Cerpen Hajriansyah: Ayah

02.29 Zian 0 Comments

Jika kau datang dari Surabaya seperti biasa, maka aku akan menjemputmu di bandara dengan riang. Kuingat engkau datang dengan koper berwarna cokelat, atau kadang juga yang berwarna hitam—kotak dengan sudut-sudut yang lembut. Koper itu, dengan angka-angka kecil seperti roda yang diputar, utak-atik, untuk membuka kode pembukanya—aku senang memainkannya waktu itu.
Aku dan Hasan akan masuk ke ruang tunggu dan melihatmu, dari kaca, keluar dari pintu pesawat dan menuruni tangga. Lalu kau berjalan, dan ketika kau menatap kami, maka kau akan tersenyum dan kami dengan keriangan khas anak-anak menyambutmu di pintu kedatangan. Setiap dua bulan sekali selalu seperti itu, dulu.

Jika sore engkau pergi ke masjid, yang tanahnya adalah wakaf darimu, dengan berjalan kaki, maka aku mengejarmu di belakang dengan berlari. Engkau berjalan sangat cepat. Ketika sampai waktu maghrib dan sirine dari radio dari masjid raya berbunyi seperti peluit yang panjang, engkau dorong aku untuk mengumandangkan adzan. Aku akan maju ke depan paimaman dan meraih mik dan dengan lantang menyeru orang-orang untuk datang. Datang ke masjidmu yang sederhana.

Demi waktu yang berjalan tetap
Sesungguhnya manusia lalai dan merugi
Kecuali mereka yang beriman dan berbuat baik,
yang saling berbagi kebenaran dan tetap berkesabaran
(Surah Al-Ashr: 1 – 3)

* * *

Adakah yang mesti disesalkan; karena kita semua akan mati. Tak pernah aku menafikan itu, bahkan aku telah bersiap, jauh… saat kau mulai terserang stroke, dan terus-menerus, berulang-ulang—keluar dan masuk rumah sakit. Ya, jauh hari aku telah siap Ayah. Meski kematianmu di hari itu tetap saja membuatku tercengang. Seperti tak benar-benar terjadi. Dan aku memelukmu terakhir kali, seolah aku tak pernah memelukmu sepanjang hidupku. Hanya butir air mata yang bergulir dari ujung kelopakku. Aku memejam, melepasmu, dan ikhlas.
Adakah kematian seindah kematianmu, Ayah. Entahlah. Tapi hari itu begitu cerah, sebelum gerimis mengantarmu ke pekuburan: rumah terakhirmu. Hari itu kami, anak-anakmu—bahkan dari tempat terjauh—berkumpul di sekelilingmu. Membuka kain penutupmu. Memandikanmu bersama-sama di ruang tengah. Wajahmu nampak bersih. Setiap pori-porimu seakan menutup rapat, mengencangkan pipimu, badanmu, yang beberapa hari sebelum ini telah mengisut dalam lipatan-lipatan yang mengkerut dalam ketuaanmu.
Kusiramkan air dari kepalamu, turun sampai ke kakimu. Mengelap setiap bagian tubuhmu, sambil terus mulut kami menyebut nama Tuhanmu; Tuhan kami; Tuhan kita sekalian alam. Kami lepas engkau dengan segala ikhlas, meski air mata kami tetap berlinangan. Dan kami tahan jerit di dada kami, agar kau melayang ke sana dengan tenang—penuh keridhaan. Lalu kami kafani tubuhmu dengan kain putih bersih yang sederhana, sesederhana pakaian-pakaianmu yang lain sebelum ini—yang tak pernah mewah dan berlebihan.
Dan kami bawa tubuh fanamu ke masjidmu. Seperti berlari kerandamu disambut-gotong orang-orang. Begitu cepat sampai ke masjid, seperti biasanya engkau berjalan di sore hari menjelang maghrib dan aku mengejarmu dengan sarung yang kedodoran, di masa kecil; atau seperti saat masih hitam di langit sana, menjelang subuhmu di masjidmu yang telah lama sekali kau tinggalkan, semenjak stroke menyerang tubuhmu.
Siang itu ayah, sebelum zuhur, kau kami antarkan dalam shalat jenazah yang terasa seakan begitu panjang. Terasa doa-doa begitu panjang. Dan kami lepas engkau dengan “Khair! Khair! Khair!” dan semua orang yang hadir mengamini: “Khair… Khair… Khair….” Semoga benar, segala kebaikanmu mengantarmu berlari menuju Tuhanmu, Tuhan sekalian alam.

* * *

Jika kau datang dari Surabaya, dan aku menunggu penuh harap oleh-oleh yang akan kau bawakan untukku, maka aku akan berlari menyambutnya di pintu kedatangan. Kau tersenyum, selalu tersenyum. Lalu di dalam sedanmu aku akan bercerita panjang, sepanjang satu atau satu setengah bulan kau tinggalkan.
Sesampainya di rumah, kau akan meletakkan tas kotakmu di kamar, tentu setelah bertemu ibu dan kau ulurkan tanganmu untuk ia cium; lalu kau keluar menyuruh paman sopir untuk pulang saja dulu setelah ia memarkir mobilmu di garasi; lalu kau keluarkan bungkusan kecilku, atau kotak mainan yang akan menggembirakan aku dan Hasan kecil. Lalu kami berlonjakan, terkadang berebutan, meski masing-masing kami telah adil kau beri satu-satu. Lalu ibu akan mengeluarkan apel, anggur—oleh-oleh rutinmu jika datang dari Surabaya. Lalu kami akan memakannya lahap, seakan tak pernah merasakan manisnya apel dan anggur selama sebulan.
Lalu sorenya, kau akan berjalan ke masjid untuk maghrib berjamaah. Bertemu teman-teman yang tak kau jumpai selama sebulan, sekaligus membicarakan keuangan masjid selama kau tinggalkan. Ya, kau bendahara masjid abadi, sepanjang kau wakafkan tanahmu dan kau sumbangkan sejumlah besar uangmu untuk lebih dari dua pertiga keselurahan bangunan itu, yang hampir di setiap maghrib dan isya-nya mengumandang suara azan kecilku. Akan kau habiskan waktu di antara maghrib dan isya, jika tak sedang ada ceramah, untuk berbincang-bincang: masalah kampung, keseharian para tetangga, dan sekadar menyapa jika saja ada yang membutuhkan bantuanmu.
Setelah isya selesai dan wirid sempurna ditutup doa dan shalawat berkeliling, kita akan pulang bergandengan tangan. Terkadang aku mengajukan permohonanku di saat seperti itu, saat kita berjalan pulang ke rumah dengan tenang: sebuah sepeda, atau bisa saja mainan yang baru saja kulihat siang tadi di pasar bersama ibu. Engkau akan tersenyum, memberitahuku manfaat dan tidak manfaatnya barang-barang yang kuinginkan itu, dan kau tak berjanji—karena kau tahu aku akan terus merengek merongrongmu untuk sesuatu yang telah kau janjikan. Engkau hanya tersenyum, dan jika saatnya tiba, bisa saja permintaanku—nanti—telah mewujud tiba-tiba di hadapanku.
Dan jika subuh datang, kau akan membangunkanku. Mengajakku ke masjid. Dan jika aku bangun dengan keriangan anak kecil, tanpa tangis, menyambut hari datang, maka aku akan ke masjid. Berjalan menjelang subuh di masjid, sementara senandung pujian terhadap Tuhan terus dikumandangkan dalam gema yang dilepas dari corong-corong pengeras suara yang bersahutan; dan sekadar peringatan, “Shalat lebih baik daripada tidur! Shalat lebih baik daripada tidur!”
Lalu kau akan melepasku sekolah, kadang kau antarkan dengan motormu, atau kadang aku bersepeda bersama teman-temanku sesekolah. Lalu kau mungkin akan ke kantormu setelah itu. Pulang pada saat tengah hari, untuk zuhur dan makan siang, dan kemudian berangkat kembali ke kantor—sekitar satu kilometer dari rumah—dengan motormu.
Di malam hari kita berkumpul di ruang tengah. Di depan televisi, terkadang sambil mengacuhkan acara TVRI-nya, berbincang, berceloteh ria, untuk kemudian ditutup jam sepuluh malam tepat—sesudah acara “Dunia dalam Berita”. Dan kami benar-benar harus tidur sesudah itu.
Di mata tetangga kau dikenal sebagai dermawan yang ringan tangan. Kau tak pernah merendahkan orang yang datang butuh pertolongan, utamanya dalam hal keuangan. Sudah tidak diragukan lagi, namamu terkenal sepanjang jalan ke rumah kita. Siapa yang tak tahu namamu jika ada tamu yang tak tahu menuju, dan bertanya—sepanjang komplek kita. Orang akan menunjukkan rumah kita dengan senang.
Jika buah-buahan—jambu, mangga, sawo—di pekarangan kita berbuah semarak dan banyak, kau akan membagikannya ke tetangga-tetangga kita, untuk sekadar merasakan manis yang sama kau rasakan. Ibu akan menaruhnya dalam kantong-kantong plastik yang akan dibagikan, setidaknya buah-buah itu, utamanya mangga manalagi yang manis itu, sesedikitnya cukup untuk dibagikan ke sepuluh rumah di sisi kanan, dan sepuluh rumah di sisi kiri rumah kita, dalam kantong plastik yang berisi dua atau tiga buah. Ya, pekarangan rumah kita serupa kebun tak habis-habisnya.
Jika sore, sesudah ashar, di kebun kecil itu aku biasanya mengajak teman-teman bermain sekalian memunguti daun-daun kering. Seperti katamu, sampah daun kering harus dirapikan di sudut pekarangan, dan biarkan ia membusuk atau dibakar jika aku tak keberatan. Dan pekarangan kita selalu bersih; dan tanah berkerikil kecil itu terus menyokong tetumbuhan yang subur.
Jika datang ramadhan menjelang idul fitri, maka rumah kita akan penuh dengan orang-orang, bahkan yang datang dari jauh—yang bukan tetangga kita. Kau mengeluarkan yang sepenuhnya mengalir dari tanganmu, berupa zakat yang kau percaya akan mensucikan kembali hartamu. Dan jika datang idul fitri, sesudah shalat ied, maka rumah kita akan penuh lagi dengan orang-orang. Tetangga, kerabat dekat, kerabat jauh, keluarga mudamu semuanya berdatangan bersilaturrahmi, bersalaman, mencium tangan, mengucapkan doa dan kebaikan; agar hidup terus berjalan dengan iramanya yang seimbang.
Rumahmu benar-benar sorga bagi setiap orang yang datang dan yang di dalamnya; dan tangis kecil kekanakan, bentakan sengit kecil mengingatkan, adalah bebunyian ritmis yang musikal, yang indah jika kukenangkan saat ini—saat engkau telah tiada.

* * *

Jika kau datang dari Surabaya, dari mengurus usahamu di sana dan isteri tuamu—mama tuhaku—selama satu atau satu setengah bulan, maka kami akan menyambutmu dengan keriangan. Entah jika tak dapat menjemputmu ke bandara, karena mungkin saja kau datang saat aku sedang bersekolah, kedatanganmu tetap sebuah kebahagian bagi kami, isteri muda—mamaku—dan anak-anak kecilmu ini. Kehadiranmu adalah kehangatan, apalagi jika kau datang membawa saudara tuaku, kehangatan itu tetaplah kehangatan yang kami bagi bersama. Kau tak pernah membedakan kami semua. Kaulah ayah kami semua, yang darimu tetumbuhan subur berkembang. Berwarna-warni dan semarak.


Sumber:
https://hajriansyah.wordpress.com/2010/01/16/ayah/

0 komentar: