Cerpen Kayla Untara: Pelacur
Pancar matahari begitu menyengat hari itu. Mungkin hanya cacing gila saja yang berani menampakkan wujud di tengah terik matahari seperti ini. Si Zul melangkah gontai sambil menutup kepala dengan koran hari itu untuk mengurangi peluh yang semakin membuatnya basah kuyup karena kepanasan. Asap kendaraan yang lalu lalang menambah hangat suasana. Mungkin tukang becak dan para abang ojek saja yang mau kelayapan di siang bolong seperti ini, pikirnya. Terus si Zul sendiri? Dia bermaksud ke kantor redaksi salah satu koran lokal yang saat ini menjadi alternatif peneduh kepalanya. Cerpennya dimuat pada edisi kemaren, untuk itulah dia bela-bela-in jalan diterik matahari untuk sekadar mengambil haknya. Walau dia tahu, honor yang diterimanya masih tak sebanding dengan jerih payahnya untuk menciptakan satu karya. Yah, dia tahu itu.Si Zul terkenang ketika dia pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Beberapa keluarganya memang ada yang tinggal di Banjarmasin, tapi tekadnya untuk tidak jadi benalu orang lain memaksanya untuk tinggal sendiri dan berusaha untuk bisa hidup mandiri. Pertama menginjakkan kaki di seputaran Kayu Tangi, dan dia tetap saja di Kayu Tangi sekarang. Begitu banyak perubahan yang dia rasakan. Dulu, Kayu Tangi yang lebih banyak hanya berupa padang ilalang dan rawa kini ditumbuhi berbagai hutan beton, entah ruko atau apa. Ramainya para anak muda yang mencoba mengais ilmu di perguruan tinggi. Dan yang tahun demi tahun semakin bertambah. Yang akhirnya, seakan Kayu Tangi identik dengan kotanya para mahasiswa, identik dengan kebingaran kendaraan karena hampir saban sore atau malam para anak muda berkumpul dan beradu tangkas dalam memacu kendaraan mereka. Dan saat ini bukan hanya antaranak-muda itu saja, tapi sudah berubah menjadi arena bermain dengan para Polisi.
Si Zul berusaha untuk mengais serpihan masa lalu itu. Berangkat dari desa Ambutun[27] dengan modal semangat yang membara berusaha mencari kehidupan yang lebih baik. Umurnya waktu itu mugkin baru delapan belas tahun atau kurang dari itu, tapi nama Zul sudah dikenal orang, paling tidak dikenal oleh orang yang kebetulan pernah membaca beberapa puisinya yang dikirimnya ke beberapa media cetak. Dan Alhamdulillah, sering dimuat. Bahkan di Kandangan, dia tergabung dalam grup Mamanda. Dengan modal nekat dan hobby-nya itulah dia memberanikan diri untuk ke Banjarmasin.
Tempat pertama yang dia datangi adalah rekan seprofesi sebagai penikmat seni, Hamdan. Disinilah, katakanlah, awal karirnya sebagai penulis. Hamdan yang lebih dulu tinggal di Banjarmasin dan mengelola salah satu sanggar seni, menyuruh Zul untuk mendiami markas mereka dan dia pun bergabung dalam anggota sanggar itu.
“Zul, kenapa kau punya rambut cepak begitu. Kulihat cuma kau yang paling gak punya rambut di sini” ujar Damang, senior Zul waktu itu. Ya. Diantara sesama rekan, mereka punya gelar dan nama samaran tersendiri, entah karena tidak ingin dikenal namanya atau karena mereka punya nama nggak bagus, entahlah, tapi yang bicara pada Zul waktu itu berbadan agak gempal, berkulit gelap lengkap dengan aksesoris gelang bahar serta rambut panjang gak terurus. Dia dipanggil rekan-rekannya Damang.
Zul nyengir mendengar petuah sang Damang.
“Di kampung saya, rambut panjang dinilai gak etis, Mang. Bahkan bisa-bisa dibilang garong” tanggap Zul.
“Kau tahu, Zul. Rambut yang panjang itu bagi seorang pekerja seni melambangkan kebebasan berfikir. Kita sebagai seorang seniman punya negara sendiri, punya pemimpin dan aturan sendiri. Kita tidak terikat dengan sistem yang ada. Negara kita adalah kebebasan berfikir, pemimpin kita adalah kebebasan berfikir! Kita adalah komunitas yang paling bebas diantara komunitas yang lain. Bebas untuk berfikir. Tak ada yang ditakuti, tak ada yang bisa memecat kita kalau bertentangan dengan sistem, tak ada yang dapat mengambil gelar seniman kita, kita berdiri sendiri. Kita hanya punya tugas wajib, yaitu berkarya dan berkarya…, tapi aku punya rambut panjang bukan karena hal itu, tapi karena nggak sempat potong rambut ” kelakarnya. Zul ikut tersenyum.
“Tapi, kebebasan yang kita miliki tentu mempunyai batasan-batasan juga seperti yang lain kan!?” sanggah Zul.
“Ya. Sesuatu yang menjadi batasan kita dalam berkarya yang ‘bebas’ itu hanya nilai-nilai moral yang kita pegang dan kita jadikan landasan hidup. Kita bebas mengekspresikan sesuatu, kita bebas bersastra, kita bebas menulis apa saja, berlakon apa saja, sistem apapun yang dibuat oleh manusia tak dapat menghalangi kebebasan itu…,”
Zul melongo mendengar penjelasan panjang sang Damang, belum sempat Zul menanggapi ucapan itu, Damang kembali melanjutkan.
“...Pembatasan itu hanya bisa dilakukan apabila berlandaskan oleh dua hal…!” Damang berhenti sejenak mengharapkan tanggapan Zul, tapi Zul lagi-lagi hanya melongo. “Dua hal itu adalah Qur’an dan Hadist. Kita jangan lupakan itu. sebab dua hal itulah penuntun hidup kita, sistim-sistim yang dibuat-Nya lah yang jadi undang-undang kita…”. Zul mangut-manggut. “Apalagi kalau kita sebagai sastrawan atau lebih khususnya penyair, kalau syair-syair yang dibuatnya itu dikategorikan dapat menyesatkan orang yang membaca. Kau ingat kan apa yang ditegaskan Allah tentang para penyair yang dapat menyesatkan ummat, ‘mereka menghadapkan pendengaran kepada syaitan, dan kebanyakan mereka pembohong. Dan penyair itu diikuti oleh orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka mengembara di lembah-lembah. Bahwa mereka suka mengatakan, padahal mereka sendiri tidak mau berbuat,(Naudzubillahimindzalik!) kecuali – penyair yang tidak sesat dan menyesatkan – mereka beriman, beramal sholeh, dan senantiasa menyebut dan mengingat – sistim-sistim – Hukum Allah…”[28]
Zul kagum dengan kalimat-kalimat yang diucapkan Damang itu, dia seakan mendapat siraman rohani tentang sastra. Damang yang hanya dikenalnya sebagai seorang yang berperawakan sangar namun punya rasa humor tinggi seakan menampakkan diri dalam wujud lain yang sejak dia ikut dalam sanggar seni itu tak pernah dia temukan. Zul terpukau, dan menghayati benar ucapan-ucapan sang Damang.
Damang menghela nafas, “Zul, kau punya umur masih muda, banyaklah membaca, membaca dan berkarya, namun jangan sampai kau lupakan apa tujuan kita dalam menciptakan karya itu. Ciptalah puisi sebanyaknya, karanglah cerpen sebanyaknya, namun nilai dakwahnya jangan sampai kau lupa. Aku bukan bermaksud menggurui kau, Zul. Karena aku pun juga hampir sama nasibnya dengan kau. Yang membedakan kita hanya zaman, tahun dan tanggal kita lahir. Dan satu hal lagi jangan sampai kau lupa juga, jangan yang kau kejar hanya soal duit dan duit, apabila kau punya tujuan hanya ingin mencari duit lewat karyamu di sini, di Banjarmasin, sebaiknya kau pikirkan kembali eksistensimu dalam berkarya sastra. Aku yakin suatu saat kau mengerti kenapa aku mengatakan hal ini. Kita berkarya, berkarya berarti berdakwah. Apabila kau pegang prinsip ini, aku yakin kau akan menjadi seorang sastrawan sejati. Apabila kau ingin dikenang sesudah matimu buatlah barang satu tulisan sastra. Sastrawan itu adalah seorang cendikiawan, tapi cendikiawan belum tentu seorang sastrawan. Camkan itu, Zul!”
Zul manggut manggut kembali. Dia tak bisa berkomentar apapun tentang ucapan dan pernyataan Damang. Dia hanya merenungkan bait demi bait kalimat-kalimat Damang tadi. Memang dia tahu, selama beberapa tahun terakhir, karya sastra Damang baik yang telah dipublikasikan lewat koran, majalah, dan beberapa buku antropologi berkisar masalah ke-Tuhanan. Puisi-puisinya pun bersifat sufistik. Zul menyadari, bahwa kalimat Damang itu sangat dan sangat dia setujui.
Dan begitulah Zul, setelah diskusi dan mendengar petuah dari Damang itulah, karya-karyanya, baik puisi, esai, dan terutama cerpen lebih mengarah kepada hal yang religius keislaman. Walau banyak proses dan waktu untuk hal itu. Tapi, paling tidak kesan ketika pertama diskusi dengan Damang itulah awal kebangkitan semangatnya untuk mengarahkan karyanya pada hal yang bersifat religius. Dan itulah yang dilakukan Zul hingga kini.
***
Serpihan-serpihan kenangan itulah yang saat ini menyabak di kepala Zul sambil terus membelah terik matahari yang kian memanggang menuju kantor redaksi sebuah Koran lokal. Aspal jalanan menciptakan fatamorgana, namun Zul tetap menyeret kakinya. Kini sosok Damang tak lagi berada di dekatnya, namun baginya sastrawan itu tetap hidup lewat karya-karyanya dan hatinya. Sanggar yang lima belas tahun lalu sempat menampungnya untuk beberapa lama bubar karena masing-masing anggotanya punya pekerjaan masing-masing. Ada yang tetap aktif menulis atau melukis , namun hanya sebagian kecil saja. Semua hal itu bisa terjadi hanya karena tuntutan materi belaka. Ya. Materi! Karena materi memaksa mereka meninggalkan profesi sebagai sastrawan! Kenapa?
Kini Zul tinggal sendiri di satu rumah sederhana di bilangan Kayu Tangi. Sampai usia yang tidak bisa dikatakan muda ini, dia masih hidup sendiri. Ini bukan keputusan dia, tapi yang namanya jodoh belum ada, ya, mau berkata apa. Walau kini Zul sudah dapat predikat seorang sastrawan, namun gelar itu tidak begitu berpengaruh terhadap kondisi ekonominya. Zul tidak begitu memperdulikan gelar itu, baginya pemberian gelar itu hanya sesuatu yang ironis buatnya. Mungkin orang bangga dengan julukan sebagai sastrawan, namun entah kenapa Zul tidak terlalu merasa seperti itu. Sekarang, ada yang hanya menghasilkan satu atau dua karya yang kebetulan di muat dalam media nasional maka, ‘sastrawan’lah dia walau setelah itu dia tak menghasilkan suatu karya sastra lagi. Zul hanya punya satu tekad, berkarya dan berkarya. Mungkin karena karyanya itulah yang jadi salah satu penopang hidupnya walau dia merasakan hal itu tak cukup untuk nilai suatu karya.
Dan dia terkadang menjadi dosen tamu pada beberapa perguruan tinggi, ya tentu saja bicara seputar sastra yang dia sendiri pada dasarnya tak pernah belajar secara akademis tentang hal itu. Dan si Zul kini lebih dikenal sebagai Pak Zul atau Om Zul oleh generasi muda. Walau dia tak merasa belum terlalu tua untuk dipanggil Pak atau Om. Tapi itulah yang terjadi.
“Bisa saya Bantu?” Tanya seorang satpam ketika Zul memasuki halaman kantor itu,
“Saya ingin ketemu Mbak Ati, ada?”
Satpam itu menatap liar ke arah Zul yang hanya memakai baju kaos dan celana hitam serta dengan rambut panjang yang terikat plus tas butut. Rupanya satpam ini tak mengenal sosok Zul, padahal ini sudah yang kesekian dia melakukan kunjungan ke kantor ini sejak honor tulisannya tak pernah dikirimkan lagi. “Anda bisa naik lewat tangga yang di sana, silakan…, ibu Ati ada di lantai tiga…” kata si satpam bersikap ramah, mungkin sudah mengenal siapa yang sedang bicara dengannya.
Setelah mengucapkan terimakasih, Zul pun berlalu dan menaiki gedung bercat biru itu.
“Ah, Pa Zul rupanya. Silakan pak…” kata seorang wanita paruh baya yang dipanggil Zul mba Ati sambil mempersilakan duduk. Zul mangut-manggut sambil menarik bibir berusaha senyum. “Kemaren tulisan sampeyan ya, yang dimuat? Saya lupa judulnya”.
“Tentang Lelaki Jompo, mba” Beritahu Zul.
Wanita itu pun mengeluarkan sebuah buku dan selembar amplop warna kuning, sambil mencari catatan judul cerpen Zul dan menandainya. Setelah dia dapatkan, disodorkannya amplop itu bersama dengan lembaran kwitansi, tapi sebelum itu, dia mengatakan sesuatu. “Maaf, ya pa’ Zul. Dari hasil rapat direksi, diambil kebijaksanaan bahwa semua honor tulisan baik itu berupa sastra, atau yang lain dipotong pajak sebesar dua persen. Dan hal ini berlaku sejak awal bulan tadi. Jadi kami mohon kemaklumannya. Silakan tanda tangan..”
Zul tak berkata apa-apa. Disimpannya amplop itu dalam saku celana, dan Zul pun melangkah meninggalkan kantor itu setelah dia mengucapkan terima kasih pada wanita itu.
Matahari di cakrawala langit menyeringai makin ganas. Burung pun mungkin enggan terbang membelah awan. Hanya Zul, ya, Si Zul yang saat ini berjalan menembus panas matahari sambil mengantongi amplop honor tulisan yang barusan diambilnya serta menghunjam debu dan hingar bingar kendaraan bermotor. Dia memutuskan untuk singgah di Sabilal Muhtadin menunggu Asar tiba dan sambil beristirahat memberikan hak mata. Kebetulan malam ini dia ingin menikmati malam di sekitar masjid Raya ini.
Zul melihat isi amplop itu, dan dia hanya bisa menghela nafas panjang untuk mengekspresikan hal itu. Alasan Zul merasuki kehidupan malam di dekat masjid raya Sabilal Muhtadin berharap ada sesuatu yang mungkin jadi inspirasi bagi karyanya. Dia tahu bahwa saban malam pasti ada saja kupu-kupu malam yang berterbangan mengharap untuk ditangkap oleh para mahkluk malam lainnya. Dan yang lucu, mereka berkunjahang dekat area tempat ibadah!
Panas siang itu juga rupanya cukup membuat gerah tubuhnya yang sudah kurus. Zul berlalu, mentari tetap memancarkan sinarnya laksana sembilu.
Selamat siang!
***
Lima belas menit sudah Isya berlalu. Zul duduk di salah satu sudut trotoar jalan yang mengelilingi masjid raya Sabilal, berdua. Berdua dengan bayang-bayang semu.
Muda-mudi mulai berkumpul, nangkring di kendaraan masing-masing. Mereka membikin kelompok-kelompok yang terpisah. Dengan gaya rambut, pakaian, dan aksesoris yang saat ini lagi trend. Mereka penuh percaya diri dan seakan dunia ini milik mereka. Asap jagung bakar pun membubul. Zul hanya menatap nanar kepada mereka, sembari mengisap rokok kretek kesayangannya. Zul tidak perduli, ini memang zaman mereka, guramangnya dalam hati. Biarlah mereka menikmati masa mereka sendiri.
Tiba-tiba mata Zul tertuju pada seorang wanita yang bertubuh sintal yang berada tepat di seberang jalan tempat dia bertengger. Dandanan wanita itu terlihat jelas sangat menor, walau hanya diterangi temaram lampu jalanan. Pakaian ketat membalut tubuhnya sehingga lekukan tubuh dari atas sampai ke bawah begitu nampak. Rok mini yang dipakainya kadang dengan sengaja dia singkap sedikit, entah sambil mukul nyamuk-lah, atau apalah maksudnya. Zul tertarik dengan sosok yang baru ditemukannya malam itu. Tak berapa lama, datang dua wanita lagi, yang satu mungkin seumur dengan wanita itu tapi yang satu lagi berperawakan lebih gemuk dan lebih tua kelihatannya. Mereka pun asyik bicara dan bercanda, dan terkadang suara tawa kecil mereka mampu membelah deru mesin kendaraan yang lalu lalang. Mereka seakan berusaha mengalahkan kefanaan dengan keceriaan abstrak dan semu. Dan Zul kadang tersenyum melihat tingkah mereka. Selama Zul memperhatikan ketiga wanita itu, entah sudah berapa banyak pemuda yang menggoda mereka. Dan mereka menanggapi godaan itu dengan membusungkan dada mereka atau pamer belahan pantat yang sengaja dibuat bahenol, sebahenol mungkin. Ya. Mereka para kupu-kupu malam, atau yang lebih tepatnya pelacur.
Pelacur! Adakah kata manis yang lebih pahit dari itu? Tapi dia tak bisa memungkiri kenyataan kalau istilah itu memang benar, terlepas dari sopan atau tidaknya pengistilahan itu. Mereka menjual keindahan tubuh dengan payudara yang sintal dan pintu selangkangan yang selalu siap untuk dibuka dan dimasuki kejantanan setiap laki-laki hidung belang. Harga diri mungkin bukan suatu yang sakral lagi bagi mereka. Pamer batang paha dan konser puting susu mungkin adalah jurus utamanya. Setidaknya itulah yang dilihat Zul. Mereka hidup dari satu ranjang ke ranjang lain, tidur dari tilam yang satu ke tilam yang lain. Alasan mereka kebanyakan cuma untuk pemenuhan perut, tak lebih.
Zul meninggalkan pikiran yang kini mengerogoti kepalanya untuk sesaat. Ternyata ada sebuah mobil menghampiri mereka. Tak lama, entah apa yang terjadi atau apa yang mereka bicarakan, mobil itu melesat menembus kelam malam. Dengan berlalunya mobil itu, dua orang wanita telah mereka bawa serta, yang tertinggal cuma seorang wanita gemuk tadi. Dan tak lama wanita itu pun beranjak pergi. Zul kembali bertanya-tanya, kira-kira berapa tarif yang mereka patok. Mungkin lima puluh ribu, seratus ribu atau malah dua puluh ribu satu malam. Kalau benar begitu, betapa murahnya sebuah harga diri dan kehormatan. Mereka mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya hanya untuk nilai materi yang mungkin hanya bisa untuk beli kacang!? Ironis.
Zul diliputi berbagai pertanyaannya sendiri. Pelacur, kehormatan mereka hanya seharga satu bungkus kacang!?. Mereka merelakan hal itu, bahkan mungkin menikmati, atau mereka terlalu bosan untuk tenggelam dalam kesedihan menghadapi kenyataan hingga menutupi semua itu dengan mencoba menikmatinya? Apakah itu sudah jadi takdir mereka? Kalau iya, kenapa wanita yang lain tidak seperti mereka? Atau malah mereka yang tidak bisa dan tidak mempunyai kesempatan seperti wanita lain yang bekerja di kantoran? Atau keadaan yang memaksa mereka? Atau karena kita yang membuat mereka seperti itu? Karena ‘kepedulian’ kita yang memaksa mereka berstatus sebagai pelacur!? Entahlah….
Aku? Zul bertanya pada dirinya sendiri. Ya. Siapa aku? Aku hanya seorang dari sekian banyak yang mencoba untuk hidup dengan menulis dan menghasilkan karya. Dan melacurkan karya itu ke berbagai media demi penyambung hidup dan kebutuhan perut. “…satu hal lagi jangan kau lupa, jangan yang kau kejar hanya soal duit dan duit, apabila kau punya tujuan hanya ingin mencari duit lewat karyamu, sebaiknya kau pikirkan kembali eksistensimu dalam bersastra di sini, di Banjarmasin…” tiba-tiba kalimat Damang yang pernah disampaikan dulu pada Zul terngiang kembali di kepalanya.
Selama ini aku terus berkarya, tapi apa yang kudapatkan? Nilai materi yang tidak seberapa. Begitu minimkah perhatian serta penghargaan masyarakat dan pemerintah negeri ini terhadap sastra? Hingga kami yang harus menghidup-hidupkan sastra, bukan sastra yang menghidupi kami!? Kami melacurkan diri, bersedia mengorbankan waktu, tenaga, uang dan harta benda hanya untuk mengais secercah harapan? Ya. Harapan karya kami diberi penghargaan yang sesuai!
Apakah kami perlu minta penghargaan itu? Kalau memang begitu, kami juga tak lebih dari para PELACUR! Para wanita malam itu diasingkan, kami pun diasingkan! Mereka tidak diperhatikan, kami pun termasuk di dalamnya! Mereka menjual harga diri dan kerhormatan mereka dengan harga yang teramat murah, kami pun menjual sesuatu yang – mungkin – paling berharga pada diri kami – karya sastra – dengan harga yang tak lebih mahal dari harga sebungkus nasi! Mereka dianggap sampah masyarakat, kami dianggap orang tak lebih dari itu! Mereka pelacur! Burhanudin Soebely, Eza Thabery Husano, Rifani Djamhari, Jamal T. Suryanata, ASA, Aliman Syahrani, aku, dan yang lainnya, apakah kami juga pelacur? Atau bahkan lebih parah? Atau malah lebih baik…??
Malam semakin kelam berkelahi dengan dingin. Rembulan pucat redup dirasuki kabut yang membelut. Kerisik arus sungai yang membentang melantunkan lagu melankolis nan syahdu namun pilu. Dan makhluk malam tetap sibuk dengan aktivitas masing-masing. Zul? Zul masih termenung dan larut dengan pertanyaan-pertanyaan itu sambil memegang lembaran uang honor tulisan yang tinggal separuh.
Selamat Malam! []
Keterangan:
[27] Salah satu desa di pinggiran kota Kandangan
[28] Al Qur’an, Asy Syu’ara (223-227)
Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html
0 komentar: