Cerpen Hatmiati Masy'ud: Puasa di Cermin Retak
Kampung Sekadup geger, fatwa pada petinggi bulan puasa ini masyarakat boleh berjualan di siang hari.
“Bagaimana ini Pak Lurah?”
“Bagaimana apanya? Itu kan keputusan yang di atas sana. Jadi yang mau puasa, ya silakan, yang tidak juga ndak papa.”
Pertemuan di balai desa ricuh, sebagian masyarakat tidak sepakat ada yang berdagang siang hari pada bulan puasa, kecuali setelah pukul tiga sore. Sedangkan yang lain, mendukung keputusan yang di atas, dari pada berjualan sembunyi-sembunyi sedangkan kaki gelantungan kelihatan dari bawah tenda.
“Wah, bahaya ini Pak Lurah. Harus jelas, nanti tugasnya satpol PP apa bulan puasa ini. Siapa yang dirazia? Yang makan atau yang berjualan?”
“Begini Pak Dedi, kita ini kan umat muslim terbesar, Muslim Nusantara istilahnya. Kita harus menghormati mereka yang tidak berpuasa.”
Balai desa penuh teriakan, ketidakpuasan, juga kemarahan.
“Keputusan aneh Pak Lurah. Harusnya mereka yang menghormati kita.”
“Lho, ini kan fatwa para petinggi, saya hanya meneruskan.”
“Jadi, kampung kita bagaimana?”
“Bapak dan Ibu, selama ini kan setiap bulan puasa satpol PP selalu razia dan selalu menangkap basah para penjual dan pembeli yang makan dan minum di siang hari. Kalau sekarang terang-terangan jadinya akan kelihatan, siapa yang makan, siapa yang berjualan. Begitu saja kok repot.”
Dengungan suara di balai desa seperti tawon yang terbang mengelilingi sarang. Suara terbelah menjadi dua, tetapi kali ini yang mendukung keputusan untuk berjualan semakin banyak.
“Pak Lurah, kampung kita ini kan hampir semua muslim, paling satu dua yang tidak, itupun pendatang.”
“Pak Jarwo, kita yang harus menghormati mereka. soalnya mereka sedikit, kalau bukan kita yang menghormati mereka siapa lagi.”
“Mohon izin berbicara Pak.”
Suasana menjadi senyap.
“Silakan Pak Dasuki.”
“Saya sudah tinggal di kampung ini selama sepuluh tahun dan sudah sepuluh tahun pula saya melewati bulan puasa di sini. Kalian berpuasa, saya ikut tidak makan dan minum di depan kalian. Sepengetahuan saya, yang tertangkap tangan sedang berjualan dan membeli makanan bukankah kaum kalian sendiri?”
Kembali suara mendengung.
“Pak Lurah,” suara Mualim Haji Hamidi menggetarkan. “Tak apa turuti saja perintah petinggi selama tidak bertentangan dengan akidah. Kita memang sama-sama harus menghormati. Sama ketika ada acara-acara lain pada agama lain, kita pun juga harus menghormati. Rapat ini tak akan selesai kalau hanya debat kusir begini. Sebaiknya silakan Pak Lurah buat keputusan, kami masyarakat kampung Sekadup siap menerima keputusan yang dibuat.”
“Ehem...” Suara Pak Lurah sebelum berbicara, “jadi, sesuai dengan fatwa para petinggi, maka berjualan dibolehkan bagi pedagang di siang hari untuk mereka yang tidak berpuasa karena berbeda keyakinan atau sedang uzur.”
“Sebentar, Pak Lurah! Apa yang dimaksud sampeyan uzur?” Maliki, mahasiswa semester satu di perguruan tinggi swasta turut bertanya.
“Begini Nak Maliki, yang dimaksud uzur di sini yaitu orang tidak bisa berpuasa, misalnya musafir yang sedang lewat di kampung kita dan tidak berpuasa diperbolehkan mampir di warung untuk makan dan minum, para orang tua yang sudah sakit-sakitan dan juga tidak sanggup berpuasa lagi, bahkan para perempuan yang sedang kedatangan tamu bulanan, juga para pekerja keras, seperti para penambang dan penarik becak.”
“Ooo, begitu ya. Ya, ya, ya, ana paham Pak Lurah.”
“Wah, kacau Pak Lurah ini. Kalau begini aturannya bakal banyak orang yang tidak berpuasa karena ikut fatwa petinggi.” Gerutuk Pak Dedi.
“Saudara-saudaraku seiman, ingat! Puasa itu hukumnya wajib, Anda meninggalkan puasa berarti harus siap menggantinya di kemudian hari. Islam hanya satu, tak ada Islam Nusantara. Satu lagi, yang menghancurkan kita bukan orang lain, tetapi diri kita sendiri. Kitalah yang harus menghormati agama kita.” Suara Mualim Haji Hamidi sebelum meninggalkan tempat duduk.
***
Malam pertama puasa, langgar-langgar penuh, mesjid-mesjid penuh, balai-balai juga penuh oleh jemaah yang akan shalat tarawih. Terlebih di kampung Sekadup. Satu-satunya langgar yang berdiri di tengah-tengah desa dihias dengan lampu berkelap-kelip, teras langgar diberi karpet plastik, meriah ditingkah suara petasan juga pijaran alili. Jemaah meluap sampai ke jalan desa.
“Mualim, penuh langgar kita malam ini, bahkan meluber. Biasanya berisi satu shaf saja sudah lumayan.” Mualim Haji Hamidi hanya tersenyum.
“Alhamdulillah, semoga seterusnya begini.”
“Aamiin,” beberapa orang menyahut perkataan Mualim.
***
Pak Lurah sudah memakai baju koko dan sarung yang baru dibeli di pasar Sudi Mampir Banjarmasin ketika Rianah menghampiri.
“Jadi berjualan esok, Pak?”
“Kita lihat perkembangan dulu Bu, ada atau tidak orang berjualan.”
“Tahun lalu kita berjualan mulai hari pertama, Pak.”
“Dan, itu hampir tertangkap Bu, untung satpol PP-nya paham kalau itu ibu yang berjualan sehingga mereka agak lama di warung Bu Minah.”
Rianah, istri Pak Lurah itu tersenyum simpul. Dia ingat kalau saat itu dagangannya sudah hampir habis dan tinggal sedikit yang dibereskan.
“Memangnya Ibu sudah siap, ya?”
“Sudah Pak, itu bumbu masah habang haruan, lalapan, gangan karuh, nila, juga pepesan patin.”
“Kue-kue untuk berbuka tidak disiapkan Bu?”
“Juga sudah Pak, itu ada lapis legit, kararaban, amparan tatak, dan bingka barandam.”
“Iya Bu, tapi kalau jualan mulai pagi sebaiknya ditutup pakai tenda biru itu Bu, biar tidak terlalu kelihatan.”
“Esok, Bapak puasa?”
“Lihat nantilah, kalau terbangun waktu sahur, berarti Bapak puasa.”
***
Kampung Sekadup lengang di pagi pertama puasa. Pasar-pasar subuh kehilangan pembeli, di rumah-rumah orang-orang bergelung di dalam selimut atau mematung di depan televisi. Langgar satu-satunya hanya berisi segelintir orang yang sedang asyik tadarus Alquran. Tetapi, Rianah sudah sibuk mengangkut panci-panci besar ke dalam becak. Nasi-nasi kuning telah terbungkus rapi dengan daun pisang, sedangkan termos berisi nasi putih yang masih mengepul. Keringat menetes di wajah Rianah, dengan muka kemerah-merahan istri pak Lurah itu berangkat berjualan.
Pukul sembilan pagi, Rianah dibantu Pak Min si tukang becak menyusun setiap wadah-wadah dengan rapi di warung, panci-panci diletakkan di atas kompor, sedangkan nasi kuning berjejer rapi seperti barisan paskibraka. Sebentar-sebentar terdengar suara pelan, “Bu, nasi kuningnya dua ya, pakai sambal.” Rianah dengan sigap membungkus dalam plastik hitam. Melihat istri Pak Lurah berjualan, pedagang lain mulai ikut menghampar dagangan, hingga warung ramadhan sudah ramai mulai pagi hari serupa bukan bulan puasa.
Semakin siang, semakin terang, semakin banyak orang yang lewat. Satu dua ada yang berani duduk di warung, sambil ngopi dan merokok. Sesekali celutukan terdengar, “enak juga bulan puasa begini. Nanti kalau pulang ikut buka bareng dengan keluarga.”
“Nah, itu mah keterlaluan, sudah nggak puasa, di rumah pura-pura puasa.”
“Menghormati istri, Bro.”
Rianah tersenyum.
“Nah, kalau yang jualan ini puasa nggak ya?”
“Siapa? Saya?” Tanya Rianah.
“Iya, siapa lagi, kan yang jualan situ.”
“Insyaallah puasa kalau sampai bedug magrib nanti.”
“Oh, kalau nggak sampai, berarti nggak puasa dong.” Rianah tak lagi menyahut. Dia pura-pura sibuk mencuci piring di belakang. Sedangkan Pak Min, asyik merokok di samping warung.
***
Mualim Haji Hamidi dan Pak Dedi lewat di depan warung-warung ramadhan yang mulai ramai pembeli, bahkan sebelum tengah hari. Sebagian cepat bersembunyi melihat Mualim dan Pak Dedi.
“Innalillah, beginikah hasil kebijakan petinggi negara.” Suara Pak Dedi. Mualim berzikir. Sebenarnya siapa yang tidak menghormati siapa. Mualim kenal siapa yang berdagang dan siapa yang membeli, tak ada yang uzur apalagi musafir.
“Mari Pak Dedi, kita makmurkan langgar, sudah menjelang shalat Djuhur. Kitalah yang menjadi contoh untuk mereka.” Mereka berlalu.***
“Bagaimana ini Pak Lurah?”
“Bagaimana apanya? Itu kan keputusan yang di atas sana. Jadi yang mau puasa, ya silakan, yang tidak juga ndak papa.”
Pertemuan di balai desa ricuh, sebagian masyarakat tidak sepakat ada yang berdagang siang hari pada bulan puasa, kecuali setelah pukul tiga sore. Sedangkan yang lain, mendukung keputusan yang di atas, dari pada berjualan sembunyi-sembunyi sedangkan kaki gelantungan kelihatan dari bawah tenda.
“Wah, bahaya ini Pak Lurah. Harus jelas, nanti tugasnya satpol PP apa bulan puasa ini. Siapa yang dirazia? Yang makan atau yang berjualan?”
“Begini Pak Dedi, kita ini kan umat muslim terbesar, Muslim Nusantara istilahnya. Kita harus menghormati mereka yang tidak berpuasa.”
Balai desa penuh teriakan, ketidakpuasan, juga kemarahan.
“Keputusan aneh Pak Lurah. Harusnya mereka yang menghormati kita.”
“Lho, ini kan fatwa para petinggi, saya hanya meneruskan.”
“Jadi, kampung kita bagaimana?”
“Bapak dan Ibu, selama ini kan setiap bulan puasa satpol PP selalu razia dan selalu menangkap basah para penjual dan pembeli yang makan dan minum di siang hari. Kalau sekarang terang-terangan jadinya akan kelihatan, siapa yang makan, siapa yang berjualan. Begitu saja kok repot.”
Dengungan suara di balai desa seperti tawon yang terbang mengelilingi sarang. Suara terbelah menjadi dua, tetapi kali ini yang mendukung keputusan untuk berjualan semakin banyak.
“Pak Lurah, kampung kita ini kan hampir semua muslim, paling satu dua yang tidak, itupun pendatang.”
“Pak Jarwo, kita yang harus menghormati mereka. soalnya mereka sedikit, kalau bukan kita yang menghormati mereka siapa lagi.”
“Mohon izin berbicara Pak.”
Suasana menjadi senyap.
“Silakan Pak Dasuki.”
“Saya sudah tinggal di kampung ini selama sepuluh tahun dan sudah sepuluh tahun pula saya melewati bulan puasa di sini. Kalian berpuasa, saya ikut tidak makan dan minum di depan kalian. Sepengetahuan saya, yang tertangkap tangan sedang berjualan dan membeli makanan bukankah kaum kalian sendiri?”
Kembali suara mendengung.
“Pak Lurah,” suara Mualim Haji Hamidi menggetarkan. “Tak apa turuti saja perintah petinggi selama tidak bertentangan dengan akidah. Kita memang sama-sama harus menghormati. Sama ketika ada acara-acara lain pada agama lain, kita pun juga harus menghormati. Rapat ini tak akan selesai kalau hanya debat kusir begini. Sebaiknya silakan Pak Lurah buat keputusan, kami masyarakat kampung Sekadup siap menerima keputusan yang dibuat.”
“Ehem...” Suara Pak Lurah sebelum berbicara, “jadi, sesuai dengan fatwa para petinggi, maka berjualan dibolehkan bagi pedagang di siang hari untuk mereka yang tidak berpuasa karena berbeda keyakinan atau sedang uzur.”
“Sebentar, Pak Lurah! Apa yang dimaksud sampeyan uzur?” Maliki, mahasiswa semester satu di perguruan tinggi swasta turut bertanya.
“Begini Nak Maliki, yang dimaksud uzur di sini yaitu orang tidak bisa berpuasa, misalnya musafir yang sedang lewat di kampung kita dan tidak berpuasa diperbolehkan mampir di warung untuk makan dan minum, para orang tua yang sudah sakit-sakitan dan juga tidak sanggup berpuasa lagi, bahkan para perempuan yang sedang kedatangan tamu bulanan, juga para pekerja keras, seperti para penambang dan penarik becak.”
“Ooo, begitu ya. Ya, ya, ya, ana paham Pak Lurah.”
“Wah, kacau Pak Lurah ini. Kalau begini aturannya bakal banyak orang yang tidak berpuasa karena ikut fatwa petinggi.” Gerutuk Pak Dedi.
“Saudara-saudaraku seiman, ingat! Puasa itu hukumnya wajib, Anda meninggalkan puasa berarti harus siap menggantinya di kemudian hari. Islam hanya satu, tak ada Islam Nusantara. Satu lagi, yang menghancurkan kita bukan orang lain, tetapi diri kita sendiri. Kitalah yang harus menghormati agama kita.” Suara Mualim Haji Hamidi sebelum meninggalkan tempat duduk.
***
Malam pertama puasa, langgar-langgar penuh, mesjid-mesjid penuh, balai-balai juga penuh oleh jemaah yang akan shalat tarawih. Terlebih di kampung Sekadup. Satu-satunya langgar yang berdiri di tengah-tengah desa dihias dengan lampu berkelap-kelip, teras langgar diberi karpet plastik, meriah ditingkah suara petasan juga pijaran alili. Jemaah meluap sampai ke jalan desa.
“Mualim, penuh langgar kita malam ini, bahkan meluber. Biasanya berisi satu shaf saja sudah lumayan.” Mualim Haji Hamidi hanya tersenyum.
“Alhamdulillah, semoga seterusnya begini.”
“Aamiin,” beberapa orang menyahut perkataan Mualim.
***
Pak Lurah sudah memakai baju koko dan sarung yang baru dibeli di pasar Sudi Mampir Banjarmasin ketika Rianah menghampiri.
“Jadi berjualan esok, Pak?”
“Kita lihat perkembangan dulu Bu, ada atau tidak orang berjualan.”
“Tahun lalu kita berjualan mulai hari pertama, Pak.”
“Dan, itu hampir tertangkap Bu, untung satpol PP-nya paham kalau itu ibu yang berjualan sehingga mereka agak lama di warung Bu Minah.”
Rianah, istri Pak Lurah itu tersenyum simpul. Dia ingat kalau saat itu dagangannya sudah hampir habis dan tinggal sedikit yang dibereskan.
“Memangnya Ibu sudah siap, ya?”
“Sudah Pak, itu bumbu masah habang haruan, lalapan, gangan karuh, nila, juga pepesan patin.”
“Kue-kue untuk berbuka tidak disiapkan Bu?”
“Juga sudah Pak, itu ada lapis legit, kararaban, amparan tatak, dan bingka barandam.”
“Iya Bu, tapi kalau jualan mulai pagi sebaiknya ditutup pakai tenda biru itu Bu, biar tidak terlalu kelihatan.”
“Esok, Bapak puasa?”
“Lihat nantilah, kalau terbangun waktu sahur, berarti Bapak puasa.”
***
Kampung Sekadup lengang di pagi pertama puasa. Pasar-pasar subuh kehilangan pembeli, di rumah-rumah orang-orang bergelung di dalam selimut atau mematung di depan televisi. Langgar satu-satunya hanya berisi segelintir orang yang sedang asyik tadarus Alquran. Tetapi, Rianah sudah sibuk mengangkut panci-panci besar ke dalam becak. Nasi-nasi kuning telah terbungkus rapi dengan daun pisang, sedangkan termos berisi nasi putih yang masih mengepul. Keringat menetes di wajah Rianah, dengan muka kemerah-merahan istri pak Lurah itu berangkat berjualan.
Pukul sembilan pagi, Rianah dibantu Pak Min si tukang becak menyusun setiap wadah-wadah dengan rapi di warung, panci-panci diletakkan di atas kompor, sedangkan nasi kuning berjejer rapi seperti barisan paskibraka. Sebentar-sebentar terdengar suara pelan, “Bu, nasi kuningnya dua ya, pakai sambal.” Rianah dengan sigap membungkus dalam plastik hitam. Melihat istri Pak Lurah berjualan, pedagang lain mulai ikut menghampar dagangan, hingga warung ramadhan sudah ramai mulai pagi hari serupa bukan bulan puasa.
Semakin siang, semakin terang, semakin banyak orang yang lewat. Satu dua ada yang berani duduk di warung, sambil ngopi dan merokok. Sesekali celutukan terdengar, “enak juga bulan puasa begini. Nanti kalau pulang ikut buka bareng dengan keluarga.”
“Nah, itu mah keterlaluan, sudah nggak puasa, di rumah pura-pura puasa.”
“Menghormati istri, Bro.”
Rianah tersenyum.
“Nah, kalau yang jualan ini puasa nggak ya?”
“Siapa? Saya?” Tanya Rianah.
“Iya, siapa lagi, kan yang jualan situ.”
“Insyaallah puasa kalau sampai bedug magrib nanti.”
“Oh, kalau nggak sampai, berarti nggak puasa dong.” Rianah tak lagi menyahut. Dia pura-pura sibuk mencuci piring di belakang. Sedangkan Pak Min, asyik merokok di samping warung.
***
Mualim Haji Hamidi dan Pak Dedi lewat di depan warung-warung ramadhan yang mulai ramai pembeli, bahkan sebelum tengah hari. Sebagian cepat bersembunyi melihat Mualim dan Pak Dedi.
“Innalillah, beginikah hasil kebijakan petinggi negara.” Suara Pak Dedi. Mualim berzikir. Sebenarnya siapa yang tidak menghormati siapa. Mualim kenal siapa yang berdagang dan siapa yang membeli, tak ada yang uzur apalagi musafir.
“Mari Pak Dedi, kita makmurkan langgar, sudah menjelang shalat Djuhur. Kitalah yang menjadi contoh untuk mereka.” Mereka berlalu.***
Sumber:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1136998209675620&id=100000963564705
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1136998209675620&id=100000963564705
0 komentar: