Cerpen Swary Utami Dewi: Yang Tertunda

07.12 Zian 0 Comments

Cerpen Swary Utami Dewi: Yang Tertunda


Pintu Ka’bah serasa makin sempit. Dari kejauhan, kulihat ia makin menciut dan menciut dan.. gubrak… suara tumpukan buku yang berjatuhan dari meja menyadarkanku. Aku mengucek mata, menoleh kiri kanan, mencari kalau-kalau ada mata yang menangkap ulah tidurku. Syukurlah, perpustakaan saat itu sudah lumayan sepi. Jadi aku bisa terhindar dari rasa malu.

Mmh, sudah keberapa kali aku mimpi berada di sekitar Ka’bah, duduk dan memandanginya dari dua pilar megah di Masjidil Haram. Seraya mataku mencari-cari sesuatu, aku memeluk Qur’an yang selesai dibaca. Pemandangan menakjubkan pintu Ka’bah yang dari jauh nampak berkilau keemasan, membuatku terpana. Tapi, aku tetap belum menemukan apa yang kucari.
Dan tadi, mimpi itu berulang lagi. Aku perlahan merasa nyeri di hati. Kekangenanku pada Baitullah dan pencarianku pada sosok di sekitar tempat itu, kadang melebihi kerinduanku pada anak-anak yang sudah berbulan-bulan kutinggalkan di tanah air.
Aku bergegas keluar dari State Library, menjumpai banyak orang masih duduk santai di rumput di halaman perpustakaan. Beberapa jenis burung hinggap seolah menyaksikan gerombolan manusia yang masih berlalu lalang di jalan. Desember di Melbourne memang indah. Musim panas membuat matahari tenggelam sangat lambat. Hari ini sudah pukul 8 malam, tapi cahaya matahari masih serupa sore.
Aku menyeberang, berjalan ke arah restoran yang menyajikan ayam berbumbu Peri-Peri ala Portugis. Aku memesan rasa mild, yang kutahu dengan kadar sedang saja bumbu ini sudah sangat menyengat lidah. Aku memilih duduk di sisi luar resto sambil melayangkan mata ke jalan dan koridor menyaksikan ulah tingkah manusia. Pedasnya ayam bakar Peri-Peri bercampur hangatnya matahari saat itu, membuatku berkeringat.
Saat aku asyik mengunyah sambil cuci mata, tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada seseorang yang duduk di bangku panjang tidak jauh dari tempatku duduk. Aku serasa mengenalnya. Tapi tidak mungkin dia. Tidak mungkin teman SMAku dulu, kawan belasan tahun, muncul dan berada tidak lebih dari sepuluh meter dari tempat dudukku.
Aku mengerjap mata, merasa aku yang salah melihat. Akhh, akhir-akhir ini aku memang sering memimpikan banyak hal dan kemudian tiba-tiba terjaga. Saat tidak tidurpun, pada saat aku terjerat lamunan, aku bisa terasa berada atau dekat sesuatu atau seseorang yang kurindukan. Auuw, seekor lalat musim panas yang hinggap di pelupuk mata membuatku berkejap, mengembalikanku pada kekinian.
Sosok itu masih ada dan ternyata dia memang ada. Tidak bergeming, tetap di tempat. Dia asyik membaca. Aku kembali memperhatikannya. Dan, itu memang dia, tidak berubah sedikitpun, kecuali terlihat lebih dewasa. Aku mengambil cermin kecil dari tas dan mengaca. Waduh, ada titik bekas jerawat di muka, badanku sudah lebih gemuk karena sudah melahirkan empat anak dan rambutku menipis. Perubahan fisik yang luar biasa. Mmh, apakah jika itu betul dia, maka dia tetap bisa mengenaliku?
Aku tiba-tiba ragu. Mudah-mudahan itu bukan dia. Atau, kalaupun memang dia, mudah-mudahan Jo tidak melihatku. Aku tiba-tiba merasa gugup. Sesudah berbelas tahun, ada satu atau dua orang yang masih mengguncang rasa jika tiba-tiba nama itu terlintas. Dan Jo-lah salah satunya. Cerita masa SMA memang membuat nama itu begitu spesial. Still in love? Entahlah, aku menggeleng sendiri, merasa hal yang tidak pantas bagi ibu empat anak yang sedang menyelesaikan program beasiswanya.
Entah kenapa, tiba-tiba mata yang sedang memeloti buku itu tiba-tiba terangkat dan menatap tepat ke arahku. Aku cepat-cepat memasukkan cermin ke tas dan berpura-pura sibuk dengan ayam Peri-Peri. Dan, hanya Tuhan yang tahu, saat kaki-kaki itu melangkah mendekat. Jantungku berdetak tidak karuan dan aku menahan nafas beberapa detik untuk menenangkan diri.
“Tasha? Kamu Tasha?” tanyanya. Tidak sampai dua detik, aku tersedak mendengar suara yang pernah kukenal belasan tahun lalu. Memang dia. Uhuk.. aku mengutuk sial diriku yang bagai orang bodoh tertangkap basah mencuri. Dengan cepat aku mengambil iced lemon tea dan meminumnya.
Jo dengan tenang menarik kursi yang ada didepanku, duduk berhadapan. Kepalang basah, aku tersenyum, mengambil tisu dan menyapu sisa-sisa lemak ayam bakar di mulut. “Hai, kamu Jo kan?” Aku akhirnya berujar seringan mungkin. Sial, detak jantungku masih kencang dan belum terkendali dengan sikap pura-pura santaiku.
“Surprise. Terkejut sekali menjumpaimu di sini. Tadi aku merasa ada yang memandangi dan aku balas melihat ke arah itu. Aku bisa menebak kamu dari lirikan matamu.” Lelaki ini berujar perlahan sambil menatapku tak berkedip.
“Mmh, ada yang berubah ya..” tiba-tiba aku merasa risih ditatapi begitu lekat. “Beda ya..”
“Tidak begitu banyak perubahan. Wajar jika berubah sesudah belasan tahun,” Jo tertawa perlahan menangkap kekikukanku.
Setengah jam kemudian cerita mengalir. Jo mengambil program MBA atas biaya kantornya. “Sudah terlambat bagi orang seusiaku,” jelasnya tertawa. “Tapi lebih baik daripada tidak sama sekalikan,” lanjutnya disambut angguk setujuku.
Giliranku menceritakan tentang keberuntunganku mendapatkan beasiswa dari pemerintah negeri Kangguru ini. “Sesudah beberapa kali melamar, baru dapat tahun lalu dan aku mulai ke sini Juni lalu. Payah, mungkin otakku sudah mulai karatan. “
Candaku membuat Jo tertawa dan berujar ringan, “Sikap humormu tetap sama.”
Iba melihat ayam Peri-Peri yang masih lumayan banyak di piring, aku minta ijin Jo untuk ngobrol sembari makan. Jo mengangguk, kemudian memesan orange juice dan tuna sandwich. Kami makan berdua dengan lahap. Perlahan rasa kikukku hilang.
Menjelang jam 9.30 malam, matahari sudah betul-betul turun, perlahan senja menghilang berganti malam. Lampu jalan mulai berpedar menggantikan cahaya mentari. Jo dengan cepat membayar ketika pelayan menyodorkan bill. “Sudah kaya ya..” ledekku.
Kaki kami kemudian melangkah menuju Swanston Walk, mencari kafe yang masih buka sampai larut. Aku memesan Cafe Latte, sementara Jo memesan Hot Capuchino. Cheese Cake kesukaanku datang menemani hangatnya variasi kopi yang kami pesan.
“Pantas bobotmu naik melihat semangat makanmu yang luar biasa,” Jo meledak melihatku mengunyah Cake, seolah melupakan ayam yang baru saja kusantap hampir dua jam lalu. Aku meleletkan lidah, membentuk cibiran di bibir.
“EGP. Gak ngaruh, apalagi sudah melahirkan empat kali,” akhirnya aku berujar. Merasa Jo tidak membalas, aku mengangkat kepala. Aku melihat mata Jo kembali lekat menatap dan tiba-tiba aku merasa gemuruh yang luar biasa datang membuncah di dada. Ada rasa yang tidak menentu, menyayat, yang tidak kumengerti. Rasa itu datang lagi, sama seperti yang kurasakan saat terakhir aku meninggalkan halaman SMA-ku saat aku selesai berbincang dengan Jo belasan tahun lalu.
“Kamu punya anak berapa?” aku berucap mengurangi rasa aneh yang tiba-tiba datang melanda.
“Satu. Dan mungkin cuma satu-satunya. Istriku meninggal di saat anakku berusia dua tahun. Dia meninggal karena kecelakaan lima tahun lalu, ” Jo berucap sangat lirih. Bicaranya tetap tenang. Tapi aku merasa dia menyembunyikan perasaan sedihnya.
“Maaf Jo.” Entah kekuatan apa yang tiba-tiba membuatku mendekatkan tanganku ke tangan Jo. Dua detik kemudian aku tersadar dan menarik kembali.
Jo tersenyum getir. “Tak apa. Tuhan sudah berkehendak.”
“Perempuan itu Yosi?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar. Sesudah tali yang mengikat mulut dan gengsiku belasan tahun terbuka simpulnya, pertanyaan itupun terucap. Perlahan, aku mulai berdoa dalam hati, mencoba untuk tetap memantapkan hati merelakan Jo yang dulu kucintai ada di genggaman cinta Yosi selamanya.
Jo tersedak. Aku kaget. Dengan cepat kuberikan tissue untuk membersihkan lelehan kopi di bibirnya.
“Tasha, aku tidak pernah jadi dengan Yosi. Almarhum istriku bukan Yosi. Dia kukenal saat aku kuliah.”
Tuhanlah yang tahu apa yang kemudian kurasakan. Godam itu datang lagi, menghujam membuatku merasa kehilangan sukma. Belasan tahun lalu aku merasakan yang sama. Ketika pulang sekolah menjelang pengumuman ujian akhir, Jo datang dan mengajakku berbincang. Katanya, Yosi, teman sekolahku yang begitu rapuh, datang dan menyatakan cinta. Dia menyatakan kepada Jo bahwa sulit baginya membayangkan hidup tanpa Jo. Yosi ingin mendapatkan kepastian dari Jo menjelang SMA selesai.
Aku, yang saat itu begitu naif, merasa irisan yang luar biasa di hati. Aku tahu Yosi. Biarpun dia bukan salah satu sahabatku, dia termasuk teman yang baik. Gadis yang sangat rapuh itu begitu rentan, mudah patah. Hubunganku dengan Jo tidak banyak diketahui orang karena aku sendiri yang menghendaki. Karena itu, aku tidak menyalahkan Yosi yang memberanikan diri menyatakan perasaannya kepada Jo dan meminta kepastian.
Entah mengapa, saat itu aku menyerahkan semua kepada Jo. Aku merasa jika Jo lebih bahagia dengan Yosi, dia bisa memilih yang lain dan meninggalkanku. “Aku perempuan kuat dan tidak rapuh,” kataku mantap, menatap Jo saat itu.
Aku tahu Jo berusaha mencari apa yang tersembunyi paling dalam di hatiku. Tapi dengan kuatnya, tembok baja keangkuhan kupasang. Tidak sedikitpun Jo menangkap kernyit duka di mataku. Jo terdiam beberapa saat, memandangku dan mengelus lembut kepalaku. Menyadari pertahananku hampir runtuh, aku bergerak bangkit, meraih ransel di sisi meja, menyalami Jo dan bergegas keluar halaman sekolah. Usai sudah. Akupun bergegas pulang. Tidak lagi menyambangi gado-gado di pojok jalan yang jadi kesukaanku dengan Jo beserta teman-teman lain.
Dua minggu kemudian, sesudah pengumuman hasil kelulusan SMA keluar, aku terbang meninggalkan kota ini, berpindah mengikuti kepindahan Papah. Tidak ada kontak sedikitpun dengan Jo. Kuakui ini cukup membantu meringankan irisan sukma. Kuakui juga, Jo terbang membawa bagian jiwaku. Kesibukan penerimaan mahasiswa baru membuatku perlahan melupakannya. Dengan berbagai kesibukan di kuliah dan luar kampus, aku menenggelamkan diri, melupakan Jo dan memulai banyak hal baru.
Tepukan di bahu menyadarkan lamunanku. Jo tersenyum tipis. “Kamu kenapa?”
Helaan nafas menahan himpitan hati mendorong beberapa bening air mata keluar. Aku berusaha menahannya walau tidak cukup berhasil. Embun air mata pasti menyisakan genangan di sudut mata. “Aku pikir kamu menikah dengan Yosi. “ Aku mengambil saputangan dan menyeka mata perlahan. Tidak lagi peduli apa Jo bisa menangkap luka hatiku yang kembali berdarah.
“Kamu sendiri bagaimana? Dengan bobot tubuh seperti ini kamu pasti bahagia, “ Jo setengah bercanda memecah kesenyapan.
“Aku juga menikahi teman kampusku dulu. Dan, seperti yang kubilang tadi, punya empat anak. Dan, sekarang sedang sekolah lagi mesti umur sudah melebihi 35,” Aku menyedot ingus yang kurasa mengalir dari hidung.
“Jorok ah, “ Jo menjulurkan tissue. Aku menolak, memilih membuang ingus dengan saputangan yang masih kupegang.
“Kenapa menangis?” Jo bertanya. Bagiku pertanyaannya begitu ringan membuat kekesalanku belasan tahun lalu bangkit.
“Kupikir kamu menikah dengan Yosi, “ cetusku pedas.
“Tidak pernah,” Jo menyambar cepat.
Aku ganti menatap Jo lekat-lekat. Aku tahu ada bulir air mata mengalir di pipiku. “Padahal aku sudah mengalah demi Yosi. Kupikir kamu akan lebih bahagia bersamanya.”
Aku menyeka air mata yang terasa membasahi pipi. “Aku cengeng ya..” senyumku merekah menyadari romantisme remajaku bangkit kembali.
Jo sama sekali tidak terpancing. Dia tidak balas tersenyum, tetap diam, mengernyitkan dahi dan berkata pelan satu persatu. “Jadi?… Maafkan aku Tasha, aku waktu itu hanya bercanda. Yosi memang menyatakan cinta, tapi hatiku tidak pernah menyambutnya. Kupikir jawaban berbeda yang kuterima ketika hal ini kubicarakan denganmu. Ketika kamu mengatakan aku bisa memilih Yosi, aku merasa kamu tidak pernah mencintaiku. Aku porak poranda dan memilih meninggalkanmu,” Jo berkata sambil mengetuk-ngetuk ujung sendok di pinggiran piring Cake, laksana melepas beban berat di dirinya.
Aku ternganga, beberapa saat tidak mampu berucap. Sesaat kemudian, perlahan kuceritakan apa yang ada di hatiku saat itu terjadi. Aku rela mengalah demi kebahagiaan Jo. “Dan ternyata, kamu hanya mengujiku. Kamu keterlaluan dengan cepat menyimpulkan. Dan aku bodoh tidak paham maksudmu.”
Cukup sudah. Aku tidak mampu menahan tangis lama-lama. Satu persatu air mata keluar makin deras dan sesegukan itu akhirnya pecah.
Aku merasakan tangan Jo menyentuh rambutku yang mulai menipis, membuatku merasa lebih baik. “Satu-satunya aku melihatmu mampu menahan perasaan ketika hari itu kita berbincang tentang Yosi. Selebihnya cengeng seperti ini,” Jo menepuk bahuku membuatku sadar beberapa pasang mata melihat ke arahku.
“Sudah lewat semua. Tak apalah. Tuhan menakdirkan lain. Kamu bahagiakan dengan perkawinanmu?” Jo berkata sambil menyodorkan gelas Caffe Latte ke hadapanku.
“Aku punya suami yang luar biasa baik. Aku tetap mengenangnya meski… dia sudah berpulang saat menunaikan ibadah haji dua tahun lalu.” Tanganku memutar-mutar gelas, mengaduk-aduk isi kopi yang mulai mengental di bawah. Aku tahu suaraku bergetar menahan tangis.
Sesaat sunyi melanda. Tidak ada satupun yang berbicara. Jo menghela nafas. “Aku turut berduka buat suamimu.”
“Juga buat istrimu,” sambutku mencoba tersenyum ke arah Jo. “Mereka manusia-manusia baik yang tercipta buat kita.”
Pelayan menghampiri memberitahu kafe akan segera tutup. Baru kami sadar, hari menjelang tengah malam. Jo menawarkan mengantarkanku pulang ke flat. Kereta dan bis sudah tidak lagi beroperasi jam-jam ini. Jika aku tidak muncul, Hesti teman seflatku pasti panik luar biasa. Maka, akupun menyetujui tawaran Jo.
Jo perlahan menyetir mobil Ford tuanya. Aku diam di bangku sebelah, tidak berkata apapun. “Tidurlah. Kamu pasti lelah. Menjelang Ormond akan kubangunkan.” Jo menyentuh keningku sesaat.
Jo benar. Aku memang lelah, lelah melepas semua tandatanya selama belasan tahun, menahan bungkahan ketidakpastian. Perlahan, aku merasa mulai memasuki dunia mimpi, melayang kembali. Dan tiba-tiba … aku sudah duduk di antara dua pilar, meeting point favoritku, tepat memandang ke arah Ka’bah. Kali ini, Ka’bah begitu jelas, tidak menciut. Kemegahannya semakin nyata. Aku memandangnya begitu bahagia. Lamunanku tentang Ka’bah terputus ketika kurasa ada seseorang memeluk bahuku. Aku kenal betul pelukan itu. Segera aku menoleh dan kulihat seseorang berpakaian ikhram menatapku lekat-lekat tersenyum bahagia sambil tetap memeluk bahuku erat. Dia suamiku, Irsan, datang kepadaku melalui mimpi.
Aku baru saja ingin bercerita banyak kepada Irsan ketika sentuhan halus di bahu membangunkanku, “Sudah tiba Cintaku, flatmu di mana?” Sejenak aku terpana mendengar panggilan yang belasan tahun tidak pernah kudengar. Sukmaku yang hilang, serasa kembali pada raga. Sambil menunjukkan arah flat, aku merasa Tuhan begitu dekat. Kulihat Jo melirikku penuh kasih. Tiba-tiba aku menjadi paham makna senyum Irfan saat memelukku dalam mimpi tadi. Tuhan kembali menunjukkan sayangNya dan bulan kembali ada di langit hatiku. “Jika Tuhan berkata JADI. Maka JADIlah ia.”[]

25 April 2008

Sumber:
https://sudewi2000.wordpress.com/2008/11/04/cerpen-yang-tertunda/

0 komentar: