Cerpen Harie Insani Putra: Rahasia Sedih Tak Bersebab

17.05 Zian 0 Comments

Sudah. Tetap saja tak ada penjelasan kenapa perempuan itu selalu menyimpan air matanya di dalam lubang. Seakan-akan semuanya telah menjadi rahasia sedih yang tak bersebab. Begitulah, tiap kali cerita ini diulang selalu timbul pertanyaan;
“Untuk apa dia menyembunyikan air matanya?”
“Apakah air mata bisa disimpan, seperti cairan di dalam lemari es, lantas beku dan bisa menjadi batu?”
Sebagian orang menganggap cerita ini hanya dusta namun sebagian dari yang lain, sungguh mempercayainya. Kalau pun benar, lantas di mana letak air mata itu disimpan, toh tetap tidak ada yang tahu. Perempuan itu sangat pandai menjaga rahasianya. Tapi bagaimana pun ada orang-orang yang tertantang, ada pula yang tak butuh tantangan. Ada yang mencari ada pula yang menguburkan cerita ini di dalam diri.

Sebaiknya aku ceritakan saja kepada kalian. Perlu diketahui, saat aku berpetualang di hutan sana aku telah bertemu dengan seseorang. Alasan itulah kenapa aku begitu fasih bercerita. Dia bertanya kepadaku seperti ini:
Apakah kamu tahu, kisah itu sebenarnya ada bersimpan di pulau ini? Barangkali kakekmu tahu, kedua orang tuamu, mungkin. Lalu mereka ceritakan semuanya kepadamu. Sesungguhnya perempuan yang pandai berahasia itu menyimpannya jauh di balik pegunungan sana. Sungguh payah dia berjalan di malam hari, kadang dia biasakan jatuhan ranting tetap seperti adanya, tidak dia tendang ke tepi, cara meniadakan jejak yang rapi. Reranting itu dibiarkan saja, tak mematah dahan-dahan, meski dia harus menerima luka sayatan di kaki, lengan dan gatal-gatal di bagian tubuhnya.
Cara perempuan itu menyelinap meninggalkan curiga kepada orang-orang kampung yang melihatnya. Hampir setiap malam, dia selalu berjalan sendirian. Dari jarak yang begitu jauh, sembab di wajah perempuan itu tiada ketahuan. Orang-orang kemudian mengikuti jejaknya dari belakang, tak menyangka arahnya menuju ke hutan. Mereka saksikan cara perempuan itu menggali lubang, lalu orang-orang mengira bahwa perempuan itu sedang merencanakan sesuatu, mungkin dia sedang menyiapkan kubur bagi para lelaki yang suka menyakiti hatinya. Sampai waktunya tiba, sampai lubang-lubang itu siap, barulah perempuan itu membunuh dan menguburnya di sana. Semua itu dilakukannya sambil menangis, kilat bening air matanya nampak jatuh ke lubang, sepertinya dia juga sengaja menanam air matanya di sana. Entah kenapa.
Nasib perempuan itu memang naas, berkali-kali dipinang tapi berkali-kali juga pinangan itu dibatalkan. Selalu begitu seakan dia tak bernasib sama dengan kawan-kawan seumurnya, mereka sudah saling bersuami, menimang anak dan berbahagia menunggu tibanya kelahiran anak-anak yang baru.
Pernah kedua orang tua perempuan itu memandikannya di bawah terang bulan purnama, berharap nasib sial di dalam diri anaknya bisa hilang. Tapi tetap saja, banyak lelaki urung menjadikannya istri. Jika pun masih ada yang mau datang, mereka juga akan berlaku sama dengan lelaki sebelumnya, pergi meninggalkan perempuan itu meski dalam tersedu.
Sungguh mengherankan, keheranan yang sama dimiliki orang-orang. Aneh saja, padahal parasnya sangat cantik, kulitnya menguning langsat, jika tertawa, suara yang keluar seperti gemericik air terjun, meneduhkan, menyenangkan, mendinginkan. Tidak ada yang membosankan dari perempuan itu, kadang jika mandi di sungai, seperti kebiasaan, dia akan menutupi keindahan tubuhnya dengan selembar kain sarung, agar tidak lepas, ujung bertemu ujung diikat pada pundak kirinya. Lalu sebelum mandi, dia akan duduk di atas batu, menyiapkan sabun untuk mencuci pakaian kotor yang dibawanya dari rumah. Sambil memainkan kedua telapak kaki di dalam air, sendirian dia bersenandung sambil terus mencuci. Tidak lama kemudian, rakit bambu saling lewat, mengantarkan orang-orang menuju pulang, membawa kopi yang mereka panen di ladang serta berkarung-karung ubi karena jika tidak segera dipanen, ubi-ubi itu akan dicuri oleh babi.
Sambil berdiri di atas rakit, mereka saling melambaikan tangan, menyapa perempuan itu. Di sanalah orang-orang tahu, kalau dia sangat cantik, seringkali mata mereka memperhatikan lengan perempuan itu, agak kencang, lalu ke leher, jika rambutnya diikat, nampaklah begitu jenjang. Lantas mereka suka menggoda, suka sekali jika melihat perempuan itu tersenyum malu. Wajahnya pasti akan menunduk, matanya tertuju pada kain yang membungkus tubuhnya, dia segera membenahi jika ada yang terbuka. Kemudian dia akan menceburkan tubuhnya ke dalam air, sangat berhati-hati agar sarungnya tidak tersingkap ketika menyentuh air. Semakin banyak rakit lewat, dia akan bersembunyi di balik batu, menghindari tatapan mata para lelaki yang selalu menggodanya. Dia akan kembali duduk di atas batu, sampai rakit-rakit itu hanyut dan menambat di ujung sana, tempat orang-orang meninggalkan rakitnya.
Begitulah cerita tentang perempuan itu ketika di sungai. Jika mengingat segala tentang perempuan itu, di sini, dulu sekali, sudah banyak lelaki yang memperebutkannya bahkan mereka saling bertaruh nyawa dengan lelaki di kampung lain. Meski begitu, di antara mereka, satu pun tak kunjung ada yang mau menikahinya. Ketika ditanyakan kepada seorang pemuda kenapa dulu urung menikahinya, setiap kali memandangi mata perempuan itu seakan-akan ada seekor naga yang menggeliat siap memangsa. Alasan itu membuat mereka tak jadi menikahinya. Kabar tentang naga di mata perempuan itu menjadi keyakinan penuh warga kampung, orang-orang berpendapat, di dalam diri perempuan itu telah menitis siluman naga yang akan jadi malapetaka di kampung mereka. Perempuan itu tahu tapi menurutnya semua itu hanya dusta, mulut lelaki memang tidak bisa dipercaya. Jangankan naga, seekor semut pun tak ada yang sembunyi di dalam matanya. Dia seringkali membuktikannya di depan cermin, hanya ada bola mata, itu pun bening karena sering menangis. Tapi dia tak suka berbantah-bantah, sebelum orang-orang melaksanakan niat untuk mengusirnya, perempuan itu lebih dulu pergi mengasingkan diri.
Dan kamu pasti tidak akan percaya, selama dia mengasingkan diri, dia hanya berusaha untuk menjaga semua lubang air matanya, agar orang-orang tidak bisa mengetahui semua rahasia dibalik kesedihannya. Dan jika kamu sendiri tak mengetahui cerita ini, lalu terus mencari alasan tentang perempuan itu, artinya kamu juga sedang memburu lubang air mata yang disimpannya, lalu kamu terkecoh, lalu kamu bertanya-tanya, lalu kamu tak sanggup menemukan jawabnya. Memang ini rahasia sedih yang tak bersebab dan hanya bisa dimengerti jika kamu benar-benar memahami hati seorang perempuan.
***
Percayalah air mata adalah rahasia yang juga akan diuji oleh waktu. Aku percaya air mata juga mengalir bagai denting-denting puisi, rahasia abadi. Lewat air mata itulah kusimpan rahasia tanpa harus ada sebab untuk kujawab karena orang sepertiku tidak ada alasan untuk berbangga kepada kalian. Aku adalah celaka, sesulit apapun pasti kutempuh agar rahasiaku ini tetap terjaga di dalam tanah saja.
Aku sadar rahasia bisa tergesa khianat kepada waktu maka aku membuatnya lebih rumit agar lepas dari dugaan-dugaan yang ada pada diri kalian. Caraku tak seperti lipatan-lipatan baju, begitu mudah memasukannya kemudian mengeluarkannya lagi dari dalam lemari. Tapi tidak denganku, dalam hening sesepi ini, akan kutempuh cara sesulit apa pun, di sini, di tempat ini, heningku hening suci, sunyiku-sunyi bunyi, air mataku mata air, mengalir tiada akan membanjir, kusimpan sampai hidupku berakhir.
Sendirian telah aku lewati hari-hari untuk berdoa pada Tuhan agar kelak rahasia ini tetap tersimpan, membeku dijadikan hitungan waktu dan akhirnya rahasiaku menjadi batu. Dan batu itu akan mengecohmu.
Perempuan itu menggoreskan sepinya di batang-batang kayu kapuk bahkan juga pada kayu lapuk. Selesai menulis, kayu itu akan dibakarnya sebagai teman melewati malam. Dia akan terus menjaga lubang-lubang penyimpanan air matanya. Dulu pernah ada orang-orang yang ingin membongkar lubang itu, orang-orang menunggu sampai perempuan itu tidur, namun ditunggu-tunggu perempuan itu tak juga mau tidur kecuali sangat memaksa, itu pun dia pasti membaringkan tubuhnya terlentang di atas lubang, agar ketahuan jika ada yang berusaha membongkarnya.
Selamanya dia di sana, bagai pertapa menjaga rahasia air mata. Orang tua perempuan itu tak sanggup membendung keinginan anaknya, lalu mereka buatkan sepondok rumah beratap dedaunan. Tiap kali orang tuanya datang membawa makanan, perempuan itu tak bisa dirayu, serahasia apakah air matanya itu hingga harus disimpan? Perempuan itu memilih diam, mencium tangan orang tuanya, memohon restu untuk hidup sendiri, tanpa ada sebab yang harus dijawab.
Sampai suatu saat, orang-orang tercengang, perempuan itu bersama lubang air matanya telah hilang. Tidak ada yang bisa menjawab apa yang sedang terjadi dengan dirinya dan kemana arah tujuan perempuan itu pergi.
Kisah tentang perempuan itu hanya sampai di sini. Selebihnya pasti tak ada yang tahu, pun generasi tertua di dalam keluargamu. Kamu juga boleh mencarinya di buku-buku, bertanya kepada guru di sekolahmu, atau siapa pun juga, pasti tidak akan ada petunjuk kemana perempuan itu pergi bersama lubang air matanya. Itulah sebabnya kenapa orang tidak percaya dengan cerita ini, pun jika percaya, pengetahuan mereka sebatas yang kuceritakan di atas. Akhirnya kamu akan tahu bahwa sejarah itu masih bisu, semuanya tidak terungkap ke dalam buku.
***
Barangkali di sudut-sudut dunia ini, Tuhan masih menyimpan rahasianya melalui tangan-tangan manusia. Keyakinan itu membuat orang-orang semakin mantap berdatangan ke tempat ini, rahasia perempuan itu harus dibongkar. Mereka kumpulkan semua cerita, melengkapi diri dengan peta, membawa semua peralatan gali, mendirikan tenda-tenda, bermalam, sibuk dengan segala rencana. Langkah pertama, sesuai cerita, mereka akan mendatangi hutan yang masih jauh di ujung sana. Dan hutan bukanlah sesuatu yang ramah bagi mereka.
Dengan segala kekuatan, mereka bergerak maju, meninggalkan rumah-rumah penduduk. Bersepatu laras panjang, saling berhati-hati, memegang senapan, menebas rerumputan. Sempat nyamuk-nyamuk membuat mereka tak leluasa bertahan tapi mereka sudah sampai di sini, akhirnya semak belukar sudah habis mereka bakar. Asap membumbung tinggi. Ada sekelompok burung sedang mencari makan, terkejut lalu terbang kemudian disusul bunyi letusan senapan. Serangga demi serangga terkepung, api terus membakar, asapnya membubung tinggi, tak lagi bisa dikenali apa dan siapa yang terbakar, hanya menyisakan bau, asap-asap itu menggumpal jadi satu.
Orang-orang itu terus berjalan, usaha menemukan rahasia, mencari lubang air mata. Kadang di sisa pembakaran, mereka menginjak kodok yang separuh tubuhnya terbakar, tenggelam ke dalam genangan air. Mereka jumpai juga ular yang tubuhnya sudah hangus, terjepit di antara bebatuan. Selama dalam perjalanan, mereka terkejut ketika tikus-tikus keluar dari sarang. Mungkin sewaktu semak-semak dibakar, tikus-tikus itu kepanasan, merasa pengap dan menunggu kesempatan untuk keluar dari sarang. Akhirnya orang-orang bersenapan itu menembaki juga tikus-tikus yang berkeliaran. Sendainya ini perang, tikus-tikus itu sedang diserang. Para tikus tak ada pilihan lain, kecuali sembunyi karena untuk kembali ke sarang, mereka sudah tersesat. Bahkan sembunyi pun bukan jaminan, nyawa-nyawa tikus itu sedang menjadi permainan, hiburan ketika perjalanan.
Beberapa hari di pulau ini, peluang mendapatkan rahasia perempuan itu semakin besar. Jika menoleh ke belakang, yang tadinya semak belukar telah menjadi sebuah jalan yang memanjang. Semua peralatan gali sudah siap melewati jalan itu menuju hutan. Pagi-pagi usai sarapan roti, mereka siapkan alat pemotong pohon, serentak mereka tebangi pohon demi pohon agar mudah menemukan lubang-lubang penyimpanan air mata wanita itu. Lalu mereka kerahkan alat penggali tanah, membongkarnya, menembusnya lebih jauh ke dalam, mereka bayangkan berapa puluh tahun sudah rahasia itu tersimpan, maka gunung pun juga harus diledakan.
Perempuan itu pandai menyimpan rahasia, pastilah juga pandai menyimpan lubang air matanya. Mereka pasang bahan peledak di gunung-gunung, sambil menutup telinga mereka saksikan gunung-gunung itu terbongkar. Dari ujung ke ujung mata bisa saling memandang, sudah mereka bersihkan pulau itu dari hutan dan gunung-gunung, seakan-akan pulau itu telah mereka kepung. Dan penduduk menunggu cemas, sebenarnya apakah yang sedang dirahasiakan perempuan itu kepada mereka?
Akhirnya usaha orang-orang itu sedikit membuahkan jalan terang, mereka temukan sebuah lubang kecil yang begitu dalam. Hanya dengan sedikit ledakan dan kerukan, lubang itu sudah menjadi besar. Suara ledakan bagai jeritan dan lolongan yang menyakitkan. Lalu di antara bebatuan, ada yang berkilat saat pertama kalinya terkena sinar matahari. Orang-orang terkejut dan segera mengambilnya. Mereka yakin itu adalah air mata yang telah menjadi beku lalu membatu, seperti cerita orang-orang mengenai perempuan itu, air matanya akan menjadi batu. Mereka temukan batu itu sebesar ibu jari kaki. Mereka tak hanya menyimpan batu itu tapi juga mengambil tanah untuk dianalisa, sebuah usaha membongkar rahasia. Dan mereka sudah menemukan sebuah air mata yang telah beku dan membiru.
Bersama-sama mereka pandangi air mata itu, tersembunyi rasa kecewa di hati mereka, kenapa tak membuat alat yang sanggup membaca peristiwa air mata. Bisa mengungkap tanggal dan waktu serta alasan, kenapa perempuan itu harus menangis. Dengan alat semacam itu, mudah bagi mereka untuk menemukan letak air mata lainnya dan semakin mudah menemukan rahasia yang tertanam di dalamnya.
Mereka berjanji ketika pulang nanti akan membuat semua peralatan itu dan membawanya ke pulau ini. Tapi sebelum itu mereka akan terus bergerak maju, sampai semua bahan peledak habis, sampai semua peralatan tak lagi mampu, akan mereka kerahkan untuk mencari lubang air mata yang lain dan akan kembali nanti untuk menemukan sisanya.
***
Begitulah lanjutan cerita tentang orang-orang yang terus mengejar rahasia air mata perempuan itu. Bulan demi bulan, tahun demi tahun, mereka terus berusaha membongkarnya, seakan-akan dunia sudah tidak lagi butuh rahasia. Namun karena perempuan itu pandai berahasia, segala yang disembunyikan perempuan itu tetap terjaga. Tapi penduduk kampung tidak menduganya, mereka justru girang, air mata perempuan itu telah ditemukan dan benar-benar menjadi batu. Bukankah para pemuda dulu pernah mengatakan, di mata perempuan itu telah bersimpan seekor naga? Lewat kesaktian naga itu, air matanya bisa berubah menjadi batu, meski perempuan itu pernah menyangkalnya di dalam hati, seekor semut pun tak bisa membuat sarang di matanya, bagaimana mungkin seekor naga bisa melakukannya.
Kilau air mata yang berubah menjadi batu telah membuat iri kepada hati siapa saja yang melihatnya. Jika bening, air mata itu lebih bening ketimbang kaca, jika biru maka lebih biru ketimbang air lautan di samudera. Dalam hati kenapa mereka tidak ikut menggali saja, jika tahu air mata itu beku menjadi batu yang teramat indah, laku mahal, tentunya mereka akan menggali sejak dulu sebelum orang-orang mendahuluinya. Diam-diam orang kampung pun juga ikut menggali, menyebar sendiri-sendiri. Perlu juga kamu ketahui, aku ini adalah seorang anak dari perempuan itu. Di sini aku menanggung cemas, jika mereka kemari maka tak lagi ada hutan untuk bisa kudiami, lalu kemana aku pergi?
***
Maaf, Bu. Aku seorang anak yang tak pandai menjaga rahasia karena aku sedang bingung, ingin menjauh tapi tak punya daya, ingin lari tapi tak bisa lari. Bagaimana jika kelak orang-orang itu juga sampai kemari, meledakan semua gunung, meratakan tanah di hutan-hutan perawan hanya untuk menemukan semua air mata ibu dan akhirnya juga menemukan aku?
Ibu…, aku lihat air lautan sedang meluap-luap, apakah air itu akan datang kemari untuk melindungi sisa air mata milik Ibu?” Kini aku menjadi takut, kesepian, karena aku merasakan getaran telapak kaki yang semakin dekat. Ibu…, biarlah aku sedikit bercerita tentangmu, karena dengan begini aku sedikit bisa merasa lapang.
Ibu…, aku terluka jika mengingat semua tentangmu. Bukankah ibu juga terluka lalu menanamkan semua luka di dalam lubang. Dan akulah itu yang juga terluka di rahim ibu. Banyak luka yang ibu tanam, tapi kenapa aku ditinggal sendirian, tidak menanamkannya di lubang. Bukankah aku juga segumpal darah yang melukai rahimmu. Kenapa, Bu? Apakah ibu ingin agar aku mengatakan kepada setiap orang bahwa masih ada luka yang bisa dipinang?
Sekarang, aku sangat takut, suara ledakan tidak pernah berhenti, setiap hari terdengar suara-suara pohon tumbang. Air sungai yang biasanya kugunakan untuk mandi menjadi keruh. Tempat persembunyianku kini menjadi sesak, banyak burung, ular, kodok, kupu-kupu, dari tempat lain saling ikut bersembunyi di sini. Mereka takut tertembak, takut dibakar, juga takut terkena ledakan. Yang bisa kulakukan sekarang ini hanya bermain dengan sepi.
Ibu, kini aku sedang membuat lubang kematianku sendiri, seperti caramu membunuh diri. tapi sebelum semuanya terjadi, aku akan menghabiskan semua air mataku dulu kemudian menyimpannya ke setiap lubang. Jika air mata ibu bisa menjadi batu, kelak aku ingin air mataku menjadi pohon saja, tumbuh di sela-sela air matamu, dan selalu tumbuh menjaga semua rahasia di hatimu. Percayalah, rahasia ini tetap akan menjadi rahasia sedih tak bersebab. Karena mereka tidak akan pernah tahu, setiap air matamu adalah rahasia yang menyedihkan. Sama dengan hutan-hutan ini, setiap mereka memotongnya, menggali tanah, meledakan gunung-gunung, tak ubahnya puluhan alat kelamin yang menusuk batas rahimmu. Lalu setelah puas menertawakan, mereka pergi sambil menyebutmu si Jalang. ***

Banjarbaru, Februari 2006.

Keterangan : Cerpen di atas menjadi pemenang pertama sayembara cerpen se-Kalsel dalam acara Aruh Sastra ke 3 di Kotabaru.

Sumber:
Hidayat, Micky (Ed). 2006. Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab: Antologi Sastra Pemenang Lomba Penulisan Puisi dan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan III Tahun 2006. Kotabaru: Pemerintah Kabupaten Kotabaru
Putra, Harie Insani dan Firly, Sandi. 2008. Perempuan yang Memburu Hujan. Banjarmasin: Tahura Media
Putra, Harie Insani. 2016. Jempol Kaki Ibu Ada di Televisi. Yogyakarta: Writing Revolution
https://hariesaja.wordpress.com/2007/10/19/rahasia-sedih-tak-bersebab/

0 komentar: