Cerpen Hajriansyah: Di Panggung Seniman Tua
Seorang seniman tua duduk di kursi sana. Di sebuah panggung. Matanya berlinangan. Ia memendam kebanggaan di basah kedua matanya. Panggung begitu mewah baginya malam ini. Sudah lama tak seperti ini, pikirnya, sejak pertama kali menaiki panggung semasih mudanya.
Malam itu banyak sekali pejabat yang datang, membawa puja-puji penuh keharuan. Orang datang begitu banyak, dan gedung kesenian itu bergemuruh. Bergemuruh sampai terang segala pendengarannya. Lampu-lampu bersinaran terang sekali, menyorot kedua matanya yang basah dan sembab.
Duduk di barisan kursi depan penonton, gubernur dan wakil gubernur bersama jajarannya, juga walikota dan beberapa pejabat lainnya. Di baris kedua ada orang-orang kaya, pengusaha, dan orang-orang terhormat lainnya. Di belakang mereka semua masyarakat dari berbagai kalangan; mahasiswa, pelajar, orang kampung, orang pinggiran dan seniman. Mereka begitu antusias semuanya, padahal tempat itu—hari itu—hanyalah tempat sederhana dengan fasilitas sederhana, terutama untuk para petinggi dan orang-orang kaya, yang memungkinkan mereka berkumpul jadi satu dalam irama yang kadang syahdu dan banyak kali penuh keriangan.
Tak ada yang seindah tempat itu, selama ini bagi seniman itu selama hidupnya. Ia membayangkan surga yang paling indah datang padanya di hari pertunjukan itu sebelumnya, dan kini ia telah bersaksi atas surga yang dijejakinya.
Seniman tua itu, sebut saja Abah Juli namanya, telah banyak kali memimpikan ada penghargaan yang sepadan dengan kerja para seniman, sampai pernah ia menangis sesenggukan sendiri di pojok gedung yang bernama Balairung Sari, suatu hari sehabis gladi kotor sebuah pertunjukan untuk lawatan keluar negeri. Ia akan mewakili daerah dan negerinya waktu itu bersama grup panting pimpinannya ke Malaysia, tapi sebagai duta negara yang akan mengharumkan nama daerah, mereka tak lebih dari penggembira dengan honor kecil yang akan menaikkan pamor si pejabat gila hormat yang hari itu datang sebentar dengan berkacak pinggang dan kemudian lewat tanpa menyapanya—hanya senyumnya saja ketika mereka bertemu pandang. Dan ia geram betul melihat Ipin yang seperti anjing bagi majikannya, dengan senyum berliur menjijikkan, menunjuk-nunjuk pemusik, alat musik dan lain-lain yang bertebaran acak di atas pangggung. Padahal tahu apa si Ipin pertunjukan itu, akulah—Abah Juli—konseptor dan penata keseluruhan persiapan keberangkatan duta wisata ini, umpatnya dalam hati. Ipin cuma datang beberapa kali, padahal ia ditugaskan sebagai penyedia seluruh keperluan keberangkatan ini, hanya pendamping saja, tapi lagaknya seperti ia saja komandan regu pasukan ini. Seperti ia saja jenderal yang paling berjasa. Puih!
Apakah kesenian ini? Serupa kembang-kembang yang menghiasi ruang resepsi perkawinan yang akan kering dan ditinggalkan tamu-tamu undangan. Adakah ia bermakna bagi kehidupan. Benarkah ia bermakna bagi kehidupan? Aku jadi teringat pada Plato, pada Kant, pada orang-orang yang memikirkan sejauh mana kesenian berguna bagi kehidupan. Tapi seperti itulah, ternyata kemudian, bagiku, kesenian hanyalah kembang yang indah dipandang. Dan kembang itu layu dan ditinggalkan sesudah pesta dan segala keramaiannya berakhir.
Abah Juli merintih kesepian di suatu malam, di antara hingar bunyi nyenyanyian dari suara-suara seadanya pejabat yang satu persatu didaulat naik ke panggung. Pipinya dilinangi air mata. Sesekali ia menggoyangkan tangannya mengikut irama. Kadang matanya memandang penuh ekspresi pada orang yang menyanyikan lagunya, yang memandang tersenyum kepadanya. Kadang penuh kekosongan—begitu kontras dengan ruang sederhana yang semakin lama semakin pengap dan riuh.
Mereka bertepuk tangan dengan semangat. Mereka tertawa saat insiden wakil gubernur yang lupa beberapa bait di tengah nyanyinya—yang katanya, apresiasi yang tulus untuk seniman besar di sampingnya yang mengharumkan banua—dan suaranya yang pada nada tertentu menjadi sumbang. Mereka terharu saat Abah Juli menangis mengisahkan ihwal lagu ciptaannya yang dinyanyikan Sekda dengan penghayatan. Dan mereka kembali bersorak saat gubernur menjanjikan umrah bersamanya pada Abah Juli. Mereka, penonton yang bersemarak itu, menjadi cahaya yang serupa neon-neon berdaya terang luar biasa bagi perjalanan sunyi selama ini, di malam yang seindah purnama di masa dulu di pekarangan orang-orang kampung yang kesepian. Ya, malam itu serupa pesta panen raya di malam purnama.
Seorang wanita yang menyanyikan lagu—ia adalah seorang murid yang sekarang menjadi penyanyi terkenal di daerah—membawakan kesedihannya yang pernah datang saat terkenang orang-orang yang telah hilang. Ia kemudian terkenang ayahnya, seorang pejuang kemerdekaan di masa revolusi dulu, yang pernah menasihatinya tentang harapan dan kemandirian. Jangan pernah berharap dalam keadaan kau sedang bekerja, karena yang demikian akan mematahkan semangatmu saat muncul bayangan hasil kerjamu tak dihargai orang. Dan hari ini, ia menangis karena kata-kata itu hadir lagi padanya dalam kebalikan yang meyakinkannya, bahwa ia telah berbuat dan orang-orang menghargainya. Setidaknya di malam ini, saat suara gemuruh dari tepuk tangan dan sorakan yang menyebut namanya dalam kebesaran—yang seakan-akan menggema dari kubur ayahnya di kampung yang tak diketahuinya.
Ia menangis lagi, saat terkenang akan wajah ibunya dari sebuah lagu yang mengisahkan ihwal berkasih sayang ibu dan anak. Ibu, baginya adalah permata hidup yang tak ternilai. Darinya ia merasakan kehangatan dekapan saat dingin kehidupan mengancam lewat mata orang-orang yang dengki di masa jayanya, di waktu muda. Kehangatan itu yang menginspirasinya sedemikian rupa sehingga terkadang ia diam dan berusaha memahami, mengapa orang-orang yang duduk di kursi tertinggi pemerintahan yang mengemban amanat masyarakat begitu tak peduli pada kesenian. Kesenian serupa Mamanda, yang selalu menceritakan mereka—para petinggi dan pemimpin sebuah negeri—dalam kebijaksanaan sikap, yang menghormati kehendak masyarakat pimpinannya, yang selalu bercanda bersama inang dan pelayannya, yang menginstruksikan keberpihakan pada solusi atas masalah-masalah yang melanda negerinya. “Ibu-lah penginspirasi para pemimpin dalam kehangatan sikapnya pada anak-anak negerinya,” katanya suatu kali dalam sebuah seminar kebudayaan, di suatu waktu. Dan sempat pula ia catat itu dalam salah satu larik lagunya—dalam bahasa daerahnya.
Begitu pula anak-anak, mereka adalah manik-manik yang menghiasi diri kita dengan keriapan cahaya yang dipantulkannya. Bagi orang tua mereka adalah penerus cita-cita, atau setidaknya kebanggaan yang menghidupi masa depan dengan tabiat-tabiat yang ditanamkan orang-tua di waktu mereka bertumbuh di rumah semasa kecil. Orang tua merawat anak di masa mereka kecil dan belum mampu menghidupi diri sendiri, dan anak-anak merawat dan menyayangi orang-tuanya di hari senja mereka, saat seluruh kemampuan manusia menurun; pandangan yang merabun, badan yang mengisut, dan rambut yang menguban beserta pikiran—di baliknya yang memikun. Cerita tentang kasih sayang orang-tua dan anak adalah cerita yang abadi, begitu pula dalam lagu-lagunya.
Di akhir pertunjukan Abah Juli dihadang para wartawan. Tubuh tuanya yang letih dipaksanya untuk melayani pertanyaan-pertanyaan para kuli tinta itu. Ia terpaksa harus mengulang lagi cerita-ceritanya, pernyataan-pernyataannya tentang kesenian, tentang lagu-lagunya, dan harapan-harapannya.
Kurungan para wartawan itu semakin rapat. Mereka semakin ingin tahu dan mendekat. Tubuh tua yang sudah tak kokoh lagi itu, yang ditopang tongkat, menjadi limbung. Tiba-tiba sebuah mic dari sebuah stasiun televisi swasta daerah, yang dicorongkan padanya terlalu dekat membentur jidatnya, dan Abah Juli pun ambruk di tengah dekapan para wartawan yang terdekat dengannya.
Suasana menjadi ramai. Orang-orang yang tadinya berdesakan ingin keluar gedung beberapa berbalik arah, dan semua mata dari yang masih ada di dalam gedung memandang ke panggung. Si wartawan yang mic-nya menghantam si seniman menjadi pusat perhatian, beberapa orang menggerundelkan cemoohan padanya. Dan sebelum terjadi apa-apa, beberapa anggota kepolisian yang turut hadir berbaju-jaket preman—untuk mengamankan gubernur dan wakilnya—mengamankannya ke pos keamanan yang ada di depan gedung.
Wartawan itu tampak merasa bersalah betul. Ia tak sengaja. Ia hanya ingin bertanya lebih lanjut dan lebih dekat, bagaimana peran pemerintah selama ini terhadap semarak kehidupan berkesenian. Apalagi ia—wartawan itu—tahu bahwa Abah Juli pernah menjadi wakil rakyat, bahkan wakil ketua dewan di daerah; tentu ia punya pengaruh dengan posisinya itu, dulu dan kini. Rekannya yang mengarahkan kamera telah mengambil mic di tangannya, sebelum ia diamankan tadi. Ya, jangan sampai mic, nantinya, dijadikan saksi dan disita.
Sementara Abah Juli sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Rumah Sakit Islam. Gubernur dan wakil yang sedianya akan pulang turut mengiringi di satu mobil yang mengantar Abah Juli. Mereka sempat menunggu sebentar di rumah sakit, dan sempat menginstruksikan kamar dan fasilitas paling bagus untuk perawatan yang akan ditanggung pemerintah—atau kalau tak ada anggaran dengan uang mereka. Dan setelah beberapa saat si seniman tak juga sadar mereka pun pulang, sesudah menginstruksikan untuk dikabari jika ada perkembangan lebih lanjut.
Di sebuah ruang yang hampa Abah Juli sendirian. Ia tak tahu di mana ia berada, padahal sebarusan tadi ramai orang-orang mengelilinginya. Mana pak gubernur, mana wakil gubernur, mana sekda, mana Lihan—pengusaha terkenal di kotanya yang menghadiahinya sebuah rumah untuk amal bakti keseniannya, dan mana teman-teman senimannya yang lain? Dan ruangan apa ini yang sedemikian kosong?
Tiba-tiba datang ayah dan ibunya dari arah yang tak diketahuinya.
“Bukankah Ayah telah mati? Ibu?” Kedua orang-tua dihadapannya tersenyum. Tanpa membuka mulut mereka, terdengar suara.
“Kami masih hidup di dalam lagu-lagumu.”
“Lagu ulun? Bagaimana bisa?”
“Malaikat membawa kami dari rumah di awan-awan yang jauh, dan selama ini kami hidup di dalam lagu-lagumu. Ada banyak orang, tempat, dan sungai di dalam lagu-lagumu; ada sebuah ruang yang menampung semua itu. Sebuah dimensi yang berkebalikan dari ruangmu. Dan selama ini kami memandangmu dari sini, kepadamu..”
“Ulun tidak mengerti!”
Tiba-tiba asap. Dan pandangannya terhalang. “Ayah!? Ibu!?”
Degup jantung berdetak.Humbayang lewat; kesadaran seperti angin yang lewat.
Di tempat lain, si wartawan yang sudah pulang ke kantornya langsung dimarahi bosnya. Sengaja si bos ke kantor malam itu setelah mendapat kabar dari rekan-rekannya, yang memberitahu karyawan televisinya menjatuhkan seniman besar daerah di hadapan gubernur dan orang-orang penting lainnya. Si bos begitu kaget sehingga harus marah-marah untuk menutupi rasa malunya nanti pada pemuka daerah.
Wartawan itu langsung dipecat malam itu juga. Padahal belum sebulan ia bekerja, dan semangat pencariannya terhadap berita dan informasi apa saja menyangkut banua, masih panas-panasnya.
Wartawan itu datang ke ruang hampa di sebuah dimensi yang lain. Ia ingin meminta maaf, sekaligus mengadukan perihal dipecatnya ia dari tempat kerjanya ke Abah Juli. Abah Juli terhenyak. Ia membenarkan bahwa si wartawan tak sengaja, tubuhnya saja yang telah letih—sehingga sebuah sodokan pelan saja dari sebuah mic yang tumpul membuatnya pingsan. Padahal dulu ia—Abah Juli—adalah seorang letnan kolonel pada kesatuannya, yang begitu sangar dan suka menempeleng jika ada orang yang tidak berdisiplin dan mengganggu orang lain.
“Nanti kusampaikan keluhanmu ke gubernur, kau jelas tidak bersalah.”
“Padahal saya hanya ingin bertanya ke Abah, waktu itu..”
“Tanya apa?” Abah Juli penasaran.
“Boleh saya bertanya di sini?”
“Ya, silakan!” Ia duduk mengambang di udara. Di tempat itu tak ada kursi—atau setidaknya lantai. Si wartawan merogoh saku kemejanya, ia masih ingat menyimpan alat perekamnya di sana.
“Abah dulu orang berpangkat, bukan?”
“Ya, kenapa?”
“Bisa sedikit ceritakan tentang masa jaya itu?” Si wartawan ingin mengulang sedikit sebelum masuk ke pertanyaan pentingnya.
“Aku dulu tertarik menjadi bagian dari militer negeri ini karena ayahku seorang pejuang. Dan alhamdulillah karierku cukup baik. Sebagai orang yang terbiasa berdisiplin dalam kemiliteran, aku kecewa dengan diriku yang tak berdisiplin dalam masalah keuangan. Yah, mungkin karena aku juga seorang seniman, meski terbiasa dengan ketegasan, hatiku cukup lembut dengan masalah perasaan sehingga aku tak pernah berhitung dengan uang, jika kulihat kesusahan teman-teman—apalagi yang seniman. Ya, aku sempat juga duduk di kursi dewan sebagai wakil ketua di daerah, tapi memang aku tak berbuat banyak masa itu. Hanya beberapa kenangan dari sana yang sempat jadi inspirasi beberapa lagu ciptaanku. Orang memang sering lupa kalau sedang berada di atas; ketika sadar ia sudah berada di bawah lagi, dan apa yang bisa dilakukan jika sudah tak berarti.” Abah Juli memejam mata. Penyesalan itu jatuh sebagai air mata. “ Lalu, apalagi pertanyaanmu? Setelah ini aku ingin sendiri dulu sebentar.”
Si wartawan terpana, pertanyaannya sudah hampir terjawab baginya.
“Oya, sejauh mana peran pemerintah, menurut Pian, selama ini?”
“Bagi kesenian, maksudmu?”
“Iya..”
“Pemerintah itu memerintah kerjanya. Jika strategi yang dirumuskannya tepat, tentu banyak keinginan masyarakatnya yang terakomodir. Kau tahu sendiri kan mana yang mendesak menurut pemerintah. Kesenian itu hanya bunga-bunga di tepi taman… o, Ayah! Ibu!”
“Ada apa, Bah?”
Sepasang merpati terbang di atas mereka. Sebuah kuburan di tebing sungai; dan ada buaya, tiga ekor buaya sedang menganga di bawah sana.
Dug! Detak jantung berdegup. Ada bayang-bayang lewat. Mata Abah Juli terbuka-tutup; terbuka setengah dan tertutup lagi. Orang-orang menanti dengan tak sabaran. Sang isteri yang begitu cemas menunggu dari tadi malam tak nyaman hati. Dia menundukkan badan setengah ke samping ranjang, tepat di ujung telinga yang bergerak-gerak menangkap suara, ia bisikkan kata-kata, “Bah, orang-orang sudah berkumpul. Bangunlah!”
Mata si seniman terbuka. Gubernur mendekat dan menyentuh tangannya; senyumnya nampak lebar, Abah Juli memandangnya dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya. Wagub turut mendekat, begitu juga si pemilik stasiun televisi swasta, ia—wagub—memperkenalkannya pada Abah Juli yang sudah mulai pulih kesadarannya. “Ini Pak Hendra, pemilik stasiun tivi yang anak-buahnya membuat Abah jadi seperti ini.” Abah Juli tersenyum. Pak Hendra turut tersenyum—senang.
Dokter maju ke depan, dan rombongan mundur ke belakang. Ia memeriksa denyut nadinya, matanya, meraba dadanya dengan alat pemeriksa. “Kondisi beliau baik, hanya letih saja. Biar beliau istirahat sehari-dua ini di sini.” Katanya.
Rombongan keluar. Tinggal sang isteri dan anak perempuannya. Anak lelakinya mengantar rombongan pulang. Pak Hendra sempat meminta maaf atas sebab kejadian itu, dan menitipkan segepok amplop kepada putra Abah Juli—sebagai tali asih, sekaligus bentuk penyesalan yang sangat. Sepasang merpati terbang di atas mereka.
***
Seorang seniman tua naik ke atas panggung tertatih-tatih. Diperiksanya sudut demi sudut panggung. Ia ingin memastikan betul-betul pertunjukannya nanti malam benar-benar bersih dari was-was yang mungkin saja mengganggu pertunjukan. Mimpi tadi malam begitu menakutkan. Juli 2008
Sumber:
Hajriansyah. 2009. Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami. Bantul: Frame Publishing
https://hajriansyah.wordpress.com/2009/04/12/di-panggung-seniman-tua/
0 komentar: