorangpun berani ‘bernyanyi’. Kalau ada yang berani buka suara, bertimbun-timbun sanksi telah tersedia. Tidak jarang dia menyuruh para punggawa melakukan pembunuhan karakter kepada siapa saja yang mencoba berpikir dan berbuat lebih maju darinya.
Kini, dengan sistem ‘jawaban otomatis’ dari dirinya, tidak bisa berbuat apa-apa. Sedikit saja berdusta, saksi-saksi hidup segera membantah. Alhamdulillah, untuk pertama kali selama ‘hidupnya’ menjadi orang jujur. Kejujuran yang telah ketinggalan kereta.
Atas segala kejujuran dadakannya, Silbi divonis bermukim di neraka jahanam. Tetapi, ketika palu akan dipukulkan, tiba-tiba seseorang berpostur hitam tinggi bertampang seram maju ke depan.
“Tunggu dulu”, katanya lantang mengumbar marah.
“Saya sangat tidak setuju”, katanya mantap dengan segala ekspressi kebengisan.
Orang ke dua langsung merespon. “Hai Iblis, kenapa kamu tidak menerima Silbi sebagai temanmu? Bukankah tugasmu merayu manusia agar punya teman di neraka sampai kekal?”.
“Tidak bisa. Memang dia binaan saya. Tapi dia kurang ajar”, jawab Iblis dengan garang.
“Apa masalahnya”, timpal orang ketiga.
“Makhluk ini keterlaluan. Jangan-jangan bukan turunan manusia. Dia menerima saranku melakukan kecurangan, memperkaya diri dengan keserakahan, menari-nari di tengah derita anak bangsa.”
“Berarti kamu sukses. Bujuk rayumu berhasil. Selamat”.
“Tidak. Tidak sama sekali. Sebagai guru, sebagai pembina, aku kecewa berat. Bayangkan. Ketika dia ke Tanah Suci, tega-teganya melempari aku ketika melempar Jumrah. Sesama bis kota saja tidak etis saling mendahului. Keiblisannya melebihi kemampuanku. Aku tersinggung berat. Jangan masukkan dia ke neraka. Aku tidak mau disaingi”.*)
****
Wah … wah … Ada-ada saja. Lagi-lagi aku menemukan cerpen yang rada aneh-aneh. Kreativitas penulis Abad XXI boleh juga. Bisa-bisanya membuat cerpen nun jauh ke alam yang lain.
Sebagai mahasiswa di Abad ke XXIII, tepatnya tahun 2220, aku mengagumi nenek moyangku. Kami hidup di era teknologi tinggi dengan gerak kehidupan serba cepat hingga membuat hidup hambar. Nenek moyangku justeru bisa membuat berbagai hal pelipur hati pengasah jiwa sumur kearifan yang mereka namakan sastra. Yang sedang aku baca di tugob —semacam komputer dinding— mereka namakan cerpen atawa cerita pendek.
Hari in aku putuskan, mengambil spesialis Sastra Kuno untuk penelitian disertasi S3 ku.
Banjarbaru, 17 September 2006.
*)Diadopsi secara kreatif dari guyonan Amien Rais saat berceramah di FISIP Unlam, 16 September 2006.
Sumber:
https://cerpenborneo.wordpress.com/2012/05/12/ersis-warmansyah-abbas-indonesia-kalimantan-selatan/
0 komentar: