Cerpen Hajriansyah: Engkau Tak Peduli Lagi

02.13 Zian 0 Comments

Engkau ingin insaf dari kebodohan selama ini. Dan engkau mengungkapkannya padaku dengan mata yang nampak menertawakan diri sendiri.
Aku bertanya padamu, “Insaf bagaimana? Insaf dari apa? Memang sekarang belum insaf, ya?”
Kau hanya tersenyum. Aku sedikit bingung, tapi kubiarkan saja.
“Kamu baik.” Katamu padaku. Dan tentu saja aku makin ingin bertanya.
“Baik bagaimana?”
“Ya, baiklah!”
Entahlah!
Sebenarnya aku sudah pernah menyaksikan—atau mendengarkan—yang seperti ini, tapi engkau, yang sekarang berada di depanku ini, lebih ceria dan punya hidup, meski aku sendiri tak begitu mengerti apa itu hidup, tapi aku merasa kau punya hidup—dan itulah yang membuatku ingin hidup bersamamu, jika kau mau.

Seperti dua hari itu, kau menemaniku untuk keperluanku yang tak ada hubungannya dengan keperluanmu. Ya, agak klise memang jika kita bayangkan orang yang kasmaran. Ah, aku memang kasmaran. Kau rela istirahat dari kerjamu sementara waktu. Kulihat wajahmu yang sesekali kesal, sesekali tersenyum, sesekali menawariku pilihan-pilihan, dan yang nyata membantuku meski sekejap saja dalam dua hari yang indah itu.
Ah, keindahan itu datang lagi dengan wajah yang nampak sia-sia padaku. Aku ingin menafikannya, tapi aku benar-benar tak dapat menolak kebaikan orang, apalagi yang sepertimu. Yang seceria kamu.
Kita berjalan-jalan di tengah hiruk-pikuk orang-orang di lorong tua yang penuh belanjaan itu. Di sisi kita—kanan-kiri—begitu banyak barang yang dapat dijadikan oleh-oleh untuk orang-orang di kotaku. Kau bertahan sebentar jika melihat barang yang menurutmu bagus untuk dijadikan oleh-oleh, dan menawarnya untuk kubeli. Ya..ya, memang aku yang mengeluarkan uang kemudian, tapi itu tak mengurangi kebaikanmu padaku—di mataku. Dan terus saja kau begitu, dengan senyum dan keriangan yang tampak naif di mataku.
Keriangan, sesuatu yang seringkali menggodaku. Menarikku untuk mendekat dan bersahabat. Setiap mengenali sebuah keriangan pada wajah orang lain, aku teringat masa kanak-kanak yang indah. Saat jiwa seseorang berada di puncak kegairahannya, meski sesaat, dan semua permasalahan hidup yang ruwet menjadi cair di saat itu. Tak peduli hidup begitu susahnya, jika memandang keriangan pada wajah manusia aku menjadi terharu; ada juga hidup yang seindah itu, pikirku.

***

“Aku ingin hidupku menjadi lebih baik!” katamu padaku, membuyarkan lamunanku pada anak-istri di rumah.
“Lebih baik bagaimana? Apa sekarang kurang baik?”
“Ya jelas nggaklah,” balasmu.
“Kalau tidak baik, mengapa kau jalani, dan mengapa engkau begitu riang?”
“Memangnya tidak boleh riang, meski hidup yang kita jalani salah.”
“Tidak. Aku hanya heran saja, kok bisa orang tidak senang dengan yang dijalaninya sekaligus ia masih bisa riang dan ceria.”
“Entahlah!” jawabmu.
Di ranjang putih yang bersih di kamar itu kita saling bercerita, sambil sesekali memandang ke cermin. Saling memandang. Aku bergumul selimut, menahan dinginnya ruang ber-ac. Kau duduk, merapikan rambut dan dandananmu, sambil sesekali mengerling dengan senyum-keriangan, sesekali membalikkan badan dan berceloteh riang.
“Temanku menawariku usaha..”
“Usaha apa?” kupotong dengan tak sabar.
“Usaha yang halal-lah!”
“Iya, usaha apa? Aku kan tak bertanya halal-haramnya, lagian aku bukan ketua MUI, kan.” Kataku setengah bercanda-setengah serius.
“He..he.. Ii-yaa! Usaha konveksi..”
Sesayupan petikan syair lagu ‘Sandaran Hati’ dari Letto, mengalun dari hape-mu. Lagu yang umum dan popular di kalangan remaja saat ini.
“Sebentar, temanku telpon..” kau menahan telponmu, berbicara padaku, kemudian melangkah ke pojok pintu. “Ya, ya, mbak.. aku sedang ada tamu, nanti tak telpon lagi. Ya, ya..”
Tit! Bunyi hape dimatikan.
“Temanku, Mbak Yuni, yang nawarin usaha itu, lo. Kebetulan! Padahal aku baru cerita ke kamu.”
Kepalamu bergoyang-goyang seperti diterbangkan angin segar yang mengalir dari kotak elektronik di atas kaca jendela itu. Lucu!

***

Ya, memang lucu. Padahal sepertinya baru saja aku berkomitmen, aku tak akan berselingkuh. Aku teramat menyayangi isteriku. Ia begitu baik, begitu setia menemaniku. Dan rasanya seperti baru saja aku berjanji di dalam hatiku, takkan mengkhianati isteriku. Sesekali jajan tak apalah, tapi itu bumbu saja, takkan menyeretku ke percintaan yang lebih serius. Seperti dengan isteriku.
Sampai kau datang padaku—atau aku yang datang padamu—di suatu hari di sebuah kamar yang jauh dari isteriku. Kau lucu!
Betapa tak mudah menemukan seseorang yang seirama dengan diri sendiri. Menjalin komunikasi yang mudah dan indah. Diselingi percumbuan yang indah. Di sebuah kamar yang indah. Yang kita betah. Berlama-lama berdiam di sebuah kamar bukan kebiasaanku, dan kau membuatnya jadi mudah bagiku. Jadi betah.
Lalu kita terus menjalin komunikasi. Terus terbawa angin ke tempat yang jauh. Menelpon, ditelpon. Sms berbalas sms. Semuanya indah, meski aku tak menafikan isteriku yang mula-mula abai lalu curiga. Kukatakan pada isteriku, aku mencintaimu, semuanya tak akan mengubah kata itu meski aku mulai mencintai orang lain selain dirimu. Isteriku cemburu.
Isteriku menelponmu. Ia wanita yang tegar. Ia menelpon dengan tabah dan bertanya padamu, apakah kau mencintai suamiku? Kau bingung menjawabnya, dan memutuskan untuk tak lagi menghubungiku.
Lalu aku menelponmu lagi, mencoba meyakinkanmu akan janjiku. Tapi kau tak ingin lagi berharap. Tapi kita tetap menjalin kata, bukan? Aku mencoba berharap. Kita pun berhubungan lagi. Saling meng-sms-i. Sampai kau tagih hutangku. Sejumlah uang.
Ya, aku pernah berjanji mengirimimu uang, untuk bayar sesuatu keperluanmu. Tapi aku tak ingin kau mendustaiku, bukan sejumlah uang itu yang memberatkanku, sms-ku padamu. Kau marah dengan sms itu, seperti ada yang salah mengerti dengan pesan itu. Kau marah, aku tak mengerti, itu membuatku tersinggung. Aku tak lagi menghubungimu, engkau tak lagi menghubungiku. Sebulan pun berlalu. Waktu pun berlalu.

***

Aku lelah. Teramat lelah jika memikirkanmu. Aku ingin kita kembali bahagia; kau, aku dan isteriku. Aku tak dapat menahan perasaanku. Sudah kuusahakan, tapi tetap saja aku ingin menghubungimu. Aku tak bisa menunggu. Kau pun begitu. Terus bagaimana, ke mana arah kita berjalan.
Hubungan ini memang tak dapat berjalan dengan baik, meski aku menginginkannya. Kita begitu rapuh di awal. Aku banyak bertanya, kau tak suka. Kau, bagiku, sering berdusta. Dan kita melangkah terus ke kegelapan tak tentu arah.
Akhirnya kaupun memutuskan. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya ingin menunggu dan kini itu tak berarti lagi. Aku pun melangkah. Kuharap kau pun begitu. Sampai sms-mu mengejutkanku. Ternyata memang tak ada jalan bagi kita. Aku turut bahagia. Semoga engkau bahagia.

***

Kepalamu bergoyang. Lucu sekali.
Kita duduk seharian di kamar. Berbincang. Terkadang rebahan; kupeluk tubuhmu, kau peluk aku. Terkadang kita bercumbu, menghabiskan waktu.
Hape-mu berbunyi. Sebuah sms masuk, cepat kau buka. Aku melirik, cepat kau tutup.
“Kenapa?”
Gak papa, temanku.”
“Apa katanya?”
“Bukan sesuatu yang penting.”
“Kenapa cepat kau hapus.”
“Hapus apa?”
“Tadi, sebelum kau tutup.”
“Ah, Abang..” katamu manja. Aku hanya diam, cemberut. Kau tersenyum, mencoba menggoda. Aku hanya diam. Kau pun buka kata.
“Itu tadi temanku. Kata-katanya kasar, makanya kuhapus.”
“Kasar bagaimana? Kenapa?”
“Dia nagih hutang. Pakai nyebut bawok lagi.”
“Hutang apa?”
“Hutang kecil saja.”
“Berapa? Kau tidak bisa bayar? Tidak punya uang? Uangmu mana?”
“Banyak sekali tanya-nya..” engkau tersenyum. Kepalamu begoyang, lucu sekali. Aku tersenyum, tak jadi merajuk.
“Ya..siapa tahu bisa bantu.”
“Uangku ada di tabungan, aku gak mau ambil. Soalnya temanku kan pinjam uang ke aku, katanya mau bayar kemarin, tapi gak bayar-bayar. Padahal uang itu yang rencananya kubayarkan hutang, eh bukan, kredit tanah maksudku, yang ditagih tadi. Aku kesal sama temanku, janji bayar tidak ditepati..”

***

Ya, aku punya janji padamu. Ada hutang yang tak terbayar. Aku menjanjikan pernikahan padamu. Dan kini, bunyi sms-mu: kau akan menikah. Tapi tidak denganku. Aku turut bahagia. Tapi aku menyesal tak dapat memenuhi janjiku padamu. Aku punya hutang padamu.
Engkau sepertinya tak peduli lagi dengan janjiku. Hidupmu terus seperti itu, katamu, terus dibohongi lelaki. Padahal kamu cuma ingin bahagia. Ingin bersandar pada sesuatu. Dinikahi, alangkah bahagianya, katamu, melacur membuat jiwaku kering, dan pernikahan alangkah indahnya. Tapi ini sudah kesekian kalinya. Engkau tak peduli lagi.
Lalu siapa yang akan menikah denganmu. Jalan pernikahan ternyata tak mudah bagi kita. Dan kini, kau tak mau lagi membalas sms-ku, tak mau lagi mengangkat telponku. Engkau tak peduli lagi.***

Juni-Agustus 2008

Sumber:
Hajriansyah. 2009. Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami. Bantul: Frame Publishing
https://hajriansyah.wordpress.com/2009/02/07/engkau-tak-peduli-lagi/

0 komentar: