Cerpen Hajriansyah: Suatu Hari Menari
Melihat gadis-gadis itu menari, memandang kecantikan paras muda mereka yang besinaran membuatku seperti menari dalam imaji yang keputihan. Suara musik yang menyayat-nyayat dan suara penyanyinya yang terseok-seok ditingkahi keriangan yang meriah.Yulalin..yulan-yulalin.
Mereka menari sembari tertawa.
Goyangan badan mereka, alunan tangan gemulai, dan gerakan kaki ritmis seperti membawa angin yang menepuk-nepuk pundakku.
Dari cermin depan wajahku kupandang mereka lewat belakang pundakku. Ruangan yang penuh cermin ini mencembungkan gerak mereka. Udara yang berputar di atas mereka memenuhi ruangan, bahkan asap rokokku turut berputar-putar. Terbayang dalam imajiku putaran para darvisi pengikut Rumi; memuncak..terus memuncak.
Degedang, degeduk
Degedang, degeduk
Duk..duk..duk…
Duk..duk..duk..duk.
(suara musik terus memuncak)
***
Aku seperti terbawa irama magis yang memenuhi diriku. Di dalam, tubuhku berputar-putar, terus berputar membawaku ke sudut-sudut ruang permenungan diri: Lagu ini, irama yang menggumpal ini, sampai di mana aku hanyut dibawanya?
Tiba-tiba sebuah tepukan membangunkan kesadaranku.
“Ngapain?”
“Ah, tidak!”
“Sepertinya asyik sendiri, lagi ngapain?” Tanya Edi yang tiba-tiba saja ada di belakangku.
“Oh, ini. Rumi sedang mengajariku menari.”
“Menari apa, ikutan dong?”
“Ayo! Pejamkan mata, dan biarkan irama yang mengalun di udara, yang diputar-putarkan angin di atas sana menarik tubuh kita. Tubuh imaji yang ada di dalam kesadaran kita. Ayo menari! Ayo menari! Angkat tangan dan kaki kita, biarkan perasaan kita dibawanya terbang, terbang melintasi tubuh wadag kita. Ayo menari, ayo!”
“Apanya yang menari, apanya yang terbang? Ah, kau ini!”
Tubuhku terus memuncak. Aku tak tahu sedang berada di mana. Ruangan ini begini luas, begini putih. Di depanku sesosok putih sedang menari—berputar-putar. Tangan kanannya menunjuk ke atas, tangan kirinya menusuk ke bawah; ia menari seolah udara, debu, perasaanku, dan semua yang di sekitarnya memutar bersamanya. Seolah ia magnet yang menarik segalanya, menjadi satu dengan dirinya. Dialah matahari. Dialah pusat semesta, dan aku adalah debu yang menempel di tubuhnya.
Aku hanyut seperti segerombolan ilung dibawa arus sungai. Aku tak dapat menyela, aku sepenuhnya dikuasainya, dan terus menuju muara.
Aku terombang-ambing di keluasan laut yang sepenuhnya putih. “Entah laut apa ini? Mengapa didominasi putih? Mengapa tidak biru?”
Sesayupan angin kudengar gemeritik hujan. Tik..tik..tik.., dan kemudian menderas. Aroma hujan mengental, tetapi di ruang tempatku berada ini tidak basah, padahal tidak ada atap di sini. Ruang ini tidak seperti ruang pada sebuah rumah, ia begitu luas, dan aku tidak melihat dinding pembatasnya.
“Tapi, dari mana bunyi hujan itu berasal?” Sejauh mata memandang tak ada dinding, pun tak ada air menetes, apalagi menitik deras. Tak ada basah di sini.
***
Aku tersadar sebentar, gara-garanya kudengar suara Sakura, anakku, di belakangku.
“Hoy, Yah. Ayah!”
“Hey ngapain di sini, mana mama?”
“Tuh!” Ia menunjuk ke belakangku, di sebelah kanan. Kulihat isteriku tersenyum, ia sedang berbincang dengan Edi, tangannya melambai—seperti mengajakku pulang. Tapi pulang ke mana, bukankah dari tadi aku di sini saja.
Aku tersenyum sebentar padanya, selanjutnya mataku kembali gelap sebentar, dan kemudian cahaya terang itu datang lagi. Lagi-lagi putih, seputih kapas.
“Apa yang kau cari di sini, anak muda?”
“Aku tidak sedang mencari apa-apa, aku terbawa ke sini, entah oleh apa, dan tubuhku menari tanpa kuingini, mengikut gerakmu.”
“Hmm..” Ia tersenyum dalam sebijak-bijak raut muka. “Kalau begitu, ayo menari!” ajaknya lagi—kali ini dengan seijinnya.
Kami menari dalam satu irama, seperti pohon dengan rantingnya, seperti ranting dengan daunnya, bergerak ke arah angin menghembusi kami. Tubuhku, pikiranku, perasaanku, sampai ke ujung jari-jariku bergerak—berputar. Pelan, kemudian cepat, cepat, dan terus memutar seperti gasing yang terlontarkan begitu saja.
Seandainya pohon bisa berlari ataupun
terbang
ia tak akan merasakan pedihnya gerigi
gergaji maupun ayunan kapak
Jika matahari tak dapat melintasi langit
dunia tak akan pernah melihat warna pagi
Jika air tidak menguap dari laut
tetumbuhan tak akan tumbuh besar diairi
sungai maupun rinai hujan
Hanya saat setitik air menguap
meninggalkan lautan—dan kembali—
ia kan dapat menemukan kerang dan
menjadi mutiara
***
Hatiku telah terisi oleh jutaan ketakjuban
Memandanginya
membuatku kehilangan akal hingga aku
benar-benar gila
***
Kita tidak berjalan di muka, kita ada di
baris belakang
Kita tidak melayang di atas, kita tenggelam
di bawah …
Seperti kuas di tangan pelukis
kita tak tahu di mana kita berada kini1
***
Makan waktu kurang lebih dua jam, ketika kuhitung kemudian, sampai akhirnya kami berhenti berputar.
“Ini sudah cukup untuk orang baru, sepertimu.”
“Biasanya sampai berapa lama, wahai Mula?”
“Kalau kau sudah terbiasa, dan sudah menjadi kebutuhanmu, ini bisa dilakukan sampai kau benar-benar ingin berhenti. Sampai kau hanya mengingininya berhenti, dan itu bisa satu jam, atau berjam-jam—bahkan bisa berhari-hari.”
“Bisa sedemikian?”
“Mengapa tidak. Kalau kau mengingini sesuatu, bukankah akan kau kejar sampai engkau mendapatkannya, tak peduli berapa lama waktu yang kau habiskan untuk itu, bukan? Coba kau lihat dua orang remaja yang duduk di bangku taman itu!”
Tiba-tiba terhampar sebuah pemandangan di hadapan kami. Sebuah taman, dengan lampu berdekor di sana-sini, ada juga pohon-pohon di sudut-sudutnya, dan sebuah pohon besar sebagai pusat, di tengah taman. Ada bangku-bangku taman yang sederhana, kuhitung ada empat bangku taman di area yang tidak begitu luas itu—kurang lebih 750 meter persegi; rumput-rumput halus yang terawat baik hasil karya seorang tukang kebun (taman) yang tekun dan telaten, tampaknya. Di tengah taman, di bangku di bawah pohon besar, duduk sepasang muda-mudi dalam kerindangan dan hembus angin yang melankolis.
“Tahukah kau, bahwa si lelaki sudah menunggu. Menunggu begitu lama sampai si gadis mengiyakan cintanya. Tahukah kau berapa lama ia menunggu?”
“Engkau lebih tahu, Mula.”
“Ha..haha.., mengapa tidak kau tebak saja, agar pembicaraan kita lebih hidup?”
“Aku takut salah.”
“Tak ada yang sepenuhnya salah dalam hidup ini, anakku. Setiap hal yang coba kau pertaruhkan dalam hidup ini akan semakin mendekatkanmu pada kebenaran, dan setiap pernyataan yang salah dapat diralat kemudian. Cobalah!”
“Mungkin, si lelaki telah menunggu selama empat tahun?” Aku mencoba.
“Bagus! Tapi, mengapa empat tahun, mengapa tidak dua, enam, atau sepuluh tahun?”
“Ah, itu hanya dugaan saja. Aku menunggu sampai kekasihku menjadi istriku selama empat tahun—ya, aku menduga berdasarkan pengalaman pribadi. Apa itu salah?”
“Ha..haha.., sekali lagi tak ada yang salah. Lihatlah!” Sekali lagi ia menunjuk ke depan, dan terhampar sebuah romansa. Seorang lelaki terpikat pada seorang gadis yang manis. Ia memendam cintanya di dalam hati, kemudian perlahan dan pasti, ia mendekat dan terus mendekat kepadanya, sampai mereka terbiasa berjalan bersama. Ada romantika di sana, kadang terjadi pertengkaran, kemudian pertautan yang semakin dalam; berselisih paham, bertukar kebahagiaan. Ya, kurang lebih empat tahun yang berselang sampai si gadis memahami cinta si lelaki—dan si lelaki begitu mirip denganku, juga si perempuan yang mirip istriku. Seperti kami di masa muda.
“Alangkah gaibnya!”
Seketika aku berucap demikian, tiba-tiba gelap. Dan sesayupan angin, kudengar suara babun, kenong, dan gung berirama perlahan merasuk ke ruang kesadaranku. Pandanganku pun perlahan pulih kembali. Di depan cermin, kupandang lewat bahuku gadis-gadis muda menari riang. Ruangan yang didominasi putih dan dikelilingi cermin di seputarnya mengesankan keluasan, meski sebenarnya tidak demikian kenyataannya; pada kenyataannya ruang ini hanya seluas 70 meter persegi—tidak begitu luas benar.
Tiba-tiba anakku memelukku dari belakang. “Sakura senang di sini, Yah ai.”
“Oala..! Aku tadi ke mana?” sahutku, seperti berbicara kepada diri sendiri.
“Ada apa, Yah?” Istriku menghampiriku. Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, dan gerakannya pun demikian anggun.
“Tak apa-apa, ayo pulang!”
Hari senja, dan gadis-gadis di dalam ruangan itu sudah mengakhiri latihan menarinya, dan masing-masing bergegas pulang. Tampak langit mendung, senja ini begitu muram.
“Sepertinya akan hujan sebentar lagi.. Ayo!”
***
Malam.
Hujan begitu lebat mengguyur kota. Atap-atap metal zinc yang merata di hampir seluruh kota memperjelas bunyi hujan yang deras. Sungai-sungai meluap ke jalan sebatas mata kaki, dan sebagian orang yang masih tertinggal di jalan bergegas ingin pulang.
Di sebuah mimpi, di sebuah rumah di pinggir kota seorang lelaki hanyut di putaran arus deras yang menariknya. Ia menari, berputar begitu masyuknya. Ia menari sendiri dan hujan yang deras, setiap tetes airnya, memutarinya.
Banjarmasin, 12 Maret 2008
1. Rumi; Jalan Menuju Cinta
Sumber:
Hajriansyah. 2009. Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami. Bantul: Frame Publishing
https://hajriansyah.wordpress.com/2009/01/13/suatu-hari-menari/
0 komentar: