Cerpen Hamberan Syahbana: Jannatun Naim

21.37 Zian 0 Comments

Tanah wakap itu sebentar lagi pahalanya akan terhenti. Karena Jannatun Na’im itu belum juga terwujud. Padahal semua biaya dan bahan bangunan sudah tersedia. Tapi pembangunan Jannatun Na’im itu terhambat. Yang sangat menyakitkan hati justru penghambatnya itu adalah kakakku sendiri, Kak Burhan. Sungguh sangat memalukan.
"Ka Burhan sudah ada di kota. Besok pastilah kak Burhan ada di sini".
"Bagus itu," ucap istriku. "Artinya sampian bisa reuni sapadangsanakan. "
"Bagus apanya? Reuni? Dia pulang kampung untuk mengambil tanah wakap itu "
"Astagfirullah! Bagaimana mungkin?"
"Ya, itulah yang sangat mengganggu pikiranku."

Tanpa kusadari tiba-tiba saja ada seseorang berdiri di ambang pintu. Lelaki itu nampak kusuh tak terawat. Kurus, berewok, bertopi pet hitam, rambut gondrong dan berkacamata hitam. Ada tompel hitam di pipi kirinya. Sesaat aku tak mengenal siapa lelaki itu.
"Assalamu alaikum." salam lelaki itu.
Salam itu terdengar layu, tapi suara itu sangat familiar bagiku. Bahkan aku langsung merasa sangat akrab dengan suara itu. Tapi itu suara siapa ya? Dimana ya aku pernah mendengar suara itu? Kuperhatikan dengan seksama lelaki itu dari kepala sampai kaki. Kupandangi wajah lelaki asing itu. Lelaki itupun memandangku. Cukup lama kami berpamdangan tanpa ada yang bersuara. Ternyata itu adalah suara kakakku Ka Burhan. Pasti.
"Wa alaikum salam" sahutku dan istriku masih kebingungan.
Ka Burhan menaruh tas ranselnya di lantai, melepas kacamata hitamnya, melepas topi. Ternyata itu wig gondrong yang menyatu dengan topinya. Dan tompel yang ada di pipi itu juga palsu. Kamipun bersalaman, ada rasa haru di antara kami. Ka Burhan memelukku lama sekali, hingga terasa ada air mata meleleh di pipi kami masing-masing.
"Ka Burhan baru datang dari perjalanan jauh sudah pasti sangat lelah. Sebaiknya Ka Burhan istirahat saja," usul istriku.
"Ya, sebaiknya Ka Burhan istirahat saja."
"Tidak perlu!" "Kalau begitu, buatkan kopi untuk Ka Burhan," pintaku pada aistriku.
Sementara isteriku masuk ke dalam, Aku dan Ka Burhan masih diam. Ada kekakuan diantara kami, seakan ada jurang pemisah di antara kami. Sesekali kulirik kakakku yang lama meninggalkan kampung halaman ini. Tampak raut muka yang payah dan lelah, tak ada tanda-tanda kesangaran dan kegarangan. Padahal konon katanya ini adalah sosok yang sangat ditakuti orang di seberang sana.
Tiba-tiba adik bungsuku Riduan telah berdiri di ambang pintu. Nafasnya masih ngos-ngosan. Setelah mengucapkan salam dia pun berpelukan dengan Ka Burhan lama sekali. Kemudian tanpa ada basa basi, mereka masing-masing duduk di kursi tamu.
Ka Burhan melepas jaketnya yang butut, sehingga jelas kulihat tubuh yang kurus tak terurus. Ka Burhan diam sejenak, lalu kami saling tatap saling pandang dalam tatapan hampa.
"Kita sudah lengkap di rumah ini. Jadi aku tidak perlu lagi mengumpulkan kalian."  
Ka Burhan membuka suara sambil menyalakan rokok lalu mengisapnya dalam-dalam.
"Ka, gawat!," kata Riduan. "Semua patok-patok yang ada di tanah itu sudah habis semua. Ada orang yang membuangnya. Semua habis, termasuk papan nama Jannatun Na’im juga hilang "
"Aku yang membuang semua itu. Tanah itu memang menjadi bagianku kan?"
"Satu lagi Kak," sambung Riduan. "Tadi malam ada yang mau membakar balai desa, tetapi keburu diketahui orang."
"Itu bukan aku yang membakarnya! Apa kalian juga menuduhku? Jangan sembarangan menuduh orang!"
Ka Burhan bangkit dan marah bukan main. Kami terkejut di tempat duduk. Baru kali ini kulihat kesangaran dan kebengisan kakakku yang ditakuti orang itu.
"Buat apa kulakukan semua itu? Kedatanganku adalah untuk membereskan soal tanah warisan. Bukan mau membakar balai desa. Akh, itu fitnah!"
Ka Burhan semakin marah, ia mengeluarkan pistolnya. Kuterperanjat, gugup, takut. Bingung harus berbuat apa melihat Ka Burhan yang mulai kalap.
"Ah, sungguh keterlaluan orang-orang di desa ini! Mentang-mentang aku mau mengambil tanah itu, dakwaan kalian tujukan kepadaku! Kalian ini berpikir seenaknya saja. Lagi pula apa untungnya bagiku? "
Istriku datang membawa tiga gelas kopi, ia gemetar itu terlihat jelas pada gelas-gelas kopi yang turut bergetar. Ia menaruhnya di atas meja dan berdiri sebentar.
"Ka Burhan sebaiknya istirahat dahulu. Kamarnya sudah saya siapkan. Barangkali masih kecapean atau pegal-pegal. Kaina ulun kiyawakan Julak Mamar paurutan yang terkenal disini. Kalau sudah hilang lelahnya, sudah segar, barulah pembicaraan ini diteruskan kembali."
"Hei, kamu jangan ikut campur! Ini urusan kami bertiga bersaudara. Lagi pula ini bukan urusan perempuan!," bentak Ka Burhan menakutkan.
Istriku terkejut, ia ketakutan, gemetar seluruh tubuhnya lalu cepat-cepat ia masuk ke dalam.
"Sabar, sabar Ka Burhan. Sebaiknya kopi ini diminum dulu nanti keburu dingin. Setelah itu baru kita bicara lagi," kucoba menenangkannya.
Ka Burhan menyimpan pistolnya lalu duduk dan meminum kopinya, kulihat Ka Burhan menikmatinya.
"Kalian memang benar-benar serakah! Tanah yang secuil ini pun mau kalian ambil. Dasar tamak! Serakah!"
"Tapi Ka, tanah ini sudah diwakapkan almarhum ayah kita."
"Yang diwakapkan itu kan hanya hasil kebunnya saja bukan tanahnya! Tanah ini adalah bagianku, miliku. Yang lainnya? Sudah kalian sikat semua!"
"Itu tidak benar, Ka." jelasku.
"Buktinya? Tak ada bagianku kan? Waktu itu aku dinyatakan telah meninggal kan? Tega kalian memutuskan secara sepihak. Seharusnya kalian mencariku. Bahkan isteriku yang hamil tua pun kalian usir, kan? Dasar tak berprikemanusiaan!"
"Itu hanya kekeliruan dan kekeliruan itu sudah diperbaiki. Warisan dibagi ulang. Ka Burhan sudah mendapatkan bagian. Ka, dengarlah penjelasan kami "
"Ah tidak perlu! Itu hanya akal-akalan kalian saja, kan? Pokoknya siapa pun tidak ada yang boleh mengambil tanah itu. Ini sudah menjadi keputusanku!"
Tiba-tiba muncul Suci istri Ka Burhan bersama Marni anaknya. Terlihat jelas Ka Burhan sangat terkejut, tak menduga akan berjumpa dengan istrinya. Kulihat Ka Burhan memperhatikan kedua wanita itu dengan seksama.
"Suci? Kau kah ini Suci?
"Alhamdulillah, akhirnya kita berjumpa disini. Bang, ini Marni anak kita Bang."
Marni bingung, benarkah ini ayahnya? Ayah dan anak ini saling berpandangan, bertatapan dengan penuh rasa haru.
Ka Burhan menatap gadis kecil yang sangat mirip ibunya, "Marni, sini. Ini aku ayahmu. Ayo." Marni mendekati ayahnya.
"O jadi kalian sudah lama tinggal di desa ini?"
"Ya, Bang, Abang pergi kemana? Lama benar Abang meninggalkan kami."
Burhan terkulai layu, nampak wajahnya penuh dengan penyesalan karena telah menuduh kami mengusir istrinya.
"Bang, saya sudah mendengar semuanya. Sungguh tega Abang menuduh mereka yang bukan-bukan. Padahal Abang sudah mendapat bagian waris yang adil. Sawah dan ladang bagian Abang saya pinjamkan kepada orang lain. Hasil bagiannya melebihi untuk makan satu tahun. Mereka juga telah membuatkan sebuah rumah, lengkap dengan kiosnya sekalian dengan modalnya. Abang sungguh keterlaluan.
"Maafkanlah aku, aku titip anak dan istriku." Kak Burhan bersiap-siap pergi.
"Abang mau kemana lagi?," tanya istrinya.
"Aku cape jadi buronan, aku ingin menyerahkan diri pada polisi. Dan masalah tanah itu sudah aku ikhlaskan. Teruskanlah pembangunan Pesantren Jannatun Na’im itu. Adik-adikku mari peluklah aku." Kami pun berpelukan lama sekali
Alhamdulillah, akhirnya selamat juga amal jariah orang tuaku. Subhanallah, terima kasih Ya Allah, atas taufik dan hidayahMu kepada kakak kami.
Tiba-tiba saja, "Dor dordordor!" peluru-peluru polisi itu pun menembus tubuh Ka Burhan yang jatuh terkapar dilantai bersimbah darah. Inna lillaahi wa inna ilaihi roojiuun. Terimalah taubat Kaka kami ini Ya Allah.

Banjarmasin, 2009

Sumber
http://syahbanasastrapelangi.blogspot.co.id/2016/05/normal-0-microsoftinternetexplorer4_26.html

0 komentar: