Cerpen Muhammad Faried: Tentang Teman Seperjalanan

20.50 Zian 0 Comments

Buatku, sekarang adalah perjalanan laut yang kesekian kalinya. Dan tetap saja keadaannya masih sama seperti pertama kali aku naik perahu motor besar ini. Seperti perasaan yang memberikan perasaan simpang-siur, muncul melompat-lompat saling mendesak-desak, berebut tempat, berganti-ganti menguasai diriku. Hingga di atas perasaan itu, rasa ketergantungan akan nasib kecemasan akan bencana, harapan akan keselamatan, dan ketidakberdayaan terhadap kebesaran alam, hadir dalam bentuknya yang paling sempurna.
Kemudian aku mencoba menoleh ke sekeliling untuk melihat orang-orang di luar diriku, orang-orang yang begitu asing bagi diriku. Di geladak, di lorong-lorong, bergeletakan, terbaring, duduk, seperti benda-benda yang dihamburkan begitu saja. Sampai pada akhirnya aku mencoba menghela nafas. Dan rupanya, suara helaan nafas beratku tadi menarik minat seorang perempuan yang sudah sejak lama tadi berdiri di sebelahku, lalu dia menoleh serta memandang diriku.

Walau sekilas, dalam keremangan, aku menangkap pancaran sinar mata perempuan itu, seperti bercahaya, menawarkan persahabatan, mengundang pembicaraan. Aku pun senang menerima itu. Dengan pasti, aku mendekati si perempuan. Karena dalam ketidak tentuan hati seperti sekarang ini, aku lebih banyak mengikuti saja dorongan yang muncul dalam benakku. Dan dorongan yang muncul saat itu adalah berbicara dalam arti sebenar-benarnya. Dengan kata-kata, dengan suara.
”Tidak bisa tidur ?” tanyaku membuka pembicaraan.
”Iya, masih belum ngantuk.” jawab suara yang terdengar amat merdu dan mendayu di telingaku.
”Sama. Bagaimana kalau kita ngobrol, setuju ?” ajakku lebih ramah, penuh gairah.
Si perempuan tidak langsung menjawab. Tetapi mengangguk buat menyatakan persetujuannya. Lalu, dia bergeser sedikit, memberi peluang lebih besar pada ruang di sebelahnya. Menandakan undangan resmi terhadapku. Setelah itupun, pandanganku segera menyergap profil si perempuan dengan seksama. Hingga memberikan penilaian sendiri tentang dirinya di dalam benakku.
”Seorang yang menarik dan cantik. Rambutnya panjang terurai, matanya berbinar laksana bintang kejora, hidung mancung, dengan bibir tipis memerah-merekah, dan ketika tersenyum, tampak giginya yang kecil-kecil tersusun rapi, bersih sekali, putih mengkilat. Benar-benar memenuhi ukuran keindahan dari seluruh keadaannya. Ditambah penampilan yang tenang serta lembut, cukup sesuai dengan perpaduan warna biru yang dominan melekat pada tubuhnya”  komentar suara batinku.
”Mau kemana ?” tanyaku.
”Saya kira kapal ini hanya punya satu tujuan.” jawab si perempuan itu cerdik, tanpa menoleh. Aku pun tertawa kecil, membenarkannya.
”Maksudku, tujuanmu setelah ini.”
”Langsung pulang. Ke rumah.”
”Sudah sering berlayar ?”.
”Tidak. Baru kali ini, kamu ?” ujar si perempuan balik bertanya.
”Sering. Bahkan teramat sering. Bagaimana perasaanmu ?”
Si perempuan itu mengangkat bahunya. Tidak jelas apa maksudnya.
”Dengan siapa ?” buruku lagi.
”Sendirian.”
”Sendirian ?” aku terkejut sesaat. Kemudian sadar, untuk tidak ada yang perlu diherankan. Wajar saja.
”Kenapa ?. Kau terkejut ?”.
”Akh, tidak. Cuma...”.
”Barangkali kurang pantas, seorang wanita melakukan perjalanan seorang diri. Orang tuaku juga bilang begitu!” lanjut perempuan itu. Kali ini dengan nada yang kurang menyenangkan. Ada sebersit duka tersirat di dalam ucapannya.
Gemuruh suara mesin kapal samar-samar sampai ke telingaku. Malam pun terus turun perlahan-lahan, semakin dalam menyusup ke laut, ke hitam kelam, ke gelap malam.
”Ngomong-ngomong, nama kamu siapa ?” sengaja aku berinisiatif memecah kesunyian yang sempat menyelimuti kami berdua.
”Rani. Kamu ?” ucap si perempuan tanpa mengalihkan pandangan kosong matanya yang seakan ingin menembus kegelapan malam.
”Aku Jul” spontan saja kujawab. Lalu percakapan kembali terhenti dengan seketika, sampai beberapa saat lamanya.
”Sudah memiliki seseorang. Kekasih, atau suami ?” sengaja aku memburu keterdinginan yang sebetulnya sudah mulai merambat ngilu menggerogoti tulang-belulang pada sekujur tubuhku.
”Aku seorang janda. Akh, sebetulnya tidak dapat dikatakan begitu, karena dia tidak pernah menikahiku secara resmi.” hela Rani dengan terlalu terus-terang.
Kembali aku tidak mampu mengatasi rasa terkejut. Nampaknya, si perempuan yang bernama Rani ini selalu saja mampu untuk membuatku melongo kaget, sampai-sampai tidak sadar sudah beberapa saat lamanya, aku tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan dan ragu-ragu untuk dapat mempercayai kata-kata dari Rani barusan tadi.
”Kau tidak percaya ?” imbau Rani seolah menangkap keraguanku.
”Iya, kau terlalu berterus-terang.” sanggahku jujur.
”Apa keterus-terangan tidak bisa dipercaya ?”
”Bukan, bukannya begitu. Tetapi...”
”Hanya karena kita baru saja berkenalan. Jadi tidak wajar untuk berkata jujur. Begitu ?” dengan cepat Rani melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong dengan pandangan dingin menatap tajam. Sedangkan aku merasa tersudut serta gelisah dibuatnya. Sementara si perempuan cantik dengan wajah dingin itu tampak tenang-tenang saja, menikmati hasil sebuah kejujurannya.
Aku merasa menyesal telah menanyakan hal itu, yang telah memberi peluang buat Rani untuk mengungkapkan hal-hal pribadinya. Dan bersamaan dengan itu pula, muncul kekhawatiran, kalau-kalau si perempuan ini akan lebih banyak lagi mengungkapkan keadaan dirinya.
”Tidak, kau jangan memberi peluang lagi, Jul. Lebih baik kau tinggalkan saja dia sekarang ! Dan ingat Jul, kaukan punya etika.” suara batinku kembali menyeruak, menguap.
”Kadang-kadang aku merasa dituntut untuk tidak berkata jujur. Dan yah..., itu lebih sering membuatku malu sendiri, juga gelisah karenanya.” gumam Rani sambil menghela nafas pelan-pelan di ujung kata-katanya.
”Aku bisa mengerti. Hanya saja aku tidak siap. Aku tidak menduga akan keterus-teranganmu”, aku pun mencoba untuk jujur.
”Ah...itu adalah hal yang wajar, Jul. Dan memang, sebagian orang akan menafsirkan jawabanku itu merupakan suatu isyarat untuk mengajak supaya lebih intim lagi. Karena di mata mereka, aku seakan merupakan wanita yang pantas untuk dibirahikan. Sikap yang sangat meluakaiku. Apakah pernyataan aku seorang janda begitu buruk citranya, Jul ?” getir nada pemberontakan bergetar, mendesak di dalam dada Rani.
”Kukira..., kukira tidak !. Kau terlalu berprasangka”.
Agak lama keheningan itu pun berlangsung tak terusik. Deru suara mesin kapal yang terus-menerus begitu-begitu saja, berbaur dengan angin dan waktu. Tidakkah itu merupakan deru sang waktu sendiri. Bergeser dengan laut, kapal, angin, dan langit.
”Kau kelihatan sangat letih, Jul”, teguran Rani menembus deru angin, juga deru suara mesin kapal. Sambil tetap saja, matanya menerawang kosong pada kegelapan malam yang sepertinya begitu akrab dengannya. Aku hanya menunduk, mengiyakan dalam hati dengan sedikit gerakan bibir, ”Kau tidak keberatan, kalau aku...”.
”Tidak, sama sekali tidak Jul. Sedikit pun aku tidak keberatan, karena aku sudah terbiasa begini. Dan juga, terima kasih banyak Jul. Kau telah sudi menjadi teman bicaraku malam ini”, lirih suara Rani mengantarkan langkah kakiku menuju peraduan untuk sekedar melenakan keletihan jiwaku.
Rabaan nakal sang raja pagi membangunkanku akan ketertiduran yang lumayan pulas. Seketika, pandanganku langsung tertuju ke tempat di mana aku dan Rani sempat menghabiskan sebagian malam temaram. Bergegas aku beranjak dari rebahku serta berharap kalau-kalau Rani masih berada di sekitar situ.
Tak jauh dari tempatku berdiri, seorang anak buah kapal (ABK) sedang membersihkan sebagian lantai kapal yang memang sangat kotor. Tanpa diperintah aku mendekati ABK itu, untuk menanyakan tentang keberadaan Rani dengan memberikan sedikit gambaran beserta ciri-cirinya. Akan tetapi di luar dugaanku, si ABK malah balik bertanya, ”Namanya Rani, kan...?”.
”Ya...iya, be...betul. Na...namanya Rani”, jawabku terbata-bata dipenuhi kegugupan.
”Oh, kalau Rani yang Bung sebutkan itu. Dia telah meninggal setahun yang lalu, bunuh diri, terjun ke laut sewaktu malam buta, tepat  dimana tadi Bung berada”.
Mendadak aku pun terbisu dalam kelu di bibir, dengan tubuh bergetar. Bahkan kelanjutan kata-kata si ABK seterusnya tidaklah kupedulikan lagi, karena di dalam batin dan benakku sedang terjadi peperangan yang maha dahsyat, menguasai seluruh pikiran yang berkecamuk pada seluruh persendian di sekujur tubuhku.***
       

(15032007) bersama Kandangan kuucapkan makasih yang sebesar-besarnya buat sobatku: Kasful Anwar ’dudhuy’ & Muslim di rumah Allah ”Taqwa”.

Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html

0 komentar: