Cerpen Ahsani Taqwim: Kisah Satu Kenangan

09.08 Zian 0 Comments

Sesekali mata cantik itu melirik memasuki ruang tamu. Namun laki-laki yang diperhatikan tak merasa, bergeming. Sudah dua kali perempuan itu menelusuri rumah mereka yang nyaman, tempat teduh dari model sangat sederhana dengan sedikit modifikasi pada halaman agar tak terlihat jemu. Cat warna putih disingkirkan, diganti warna biru muda, warna tenang nan bersahaja.
Sudah setengah jam Hani mengalamatkan pandangan ke tempat suaminya duduk. Ia lamat mengintip dari ujung tembok, pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. Ujung matanya menandai benda yang sejak tadi diselimuti perhatian oleh suaminya. Televisi masih saja meneriakkan kebohongan, suaminya abai. Seluruh pikiran disita oleh sebuah potret waktu, foto lawas berukuran 4R dengan pigura kayu berukir bunga melati. Foto itu membuat istrinya benar-benar gelisah, tak betah. Gambar seseorang yang usang, dengan kenangan yang mengerak di saput-saput otak suaminya.
Hani mendesah tanda menyerah, ia kembali ke dapur karena hampir jam 1 siang. Hari minggu ini seharusnya ia dan suaminya sudah berada di rumah acil Siti di Mandiangin sana. Perjalanan yang menyenangkan, dua jam dari Banjarmasin berbelok ke kanan di simpang empat Banjarbaru, melewati monumen perpotongan jalan menuju kota-kota penting yang sudah menghabiskan dua tahun lebih tak selelai dibangun, menuju jejeran gunung yang tampak ranum tentu teramat mengasikkan. Kabut tipis di sisi jalan, rumah-rumah sederhana dari kayu, dan anak-anak yang akrab dengan alam. Menyenangkan untuk ditelusuri, udara nyaman tentu membuat segalanya yang keras menjadi luruh perlahan.
Bayangan menghirup bau tanah yang harum gagal karena seperti tiga minggu yang lalu suaminya menggagalkan rencana tersebut dengan alasan ingin istrirahat dirumah, ditambah motor harus masuk perawatan di bengkel langganan. Leburlah semua rencana tentang jalan berdua sambil mengakrabkan lagi suasana keluarga yang tak lagi seharmonis kelihatannya ini. Ia menunduk, melempar semua pikiran ke dalam panci berisi waluh dan sayuran lain. Semuanya ia aduk dengan wancuh dan perasaaan gelisah.
Suaminya makan dengan perlahan, sesuap lalu jeda, seolah ada yang mengganjal dan menghalanginya untuk cepat-cepat menghabiskan nasi dan lauknya. Ia pun nampak tak terlalu bersemangat untuk makan siang kali ini. Perasaan dan pikirannya seakan bertarung, untuk bersikap biasa-biasa saja atau memuntahkan seluruh emosi yang coba diredamnya. Sudah dua tahun sejak kata-kata suci itu diucapkan rasanya, dan sudah hampir enam bulan ia dan suaminya menempati rumah sederhana ini. Ia merasa benar-benar telah berusaha membahagiakan suaminya, impiannya tenang keluarga yang penuh tawa dan raut gembira sepertinya hanya sebuah impian kosong. Sudah berulang kali ia kecewa, semua di endapkan saja.
Malam turun menyergap, gegas menyergap lewat dingin. Dan dingin itu pula yang terjadi antara ia dan suaminya hampir sebulan ini.
“Abang sakit?” ia memandang suaminya yang berbaring membelakanginya dengan selimut menutupi badan terkecuali bagian kepala.
Tak ada jawaban selain gelengan kepala. Ia diam dan jua merebahkan dirinya di samping suami yang sekarang amat disayanginya. Perlahan dicobanya untuk lelap namun pikirannya terus saja mengembara ke masa lalu.
Tiga tahun lalu ia tak pernah punya angan-angan untuk mengakhiri semua dengan Iqbal, suaminya. Ia dulu punya Arif, lelaki sempurna menurutnya. Fisik, Sikap, bahkan materi tak perlu di ragukan. Hanya Arif terlalu pengecut untuk meminta restu secara terang-terangan yang membuat orang tuanya menganggap Ia dan Arif hanya main-main. Terlebih orang tua Arif punya masalah khusus dengan Keluarganya. Ayahnya yang satu kantor dengan ayahnya Arif serta-merta meradang dan marah besar, setelah bukti korupsi itu terbongkar maka semua yang terlibat ia meja hijaukan. Pak Helmi, ayahnya Arif, menjadi salah satu dalang dari kolusi busuk itu. Mereka mendapat ganjaran, dan dendam sepertinya dimulai hari itu. Ia dan Arif memutuskan mengakhiri semuanya.
Setelah pukulan itu bertemu Iqbal secara tak sengaja saat ia menikmati lekukan indah pantai batakan. Kebetulan saat itu ayahnya bertemu ayah Iqbal yang ternyata teman lekat waktu SMA. Semuanya begitu cepat, Iqbal yang nampak biasa membuat ke dua orang tuanya merasa yakin Iqbal bisa menjadi suami yang baik. Tanpa masa pacaran yang lama ia dan Iqbal mengikat semuanya dua tahun lalu.
Kesalahan terbesarnya adalah tak pernah bertanya masa lalu Iqbal, ia menganggap ia lebih baik tak pernah tau masa lalu suaminya. Baginya setelah menjadi suami istri maka helai hidup baru yang akan ditulis. Bukankah masa lalu hanya patahan kenangan yang bisa kita tinggalkan di belakang, jauh dibelakang.
Malapetaka itu datang setahun yang lalu, saat suaminya mulai bertanya keturunan yang belum kunjung muncul. Wajar memang, karena suaminya benar-benar mengharap buah hati yang lucu sebagai penerang keluarga kecil ini. Ia pun hanya bisa membesarkan hati suaminya karena tak pernah tahu letak kesalahan dari semua ini berada di mana. Sejak saat itu suaminya lebih sering diam, dan akhir-akhir ini mulai memandangi foto dalam pigura yang tak pernah muncul sebelumnya. Sudah lama ia ingin bertanya namun tak pernah bisa, ia bukan orang yang ingin membuat masalah saat semua dianggapnya baik-baik saja.
“Aku pernah punya mimpi punya buah hati bernama Giza” ucapan suaminya membuat Hani tersedak di meja makan.
“Giza, nama yang bagus bang” sesungging senyum terulas dibibir mungilnya.
“Ya, dan mungkin jika aku bersama Niyala aku telah mempunyai Giza” kali ini tak ada jawaban dari Hani. Dada dan pikirannya berkecamuk, nama-nama yang tak pernah muncul itu kini tumpah di meja makan.
Hani memandang lekat Iqbal yang nampaknya juga sedang menerawang, ia melihat suaminya nampak kosong. Sebelum ia berucap semua terhenti dan teralih akibat alirab listrik yang padam.

***

Ia tau seberapa besar keinginan suaminya untuk mempunyai anak, hal itu makin menggebu saat adiknya yang masih berumur 6 tahun meninggal akibat deman berdarah. Ia benar-benar sosok yang menyayangi anak kecil. Sosok bapak yang hangat, namun ia tak tahu harus menyalahkan siapa. Segala hal sudah mereka lakukan bahkan kunjungan rutin ke dokter kandungan sudah menjadi kebiasaan. Lantas kalau Tuhan masih belum bermurah hati kemana ia harus mengadu. Dan yang paling tidak bisa ia terima adalah mengapa untuk alasan belum punya anak suaminya harus kembali terjebak di masa lalu.
“Sebelum bertemu kami aku sudah pernah berjanji menikah dengan Niyala, teman kecilku yang jadi guru di Batakan sana” air matanya meleleh saat itu juga.
“Dan kami memutuskan memberi nama Giza pada anak kami jika ia lahir ke dunia” ia tersungkur di kasur setelah pikirannya dihantui ucapan suaminya tadi malam. Ia benar-benar merasa lemah dan tak punya daya.
Mengapa setelah ia benar-benar mencintai Iqbal masalah ini tiba-tiba saja menahan laju biduk rumah tangganya. Ya ia sebenarnya pada awal-awal perkawinan juga belum bisa melupakan Arif, namun waktu mengalahkan diri dan hatinya. Ia menerima bahwa jodohnya adalah Iqbal, dan ia merasa punya kewajiban menjadi istri yang baik. Cinta yang dipupuk waktu adalah cinta yang penuh dan dalam.
Satu hal yang paling ditakutkannya adalah perpisahan. Ia merasa tak sanggup. Apalagi sejak malam saat nama Giza atau Niyala terkuak suaminya sering pergi entah kemana. Sudah sebulan lebih masalah ini berlarut-larut. Dan sudah dua minggu ini ia tak melihat iqbal.
Dengan sisa-sisa ketegaran dan isak yang selalu ditahan paginya ia mencoba mencari suaminya, ke kantor, ke rumah kerabat, dan rumah orang tua. Telepon genggam sepertinya tidak banyak membantu. Nihil, iqbal tak ada. Ia hilang akal, dan dengan beban pikiran yang berat ia mulai merasa begitu letih. Kondisi kesehatannya menurun hebat, malam ini ia benar-benar merasa sakit dan sendirian.
Pagi saat ia bangun, hidupnya kini benar-benar redup. Rumahnya kini senyap, menyimpan kepedihan yang sangat. Pintu di ketuk, dan nampak seseorang yang tak ia kenal membawa sehelai surat tanpa amplop. Ia terima kertas terlipat rapi itu dan mengucapkan terima kasih.
Hani merunuti tiap kata dalam surat tersebut. Sederhana, isinya adalah seseorang yang ia cintai memilih orang lain dengan harapan ini jalan yang terbaik bagi semua, tepatnya bagi suaminya. Di luar hujan tiba-tiba saja turun tanpa datang mendung. Hani pening, ia merasa mual dan tersungkur di ruang tamu. Ada aliran darah yang mengalir di antara ke dua kakinya. Rahimya tiba-tiba sakit. Hujan makin deras, angin mendesau-desau.[]

Sumber:
Media Kalimantan, 3 April 2010
https://web.facebook.com/notes/ahsani-taqwiem/kisah-satu-kenangan/381734899700/

0 komentar: