Cerpen Hajriansyah: Seseorang Pergi Jauh

02.26 Zian 0 Comments

Seseorang pergi jauh, melampaui kecemasannya akan waktu. Ia yang selama ini lebih dikenal sebagai Udin yang pegawai rendahan biasa pada sebuah perusahaan ekspor-impor di Kalimantan, telah mengakhiri masa-masa kebimbangannya akan bagaimana masa depannya kelak.
Udin memang sudah berkeluarga, dan ia telah memiliki dua orang permata hatinya; seorang putri yang manis seumur sebelas tahun, dan seorang putra yang sedang lincah-lincahnya—berumur lima tahun. Dan keluarganya baik-baik saja sejauh ini, tak ada masalah yang berarti yang membuatnya harus makan hati. Istrinya seorang wanita yang setia dan penurut; anak-anaknya pun begitu, tak pernah benar-benar membantahnya. Rumah mereka sederhana, namun sangat layak untuk ditempati. Di rumah itu ada televisi 21 inc, sebuah kulkas satu pintu keluaran setahun yang lalu, dapur selengkapnya dengan sebuah kompor gas dan magic jar produksi Taiwan, dan lain-lain, yang tidak menampakkan satu kekurangan pun meski dibayar secara kredit dan dikumpulkan satu-satu.
Hampir tak ada satu kekurangan pun yang berarti. Semuanya telah tercukupi, meski seadanya—sesederhananya. Pekerjaan Udin juga tak ada yang bernilai minus, di mata bosnya ia standar saja. Gajinya meski selalu dipotong, untuk menutup barang-barang kreditan rumah tangganya, selalu dibayar tepat waktu setiap bulannya, dan itu masih cukup untuk keperluan harian keluarganya. Selengkapnya tak ada yang kurang pada diri Udin.

Akhir-akhir ini Udin sering bermimpi buruk. Semulanya ia mimpi bertemu dirinya yang lain, seseorang yang secara fisik memang dirinya, tapi berpikir terbalik darinya yang selalu berpikir secara sederhana—praktisnya saja. Sosok dirinya dalam mimpi ini, berbicara dalam bahasa, lewat kata-kata, yang tak begitu dimengertinya. Sekilas Udin paham perkataan dirinya yang bertolak belakang dalam mimpi, tapi ia tak paham benar apa dan ke mana arah pembicaraan—setiap kata-katanya—ditujukan.
“Hei aku, aku berpikir hidup ini tak lebih dari sepenggal mimpi, kita berdiri dan kemudian mati. Menjadi tua adalah keniscayaan; menjadi miskin adalah keniscayaan; menjadi kaya adalah keniscayaan; menjadi lebih terhormat adalah keniscayaan; dan menjadi segalanya adalah hak setiap manusia.”
“Ya.”
“Memimpikan dapat berjalan lurus adalah pikiran yang lurus. Berjalan sepenggal-sepenggal adalah kekurang pahaman kita akan keinginan, dan berjalan berbelok-belok adalah ciri kesesatan.”
“Ya.”
“Setiap langkah kakimu adalah langkah kakiku jua. Aku akan tersiksa jika Kau tak mengerti jalan hidupmu. Aku menjadi tak berarti jika diriku yang hidup di alam fana tak punya tuju yang mendekatkan kita—tuju kepadaku.”
“Maksudmu?”
“Kau adalah aku, dan aku ialah juga engkau. Aku bisa berlari, tapi aku tak bisa menunggumu terus-menerus.”
“Maksudmu?”
“Aku, kulihat dirimu hidup dalam kegalauan yang tak kau sadari. Aku yang tersiksa selama ini, dan kuharap engkau mau bertukar rasa hidup denganku.”
“Maksudmu lagi?”
“Gelisahlah, agar aku tenang!”
“Apa yang harus kupikirkan, apa yang musti membuatku gelisah; bagaimana cara agar gelisah, dan untuk apa aku gelisah?”
“Agar aku tenang.”
Seharian Udin bingung dengan mimpinya, apalagi mimpi itu kemudian datang terus setiap malam, di setiap tidurnya. Udin, bahkan, pernah berusaha menahan sedemikian rupa keinginannya untuk tidur, agar ia tak memimpikan mimpi yang sama seperti malam sebelumnya, tapi tetap ia tak dapat menahan rasa lelah yang menggelayutkan kantuk di matanya. Dalam ketertiduran yang sesaat itu pun mimpi itu datang dalam wujud yang sama.
Udin akhirnya memilih untuk menuntaskan kebingungan, rasa lelah beserta kantuk, dan ia memilih untuk cemas.
Suatu malam yang sepi, saat istri dan anak-anaknya tertidur lelap di malam yang tak berbintang, Udin melangkahkan kakinya keluar rumah. Ia tak pasti akan ke mana, ia hanya berharap dapat gelisah. Dan akan dimulainya kegelisahan itu dengan berjalan, keluar dari kemapanan rumahnya yang sederhana.
Di sebuah persimpangan depan gang rumahnya, ia berpapasan dengan peronda jaga malam; pak Agus.
Ia menyapanya dengan ramah. “Malam pak Agus, aman pak ya?”
“Malam pak; dan aman. Mau ke mana, pak, malam-malam begini?
“Mau jalan-jalan saja, putar-putar di sini saja. Saya tak bisa tidur, pak.”
“Oya, silakan kalau begitu.”
Fajar menjelang di langit gelap, segoresan ungu membentang sepanjang cakrawala yang jauh. Seseorang yang berjalan dengan kecemasan yang tak jelas masih berjalan dengan sisa kantuk yang ditahan di kepala. Ia berhenti di sebuah dermaga sungai yang masih sepi; inginnya Udin merebahkan badannya, meski sesaat di dermaga itu. Sebelumnya dipandangnya sungai dan jejeran klotok yang diparkir di sisi dermaga kayu, kemudian ia melirik ke sebuah lapak yang kosong di sudut kiri. Ia menuju ke situ. Lapak itu cukup bersih untuk ditiduri. Rasa lelah menidurkannya.
“Hei aku, bagaimana rasanya berjalan tak tahu arah, akan membawamu ke tempat-tempat yang tak pernah ada di benakmu. Hal yang demikian akan mengajarimu tentang kehidupan yang luas—yang beragam. Engkau akan menjadi bijakasana, percayalah. Berbahagialah! Dan biar kecemasan mengantarmu kepada ketinggian..”
“Ketinggian apa? Ketinggian yang bagaimana?”
“Ketinggian; tempatmu memandang lebih sempurna apa saja, segala yang dapat kau pandang. Lebih sempurna.”
“Untuk apa?”
“Untuk membahagiakanmu, suatu saat nanti.”
“Oya?”
“Ya!”
Udin tersentak. Seseorang menepuk pundaknya di sebelah kiri.
“Hei, bangun! Siapa kamu? Kenapa tidur di sini?”
“Oh, maaf..saya kelelahan, numpang tidur di sini
“Siapa kamu?”
“Saya Udin..saya akan pergi dari sini. Terima kasih untuk tempatnya.”
Hari telah terang rupanya. Mentari sudah menyinari sungai sedemikian rupa, sehingga jejak-jejak perahu dan klotok yang bersliweran tampak keperakan di antara keruh coklat sungai Barito. Di timur, Pulau Kembang seperti raksasa hijau yang tiduran di atas sungai; mengelilinginya, kapal-kapal baja dari luar Kalimantan beserta tongkang-tongkang pengangkut batu bara, menuju Laut Jawa.
Udin membersihkan muka di sungai. Menyegarkan.
Udin berjalan lagi, kali ini menuju warung—salah satu lapak dari jejeran lapak yang tadi ia tiduri. Sebelumnya ia merogoh isi sakunya, tangannya menggamit dua lembar uang ribuan dan satu lembar lima ribuan. Sepertinya hanya ini yang ada, dompetku lupa kubawa, pikirnya. Tapi tak apa, cukuplah ini.
Uang tujuh ribu yang ada itu ternyata pas-pasan untuk mengganjal perutnya pagi itu, selebihnya ia akan menyandarkan hidup pada belas kasihan orang lain.

***

Waktu telah berlalu sembilan tahun.
Penampilan si lelaki dengan kegelisahan yang mendorongnya untuk berjalan telah benar-benar seperti orang gila. Orang-orang yang memandangnya telah memastikan di kepala mereka, ia gila.
Tampang laki-laki itu benar-benar kusut masai. Mukanya sudah hampir tak jelas rupanya—lebih menandakan kegilaan. Rambutnya seperti gimbalan yang tak dikerjakan dengan benar, seakan dikerjakan setengah hati. Dan pakaiannya compang-camping— sobek di sana-sini. Air mukanya dingin, sedingin cuaca yang tak bersahabat, sekaligus memelas. Begitu mengasihankan.
Sejauh waktu yang berjalan, di setiap malam dan tidur yang sebentar si lelaki kusut masai selalu memimpikan dua dirinya yang saling berbincang. Awal-awalnya lebih seperti monolog dengan seorang pendengar setia, yang hanya bisa berkata ‘ya’ atau ‘iyakah’ dan ‘bagaimana’, atau kata-kata serupa itu. Kemudian, makin berganti bulan dan tahun, mulai terjalin dialog. Perbincangan; mereka mulai berbincang dan bertukar kata dan kalimat. Kegelisahan lelaki itu mulai mencair, ia mulai mengerti arah ke mana tuju hidup sebenarnya. Ia mulai memahami hidupnya; kehidupan. Ia melihat hidup seperti lemparan bola ping-pong, bergerak ke sana-sini dipermainkan orang. Kemudian ia melihat hidup seperti jarum jam, bergerak menuju waktu tertentu. Kemudian lagi, ia memandang hidup sebagai prestise yang harus dipertahankan, karena begitu tidak mudahnya mendapatkan penghargaan orang lain. Ia melihat orang-orang berjalan lebih tak jelas tujuannya, ketimbang dirinya; mereka mengejar sesuatu yang sama tak berartinya dengan bajunya—dirinya—yang telah berantakan.
Rupa-rupa silih berganti di hadapannya. Semuanya bagai awan yang dihembuskan angin; bagai air yang mengalir selalu mencari celah sesempit apapun bagi dirinya. Semuanya tak kalah menariknya ketimbang elang yang bermanuver sedemikian rupa untuk pada akhirnya menerkam mangsanya. Juga tak kalah indahnya ketimbang semut yang beriringan menggendong sisa-sisa makanan. Juga tak kalah indahnya seperti serat-serat benang yang menjalin warna orange pada tepi kain jeans yang lentur pada betis seorang ibu muda.
Semua tentang hidup telah menjadi sedemikian jelas bagi si lelaki kusut masai itu. Ia memahami kehidupan sedetailnya, dan cukuplah itu menjadi perbincangan yang hidup antara dirinya dan dirinya yang lain. Kadang saat malam, ia terlihat berbicara sendiri; di emper toko, di pinggiran bak sampah, atau di tepi jalan bersandar pada tiang traffic-light yang kuning.
“Aku-ku, kini kulihat hidup lebih berwarna, jalan-jalan lebih indah, rumah-rumah lebih beragam pada ornamennya, dan hidupku begitu naifnya sejauh ini—sejauh puluhan tahun yang monoton sebelum ini. Ingatanku jadi lebih segar, tentang hari-hari yang berlalu sepanjang hidupku. Kakekku, ayahku, ibuku, istriku dan anak-anakku yang telah hilang dari sisiku—seakan mereka hadir di dalam ingatanku yang sempit ini.”
“Ya, sejauh ini, aku pun jadi lebih tenang, tak lagi mencemaskanmu. Yang kau pandang dan yang kau rasakan menghidupiku—benar-benar menghidupiku. Semua yang pernah tenggelam dalam ingatanku menjadi hidup yang sebenarnya; yang kupahami dan yang kupikirkan telah kujalani bersamamu. Aku hidup, bersamamu.”
“Ya, akupun begitu. Merasakan hidup benar-benar hidup. Meminum air secukup rasa hausku, mengganjal perut secukup rasa kenyangku, memahami hidup sejauh perjalanan yang kujalani sendiri. Semua telah mencukupiku, memuaskanku. Rasanya tiba saatnya untuk pulang ke keluargaku, menjalani sisa hidupku bersama mereka, sukur-sukur dapat membahagiakan—menggantikan segala kekosongan yang kuberikan pada mereka.”
“Apakah masih perlu, lagi, yang demikian?”
“Ya, aku ingin berbagi bersama mereka, tanpa mengosongkan apa yang sudah ada padaku.”
“Baiklah, akupun ingin berkumpul bersama ‘keluarga’ku.”
Di depan gang rumahnya yang dulu Udin kebingungan. Sembilan tahun rupanya banyak mengubah suasana dan tempat; dan jalan yang dulunya sempit kini telah begitu lebar, sungai kecil yang dulu sampai di belakang rumahnya kini telah menjadi got selebar satu meter saja.
Dalam perjalanannya yang sembilan tahun berlalu si lelaki, Udin, berjalan sangat jauh. Ia tak hanya menyeberangi sungai-sungai saja, ia bahkan telah menyeberangi lautan, bahkan beberapa lautan, dengan menumpang secara gelandangan pada kapal-kapal barang antar pulau di nusantara. Sehingga sampai saat ia harus kembali, banyak hal telah berubah pada tempat yang pernah ditinggalkannya.
Malam itu, saat sepi, ia memberanikan diri mengetuk pintu yang telah ditutupnya sembilan tahun lalu tanpa pamit. Diketuknya perlahan dengan sedikit ragu, kemudian agak keras sedikit—karena ketukan pertama tak menimbulkan efek apa-apa—dan lebih keras selanjutnya, sampai terdengar suara langkah kaki di dalam.
Pintu berderit terbuka, maklum rumah itu agak tua, dan tangan seseorang, kemudian wajah seseorang nampak di belakang pintu. Seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya agak terperanjat. Udin pun terpaku, wajah itu adalah wajahnya, hanya saja lebih bersih dan terawat. Di belakangnya ada wanita setengah baya, kecantikannya tak banyak berubah seperti sembilan tahun yang lalu, hanya lebih tua. Ia pun terperanjat. Di ujung ruangan, baru keluar dari kamar, dua orang remaja—laki dan perempuan—bingung menatap wajah kusut di depan pintu, mirip ayah mereka.
“Siapa kamu?”
Oh..siapa aku???

26 Maret 2008

Sumber:
Hajriansyah. 2009. Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami. Bantul: Frame Publishing
https://hajriansyah.wordpress.com/2008/04/10/seseorang-pergi-jauh/

0 komentar: