Cerpen Swary Utami Dewi: Perempuan yang Cemburu
May, demikian suamiku memanggilnya. Aku tidak tahu nama panjangnya. Yang jelas, yang aku tahu dia adalah May. Suatu malam, sebulan lalu, tiba-tiba sering kudengar sms masuk menjelang tengah malam ke hp Ridho. Mula-mula kupikir itu biasa. Tapi esoknya dan esoknya lagi hal itu berulang. Anehnya, Ridho selalu cepat menghapus sms-sms itu. Sesekali dia nampak melirik ke arahku, khawatir aku memergokinya.
Seminggu kemudian, sepulang kerja, kuajak sahabat akrabku, Alma, berbincang. Kuceritakan tentang kecurigaanku dan bukti tentang masuknya sms menjelang dan saat tengah malam. “Harus dicek, “ tegas sahabatku.
Aku menggeleng bingung, “Aku tidak tahu caranya. Aku tidak pernah mengalami ini.”
“Cek hpnya. Lihat sms yang masuk dan keluar. Dari situ mungkin ada petunjuk,” Alma mengaduk cafe latte yang masih nampak hangat di hadapannya.
“Aku gak bisa, Al. Aku belum pernah melakukannya. Ridho akan marah besar jika tahu aku mengutak-atik privasinya. Aku..” Tergugu rasanya. Aku hampir tidak mampu berkata apa-apa.
Alma menarik tanganku dan menggenggamnya erat. “Cobalah. Tidak ada salahnya, kan?”
Malam itu, saat Ridho tertidur pulas, aku mengecek hp-nya yang tidak pernah terkunci. Ya Allah, hampir pingsan rasanya aku membaca tiga sms terakhir yang ada di inbox. May namanya.
SMS 1: “Tolong aku, Mas. May bingung. Tidak tahu harus berbuat apa-apa. Kandunganku sudah semakin besar.”
SMS 2: “Yah, May setuju. Di Kafe Nasional lebih baik kan Mas?”
SMS 3: “Mas, jangan lupa ya. Kangen juga aku, sekalian kita ketemu. Wah, tidak sabar rasanya menanti bulan depan.”
Dengan cepat otakku mencatat nomor May. Saat aku hendak merangsak jauh mengecek hp, tiba-tiba Ridho bergerak mengubah posisi tidur. Hampir mati berdiri aku rasanya. Dengan cepat kuletakkan kembali hp di meja kecil di pojok kamar. Aku tidak punya nyali lagi mengecek sent items dari hp itu. Masa bodoh. Aku diam-diam menangis malam itu. Untuk pertama kali sejak aku menikah dengan Ridho selama lebih dari 7 tahun, aku merasa sesuatu menusuk menikam ulu hati.
Aku bertemu kembali dengan Alma. Setelah menceritakan isi sms May, Alma terlihat berkerut. “Nampaknya memang dia selingkuhan Ridho, Sis.”
“Tapi Ridho, dia terlalu baik. Tidak mungkin dia tega melakukannya.”
“Siska, jangan naif,” Alma memotong agak ketus.
Akhirnya aku menyerah. Kuturuti saran Alma untuk menyewa seseorang untuk melacak May dari nomor hpnya. Seminggu kemudian, pria tersebut, yang kubayar cukup mahal, bisa memberikan info awal tentang May. Dia berusia 3o tahunan dan belum menikah. Dia tinggal di Bandung, tempat di mana suamiku beberapa kali pergi dengan alasan meeting kantor. Geram aku. Mual aku. Ingin rasanya muntah. Terlebih ketika pria informan itu mengatakan, May sedang hamil muda.
Dan inilah harinya. Sejak semalam aku gelisah. Hampir tidak bisa tidur. Kepada Ridho kukatakan aku sedang tidak enak badan dan minta tidak dibangunkan. “Aku mau ijin hari ini, Say, “ bohongku kepada Ridho yang terlihat iba menatapku. Aku tidak peduli. Kupejamkan mata. Aku memang sakit. Hatiku yang sakit. Tikaman itu terasa makin menghujam di dada. Sesaat, aku merasakan luapan di dada yang tidak bisa kutahan. Sakit itu bercampur amarah. Aku… aku mulai membenci suamiku!
Setelah tahu Ridho sudah berangkat, aku bergegas beranjak. Tanpa sempat mandi dan berdandan, hanya mencuci muka dan menggosok gigi, kukenakan pakaian sekenanya. Tidak perlu rapi, karena toh, nanti, sesuai diskusiku dengan Alma, aku menyamar. Sepatu pantofel kukenakan, dengan celana panjang hitam dan hem maron kedodoran, beserta syal krem yang kusilang di kepala, aku segera mengeluarkan motor dari garasi. Semua pakaian untuk keperluan menyamar kubeli 2 hari lalu di Tanah Abang. Dengan ditemani Alma, aku memilih pakaian yang betul-betul berbeda dari biasanya yang kukenakan. Masa bodoh dengan segala trend terbaru, gerutuku. Hari ini adalah hari di mana aku akan melabrak Ridho dan May, selingkuhannya.
Dalam waktu setengah jam, aku sudah berada di jalan, tepat di seberang Kafe Nasional. Sesudah kuparkir motor, aku siap-siap menyeberang. Aku menajamkan pandanganku mencari sosok perempuan itu. Aku belum pernah melihatnya. Tapi sesuai pesan yang diterima Alma dari sang informan, May akan mengenakan batik corak kebiruan dan memakai tas warna coklat. Walaupun aku sempat bingung mengernyitkan dahi – -dari mana Alma tahu tentang May sedetil itu – aku tidak terlalu ambil pusing. Rasa geram dan cemburuku yang saat ini kurasakan semakin memuncak.
Lima menit aku berdiri di seberang, mencoba mencari-cari perempuan berbatik kebiruan dan mengenakan tas coklat. Lalu lintas yang lumayan padat cukup menghalangi pandanganku. Tiba-tiba, itu dia. Kulihat perempuan itu duduk, tepat di pinggir bagian luar kafe. Dan… Ya Tuhan. Dia duduk semeja dengan suamiku. May memang sedang bertemu dengan Ridho. Aku sudah hampir muntah, pusing, geram, marah. Semua bercampur aduk.
Tanpa melihat kanan kiri, aku segera menyeberang jalan. Tidak kuhiraukan beberapa kali klakson berbunyi. Peduli setan, dua meter lagi aku sampai. Mataku terus menatap pasangan yang nampak asyik berbincang itu. Tiba-tiba, Ridho menoleh ke arahku dan matanya terbelalak kaget. Aku hendak berteriak geram ketika blas….. Aku terhempas, terkapar. Yang kutahu sekilas, sebuah motor yang melaju sangat kencang menabrakku.
“Siska…,” Ridho melompat. Memeluk tubuhku, mengguncang sesekali. Kerumunan orang semakin banyak. Aku bingung, kenapa tiba-tiba Ridho memeluk perempuan yang mirip aku. Padahal aku berada di antara orang-orang yang berkerumun. Kucoba menghampiri Ridho yang sedang menangis dan berteriak histeris. Kusentuh bahunya, dia tidak bergeming. Kucubit tangannya, dia tidak bereaksi sedikitpun.
Aku makin bingung. Panik. Kudekati May. Dia tidak bergeming, tetap duduk di mejaku. Anehnya, dia malah sedang asyik sms. Mmh, keterlaluan perempuan lacur ini. Geram aku melihat kelakuannya. Kuhampiri untuk meludahi mukanya. Sebelumnya, ingin kutarik rambutnya. Ya, betul-betul kutarik. Tapi, dia tidak peduli. Kutarik kembali. Tidak ada perubahan, dia tetap asyik dengan hp-nya.
Akhirnya kugerakkan badan untuk bisa duduk tepat di hadapannya. Dan … aku hampir melorot. Lemas melihat May yang tidak lain adalah Alma. Kurangajar. Kulayangkan tangan ke mukanya. Tapi dia sepertinya tidak merasakan apa-apa. Malah, tiba-tiba dia tersenyum lebar.
Penasaran kudekati dia. Ingin kurampas hp-nya. Dia seperti tadi, tidak peduli sedikitpun, seolah aku tidak ada di dekatnya sama sekali. Aku sudah tidak peduli. Mataku memelototi apa yang sedang diketiknya. Untuk sesaat, aku betul-betul sudah kehilangan akal membaca isinya: “Mas, caramu menabraknya luarbiasa. Dia betul-betul terkapar tidak berdaya. Tidak akan ada lagi yang menghalangiku menjadi wakil direktur bulan depan. I love u, Mas.”
Bangsat, sialan, sundal! Alma sundal….!!!!!!!
Sedetik Alma berdiri. Aku yang terduduk lemas melakukan upaya terakhir, mencoba menjegal kakinya. Tapi dia tetap bisa melenggang bebas tanpa kendala.
Tinggallah aku yang menangis meraung-raung tanpa seorangpun bisa mendengarku. Tinggallah suamiku, yang makin terisak, di tengah kerumunan orang yang sedang menantikan ambulans dan polisi.[]
Banjarbaru, 30 Juli 2008
Sumber:
Radar Banjarmasin, 9 Agustus 2009
https://sudewi2000.wordpress.com/2009/07/26/cerpen-perempuan-yang-cemburu/
0 komentar: