Cerpen Muhammad Faried: Tentang Istri Rahman dan Tembok Pagar yang Kotor
Ditendangnya botol plastik kosong bekas air mineral tak berdosa itu, sehingga melesat terbang dan jatuh ke dalam got, yang mengagetkan kerumunan lalat di air selokan kotor tersebut. Mungkin, ada beberapa ekor lalat benar-benar tertimpa botol plastik bekas tadi, atau setidaknya ketenangan lalat-lalat yang sedang asik berkerumun di air comberan telah terusik, menjadi korban kesewenang-wenangan si Rahman.”Yah..., bagi seorang suami terkadang memang sulit untuk menerima kesuksesan yang berhasil diraih istrinya. Memang wajar jika kau, sebagai kepala keluarga merasa tersaingi atau terancam eksistensinya”, imbau Kadir pelan, meniru-niru gaya seorang psikolog.
Rahman cuma menyahut dengan dengusan nafas berat. Lalu dia bangkit berdiri. Kadir mengira, Rahman hendak menendang ember butut yang berada di tepi selokan. Ternyata Rahman cuma hendak meluruskan kakinya yang sudah terasa pegal atau kesemutan lantaran sudah hampir satu jam duduk mendungkung di trotoar depan rumah Kadir. Tetapi, Kadir kembali merasa cemas karena Rahman tak lekas kembali duduk. Oleh sebab itu pula, Kadir merasa perlu untuk menambah kewaspadaan. Siapa tahu tiba-tiba saja Rahman menendang ember tadi dan pastilah air kotor yang berada di dalamnya akan muncrat membasahi pagar rumah yang baru saja setengah kering, selesai dia cat.
”Akan aku ceraikan si Nikmah”, gumam Rahman berdesis seperti ban kempes.
”Apa...? Nikmah mau kau ceraikan ?. Istri sehebat si Nikmah akan kau ceraikan ?. Setan apa yang mendadak bikin kau menjadi bodoh, Man ?. Oh Tuhan...betapa kerdilnya laki-laki yang bermaksud menceraikan istrinya yang pandai mencari penghasilan banyak !”, berondong Kadir, menyerbu dengan kalimat yang cukup menyesalkan niat tololnya Rahman. Tetapi itulah kesalahan fatal satu-satunya yang pernah Kadir lakukan. Lantaran terlalu bersemangat memberondong Rahman dengan kata-kata hujatan itu, maka dengan begitu Kadir tidak melihat kaki Rahman yang panjang berkelebat, dan...byuuur !. Air kotor di dalam ember muncrat, hingga sebagian besar menodai tembok pagar. Kadir pun tertegun karena telah merasa gagal menjadi petugas keamanan yang seharusnya selalu waspada.
”Biarlah dianggap bodoh, asalkan aku tidak beristrikan wanita seperti Nikmah”, sanggah Rahman memendam kekecewaan.
Kadir masih tertegun tidak percaya. Dia pandangi dengan sedih cat tembok pagar rumahnya yang telah ternoda air kotor. Dan sengaja untuk menghibur dirinya sendiri, Kadir mengangan-angankan bahwa cipratan air kotor itu adalah merupakan sebuah lukisan abstak karya seniman besar, almarhum Affandi.
”Aku tidak sanggup lagi hidup bersama dengan Nikmah. Aku tidak sanggup lagi terus-menerus dipaksa menipu diri sendiri !”, erang si Rahman terdengar parau.
”Demi para sufi yang telah wafat !. Aku bilang padamu, Man..., kau hanya takut hidup di bawah bayang-bayang kebesaran istrimu. Kau cemas karena merasa kalah pamor dengan Nikmah. Maka, makin kau tidak menerima dan mengakui sukses serta kebesarannya, kau akan semakin menderita”, tuding Kadir agak keras, sebab dibarengi amarah akibat tembok pagar rumahnya telah kotor ternoda.
”Nama besar, sukses, keberhasilan yang mencelakakan !”, sahut Rahman dengan lebih sengit.
”Mencelakakan...?. Dasar sapi !. Kau lupa, Man ?. Kau lupa bahwa kau pun ikut andil dalam sukses istri mu itu !”, cerca Kadir menjadi-jadi.
”Apa..., aku ?. Aku ikut andil ?”, tanya Rahman menuding dadanya sendiri.
”Ingatlah !. Kaulah yang semula mengajukan ide serta mengasih modal awal untuk memulai usaha Nikmah. Kau ingat hal tersebut ?”, desak Kadir lagi.
Rahman hanya tertegun dan makin tertunduk, karena dia semakin merasa tertekan oleh pernyataan Kadir tadi. Kemudian Rahman mendongak ke atas langit, lalu menggelengkan kepalanya lemah sambil menggerakkan kakinya. Kadir telah siap mencegah dan berusaha siaga agar Rahman tidak menendang tong sampah yang terletak di tepi trotoar jalan.
”Keputusanku tidak akan pernah berubah !”, tegas Rahman sambil mengeloyor pergi.
”Rahman...!”, seru Kadir cemas memasang kuda-kuda, sebab Rahman benar-benar mendekati tong sampah. Sampai akhirnya dia dapat menghela nafas dengan lega ketika dia melihat Rahman hanya melewati tong sampah tersebut, tanpa menendangnya.
Setelah Rahman hilang di tikungan jalan, Kadir berpaling dan memandang tembok pagar rumahnya yang sekarang kotor. Namun sebenarnya yang ada dalam pikiran Kadir adalah bagaimana caranya dia harus menyelamatkan bahtera perkawinan Rahman dan Nikmah yang diambang kehancuran. Betapa tidak, Rahman serta Nikmah sudah dikenal Kadir semenjak mereka sama-sama kecil. Mereka lama bersahabat, bahkan mungkin sudah saling menganggap seperti halnya saudara sendiri. Dan andaikan Kadir tidak ikut-ikutan prihatin untuk menyadarkan Rahman yang berniat menceraikan Nikmah, tentulah dia akan senantiasa diburu peasaan bersalah seumur hidupnya karena telah membiarkan dua sahabatnya mengalami bencana kehancuran rumah-tangga.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Rahman, benak Kadir masih diliputi berbagai macam pertanyaan di dalam hatinya. Khususnya tentang apa yang menjadi kekurangan Nikmah, sehingga Rahman hendak menceraikannya. Kadir berpendapat, Nikmah adalah merupakan sosok seorang istri yang ideal. Cantik, cerdas, cekatan, dan terutama sekali kepintarannya membuka peluang usaha. Pokoknya bagi Kadir, Rahman benar-benar telah keliru dalam mengambil sebuah keputusan. Mungkin dikarenakan terlalu keasikan memikirkan permasalahan yang tengah dihadapi sahabatnya, Kadir pun tidak menyadari kalau rumah Rahman nyaris saja terlewati. Hingga dengan bergegas, dia kembali memutar balik arah.
Keadaan rumah Rahman kali ini sungguh terasa asing bagi Kadir. Lain dari biasanya, tampak suram dan sunyi. Sedangkan Rahman sendiri, selaku tuan-rumah, termanggu diam dengan tatapan matanya yang teramat sarat oleh beban pikiran.
”Nikmah ke mana, Man ?”.
”Pergi, ke luar daerah...”.
”Seharusnya kau berbahagia, Man. Juga harusnya bangga mempunyai istri yang merupakan seorang wanita karier, yang sukses. Pikirkanlah kembali masak-masak !. Jika engkau menceraikan Nikmah, tentulah kau tidak akan sedikitpun merasakan kemewahan seperti sekarang ini”, himbau Kadir pelan sangat hati-hati sambil menunggu reaksi dari Rahman, yang cuma terdiam sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Rahman beranjak meninggalkan Kadir, masuk menuju ke dalam ruang kerjanya. Dan sekembalinya dari ruangan kerjanya, Rahman langsung membanting dengan keras setumpuk foto tepat di depan hidung Kadir, yang jelas-jelas membuatnya gelagapan terkaget-kaget.
”Foto apa ini, Man ?”, tanya Kadir yang masih belum sadar dari rasa terkejutnya. Namun dia kontan berjongkok untuk memunguti foto-foto yang berserakan di hadapannya.
”Kau lihat saja sendiri, dengan sejelas-jelasnya”, rutuk Rahman terdengar hambar. Bersamaan dengan itu pula, mata Kadir pun terbelalak, melotot, seperti mau copot karena di foto-foto tersebut nampak Nikmah berfose sangatlah binal dengan pasangannya yang berganti-ganti.
”Dari mana kau dapatkan foto-foto semacam ini?”, inguh Kadir seperti tidak percaya dengan foto-foto yang berada di tangannya.
”Aku sendiri yang memotretnya secara diam-diam. Dan dua tahun sudah aku pun mencoba bersabar serta terus bertahan”, jelas Rahman tanpa ekspresi. Sedang Kadir sendiri tertegun diam seribu bahasa. Dia seperti merasakan sesuatu yang aneh dan dingin mengepung dari segala penjuru.
”Aku tak ingin menghancurkan kesuksesan serta nama baiknya. Maka oleh karena itulah, aku mesti menceraikannya. Walau aku pun masih tetap mencintainya, sebab biar bagaimanapun juga, Nikmah adalah istri dan ibu dari anak-anakku”, lirih suara Rahman terdengar kelu, tanpa mampu meneruskan ucapannya lagi. Dia terisak-isak dalam tangisannya yang pilu. Sampai-sampai Kadir berpaling, karena dia tidak tahan melihat tangisan sahabatnya. Dan bersamaan dengan itu pula, dari balik pintu kamar yang terbuka, mata Kadir pun membentur pada sosok kedua anak perempuan Rahman yang baru terbangun dari tidur mereka.
”Papa...!. Mama pergi lagi ya...?”.
Suara anak Rahman itu terdengar serasa mengiris daun telinga Kadir.
Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html
0 komentar: