Cerpen Harie Insani Putra: Wanita yang Melukai Tubuhmu dengan Pisau

17.18 Zian 0 Comments

Apa yang kamu lakukan jika hatimu sepi? Saat ini kamu sedang duduk di beranda rumah seorang wanita. Sebenarnya kamu sendiri tak tahu kenapa harus datang kepadanya. Tapi tanyalah kepada wanita itu, ia selalu bahagia dengan kedatanganmu. Lalu hujan datang. Kamu masih melamun dan menolak ketia dia memintamu masuk ke dalam rumah. Ia memaksamu. Dengan malas kamu mengikutinya dari belakang. Di sebuah ruangan, kamu putuskan duduk persis menghadap jendela. Lewat jendela itu kamu arahkan pandangan jauh ke luar sana. Tak ada yang ingin kamu lihat. Bagimu hanya itu-itu saja.

Lalu kamu memandang ke sebelah kiri, matamu hanya menangkap bangunan dinding beton, pandanganmu terhalang. Sekali lagi kamu alihkan tatapan ke samping kanan ternyata hanya ada semak-semak belukar. Hatimu benar-benar sepi dan tak tahu apa yang harus kamu lakukan saat ini. Kamu gelisah dan mendesah. Ya, serupa desahan orang yang sedang berputus asa. Kemudian tanpa kamu sadari, wanita itu membawakan secangkir kopi panas untukmu. Sungguh kamu paling suka melewatkan waktu dengan minum kopi, apalagi hujan begini. Tapi kamu sedang bosan dan enggan meminumnya meski wanita itu sudah berkali-kali memintamu untuk segera mencicipi kopi buatannya. Kamu sendiri tidak tahu ia membuat kopi itu dengan penuh perasaan. Dengan cara yang paling hati-hati, ia masukkan gula ke dalam gelas yang kini di hadapanmu. Ia selalu khawatir saat menyeduhnya. Bagaimana jika kurang manis, bagaimana jika terlalu manis?
“Sebentar lagi aku juga pasti akan meminumnya,” katamu. Ia tersenyum manis mendengar jawabanmu. Tapi kamu tak segera melakukannya. Tanganmu bergerak malas mengambil surat kabar dan membukanya lebar-lebar. Tapi tak ada satu pun yang menarik untukmu. Kamu berpura-pura sedang membaca surat kabar itu. Tapi tidak lama kemudian, kamu segera membuka halaman yang lain. Akh, kamu tak menyadari bahwa wanita itu was-was ketika memperhatikan sikapmu.
Sebenarnya, kemarin kamu juga datang ke tempat ini. Rumah seorang wanita yang selalu patuh dengan perasaan. Jika kamu marah, dia akan segera meminta maaf. Juga saat kamu diam, dia akan lebih diam. Tapi tidak untuk hari ini. Ia menunggu lama untuk mampu mengucapkan satu kalimat semacam ini.
“Bagimu, apakah aku membosankan?”
Ia berharap bisa menemukan jawaban dari setiap gundah yang ia simpan. Setiap hari ia selalu memikirkan pertanyaan apa yang pantas untuk ia ucapkan jika bertemu denganmu. Bahkan ia merekam ucapannya sebelum terlanjur kamu mendengarnya. Ia ingin memastikan semuanya tidak berakhir dengan buruk. Ia sudah melatih bagaimana mengucapkan kalimat itu dengan baik tanpa penekanan-penekanan yang datang dari dalam dirinya. Ia tidak ingin terlihat serius ketika mengucapkan “Bagimu, apakah aku membosankan?” Ia terus berlatih agar tampil sempurna. Selama itu, sedikit pun ia tidak pernah membayangkan kalau kamu akan bersikap sebaliknya. Tadi, saat ia mulai bertanya, kamu tak sedikit pun memalingkan wajahmu kepadanya. Kamu tak melihat bagaimana hasil latihannya selama ini. Bahkan kamu hanya memberikan jawaban singkat sambil melipat surat kabar dengan asal-asalan.
“Tidak,” jawabmu singkat.
Kamu pikir ia puas dengan jawabanmu? Tapi ia tidak mempersiapkan pertanyaan berikutnya. Ingin sekali ia mengulangi pertanyaan tadi, tapi ia tahu itu akan merusak suasana di antara kalian berdua. Lantas ia hanya diam. Adalah keharusan baginya untuk dapat membuatmu nyaman, ia sangat menyayangimu. Bukankah selama ini pundakmu sering dipijit olehnya? Wanita itu pandai memanjakanmu. Sebelum memijit, ia akan menyalakan musik waltz kesukaanmu padahal ia sendiri tak tahu jenis musik itu. Dia hanya tahu ke mana harus mencari toko kaset yang menjual jenis musik semacam itu. Kamu sendiri tahu, untuk mendapatkannya butuh biaya dan waktu. Tapi ia selalu saja membeli kaset-kaset itu meski beberapa kota harus ia lalui. Sudahlah. Kalian berdua masih saling diam. Baginya ini semua terasa lebih ganjil jika ia tak segera melakukan sesuatu. Ia berpikir keras. Satu-satunya jalan adalah mengulangi pertanyaan. Sama seperti tadi. Tapi ia mengganti kalimat depan dan menambah satu kalimat lagi agar tampak berbeda dari pertanyaan sebelumnya.
“Sungguh, aku tidak membosankan?”
Tapi entah apa yang terjadi dalam dirimu. Ia terkejut saat kamu membentaknya dengan keras. Apalagi kamu segera pergi meninggalkannya keluar. Berkali-kali ia memanggilmu, mengucapkan kalimat maaf. Tapi kamu terus saja berjalan meski hujan telah membasahi seluruh tubuhmu. Ia menangis tersedu-sedu. Satu kali pun kamu tidak memalingkan wajahmu ke belakang. Ia juga basah karena hujan. Dan tidak hanya kamu saja yang membuatnya menangis, tapi hujan juga telah melukai segala ingatannya tentang kamu. Masih ada satu lagi, ia juga akan mendapati segelas kopi dingin yang belum sedikit pun kamu sentuh.
***
Ini tentang kamu. Diam-diam kamu basahi dirimu dengan kenangan. Kamu kembali mengingat wanginya kenangan bersama seseorang. Masih dalam keadaan tubuh yang basah, kamu pergi pada sebuah tempat yang bukan lagi tujuan. Kamu sangat hapal jalan menuju ke sana, tempat yang tak mungkin hilang dari ingatanmu begitu saja. Pernah di dalam masjid tempat kamu mengadu pada Tuhan, kamu letakkan dahimu di lantai yang dingin, kamu ingin segala ingatan tentangnya jadi beku. Kamu sudah berjanji tak ingin lagi melintasi jalan itu, juga melupakan lesung pipit yang membuatmu selalu ingin mencubit pipinya. Tapi saat ini kamu berdiri di antara dua simpang. Di ujung jalan ini, kamu akan tiba di sebuah perbatasan, hanya tinggal selangkah kamu akan membuat keputusan baru dalam hidupmu.
Begitulah. Kamu sudah berada di sebuah rumah yang juga dihuni seorang wanita. Niatmu hanya mampir sebentar, tidak ingin berlama-lama karena kamu rasakan kakimu sedang gemetar. Ia tetap menyambutmu dengan baik juga dengan senyum yang terbaik. Dua belas batang rokok sudah kamu habiskan di depan beranda rumahnya. Itu tidak sebentar, kakimu tak lagi gemetar. Meski di rumah ini tak kamu dapati suara musik waltz, tapi kamu nyaman, tapi kamu aman, dan kamu sudah bertahan tiga jam di rumah wanita yang satu ini.
“Siapa kekasihmu sekarang?” tanya wanita itu kepadamu. Percayalah kamu pasti tersenyum ragu-ragu untuk menjawabnya dan kamu berusaha menutupi keraguanmu dengan balik bertanya.
“Bagaimana denganmu?”
Dia bukan wanita peragu. Saat ia menjawab pertanyaanmu, jujur saja, kamu sangat terluka.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Maaf aku sungguh mencintainya,” jawab wanita itu melirikmu.
Ia melihat tarikan napasmu yang dalam. Untung ada asap rokok yang bisa kamu mainkan. Jika tidak kekacauan hatimu akan tampak olehnya. Dulu kalian saling mencintai tapi ia juga mencintai lelaki lain. Ia tidak sepertimu, ingin bersetia begitu saja. Ia sadar kalau dirinya cantik, molek, dan aduhai.
Di rumah ini kamu sudah menambah waktu menjadi dua jam lagi. Tidak ada air minum, bahkan handuk untuk mengusir basah tubuhmu pun tidak. Saat telpon berdering, lama wanita itu meninggalkanmu sendirian. Kamu pasang telinga, mengintipnya di balik korden. Kamu melihat jemari tangan wanita itu sedang memainkan kabel telpon, sedangkan suaranya terdengar manja. Hatimu gelisah apalagi ketika wanita itu membuat janji akan bertemu dengan seseorang. Percayalah saat ini pasti kamu mengingat wanita yang beberapa jam lalu kamu tinggalkan.
“Maaf aku harus segera pergi. Jika kamu masih suka di sini, masuklah ke dalam. Seperti dulu buatlah hatimu nyaman,” kata wanita itu bersiap-siap menemui seseorang. Dengan berat hati kamu biarkan wanita itu pergi. Meski kamu sudah memintanya agar menunggu hingga hujan reda, wanita itu tetap saja pergi. Akh, kamu ingat. Dulu ia juga pernah datang kepadamu dalam keadaan yang sama, berhujan-hujan. Lalu kamu putuskan untuk tetap tinggal. Di dalam rumahnya, semua masih tampak sama. Masih ada benda-benda yang pernah kamu belikan dulu. Boneka, kartu-kartu ucapan juga setumpuk surat cinta di laci meja. Tapi kamu kecewa, photo kalian berdua sudah tidak ada. Lalu satu persatu kamu baca kembali surat demi surat cinta yang pernah kamu kirimkan padanya. Ada nama kamu dan wanita itu di sana. Sesekali kamu tersenyum bahagia. Sambil terus menikmati kenangan, sedikit timbul rasa penyesalan yang dalam. Jika kenangan itu membahagiakan, kenapa dulu kamu bakar semua surat dan benda yang juga pernah diberikan kepadamu. Tak butuh kenangan katamu saat itu tapi sekarang sesalmu begitu dalam.
Hari ini kamu telah kembali pada sebuah kenangan. kamu kembali merasakan kebahagiaan yang dulu pernah kamu miliki. Hatimu berbunga-bunga. Kesepianmu telah menemukan obat yang tak mungkin seratus dokter sekalipun mampu membuatmu sedemikian sehatnya. Kamu santap semua kenangan itu hingga lelah dan diakhiri dengan tidur di ranjang wanita itu. Saat malam tiba, wanita itu baru pulang. Kamu lupa mengunci pintu dan hanya membiarkannya terbuka. Dia membangunkanmu, ada garis-garis pelangi teduh saat pertama kali kamu membuka mata. Bukankah kamu selalu berharap saat membuka mata, pertama kali yang ingin kamu lihat adalah seseorang yang kamu cintai? Dia sekarang di hadapanmu, tetap tersenyum manis meski ada sedikit lelah di wajahnya. Kamu sangat bahagia tapi ia akan segera pergi lagi. Ia hanya pulang sebentar untuk mengambil beberapa helai pakaian. Tiba-tiba kamu remuk, wanita itu akan pergi lagi bersama lelaki yang sudah menunggunya di luar.
“Dia kekasihmu?” ada nada cemburu ketika kamu menanyakannya.
“Ya.” Jawabnya sambil memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tas.
“Kamu mau pergi ke mana?”
“Malam ini kami akan berlibur. Dia mengajakku pergi keluar kota.”
“Aku akan menemuinya!!!” kamu segera bangun untuk pergi keluar. Tapi wanita itu segera menghalang-halangimu. Kamu sudah terlanjur cemburu padahal kamu sudah tidak berhak lagi untuk itu.
“Kumohon, jangan!” pinta wanita itu kepadamu. Meskipun berulangkali dia memohon, kamu tetap saja tidak peduli. Untung saja lelaki di luar sana hanya menunggu di dalam mobil. Jika tidak, kegaduhan kecil itu akan diketahuinya. Tapi malam ini kamu ingin bersama wanita itu lagi, berdua-dua seperti dulu. Kamu tetap bersikeras, juga wanita itu. Sebilah pisau dari atas meja yang tadi siang kamu gunakan untuk mengupas apel kini sudah mengarah padamu. Dia mengancam akan melukaimu jika berani menghancurkan satu keindahan yang dia miliki saat ini. Kamu terdiam, terpaku, tercengang. Tapi kamu tetaplah kamu. Perkiraanmu tentangnya habis sudah, semuanya salah. Kamu pikir dia tidak mungkin melukaimu seperti kamu tidak mungkin melukainya. Kamu salah. Dia tidak lagi menyayangimu. Tidak. Satu luka menggores lenganmu saat memaksa ingin menemui lelaki di luar sana. Kamu terkejut. Dia menangis, kamu tidak tahan melihat air mata itu. Kamu membelai rambutnya dan merelakan ia pergi. Persis ketika dulu ia datang kepadamu, saat-saat ia membuat keputusan yang sulit. Ia harus meninggalkanku demi seorang lelaki yang diam-diam sangat ia cintai. Tapi saat itu bukan kamu yang membelai rambutnya karena kamulah yang menangis saat ia meninggalkanmu.
Setelah kamu selesai membelai rambutnya, dia sempat berterima kasih lalu pergi sambil mengenakan kaca mata hitam. Ia mengingatkanmu, jika nanti pergi, kunci rumah diletakkan di bawah pot bunga saja. Kamu mengangguk. Saat ini kamu sudah tidak lagi sanggup memikirkan apapun juga, darahmu semakin berceceran di lantai kamar, kamu merasa pusing dan segera pergi, berlari.
***
Apakah yang kamu lakukan jika hatimu terluka?
Kini kamu sudah berada kembali di rumah seorang wanita yang tadi siang kamu lukai hatinya. Sekarang kamu datang kepadanya untuk membawakan luka di tubuhmu. Ia tak banyak bertanya dan langsung merebahkan tubuhmu ke kamar. Dia perban lukamu dengan perlahan. Setelah merawat luka di lenganmu, dia mengambil air hangat untuk merendam kakimu yang kedinginan. Tidak beberapa lama, di atas meja sudah siap mie rebus dan air jeruk hangat yang menyegarkan. Seperti biasa dia mulai memijit pundakmu. Setelah semuanya tidak lagi menegangkan dia mulai bertanya, tapi kali ini sewajarnya saja. “Lukamu sebab apa?”
Untuk pertama kalinya kamu memandangi wajah wanita itu cukup lama. Tapi kamu masih ragu, ingin berdusta. Belum kamu jawab, wanita itu mengambil jeruk hangat dan membantumu agar mudah meminumnya.
“Kamu makan juga mie rebusnya, ya? Kamu pasti lapar. Aku sungguh mengkhawatirkanmu seharian ini,” ucap wanita itu memandangi matamu. Perlahan mulutmu terbuka, kamu kunyah makanan dengan mulut yang masih ragu berkata sebenarnya. Kamu tersedak. Wanita itu segera membantumu lagi untuk minum.
“Lukamu sebab apa?” wanita itu menanyakan lagi dan kamu masih diam. Dia tak protes saat kamu tidak juga menjawabnya. “Aku ingin istirahat,” katamu. Dia mengerti dan langsung menyalakan obat nyamuk di tepian ranjang, memberikan selimut hangat ke tubuhmu. Dia berjanji akan terus memutarkan musik waltz sampai kamu tertidur.
“Tapi lukamu sebab apa?” bisik wanita itu di sampingmu. Kamu masih diam. Sampai matamu tertutup benar.
Entah kamu mendengar atau tidak. Musik waltz terus mengisi kamar sampai pagi. Di sampingmu dia tidak tidur. Malam tadi kamu demam dan dia sibuk merawatmu. Ketika kamu terbangun dan sudah kembali segar, pertama kali membuka mata, wanita itu sudah berdiri di sampingmu membawakan kopi. Kamu lihat matanya sembab. Dia bilang matanya kelilipan. Dia tak ingin mengatakan kalau tadi malam dia hanya menangisimu, menangisi igauanmu.
“Siapa wanita yang melukai tubuhmu dengan pisau. Aku tidak terima. Akan kubunuh orang yang telah berani melukaimu!!!” ucapnya marah. Kamu semakin diam memandangi wanita itu mengacungkan pisau yang dibawanya. Sekarang kamu mulai mengerti kenapa tadi malam seorang wanita yang juga kamu datangi itu nekat melukai tubuhmu dengan pisau. Kamu berjanji akan melupakan wanita itu. Sekarang kamu tersenyum manis, mengajak wanita yang telah merawatmu dengan baik pergi ke sebuah tempat. Di sana matahari akan tampak sempurna saat tenggelam. Kamu juga ingin menenggelamkan semua kenangan di sana bersama wanita itu.
***
Baiklah. Aku hanya seorang sahabat bagimu. Tepatnya wanita yang malang. Aku pikir, kamu akan memilihku sebagai pengganti wanita yang telah melukai tubuhmu dengan pisau. Tapi tadi malam, saat kamu memilih kepada siapa lukamu itu harus dirawat, aku cemburu. Kamu tidak memilihku. Sekarang, di tanganku pun ada sebilah pisau yang sebentar lagi akan datang kepadamu.***

[Banjarbaru, ruMahcerita Juli, 2005-2007]


Sumber:
Putra, Harie Insani dan Firly, Sandi. 2008. Perempuan yang Memburu Hujan. Banjarmasin: Tahura Media
Putra, Harie Insani. 2016. Jempol Kaki Ibu Ada di Televisi. Yogyakarta: Writing Revolution
https://hariesaja.wordpress.com/2007/10/04/wanita-yang-melukai-tubuhmu-dengan-pisau/

0 komentar: