Cerpen M. Fadli Al Fudhail: Hadiah Surga dari Ayah

21.12 Zian 0 Comments

Pagi itu....
Aku ditemani sang mentari yang cerah dan angin yang berhembus pelan, mencoba untuk tersenyum ditengah hati yang sedang gundah.
Apakah benar ini hari terakhir aku sebagai lajang? Tidakkan ku pikir ini trlalu cepat? Umurku maseh 18 tahun, dan aku baru saja lulus dari sekolah ku dipesantren.
Ku coba untuk menahan genangan air dipelupuk mataku, besok acara sudah berlangsung, sedangkan aku tidak tahu siapa orang yang akan menjadi imamku nanti.
Aku hidup dengannya hingga tua namun hingga hari ini batang hidungnya pun tak pernah ku lihat, ayah, tidakkah ayah berpikir ini berat bagiku, disaat teman-teman ku masih menggendong buku apakah aku sudah harus menggendong seorang anak.
“nak, lakasi kaluar gen, tuh abah manunggui handak maantar ikam kapuskesmas gasan imunisasi sabalum banikahan” ibu menghampiriku dan berbicara dalam logat banjar bahasa dalam suku kami.
Dan akupun hanya bisa pasrah dan menyahut pelan ”inngih ma’ae ni ulun basiap-siap nah”.

Sebagai anak yang berbakti akupun harus menuruti perintah orang tuaku yang ingin menjodohkan aku dengan anak jurangan kayu dikampung sebelah.
Dengan bergegas aku mempersiapkan diri untuk pergi bersama ayah ke puskesmas. Menyampirkan kerudung ku dengan rapi dan sedikit bedak tipis agar tidak kelihatan pucat. Terdengar ayah memanggil dari luar “nak lakasi abah mahadangi nah” kutengok ayah dari pintu dan berucap “inggech bah ne siap nah” kembali bergegas aku menghampiri ayah, kutengok ayah sambil tersenyum sudah duduk dengan tegak dikendaraan butut tercintanya.”hehe anakku nang bujang nih babengkeng dahulu handak tulak, tahu bnar isuk handak dikawinakan” kata ayah sambil mengusap sayang kepalaku.dan akupun hanya bisa cemberut manja.
Setelah kembali dari puskesmas dan turun dari kendaran butut tercinta ayah, bergegas ibu menghampiriku “ kayapa tadi nak hudahkah basuntiknya?” kata ibu dengan suara tidak terlalu nyaring bahkan hampir berbisik. Dan akupun menyahut “inggih ma’ae sudah disuntik tadi ulun.” Kembali ibu bertanya sambil menarikku kearah bangku teras. “disuntik apa tadi nak? Disuruh baKB kah ikam nak?”. kembali aku menyahut” jar ibu dokternya inggih jar ma’ae disuruh nang sabulan jar, ulun ni inggih’ae kda tahu fnk jaka pn manggani’e tadi?”ujarku sambil tersenyum.” Haduh ikam ne nak’ae kaya kada tahu haja kandaraan abah ikam tu sabuahannya buruk ha pulang.kayapa mama handak umpat” kata ibuku sambil tertawa.
Lalu ibuku pun kembali masuk kedalam rumah membantu ibu-ibu tetangga yang sedang bergotong royong dirumahku untuk mempersiapkan masakan untuk pernikahanku besok.
Aku sedikit terenyuh melihat ibu dan ayahku telihat sangat senang menanti pernikahanku, dari kemarin mereka tak henti-hentinya tersenyum dan menyeru para tetangga untuk datang kepernikahan besok. Itulah sebab kenapa aku sama sekali tidak tega mengatakan tidak ketika ibu menyampaikan bahwa anak juragan kayu itu melamarku seminggu yang lalu. Rasa-rasanya sebagai anak sulung dari tiga bersaudara dari adik-adikku, aku tidak tega kalau berlama-lam membebani mereka, dengan uang yang seada-adanya untuk membiayai aku dan adik-adikku sekolah.aku berpikir mungkin inilah jalanku berbakti dan aku hanya bisa mnerimanya dengan lapang hati karna calon suamiku dari keluarga yang cukup berada ku pikir mungkin nanti aku bisa membantu bapak dan ibu menyekolahkan adik-adik ku, tidak hanya sampai lulus aliayah sepertiku namun aku bertekad bisa membantu mereka hingga adik-adikku menyelesaikan kulyahnya. Mungkin niat untuk membahagiaka orang tuaku itulah yang menyebabkan aku menolak melihat foto orang itu saat ditunjukkan kepadaku ketika lamaran itu berlangsung diruang tamu dan aku hanya disuruh berdiam dalam kamar.
Hari mulai sore, segera aku masuk kedalam rumah.kulihat ayah dan para tetanga lainnya pun bersiap merapikan peralatan pertukangan merekaa setelah selesai dari kesibukan mempersiapkan tenda-tenda untuk para undangan besok mengambil makanan.
ALLAHUAKBAR ALLAHUAKBAR, tak terasa adzan maghrib berkumandang bergegas aku mengambil wudhu, karna mungkin ini sholat berjamaah terakhir bersama ayah, karna besok aku sudah dinikahkan bersama orang yang belum ku kenal dan besok sudah akan menjadi suamiku yang seterusnya akan menjadi imamku dalam tiap-tiap solatku nanti.
Setelah selesai solat maghrib lalu sholat isya ayah masih memimpin wirid dan do’a. Kulihat ketika berdo’a mata ayah sedikit berkaca-kaca, mungkin ayah juga sedih membayangkan besok beliau harus melepas anak kesayangannya untuk hidup bersama orang lain. Lalu ku ikuti ayah menadahkan tangan sambil berdo’a didalam hati:
Rabbi…
Di tengah air rahmat-Mu yang turun membasahi ranah kami ini,
Aku memohon..
Ampuni segal dosa-dosa hamba, dan dosa-dosa kedua orangtua hamba
Limpahkan segala rahmatmu kepada mereka.
Dan hamba berharap Bahwa laki-laki yang hari ini akan meminang hamba
adalah yang terbaik untuk hamba.
 jika ini memang yang terbaik untuk hamba,
Maka dengan sangat bahagia hamba akan menyimpan rasa ego
Dan mulai mencintai apa yang telah menjadi tulisan-Mu..
Di hari ini, hamba berserah diri kepada-Mu..
Mengharap Engkau akan membukakan pintu-pintu keajaiban
Untuk diri hamba yang hina ini..
Hamba ingin menjaadi seperti Khadijah,
Yang mendapatkan suami terbaik untuk dirinya yang juga terbaik..
Hamba juga ingin menjadi seperti Aisyah,
Meskipun dini, namun ia mendapatkan seseorang
Yang selalu menuntunnya ke arah yang benar..
Hamba tak ingin mendahulukan-Mu Ya Rabbii..
Hamba hanya ingin Engkau memilihkan untuk hamba,
Layaknya Engkau memilihkan untuk Khadijah dan Aisyah..
Hingga detik ini, hamba masih berharap bahwa
Engkau akan memberikan hamba yang terbaik, dari yang baik..
Kuatkan hamba, dan teguhkan keyakinan hamba Ya Allah..
Ku tutup do’a sederhana itu dengan do’a terakhir yang dari dulu telah diajarkan kepadaku” rabbighfirly waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira...amien”
Dan kemudian mencium tangan mereka untuk memohon maaf atas segala kesalahan-kesalahan selama ini.
Selesai dengan ibadah itu kemudian akupun disuruh luluran dan “batimung” dalam suku banjar, karna menurut yang aku dengar bahwa batimug itu akan membuat pegantin akan terlihat lebih cantik dan wangi, karna bersamaan dengan jatuhnya keringat yang mengalir maka akan jatuh pula segala kotoran yang ada dibadan. Setelah selesai semua ritual itu barulah aku diperbolehkan istirahat. Sebelum berbaring dan tidur ku sempatkan terlebih dahulu mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat malam dan sholat istikharah, agar jalan yang kulewati besok berjalan lancar dan meyakinkan keputusan yang aku ambil tidaklah salah. Barulah setelah itu aku mulai berbaring dan memejamkan mata untuk menjemput sang mimpi yang sedang menantiku.

***

Pagi itu....
Pagi ini...kembali sang mentari meyapaku dengan hangat dengan lembutnya sang embun yang menyegarkanku.tak terasa hari ini adalah hari H pernikahanku, sampai subuh tadipun aku bangun dan melaksanakan sholat subuh aku masih belum bisa percaya inilah saatnya aku meninggalkan orang tuaku untuk hidup bersama orang lain yang sama sekali belum ku kenal. Namun ketika melihat hiruk pikung para tetangga yang berlau lalang dengan kesibukan masing-masing untuk mempersiapkan pernikahan dirumah, barulah aku benar-benar tersadar. inilah saatnya, saat dimana orang itu akan datang menjemputku dengan satu kalimat ijab qabul yang diucapkannya gelar ibu rumah tangga pun akan segera ku sandang. Ingin rasanya menangis dan lari kepangkuan ibu untuk mengatakan betapa ini menakutkanku, bagaimana mungkin ibu mempercayakan aku kepada orang yang sama sekali belum aku kenal. Namun aku tidak akan tega mengatakan itu kepada beliau aku begitu mnyayangi kedua orang tuaku dan sampai sejauh ini mana mungkin aku tega mebuat mereka bersedih atas sikapku yang belum dewasa, biarlah semua hanya ada dipelupuk mata dan tersimpan dalam hati.
Tak terasa rumah pun sudah mulai ramai tidak hanya dipenuhi oleh ibu-ibu tetangga yang mempersiapkan hidangan namun juga para tamu undangan dan kerabat jauh yang mulai berdatangan. Ibu perias pengantin pun sudah datang dan segera ingin meriasku, sambil perias itu bekerja diapun mengajakku berbincang-bincang sambil meredakan kegugupanku “nak kada ush gugup, sabarataan anak babinian cagar dikawinakan jua, mungkin ikam talakas naham pada nang lain” mendengar itu rasanya semakin ingin air mataku meleleh namun segera kutahan, aku tidak ingin membuat riasan yang susah payah dibingkainya diwajahku akan sia-sia dan berantakan  aku hanya bisa mengangguk dan menyahut pelan”inggih pang cil’ae”. Setelah selesai dia merias dan memekaikan aku baju pengantin kebaya putih itu. Kudngar ibu-ibu dari luar bercakap-cakap bahwa pengantin pria sudah datang dan bersiap duduk untuk melaksanakan ijab qabul. Aku semakin gugup tak terkira inikah saatnya, Ku dengar sayup-sayup mereka serentak mengatakan “sah”. Aku tak kuat menahan bendungan air mataku. Ikhtiarku usai sudah. Tak lama kemudian, ayah masuk ke dalam kamarku dan mendapatiku tengah duduk di depan cermin. Ibu perias tadi sudah keluar dari kamarku sebelum ijab qabul itu dimulai. Mushaf yang tadinya kupegang, kini kuletakkan di dadaku. Tak kupedulikan lagi riasanku akan luntur atau tidak.
“Nak,” Panggilnya. Suara lembut dan bijaksana itu memanggilku .Namun aku sama sekali tak berani menatapnya. Aku hanya bisa menunduk.
“Keluar gen nak, itu laki wan kami barataan mahadangi ikam di luar.” perintahnya masih dengan suara lembutnya yang sedikit bergetar. Aku menghapus butiran air mataku. Lantas mengikuti jejak kaki ayah. Tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat.
“Duduk nak,” Suruh Ayah. Aku masih tetap menunduk dan tak berani memandang wajah mas farhan yang sudah menjadi suamiku ini. “Ayo, silakan pakaikan cincin di jari istrimu.” Suruh Pak Penghulu pada suamiku. Beliaupun menurutinya. Setelah itu, aku mencium tangan Mas Farhan.
Seusai menciumnya, aku memberanikan diri memandang wajah Mas Farhan.
“ALLAHU AKBAR!!!” Aku bertakbir di dalam hatiku. Allah menjawab semua do’a dan harapanku. Ribuan syukur tak henti-hentinya aku ucapkan.
Inilah kali pertama aku memandang wajahnya. Wajah ini wajah yang telihat sendu dan bercahaya, telihat dia seperti orang yang pandai beribadah,tidak heran ayah memilihkannya untukku.kulihat dia tesenyum dengan indah menghilangkan semua rasa pensaranku tentang sosoknya selama ini.
Aku memandang Ayah dan memandang wajah suamiku ini. Mereka tersenyum kepadaku. Dengan seketika senyumpun mulai terkembang di bibirku.
“Alhamdulillah Ya Allah.” Aku berbisik. kucium tangan suamiku yang seketika itu pula aku langsung mencintainya. Yah, mencintainya karena Allah.
Berselang satu tahun...
Malam itu,,,,
aku melemparkan senyuman manis kepadanya. Farhan memeluk lembut bahuku dan kami bergerak seiring menuju ke kamar.
Untuk kesekian kalinya aku jatuh cinta pada lelaki pertama yang muncul dalam hidupku. Tidak pernah ada yang kedua atau ketiga tetapi hanya yang pertama dan terakhir bagiku. Kini, aku dapat merasakan kebahagian dalam menapaki bahtera rumah tangga bersama suami kesayanganku, farhan ramadhan. Ayah, terima kasih dengan pilihan ayah ini. Unilah hadiah terindah dari ayah, hadiah syurga. Yang tidak hanya hadiah syurga yang akan membahagiakan didunia, namun juga hadiah syurga yang akan membimbingku meraih bahagiaan di akhirat nanti.
Ya Allah, aku mohon kepadaMu, Kau kekalkan kebahagiaan yang kami kecap ini untuk selama-lamanya.

Sumber:
http://fadli-kpi.blogspot.co.id/2015/05/cerpen_27.html

0 komentar: