Cerpen Hajriansyah: Lelaki Pemburu Petir

06.46 Zian 0 Comments


Cerita ini bermula dari sebuah catatan dari seorang sarjana yang datang dari kota ke kampung kami. Kami paham, bahwa petir memang demikian indah. Di ujung kampung, di tebing sungai di bawah pohon rambai yang menjuntai indah, kami permaklumkan sebagai kubur Datu Petir; seorang yang bijaksana yang pernah mengajari kami tentang potensi kebaikan pada diri manusia.
Lelaki itu melangkah pergi ketika hari itu hujan deras mengguyur tanah perkampungan berawa-rawa. Di sebuah tikungan ia membelok, dan ia berdiri di atas jembatan menghadap ke sungai. Sungai kecoklatan warnanya. Hujan menubi-nubi ke lumpur di bawahnya. Lumpur-lumpur bercampur air, mewarnai sungai yang dingin. Sebuah petir berlarian di ujung langit sana. Cahayanya serupa akar menjalar yang membayang dalam lompatan yang sangat cepat. Gdublaar! Duarr! Daarr!
Ia memandang berpicing mata. Ia mencari di mana titik lenyap runcing petir berakhir. Ia menerjunkan dirinya ke sungai. Ia berenang seperti kesetanan—seperti terbang—dan kemudian menyelam. Lama ia menghilang di kedalaman. Tak terlihat bayangan. Setiba-tiba ia membuncah serupa gelombang, seperti meloncat dari air, dan.. duaarr!

Lelaki itu terkulai di atas sungai. Tubuhnya mengambang seperti dahan yang patah dibawa arus. Hujan menindihnya dengan dingin yang terus-menerus memukul, seperti tangan yang tak pernah lelah. Beberapa saat mengambang, tubuhnya kemudian tenggelam. Hujan semakin deras. Petir tak lagi menyambar; hanya air, tumpah, mempercepat arus yang berlari.

***

“Tahukah Kau, petir adalah loncatan arus yang berkekuatan puluhan ribu amphere, yang mencari persamaan di benda-benda yang disambarnya?”
Aku memicing mata, membenarkan letak kaca mata, dan tampaklah kebodohanku. Si pencerita itu membuka bukunya di tengah halaman yang setebal asahan pisau itu.
“Loncatan arus itu begitu indah jika engkau memperhatikannya.”
“Tapi mematikan, bukan?” aku bertanya lugu, dengan nada yang hampir seperti menggerutu. Ia tersenyum dan menunjuk ke gambar yang ada di bukunya. Aku menyondongkan badan, mencoba memperhatikan yang ditunjuknya. Namun aku tak paham, apa yang dimaksudnya indah itu. Aku kembali ke posisi semula dengan berkerut kening. Ia tersenyum, hampir tertawa.
“Bayangkan kalau kamu berdiri di lantai dua rumah orangtuamu yang menghadap ke muara sungai itu. Bayangkan saat kau berdiri memandang sungai itu hujan deras, dan kamu duduk di depan pintu terbuka, di depan serambi dengan pegangan pagar kayu di mukamu. Atap seng rumahmu yang berkarat di atas kepalamu menutup pendengaranmu..” ia berhenti sebentar memerhatikan sejauh mana aku paham terhadap kata-katanya. Aku menganggukkan kepala, sebuah isyarat bahwa aku paham, dan ingin diteruskan.
“Pendengaranmu tertutup karena denting air begitu keras menghantam atap seng di atasmu, dan setiba-tiba sebuah suara mengejutkanmu, dalam gelegar yang tak kau perhitungkan sebelumnya, dan engkau setengah terhuyung ke belakang. Lebih mengejutkan dari suara itu, sebuah pemandangan lewat di hadapanmu. Seperti kilatan lampu blitz yang menyinari anak sekolah sewaktu berbaju seragam di Studio Foto Ahim di Pasar Baimbai. Seperti akar menjalar dengan dua-tiga warna. Biru-hijau-ungu..”
“Indah?”
“Ya, indah! Penggabungan dari warna-warna, garis spontan dan menjalar, suara yang menggelegar. Kekagetanmu itu bagian dari yang indah.”

***

Dulu aku memang bodoh. Orang-orang menyebutku idiot. Tapi itu dulu, kini aku telah banyak paham kehidupan, cerita-ceritanya, rahasia-rahasia di baliknya.
Setelah aku dianggap hilang delapan tahun yang lalu, di hari hujan lebat dan guntur terdahsyat di kampungku. Bunyi yang tak lazim, yang menandakan sebuah kematian. Tapi orang-orang tak menemukan mayat yang hangus, atau tubuh yang hitam yang tergeletak entah di tanah lapang atau di tepian sawah atau sungai. Hanya aku yang hilang, tapi apalah artinya kehilangan aku, selain kedukaan ibuku saja. Hanya selentingan kabar yang tak begitu berarti: si idiot hilang!
Cerita lelaki dari kota itu begitu memukauku waktu itu. Sepanjang malam aku tak dapat tidur, memikirkan apa yang disebutnya indah itu. Bagaimana mungkin petir yang menakutkan dan mengejutkan itu dikaitkannya dengan kata indah yang tak kumengerti. Kata yang dalam imajiku kemudian adalah sesuatu yang berharga. Lebih berharga dari hidupku yang hanya membuat malu ayah hingga kematiannya, dan membuat ibu selalu menangis jika mendengar orang mengejekku. Ya, belum pernah aku merasa berharga sebelum cerita lelaki itu, yang begitu menghargaiku, sehingga mau bercerita dan bersabar atas responku.
Sepanjang malam itu aku berpikir, apakah yang disebutnya ‘indah’ itu dapat membahagiakan ibu. Dapat membuatku berarti. Berharga! Didengarkan orang lain, diperhatikan, diceritakan, dan menjadi buah bibir yang membanggakan ayah di kuburnya.
Umurku tiga puluh dua saat itu. Tapi fisikku dan pikiranku seperti anak kecil berseragam sekolah dasar. Dan aku hanya tersenyum jika anak-anak dengan seragam itu mempermainkanku. Aku senang meski hanya jadi bahan olokan, setidaknya ada yang menganggap kehadiranku. Orang-orang seumuranku hanya lewat jika berada di sekitarku, mereka tak menganggapku ada. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, atau mereka malu jika didapati bersinggungan denganku: tidak level!
Andai saja tak pernah datang lelaki kota itu ke kampungku, tentu aku akan mati dalam kesepian dan lalu-lalang hidup orang-orang yang terus tumbuh. Lelaki dari kota itu, adalah sarjana yang kesepian. Setidaknya begitulah katanya padaku di suatu waktu. Ia merasa kesepian, karena dianggapnya orang-orang di kota terlalu berpikir sederhana. Orang-orang sekolah sampai tinggi dan belajar hanya untuk bekerja—tidak lebih dari itu, katanya; mereka tak memiliki obsesi yang dalam terhadap sesuatu.
Dan ia begitu terobsesi pada petir.
Ia—lelaki dari kota—selalu bicara tentang obsesinya pada petir pada semua orang. Dan tak ada yang mendengarkan begitu antusias, seperti aku mendengarkan bicaranya.
“Yang positif turun ke bumi, dan yang negatif naik ke ionosfer.  Petir adalah kumpulan arus yang meloncat dari awan ke awan, saat cumulonimbus menutup langit. Langit gelap, setidaknya begitu tanda dari petir akan datang, dan kita dapat memandangnya sebagai suatu waktu di hari yang indah, dari kejauhan. Sesekali petir mencari persamaannya di bumi, di tanah, di pohon, atau di tubuh manusia yang lena akan hujan.” Ia bercerita dengan buku di tangan. Sesekali juga kuperhatikan, ia membawa kamera yang katanya, “untuk merekam keindahan.” Ya, petir!
Kusentuh kamera itu, dan ia mempersilakan, seraya kemudian menunjukkan hasil-hasil jepretannya. Gambar-gambar petir dalam berbagai nuansa dan warna itu memang memukau, hingga aku tak takut jika melihatnya dalam kenyataan—andai seperti di gambar-gambar itu.
Kata ibu, aku lahir di hari petir sambar-menyambar di udara. Hari itu begitu menakutkan, kata ibu. Bahkan bidan yang sedianya membantu persalinan ibu tak jadi datang. Bidan itu begitu takut, seperti katanya pada ayah yang datang kemudian berbasah-basah dan penuh penyesalan di samping ibu yang mengejan…
Duarr! Dar! Gdublar! Ayah terkejut—ketakutan—dan ibu memekik, dan lahirlah aku tanpa tangisan. Hanya saja rupa kecilku begitu pucat diantara balutan darah, kata ibu.

***

Setelah sambaran petir ke sungai itu, bersama dengan hilangnya lelaki yang kami kenal sebagai si idiot, air sungai sehari sesudahnya menjadi begitu tenang, lebih tenang dari hari-hari sebelumnya. Orang-orang memang sempat mencari sebentar, tapi tak terlalu lama hingga mereka menyimpulkan dan menginsafi takdir si idiot bersama petir dan kedalaman sungai. Ibunya terus menangis dan bersedih hingga sakit-sakitan, dan setahun kemudian meninggal. Meninggalkan rumah kayu berlantai dua yang hampir roboh di tebing sungai, di hilir menjelang muara.
Orang-orang tak pernah membicarakannya lagi. Keluarga itu hilang bersama kemalangan mereka dari pergaulan kampung yang sederhana. Tak pernah diceritakan lagi. Hingga kemudian datang seorang bijak ke kampung itu, sepuluh tahun kemudian.
Orang bijak itu datang saat hujan lebat dan petir menggelegar di penjuru kampung. Aku menyaksikan petir yang begitu indah di hari kedatangannya. Sebuah kilatan berwarna keunguan, memanjang dari ujung langit ke muara sungai. Dan lelaki itu datang dari sana, mengayuh jukung sudur dengan tangannya yang kokoh. Jukungnya seperti terbang di udara. Seperti tak menyentuh air sungai.
Orang yang tampak bijaksana itu menambatkan jukungnya di batang, di dermaga pasar. Ia naik ke darat dan menyapa orang-orang yang berkumpul di warung—baik yang berteduh maupun yang sedang menyantap mie kuah yang panas untuk menghangatkan badan, juga yang berbincang untuk menghangatkan suasana—di hari yang basah dan bergemuruh.
Ia memperkenalkan diri sebagai pengembara yang kehujanan dan ingin berteduh di sebuah kampung yang diharapnya dapat menerima untuk tinggal dan menghabiskan sisa perjalanan. Perjalanan hidup yang katanya tak akan sampai dua tahun lagi, baginya. Ia memperkenalkan diri dengan nama Rahman. Nama yang mengingatkan orang-orang tertentu pada si idiot yang telah lama tak diperbincangkan. Si idiot yang lama menghilang.
Orang-orang di warung itu terpana saja. Sikapnya yang santun dan rupanya yang bijaksana tak membuat orang curiga dan berprasangka.
Mereka menyambutnya sebagai kehangatan yang datang pada hari-hari yang dingin di kampung mereka. Dan memang, kemudian, kehadiran orang itu menghangatkan kampung dengan sikap dan pengajarannya yang bijak. Ia tinggal di samping surau di pinggir sungai, yang dibangun sesudah robohnya rumah kayu berlantai dua tujuh tahun yang lalu.
Lelaki berumur kurang lebih empat-puluh tahunan itu tinggal di semacam pondokan yang berhubungan dengan surau, dengan semacam titian, yang dibangunnya bersama beberapa orang kampung yang mengaguminya. Ia mengajari mereka kebijaksanaan hidup, kemampuan membangun hidup di kampung yang sederhana dengan pengetahuan yang tak pernah mereka pelajari sebelumnya. Ia mengajari mereka tanda-tanda alam dan memanfaatkan tanda-tanda itu untuk keseharian mereka di sungai, di sawah, dan bagaimana perilaku hidup yang luhur pada mereka. Terutama ia mengajari mereka tentang petir.
Ya, petir. Kalau dulu aku selalu memperbincangkan tentang keindahan petir ke orang-orang, dan tak ditanggapi, ia mengajari mereka kegunaan petir.
Dulu aku selalu bicara tentang petir, dan hanya seorang idiot yang mendengarkanku dengan begitu antusias. Kini, orang itu mengajari mereka petir dengan mendapat perhatian yang lebih dari orang-orang—sementara aku telah lelah bicara petir. Bahkan, gambar-gambar indah petir di kamarku telah usang, bersama kameraku yang  telah rusak.
Suatu hari seseorang yang sedang sial disambar petir ketika sedang melunta di sungai. Orang-orang membawanya ke lelaki bijaksana di pondokannya di samping surau itu. Lelaki yang tubuhnya menghitam dan masih sepenggalan nafas di tenggorokannya itu diusapnya di dada. Dan sebuah cahaya seperti tertarik ke tangannya, bersama tubuh yang menguning dan bernafas sempurna. Orang-orang menceritakannya dengan rupa yang demikian, seakan, tak percaya. “Ia menarik petir dan mengembalikannya ke langit, dari tubuh Ijuh yang menghitam sebelumnya,” kata seseorang dengan nada membangga—seperti membanggakan gurunya.
Dan orang-orang pun merubungnya. Berusaha memahami sifat petir dan apa yang dapat dimanfaatkan darinya.
“Petir hanyalah loncatan potensi yang tak sempurna. Kita pun memilikinya di dalam diri kita. Apa-apa yang positif tak selalu ada di dalam diri kita, kita pun memiliki hal-hal yang bersifat negatif; yang terpenting adalah menghargai setiap tindakan, meskipun ia menurut kita tak lebih dari sebuah loncatan yang tak berharga. Lebih penting lagi, dapat memanfaatkan potensi-potensi itu untuk menyelesaikan apa-apa yang kita anggap masalah dalam hidup kita.” setidaknya begitulah inti ajarannya, yang kudengar untuk menghapus rasa penasaranku. Dan sungguh, begitu indah kedengarannya.***

27 Juli 2008

Sumber:
Hajriansyah. 2009. Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami. Bantul: Frame Publishing
Micky Hidayat, Burhanuddin Soebely, dan M Rifani Djamhari (Editor). 2008. Ziarah Pelangi Balangan Menari. Bunga Rampai Pemenang Lomba Penulisan Puisi dan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2008. Paringin: Pemerintah Kabupaten Balangan dan Panitia Aruh Sastra Kalimantan Selatan V
Radar Banjarmasin, Minggu
https://hajriansyah.wordpress.com/2009/05/11/lelaki-pemburu-petir/

0 komentar: